Muhammad bin Ibnu Sirrin ra
Tokoh Tabi’in Muhammad bin Sirin
MUHAMMAD BIN SIRIN TOKOH TABI’IN YANG SABAR
Sirin berhasrat menyempurnakan separuh dari agamanya dengan menikah setelah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu membebaskannya dari belenggu perbudakan dan setelah pekerjaannya mendatangkan banyak keuntungan, karena dia memang seorang yang ahli membuat periuk.
Jatuhlah pilihannya pada budak wanita Abu Bakar ash-Shiddiq yang bernama Shafiyah untuk dijadikan pendamping hiudpnya. Shafiyah adalah seorang gadis muda yang cerah wajahnya, baik hatinya, pandai dan sangat disayangi penduduk Madinah yang mengenalnya. Gadis-gadis remaja dan orang-orang tua yang melihatnya memiliki pandangan yang sama bahwa dia adalah seorang wanita yang berpikiran cemerlang dan berbudi luhur. Yang paling menyayangi beliau adalah istri-istri Rasulullah, terutama Ummul Mukminin Aisyah.
Pada hari yang telah direncakan, Sirin menghadap Khalifah Rasulullah, Abu Bakar ash-Shidiq untuk meminang Shafiyah. Abu Bakar segera menyelidiki hal ihwal agama si peminang seperti layaknya seorang ayah manakala putrinya hendak dipinang orang.
Tidak aneh, karena kedudukan Shafiyah bagi Abu Bakar laksana putri bagi ayahnya, di samping ia adalah amanat yang dititipkan Allah kepadanya. Oleh karena itu, beliau meneliti keadaan Sirin dengan cermat dan mempelajari kehidupannya dengan hati-hati. Di antara yang dimintai keterangan tentangnya adalah Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ketika ditanya, Anas menjawab, “Nikahkanlah ia dengan budakmu wahai amirul mukminin, dan janganlah Anda mengkhawatirkan keadaannya, saya tidak mengenalnya melainkan bahwa dia adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya, dan menjaga kehormatannya. Aku telah menjalin hubungan dengannya semenjak ia menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi bagianku dan aku sangat brutung mendapatkan dia.”
Akhirnya Abu Bakar ash-Shidiq merestui pernikahan antara Shafiyah dengan Sirin. Maka diselenggarakanlah walimah pernikahan seperti halnya walimah untuk putrinya sendiri. Suatu hal yang sangat jarang dinikmati oleh budak atau pembantu wanita lainnya di Madinah.
Pernikahan itu disaksikan oleh banyak sahabat utama, di antaranya terdapat 18 sahabat yang ikut perang Badar. Ubai bin Ka’ab penulis wahyu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam diminta untuk mendoakannya sementara hadirin mengamininya.
Pengantin wanita dirias oleh tiga dari ummahatul mukminin untuk suaminya. Di antara buah dari pernikahan itu lahir seorang bayi yang dua puluh tahun kemudian menjadi satu di antara ulama yang tersohor. Dialah Muhammad bin Sirin. Marilah kita ikuti lembaran hidup tabi’in utama ini dari awal.
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.
Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadis Rasulullah. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.
Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Basrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Ketika itu, Basrah termasuk kota baru yang dibangun kaum muslimin pada akhir masa khalifah al-Faruq Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu. Kota tersebut merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah, sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat seakan hendak mati keesokan harinya.
Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Basrah dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.
Telah menjadi kebiasaan beliau, ketika matahari terbit, beliau berangkat ke masjid Basrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Alquran dengan sepenuh jwia sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai keluarga, tetangga, dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya yang menyayat hati.
Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau mengingatkan orang-orang akan kehidupan akhirat dan menjelaskan tentang hakikat dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mendekatkan diri kepada Allah. Beliaulah yang selalu menjadi penengah bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau menghibur dengan cerita-cerita yang menghibur hati yang gundah dan lelah tanpa menjatuhkan wibawanya di hadapan para sahabatnya.
Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah mengambil hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila seseorang sedang lupa diri segera sadar begitu melihat Ibnu Sirin di pasar, mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian bertahlil serta bertakbir.
Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau harus rugi secara materi untuk itu.
Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama, wawasan yang tajam untuk memebedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Ada kalanya sikap beliau mengundang keheranan bagi sebagian orang.
Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin berutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau membayarnya, lalu orang itu menantang, “Engkau berani bersumpah?” Orang itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun ternyata Ibnu Sirin menyanggupi dan ia bersumpah. Orang-orang berkata, “Wahai Abu Bakr, mengapa Anda rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu.” Beliau menjawab, “Aku bersumpah karena tidak ingin dia makan harta yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram baginya.”
Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian, dan nasihat. Jika seseorang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.
Bahkan pernah beliau mendengar seseorang memaki Hajjaj bin Yusuf setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, “Tahanlah wahai putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabbnya. Saat engkau datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa dosa terkecil yang kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.”
Ketahuilah, wahai putra saudaraku, Allah menuntut Hajjaj atas kezalimannya terhadap orang-orang, namun Allah juga akan menuntut orang-orang yang menzalimi Hajjaj. Maka janganlah engkau sibukkan dirimu untuk memaki dan mencela orang sesudah ini.”
Sudah menjadi kebiasaan jika ada orang yang berpamitan kepada beliau untuk pergi berdagang beliau berpesan, “Wahai putra saudaraku, bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan carilah apa yang ditakdirkan untukmu dari jalan yang halal. Ketahuilah, kalaupun engkau mencari jalan yang tidak halal, toh engkau tidak akan memperoleh kecuali apa yang telah ditakdirkan untukmu.”
Kalimat yang benar senantiasa ditegakkan Muhammad bin Sirin di hadapan para penguasa Bani Umayah. Beliau secara tulus mewujudkan nasihat bagi Allah, Rasul, dan imam-imam kaum muslimin.
Sebagai bukti dari kesimpulan di atas adalah, ketika Umar bin Hubairah al-Farazi yang diangkat menjadi gubernur Irak, pernah meminta Ibnu Sirin menemuinya, lalu beliau datang bersama saudaranya. Sang wali menyambutnya dengan penuh hormat kemudian bertanya banyak tentang agama dan dunia. Dia berkat, “Dalam kondisi seperti Anda akan tinggalkan kota di mana kezaliman telah merajalela sedangkan Anda tak menghiraukannya.” Saudaranya mencubit kaki Ibnu Sirin demi mendengar jawaban seperti itu tapi beliau menoleh kepadanya, “Bukan engkau yang ditanya, melainkan aku. Ini adalah kesaksian: “Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.” (QS Al-Baqarah: 283)
Usai pertemuannya, beliau dilepas kepergiannya seperti sambutan ketika datangnya, dengan penuh santun dan rasa hormat. Lalu dihadiahkanlah sekantong uang berisi 3000 dirham dari kas Negara, tapi sama sekali tak disentuhnya. Bertanyalah anak saudaranya, “Apa yang menghalangimu untuk menerima hadiah dari amir itu?” Beliau berkata, “Dia memberi karena mengira aku orang baik. Bila benar aku baik, tidak pantas aku mengambil uang itu. Namun jika aku tidak seperti yang ia duga, tentu lebih layak lagi untuk tidak mengambilnya…”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin berupa cobaan seperti yang telah menimpa orang-orang mukmin lain.
Satu contoh dari ujian tersebut adalah peristiwa di mana beliau membeli minyak seharga 40.000 dirham sebanyak satu bejana penuh dibayar belakangan. Ketika diperiksa ternyata ada bangkai tikus yang sudah membusuk di dalamnya. Dia berpikir, “Minyak ini ditampung dalam satu wadah dan najisnya tidak hanya di sekitar bangkai itu. Jika aku kembalikan kepada penjualnya, pasti akan dijualnya kepada orang lain.” Maka dibuangnya semua minyak di bejana tersebut. Ini terjadi di saat perniagaannya rugi cukup besar. Akhirnya beliau terbelit utang, pemilik minyak menagih utangnya sedangkan beliau tak mampu membayarnya, lalu orang itu mengadukan persoalan tersebut kepada yang berwenang. Akhirnya diperintahkan agar beliau dipenjara sampai bisa mengembalikan utangnya.
Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata, “Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai bebas nanti.” Beliau menolak, “Tidak, Demi Allah aku tidak akan melakukan itu.” Penjaga berkata, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Agar aku tidak membantumu mengkhianati pemerintah.”
Ketika Anas bin Malik sakit keras, beliau berwasiat agar yang memandikan jenazahnya kelak adalah Muhammad bin Sirin, sekaligus menyalatkannya. Tapi Ibnu Sirin masih berada di dalam tahanan.
Hari di mana Anas wafat, orang-orang mendatangi wali dan menceritakan tentang wasiat sahbat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memohonkan izin untuk Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiatnya. Namun beliau berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian menginginkan aku kepada orang yang aku utangi, bukankah aku ditahan karena belum mampu membayar utangnya?”
Orang yang diutangi pun memberikan izin sehingga dia bisa keluar dari tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengafani, dan menyalatkan jenazah Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa sedikit pun mengambil kesempatan untuk mampir menengok keluarganya.
Usia Muhammad bin Sirin mencapai 77 tahun. Dalam wafatnya didapati bahwa beliau ringan dari beban dunia dan penuh perbekalan untuk hidup setelah mati. Hafshah binti Rasyid yang dikenal sebagai ahli ibadah bercerita: “Marwan al-Mahmalai adalah tetangga kami yang rajin beribadah dan tekun melaksanakan ketaatan-ketaatan. Tatkala dia meninggal kami turut bersedih, lalu aku melihatnya di dalam mimpi dan aku bertanya kepadanya: “Wahai Abu Abdillah, apa yang dilakukan Rabb-mu terhadapmu?” Dia menjawab, “Allah memasukkan aku ke dalam surga.” Aku katakan, “Kemudian apa?” Dia menjawab, “Lalu aku diangkat ke derajat meqarrabin.” Aku bertanya, “Siapa yang kamu lihat di sana?” Ia menjawab, “Aku melihat al-Hasan al-Bashri dan Muhammad bin Sirin.”
Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Artikel www.KisahMuslim.com
https://kisahmuslim.com/2818-tokoh-tabiin-muhammad-bin-sirin.htmlIbnu Sirin
Abubakar Muhammad bin Sirin al-Bashri (bahasa Arab: أبوبكر محمد بن سيرين البصري lahir 33 H/653-4 M, meninggal 110 H/729 M) atau disingkat Ibnu Sirin, adalah salah seorang tokoh ulama ahli fiqih dan perawi hadits dari golongan tabi'in yang menetap di Bashrah. Ibnu Sirin juga terkenal kemampuannya dalam menakwilkan mimpi, serta atas kesalehannya.
Ayahnya bernama Sirin, seorang pembuat periuk tembaga, yang tertawan oleh Khalid bin Walid dalam ekspedisinya di Ain at-Tamar. Sirin lalu menjadi budak dari Anas bin Malik, namun ia membuat perjanjian untuk memerdekakan dirinya sendiri dengan tebusan uang. Setelah itu, Sirin menikahi Shafiyah, budak perempuan Abubakar ash-Siddiq. Turut hadir dalam pernikahan tersebut tiga orang isteri Nabi Muhammad serta delapan belas orang Sahabat Nabi yang pernah mengikuti Pertempuran Badar, yang mana Ubay bin Ka'ab memimpin doa pernikahannya.
Ibnu Sirin mempelajari ilmu agama serta meriwayatkan hadits antara lain dari Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Imran bin Husain, dan Anas bin Malik. Ia merupakan guru bagi Qatadah bin Di'amah, Khalid al-Hadda, Ayyub al-Sakhtiyani, dan lain-lain. Ibnu Sirin dilahirkan dua tahun sebelum pemerintahan Utsman bin Affan berakhir. Anas bin Malik pada saat berada di Persia menjadikan Ibnu Sirin sebagai sekretarisnya.
Ibnu Sirin memiliki banyak anak dari seorang istri, namun hanya satu yang tumbuh dewasa yaitu Abdullah. Selain sebagai ulama, profesi sehari-hari Ibnu Sirin adalah sebagai pedagang pengecer, akan tetapi iabangkrut dan jatuh ke dalam hutang sehingga dipenjara. Anaknya Abdullah lah yang melunasi hutangnya.
Ibnu Sirin meninggal di Bashrah (kini di Irak) pada hari Jum'at, 9 Syawal 110 H, kira-kira seratus hari setelah wafatnya Hasan al-Bashri.
Ibnu Sirin, Imam Ahli Tafsir Mimpi
Ibnu Sirin, demikian nama ini sering terdengar telinga kita. Untuk seorang penuntut ilmu, nama ini memang tak lagi asing. Betapa tidak, tabi’in mulia ini telah menjadi seorang imam (panutan) sekaligus bergelar Syaikhul Islam (seorang ulama yang sangat mendalam ilmunya tentang segala bidang ilmu agama). Ayahnya merupakan bekas budak Anas bin Malik radhiallahu anhu, sahabat mulia yang mengabdi kepada Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam.
Dahulu, ayahnya, Sirin, termasuk tahanan Jarjaraya, sebuah wilayah di dekat kota Baghdad. Sejak awal, Anas bin Malik melihat Sirin mempunyai kemampuan dalam perniagaan. Sirin memang ahli dalam membuat periuk sehingga bisa menuai keuntungan cukup besar dari perdagangannya. Di saat itulah, Sirin menginginkan mukatabah karena merasa mempunyai harta yang cukup untuk membebaskan diri dari perbudakan. Mukatabah merupakan salah satu metode untuk membebaskan diri dari perbudakan. Yaitu, seorang budak meminta majikannya untuk dimerdekakan dengan membayar sejumlah uang sesuai dengan kesepakatan. Si majikan hendaklah mengabulkan permintaan itu jika ia memandang budaknya sanggup melunasi pembayaran dengan harta yang halal. Setelah bebas dari belenggu perbudakan, Sirin pun berkeinginan untuk menikah. Saat itu jatuhlah pilihannya kepada seorang budak wanita milik Abu Bakar Ash-Shidiq radhiallahu anhu yang bernama Shafiyah. Nah, dari kedua pasangan inilah, lahir seorang ulama tabi’in yang sangat terkenal, Muhammad bin Sirin.
Muhammad dilahirkan dua tahun sebelum berakhirnya masa pemerintahan Umar bin Khaththab radhiallahu anhu. Demikian menurut penuturan saudaranya yang bernama Anas sendiri dilahirkan setahun setelahnya. Menginjak usia remaja, Muhammad menjumpai shahabat-shahabat Nabi yang mulia seperti Abu Hurairah, ‘Imran bin Hushain, Ibnu Abbas, ‘Adi bin Hatim, Ibnu Umar, Anas bin Malik dan yang lainnya. Bahkan menurut penuturan Hisyam bin Hasan, Muhammad sempat bertemu dengan tiga puluh shahabat sepanjang hidupnya. Tak pelak, kondisi ini semakin membuatnya antusias untuk menimpa ilmu agama dari mereka.
NASEHAT EMAS IBNU SIRIN
Salah satu nasehat emas Muhammad bin Sirin yang sering dinukilkan oleh para ulama adalah ucapan beliau, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Ia juga mengatakan, “Sungguh telah lewat sebuah zaman yang tidak pernah mereka bertanya mengenai sanad 1) sebuah hadits (zaman shahabat Nabi). Namun ketika telah terjadi zaman ujian, mulailah dipertanyakan sanad suatu hadits. Sehingga apabila sanad hadits itu bersumber dari ahli kesesatan, maka haditsnya ditinggalkan.
PUJIAN ULAMA
Amr bin Dinar rahimahullah pernah mengatakan, “Demi Allah aku belum pernah melihat (keilmuan) seseorang semisal (keilmuan) Thawus.” Mendengar hal itu, Ayyub As-Sikhtiyani rahimahullah berujar dan saat itu ia sedang duduk, “Demi Allah, seandainya Amr melihat Muhammad bin Sirin, niscaya kata-kata itu tidak akan terucap darinya.”
Hal senada juga pernah diungkapkan Ibnu Auf, “Belum pernah aku melihat ulama semisal Muhammad bin Sirin.”
Hammad bin Zaid berkata, “Tidak ada seorang pun di Bashrah yang lebih berilmu tentang pengadilan melebihi Ibnu Sirin.”
Ibnu Yunus berkata, “Ibnu Sirin lebih pandai daripada Al-Hasan Al-Bashri dalam berbagai hal.”
Auf Al-A’rabi berkata, “Ibnu Sirin mempunyai pengetahuan yang baik tentang ilmu waris, pengadilan, dan hitungan.”
Muriq Al-Ijli mengatakan, “Belum pernah aku melihat orang yang lebih fakih dalam sifat wara’-nya dan lebih wara’ dalam fikhnya daripada Muhammad bin Sirin.”
Suatu ketika, pernah nama Muhammad bin Sirin disebut-sebut di hadapan Abu Qilabah rahimahullah. Abu Qilabah pun berkata, “Perlakukanlah dia semau kalian. Sungguh kalian akan menjumpainya sebagai orang yang paling kuatwara’-nya dan paling bisa menguasai diri.
Ibnu Auf mengatakan, “Ada tiga orang yang belum pernah kedua mataku melihatnya: Ibnu Sirin di Irak, Al-Qasim bin Muhammad di Hijaz, dan Raja’ bin Haiwah di Syam. Seolah-olah mereka bertemu dan saling memberikan wasiat.”
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata, “Ibnu Sirin adalah seorang yang fakih, berilmu, wara’, beradab, banyak meriwayatkan hadits, terpercaya, para ulama telah mempersaksikan hal itu dan hafalan beliau bisa dijadikan pegangan argumen.”
Bakar bin Abdullah Al-Muzani berkata, “Barang siapa ingin melihat orang palingwara’ yang pernah kami jumpai, maka hendaknya ia melihat Muhammad bin Sirin.”
Tsabit Al-Bunani berkisah, “Al-Hasan Al-Bashri berusaha untuk menghindar dari kezaliman Al-Hajjaj bin Yusuf. Tatkala putri Al-Hasan meninggal, aku pun segera datang menemuinya dan berharap ia menyuruhku untuk menshalati putrinya. Saat itu Al-Hasan sedang menangis hingga meninggi isakan tangisnya. Kemudian berkata kepadaku, ‘Pergilah kepada Muhammad bin Sirin dan katakanlah kepadanya supaya menshalati putriku.’ Ternyata baru aku ketahui tidak ada yang seorang pun yang semisal dengan Ibnu Sirin.”
Selain dikenal sebagai ulama ahli hadits, ternyata Muhammad juga termasuk ahli ibadah di zamannya.
Berikut ini persaksian ulama mengenai hal itu, Ayyub As-Sikhtiyani pernah berkata, “Muhammad selalu berpuasa sehari dan berbuka sehari.”
Abu ‘Awanah berkata, “Aku pernah melihat Muhammad bin Sirin di pasar. Maka tidak ada seorang pun yang melihatnya melainkan sedang berdzikir kepada Allah.”
Kelebihan lainnya yang ada pada diri Ibnu Sirin adalah akhlak mulia yang senantiasa menghiasi kehidupan sehari-harinya. Ibnu Auf menuturkan, “Sesungguhnya jika Muhammad (bin Sirin) berada di sisi ibunya, maka dia sangat melirihkan suaranya. Sehingga orang yang melihatnya akan menyangka bahwa dia sedang sakit.” Ia juga menuturkan bahwa apabila ada orang-orang yang menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Ibnu Sirin, maka ia pun justru menyebutkan hal terbaik dari orang itu yang ia ketahui.
Hisyam bin Hasan berkata, ‘Muhammad pernah berdagang dan ketika menjumpai sesuatu yang meragukan, maka ia pun meninggalkannya.”
Para pembaca yang budiman, sebagaimana para ulama terdahulu, Ibnu Sirin juga tidak luput dari cobaan yang mendera kesabaran dan keimanannya. Ya, beliau pernah menanggung utang yang sangat banyak dan bahkan sempat dipenjara karena tidak mampu melunasi utangnya tersebut. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa faktor penyebabnya adalah karena ia menumpahkan minyak dalam jumlah yang cukup banyak. Suatu ketika Ibnu Sirin membeli minyak seharga empat puluh ribu dirham dalam beberapa bejana. Namun setelah dilihat ternyata di sebagian bejana tersebut terdapat bangkai seekor tikus. Akhirnya ia membuang minyak yang ada di bejana tersebut karena jika dikembalikan kepada penjualnya tentu akan dijual ke orang lain. Sehingga hal itu mengakibatkan Ibnu Sirin mengalami kerugian yang sangat besar.
Ibnu Sirin sangat membenci ahli bid’ah. Hal ini terlihat dari berbagai pernyataannya yang sangat keras terhadap ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu. Ibnu Sirin berkata, “Muhammad bin Sirin memandang bahwa pengekor hawa nafsu dan ahlul bid’ah adalah orang yang paling cepat keluar dari keislaman. Beliau juga berpendapat bahwa ayat ini turun kepada mereka, yaitu firman-Nya:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami. Maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain.” (QS. Al-An’am: 68)
Diriwayatkan dari Syuabi bin Al-Habhab bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Sirin, “Bagaimana hukum mendengarkan ceramah para pengekor hawa nafsu?” Ia pun dengan tegas menjawab, “Kita tidak boleh mendengarkan pembicaraan mereka dan tidak ada kemuliaan untuk mereka.”
Abdullah bin Muslim Al-Marruzi berkata, “Dahulu aku pernah duduk bersama Ibnu Sirin. Kemudian aku meninggalkannya dan duduk bersama Ibadhiyah (salah satu sekte Khawarij) yang dinisbatkan kepada pendirinya yang bernama Abdullah bin Ibadh At-Tamimi). Maka aku bermimpi melihat seolah-olah diriku bersama suatu kaum yang membawa jenazah Nabi shalallahu alaihi wa sallam. Aku pun datang menemui Ibnu Sirin dan aku ceritakan hal itu kepadanya. Maka ia berkata, ‘Kenapa engkau duduk bersama orang-orang yang hendak mengubur ajaran Nabi shalallahu alaihi wa sallam?’ ”
Salah satu karya tulis Ibnu Sirin yang masih ada hingga saat ini adalah sebuah kitab yang berjudul Tafsirul Ahlam (Tafsir Mimpi). Ibnu Sirin termasuk segelintir ulama yang diberi kelebihan untuk menafsirkan mimpi.
Diriwayatkan dari Hisyam bin Hasan ia berkata, “Ada seseorang bercerita kepada Ibnu Sirin, ia mengatakan, ‘Aku melihat dalam mimpi seolah-olah di tanganku ada sebuah gelas yang terbuat dari kaca dan di dalamnya ada air. Tiba-tiba gelas itu pecah, namun airnya masih tetap ada.’ Ibnu Sirin mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah sesungguhnya engkau tidak melihat sesuatu pun.’ Laki-laki itu berkata, ‘Subhanallah! Aku bercerita mimpiku kepadamu namun engkau justru seperti itu.’ Ibnu Sirin pun berkata, ‘Barang siapa berdusta, maka bukan tanggunganku. Tafsirnya adalah istrimu akan melahirkan dan meninggal sementara anaknya tetap hidup.’ Tatkala keluar, laki-laki itu berkata, ‘Demi Allah aku tidak melihat sesuatu pun2)’. Hisyam menuturkan, ‘Tidak lama kemudian anaknya lahir dan istrinya meninggal dunia.”
Ada seseorang mengisahkan kepada Ibnu Sirin perihal mimpi yang pernah dilihat Al-Hajjaj bin Yusuf dalam tidurnya. Dalam mimpinya tersebut, Al-Hajjaj melihat ada dua bidadari turun dari atas langit. Salah satu dari bidadari tersebut mampu didapatkan oleh Al-Hajjaj namun yang lainnya kembali terbang ke atas langit. Ibnu Sirin pun berkata bahwa makna mimpinya tersebut adalah akan ada dua musibah yang telah menanti Al-Hajjaj. Satu musibah akan menimpanya tatkala hidup dan musibah yang tidak ia jumpai adalah musibah Al-Muhallab. Padahal, saat itu kebanyakan orang menganggap bahwa mimpi itu menjadi tanda kebaikan dan kabar gembira untuk Al Hajjaj. Begitu banyak kisah yang diriwayatkan dari beliau mengenai tafsir mimpinya yang menjadi kenyataan. Jika Ibnu Sirin ditanya tentang tafsir sebuah mimpi, beliau pun berkata, “Hendaklah engkau bertakwa kepada Allah dalam kesadaranmu, niscaya apa yang engkau lihat dalam tidurmu tidak akan mencelakakanmu.”
Namun perlu diketahui, penjelasan para ulama mengenai hal ini bahwa mimpi dari selain para nabi tidak boleh dijadikan sebagai landasan hukum untuk menghukumi suatu perkara kecuali setelah ditimbang dengan hukum syariat. Jika diperbolehkan secara syar’i maka bisa diamalkan. Namun jika tidak diperbolehkan maka wajib ditinggalkan. Mimpi hanyalah sebatas memberi kabar gembira atau peringatan jika sesuai dengan tuntunan syariat. Demikianlah Ibnu Sirin, beliau merupakan salah satu dari segelintir ulama tabi’in yang diberi kelebihan dalam menafsirkan mimpi. Allahu a’lam. (Penulis: Ustadz Abu Hafy Abdullah).
Footnote:
1) Sanad adalah rantai perawi yang menyampaikan hadits. Misalnya Al-Bukhari rahimahullah mengatakan dalam Shahih-Nya, “Mengatakan kepadaku Al-Humaidi Abdullah bin Zubair, mengatakan kepadaku Sufyan, mengatakan kepadaku Yahya bin Sa’id Al-Anshari, mengatakan kepadaku Muhammad bin Ibrahim At-Taimi, bahwa dia mendengar Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi, dia mendengar Umar bin Al-Khaththab radhiallahu berkhutbah di atas mimbar bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam bersabda, “……..” Di dalam contoh ini, Al-Humaidi, Sufyan, Yahya bin Sa’id. Muhammad bin Ibrahim, Alqamah, dan Umar bin Al-Khaththab adalah sanad, rantai perawi yang menyampaikan hadits.
2) Sebuah mimpi apabila telah diceritakan kemudian ditafsirkan ada kemungkinan terjadi oleh karena itu hendaknya seseorang tidak menceritakan mimpinya kecuali kepada seorang yang shalih yang tidak dalam menafsirkan mimpi.
Sumber: Majalah Qudwah edisi 17 Vol. 2 1435 H/ 2014 H hal. 98 – 103.
https://tokojebe.wordpress.com/2014/06/13/ibnu-sirin-imam-ahli-tafsir-mimpi/
Muhammad Bin Sirin
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Sirin al-Anshari, ia adalah seorang ahli fiqh yang zuhud dan tekun beribadah, ayahnya bekas sahaya Anas bin Malik yang membelinya dari Khalid bin al-Walid yang menawannya di Ain at-Tamr di gurun pasir Irak dekat al-Anbar. Sebelumnya Anas menjanjikan kebebasan bagi budaknya itu bila Sirin membayar sejumlah uang. Sirin melunasinya dan bebaslah ia. Ibu Muhammad bin Sirin bernama Shaffiyah yang pernah menjadi sahaya Abu Bakar.
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun menjelang masa pemerintahan Utsman, ia sempat bertemu dengan 30 orang sahabat, tetapi tidak pernah melihat abu Bakar dan Abu Dzarr al-Ghifari. Ia juga tidak mendengar langsung hadits dari Ibnu Abbas atau Abu Darda’ atau Imran bin Hushain, atau sayyidah Aisyah. Namun ia meriwayatkan dari beberapa hadist musnad dari Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Abu Hurairah, Hudzaifah bin al-Yaman dan beberapa lainnya.
Diantara orang yang meriwayatkan dari Ibnu Sirin adalah Asy-Sya’bi, al-Auza’I, Ashim al-Ahwal, Malik bin Dinar dan Khalid al-Hadzdza.
Hisyam bin Hisan berkata tentangnya:” Dia Orang Paling Jujur yang pernah aku jumpai”, Abu Awanah menambahkan “ Aku pernah meliha Ibnu sirin dan tak seorangpun melihatnya tanpa sedang berzikir kepada Allah Ta’ala”. Dan komentarnya Abu Sa’ad adalah “ Dia dipercaya memang teguh amanat, tinggi kedudukannya dan banyak ilmunya”.
Ia wafat pada tahun 110 H
Sumber:
Biografi Ibnu Sirin dalam Tahdzib at Tahdzib 9/241 karya Ibnu Hajar Asqalani.
http://namadanbiografi.blogspot.co.id/2014/06/nama-dan-biografi-Muhammad-Bin-Sirin.html
Muhammad bin Sirin - Salah Seorang Ulama Besar dari Kalangan Tabi'inMuhammad bin Sirin al-Anshari, ia adalah seorang Tabi'in ahli fiqh yang zuhud dan tekun beribadah, ayahnya, Sirin bekas sahaya Anas bin Malik yang membelinya dari Khalid bin al-Walid yang menawannya di Ain at-Tamr di gurun pasir Irak dekat al-Anbar.
Kelahiran
Ayah Muhammad bin Sirin adalah salah seorang hamba sahaya dari sahabat Anas bin Malik ra. Ketika ia dimerdekakan, ia langsung mengutarakan niatnya untuk menikahi wanita yang bernama Shofiyah, seorang hamba sahaya Abu Bakar rayang sangat disayangi oleh keluarga Abu Bakar.
Ketika Sirin melamar Shofiyah, Abu Bakar meneliti dirinya dengan penuh seksama. Bukan itu saja, bahkan Anas bin Malik sempat dimintai pendapatnya oleh Abu Bakartentang Sirin ini. Anas meyakinkan Abu Bakar, seraya berkata, "Percayalah, Sirin adalah orang baik yang memiliki akhlak mulia. Saya telah mengenalnya sejak lama. Insya Allah dia tidak akan mengecewakan Anda."
Mendengar jaminan tersebut, lamaran Sirin diterima. Kemudian diadakan walimah besar dan istimewa. Dikatakan istimewa, karena pesta pernikahan dihadiri oleh delapan belas orang ahlu Badar dan ummul Mukminin, Siti Aisyah ra. Pada saat resepsi, bertindak selaku pembaca doa adalah sahabat Ubay bin Ka'ab. Sedangkan Aisyahbertugas merias pengantin wanita.
Dari pernikahan ini, Allah menganugerahi mereka seorang anak bernama Muhammad bin Sirin. Dua puluh tahun kemudian ia menjadi salah seorang ulama besar dari kalangan tabi'in.
Mencari ilmu
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain,Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.
Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadis Rasulullah. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.
Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Basrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Kehidupan di Basrah
Saat Muhammad bin Sirin berusia 14 tahun, ia berhijrah ke Basrah, pusat peradaban Islam waktu itu. Banyak orang Romawi dan Persia yang baru masuk Islam juga menimba ilmu keagamaan di kota itu. Banyak ulama besar yang tinggal di Basrah, salah satunya adalah Hasan Al-Bashri.
Dalam keseharian, Muhammad bin Sirin membagi waktunya untuk melakukan tiga aktivitas: beribadah, mencari ilmu, dan berdagang. Sebelum Subuh sampai waktu Duha ia berada di masjid al-Basrah. Di sana ia belajar dan mengajar berbagai pengetahuan Islam. Setelah Duha hingga sore hari ia berdagang di pasar. Ketika berdagang ia selalu menghidupkan suasana ibadah dengan senantiasa melakukan dzikir, amar ma'ruf, dan nahi munkar. Malam hari, ia khususkan untuk bermunajat kepada Allah SWT. Tangisannya yang keras ketika berdoa terdengar sampai ke dinding-dinding rumah tetangga.
Dalam menggeluti dunia perdagangan, ia sangat berhati-hati sekali. Ia khawatir kalau-kalau terjebak ke dalam masalah yang haram. Sehingga apa yang dilakukannya seringkali membuat orang lain merasa heran.
Hati yang penuh kebaikan
Penagih hutang - Suatu ketika, ada seseorang menagih hutang kepadanya sebanyak dua dirham. Sedangkan ia sendiri tidak merasa berhutang. Orang tersebut tetap bersikukuh dengan tuduhannya. Karena ia mempunyai bukti, selembar kertas perjanjian hutang yang tertera di atasnya tanda tangan Muhammad bin Sirin.
Dengan penuh paksa, ia meminta Muhammad bin Sirin untuk melakukan sumpah. Ketika ia hendak bersumpah, banyak orang yang merasa heran mengapa ia menuruti kemauan si penuduh itu. Salah seorang rekan Muhammad bin Sirin bertanya, "Syaikh, kenapa Anda mau bersumpah hanya untuk masalah sepele, dua keping dirham, padahal baru saja kemarin anda telah merelakan 30 ribu dirham untuk diinfakkan kepada orang lain." Lantas Muhammad bin Sirin menjawab, "Iya, saya bersumpah karena saya tahu bahwa orang itu memang telah berdusta. Jika saya tidak bersumpah, berarti ia akan memakan barang yang haram."
Dipanggil Gubernur Iraq- Di lain waktu ia dipanggil oleh Umar bin Hubairah, Gubernur Irak. Gubernur menyambut kedatangannya dengan meriah. Setelah berbasa-basi sejenak, Hubairah bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapat Syaikh tentang kehidupan di negeri ini?"
Dengan penuh keberanian, ia menjawab pertanyaan gubernur, "Kezaliman hampir merata di negeri ini. Saya melihat anda selaku pemimpin kurang perhatian terhadap rakyat kecil." Belum lagi Muhammad bin Sirin selesai berbicara, salah seorang keponakannya yang juga ikut ke istana gubernur mencubit lengan sang syaikh, sebagai isyarat agar Muhammad bin Sirin menghentikan kritikan pedasnya kepada sang gubernur. Dengan tegas ia berkata kepada keponakannya itu, "Diamlah engkau, kalau saya tidak mengkritik gubernur, maka nanti sayalah yang akan ditanya di akhirat. Apa yang saya lakukan merupakan persaksian dan amanah umat. Barangsiapa menyembunyikan amanah ini, niscaya ia berdosa."
Sang gubernur sempat termenung sejenak karena terperangah dengan teguran keras dari salah seorang rakyatnya. Tapi ia segera sadar bahwa ia harus bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan yang menyedihkan yang menimpa negerinya.
Setelah beberapa saat berada di istana gubernur, ia segera mohon pamit untuk pulang. Gubernur hendak memberikan uang kepadanya sebesar 40 ribu dirham. Tapi ia malah menolaknya. Keponakannya merasa heran mengapa ia harus menolak pemberian itu. Lagi-lagi ia mengingatkan kepada keponakannya seraya berkata, "Ketahuilah, dia memberi hadiah kepadaku karena dia menyangka aku adalah orang yang baik. Kalau aku baik, maka tidak pantas untuk menerima uang itu. Sedangkan jika aku tidak sebaik yang ia sangka, lebih tidak pantas lagi aku mengambilnya."
Bangkai tikus dalam kaleng minyak sayur - Suatu ketika ia membeli minyak sayur dalam jumlah besar untuk kepentingan usaha perdagangannya. Ia membelinya dengan sistem kredit. Ketika salah satu kaleng minyak itu dibuka, di dalamnya didapatkan bangkai tikus yang sudah membusuk. Sejenak ia mulai berpikir, apakah ia harus mengembalikannya atau tidak, sesuai dengan perjanjian yang mengatakan, "Apabila terdapat aib pada barangnya, maka ia berhak mengembalikannya." Tapi, ia mengkhawatirkan tentang sesuatu. Apabila ia mengembalikannya, tentu si pedagang minyak sayur itu akan menjualnya kepada orang lain lagi.
Sedangkan tempat pembuatan minyak hanya satu. Sudah barang tentu seluruh minyak telah tercemar oleh bangkai tikus itu. Jika dijual kepada orang lain, maka akan tersebarlah bangkai dan najis itu ke setiap orang. Atas pertimbangan tersebut, maka dibuanglah seluruh minyak itu. Ketika datang penjual minyak itu untuk menagih, ia tidak memiliki uang. Ia segera diadukan kepada qadi (hakim pengadilan). Maka ia pun dipanggil untuk diadili. Setelah itu ia dipenjarakan karena kasus tersebut.
Di dalam penjara, petugas merasa sangat kasihan kepadanya. Karena petugas menilainya sebagai orang shalih. Suara tangis yang mengiringi setiap shalat dan munajatnya selalu terdengar oleh petugas tersebut. Setelah memandang iba kepadanya, penjaga penjara itu berkata kepadanya, "Syaikh, bagaimana kalau saya menolong anda. Saat malam anda boleh pulang ke rumah. Keesokannya anda datang lagi ke sini. Apa anda setuju?" Ia menjawab, "Kalau engkau melakukan demikian, maka engkau telah berlaku khianat. Saya tidak setuju."
Sebelum wafat, Anas sempat berwasiat agar yang memandikan dan menguburkannya adalah Muhammad bin Sirin. Salah seorang kerabat Anas bin Malik memohon kepada petugas penjara agar Muhammad bin Sirin diizinkan menunaikan wasiat gurunya. Petugas mengizinkannya. Tetapi, Muhammad bin Sirin berkata, "Saya dipenjara bukan karena penguasa. Tapi karena pemilik barang. Saya tidak akan keluar sampai pemilik barang mengizinkannya.
Setelah pemilik barang mengizinkannya, berangkatlah ia ke tempat Anas bin Malik dibaringkan. Usai mengurus jenazah Anas bin Malik, ia kembali ke penjara tanpa mampir ke rumahnya barang sejenak pun.
Wafatnya Muhammad bin Sirin
Beliau wafat pada usia ke 77 tahun, tahun 110 H.
Sumber:
Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Muhammad Bin Sirin Dan Kejujuran Dalam Setiap Langkahnya, www.suaramedia.comhttps://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/09/Muhammad-bin-Sirin-Salah-Seorang-Ulama-Besar-dari-Kalangan-Tabiin.html
https://hizbut-tahrir.or.id/2016/06/23/muhammad-bin-sirin/
Kelahiran
Ayah Muhammad bin Sirin adalah salah seorang hamba sahaya dari sahabat Anas bin Malik ra. Ketika ia dimerdekakan, ia langsung mengutarakan niatnya untuk menikahi wanita yang bernama Shofiyah, seorang hamba sahaya Abu Bakar rayang sangat disayangi oleh keluarga Abu Bakar.
Ketika Sirin melamar Shofiyah, Abu Bakar meneliti dirinya dengan penuh seksama. Bukan itu saja, bahkan Anas bin Malik sempat dimintai pendapatnya oleh Abu Bakartentang Sirin ini. Anas meyakinkan Abu Bakar, seraya berkata, "Percayalah, Sirin adalah orang baik yang memiliki akhlak mulia. Saya telah mengenalnya sejak lama. Insya Allah dia tidak akan mengecewakan Anda."
Mendengar jaminan tersebut, lamaran Sirin diterima. Kemudian diadakan walimah besar dan istimewa. Dikatakan istimewa, karena pesta pernikahan dihadiri oleh delapan belas orang ahlu Badar dan ummul Mukminin, Siti Aisyah ra. Pada saat resepsi, bertindak selaku pembaca doa adalah sahabat Ubay bin Ka'ab. Sedangkan Aisyahbertugas merias pengantin wanita.
Dari pernikahan ini, Allah menganugerahi mereka seorang anak bernama Muhammad bin Sirin. Dua puluh tahun kemudian ia menjadi salah seorang ulama besar dari kalangan tabi'in.
Mencari ilmu
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi semerbak wewangian takwa dan wara di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, Imron bin Hushain,Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.
Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat hadis Rasulullah. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.
Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Basrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Kehidupan di Basrah
Saat Muhammad bin Sirin berusia 14 tahun, ia berhijrah ke Basrah, pusat peradaban Islam waktu itu. Banyak orang Romawi dan Persia yang baru masuk Islam juga menimba ilmu keagamaan di kota itu. Banyak ulama besar yang tinggal di Basrah, salah satunya adalah Hasan Al-Bashri.
Dalam keseharian, Muhammad bin Sirin membagi waktunya untuk melakukan tiga aktivitas: beribadah, mencari ilmu, dan berdagang. Sebelum Subuh sampai waktu Duha ia berada di masjid al-Basrah. Di sana ia belajar dan mengajar berbagai pengetahuan Islam. Setelah Duha hingga sore hari ia berdagang di pasar. Ketika berdagang ia selalu menghidupkan suasana ibadah dengan senantiasa melakukan dzikir, amar ma'ruf, dan nahi munkar. Malam hari, ia khususkan untuk bermunajat kepada Allah SWT. Tangisannya yang keras ketika berdoa terdengar sampai ke dinding-dinding rumah tetangga.
Dalam menggeluti dunia perdagangan, ia sangat berhati-hati sekali. Ia khawatir kalau-kalau terjebak ke dalam masalah yang haram. Sehingga apa yang dilakukannya seringkali membuat orang lain merasa heran.
Hati yang penuh kebaikan
Penagih hutang - Suatu ketika, ada seseorang menagih hutang kepadanya sebanyak dua dirham. Sedangkan ia sendiri tidak merasa berhutang. Orang tersebut tetap bersikukuh dengan tuduhannya. Karena ia mempunyai bukti, selembar kertas perjanjian hutang yang tertera di atasnya tanda tangan Muhammad bin Sirin.
Dengan penuh paksa, ia meminta Muhammad bin Sirin untuk melakukan sumpah. Ketika ia hendak bersumpah, banyak orang yang merasa heran mengapa ia menuruti kemauan si penuduh itu. Salah seorang rekan Muhammad bin Sirin bertanya, "Syaikh, kenapa Anda mau bersumpah hanya untuk masalah sepele, dua keping dirham, padahal baru saja kemarin anda telah merelakan 30 ribu dirham untuk diinfakkan kepada orang lain." Lantas Muhammad bin Sirin menjawab, "Iya, saya bersumpah karena saya tahu bahwa orang itu memang telah berdusta. Jika saya tidak bersumpah, berarti ia akan memakan barang yang haram."
Dipanggil Gubernur Iraq- Di lain waktu ia dipanggil oleh Umar bin Hubairah, Gubernur Irak. Gubernur menyambut kedatangannya dengan meriah. Setelah berbasa-basi sejenak, Hubairah bertanya kepadanya, "Bagaimana pendapat Syaikh tentang kehidupan di negeri ini?"
Dengan penuh keberanian, ia menjawab pertanyaan gubernur, "Kezaliman hampir merata di negeri ini. Saya melihat anda selaku pemimpin kurang perhatian terhadap rakyat kecil." Belum lagi Muhammad bin Sirin selesai berbicara, salah seorang keponakannya yang juga ikut ke istana gubernur mencubit lengan sang syaikh, sebagai isyarat agar Muhammad bin Sirin menghentikan kritikan pedasnya kepada sang gubernur. Dengan tegas ia berkata kepada keponakannya itu, "Diamlah engkau, kalau saya tidak mengkritik gubernur, maka nanti sayalah yang akan ditanya di akhirat. Apa yang saya lakukan merupakan persaksian dan amanah umat. Barangsiapa menyembunyikan amanah ini, niscaya ia berdosa."
Sang gubernur sempat termenung sejenak karena terperangah dengan teguran keras dari salah seorang rakyatnya. Tapi ia segera sadar bahwa ia harus bertanggung jawab untuk mengatasi keadaan yang menyedihkan yang menimpa negerinya.
Setelah beberapa saat berada di istana gubernur, ia segera mohon pamit untuk pulang. Gubernur hendak memberikan uang kepadanya sebesar 40 ribu dirham. Tapi ia malah menolaknya. Keponakannya merasa heran mengapa ia harus menolak pemberian itu. Lagi-lagi ia mengingatkan kepada keponakannya seraya berkata, "Ketahuilah, dia memberi hadiah kepadaku karena dia menyangka aku adalah orang yang baik. Kalau aku baik, maka tidak pantas untuk menerima uang itu. Sedangkan jika aku tidak sebaik yang ia sangka, lebih tidak pantas lagi aku mengambilnya."
Bangkai tikus dalam kaleng minyak sayur - Suatu ketika ia membeli minyak sayur dalam jumlah besar untuk kepentingan usaha perdagangannya. Ia membelinya dengan sistem kredit. Ketika salah satu kaleng minyak itu dibuka, di dalamnya didapatkan bangkai tikus yang sudah membusuk. Sejenak ia mulai berpikir, apakah ia harus mengembalikannya atau tidak, sesuai dengan perjanjian yang mengatakan, "Apabila terdapat aib pada barangnya, maka ia berhak mengembalikannya." Tapi, ia mengkhawatirkan tentang sesuatu. Apabila ia mengembalikannya, tentu si pedagang minyak sayur itu akan menjualnya kepada orang lain lagi.
Sedangkan tempat pembuatan minyak hanya satu. Sudah barang tentu seluruh minyak telah tercemar oleh bangkai tikus itu. Jika dijual kepada orang lain, maka akan tersebarlah bangkai dan najis itu ke setiap orang. Atas pertimbangan tersebut, maka dibuanglah seluruh minyak itu. Ketika datang penjual minyak itu untuk menagih, ia tidak memiliki uang. Ia segera diadukan kepada qadi (hakim pengadilan). Maka ia pun dipanggil untuk diadili. Setelah itu ia dipenjarakan karena kasus tersebut.
Di dalam penjara, petugas merasa sangat kasihan kepadanya. Karena petugas menilainya sebagai orang shalih. Suara tangis yang mengiringi setiap shalat dan munajatnya selalu terdengar oleh petugas tersebut. Setelah memandang iba kepadanya, penjaga penjara itu berkata kepadanya, "Syaikh, bagaimana kalau saya menolong anda. Saat malam anda boleh pulang ke rumah. Keesokannya anda datang lagi ke sini. Apa anda setuju?" Ia menjawab, "Kalau engkau melakukan demikian, maka engkau telah berlaku khianat. Saya tidak setuju."
Sebelum wafat, Anas sempat berwasiat agar yang memandikan dan menguburkannya adalah Muhammad bin Sirin. Salah seorang kerabat Anas bin Malik memohon kepada petugas penjara agar Muhammad bin Sirin diizinkan menunaikan wasiat gurunya. Petugas mengizinkannya. Tetapi, Muhammad bin Sirin berkata, "Saya dipenjara bukan karena penguasa. Tapi karena pemilik barang. Saya tidak akan keluar sampai pemilik barang mengizinkannya.
Setelah pemilik barang mengizinkannya, berangkatlah ia ke tempat Anas bin Malik dibaringkan. Usai mengurus jenazah Anas bin Malik, ia kembali ke penjara tanpa mampir ke rumahnya barang sejenak pun.
Wafatnya Muhammad bin Sirin
Beliau wafat pada usia ke 77 tahun, tahun 110 H.
Sumber:
Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009
Muhammad Bin Sirin Dan Kejujuran Dalam Setiap Langkahnya, www.suaramedia.comhttps://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2014/09/Muhammad-bin-Sirin-Salah-Seorang-Ulama-Besar-dari-Kalangan-Tabiin.html
Muhammad bin Sirin rahimahullah .:. Imam dalam Ilmu dan wara'
Muhammad bin Sirin
Imam dalam ilmu dan wara’
Majalah al-Furqan 4/11: 65-67 ::::: Ustadz Abu Faiz hafizhahullaah
Beliau adalah Abu Bakr Muhammad bin Sirin al-Anshari, ayah beliau yaitu Sirin adalah Abu Amrah maula (bekas budak) Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu sang pelayan Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah ayahanda beliau Abu Amrah Sirin al-Anshari dibebaskan dari perbudakan lalu tampaklah keinginan pada diri beliau untuk menyempurnakan separuh agamanya, maka mulailah ia mencari seorang wanita yang akan menjadi pendampingnya hingga jatuhlah pilihan beliau pada seorang wanita mulia maula (bekas budak) Abu Bakr ash-Shiddiqradhiyallaahu ‘anhu, dialah Shafiyyah seorang wanita cantik nan cerdas yang dikenal memiliki akhlak yang tinggi dan sangat dicintai oleh para ummahatul mukminin terlebih-lebih Ibunda ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa.
Maka segeralah Sahabat Abu Bakr radhiyallaahu ‘anhu mencari berita tentang agama dan akhlak sang peminang (Sirin-red), seperti layaknya seorang ayah yang hendak menikahkan putrinya. Hingga Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu mengatakan kepada beliau, “Nikahkanlah keduanya wahai Abu Bakr karena aku mengenalnya adalah seorang yang baik agama dan akhlaknya.” Maka menikahlah keduanya dengan dipersaksikan ileh para sahabat kibar (senior) dan dido’akan kebaikan. (Lihat Suwar min Hayaat ash-shahaabah124)
Muhammad bin Sirin dilahirkan pada dua tahun terakhir dari kekhalifahan Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu –atau ada yang mengatakan dari kekhalifahan Utsman bin Affan radhiyallaahu ‘anhu– namun al-Imam adz-Dzahabi menegaskan pendapat kedua itu lebih tepat, karena kalau seandainya beliau lahir pada masa kepemimpinan Umarradhiyallaahu ‘anhu maka beliau akan seumur dengan al-Hasan bin Ali padahal kenyataannya Muhammad bin Sirin lebih muda beberapa tahun dari al-Hasan. (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/6o7)
Beliau adalah salah satu ulama tabi’in ynag terkemuka, seorang yang Allah Ta’alaa beri kecerdasan akal, ketinggian akhlak, kemuliaan wara’, penyantun kepada manusia, ahli ibadah di malam hari, dan ahli puasa di siang harinya.’
Muhammad bin Jarir ath-Thahari rahimahullaah berkata, “Ibnu Sirin adalah seorang yang faqih, ‘alim, wara’, berakhlak tinggi, dan memiliki banyak hadits yang dipersaksikan oleh para ahlul ilmi dan kemuliaan.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/601)
PUJIAN ULAMA KEPADA BELIAU
Setelah Muhammad bin Sirin tumbuh menjadi seorang pemuda yang dididik dalam sebuah rumah yang sangat memperhatikan kedislipinan akhlak dan wara’ (menjaga diri melakukan keharaman Allah Ta’alaa), maka mulailah ia belajar dan menimba ilmu kepadakibar (pembesar) sahabat dan menjadikan masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallamsebagai madrasah hingga ia menjadi slah satu pemuda terbaik dari didikan para sahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam .
Dari Utsman al-Bhitti ia berkata. “Tidak ada di kota Bashrah seorang pun yang mengetahui tentang putusan hukum selain Muhammad bin Sirin.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/6o8)
Dari Hisyam bin Hassan berkata, “Telah menceritakan hadits kepadaku seorang yang paling jujur yang pernah aku jumpai, beliau adalah Muhammad bin Sirin.” (Tahdzibul Kamaal25/350)
Berkata al-Ajli, “Muhammad bin Sirin adalah seorang tabi;in tsiqah (terpecaya) dan lebih banyak meriwayatkan hadits dibanding qadhi Syuraih dan Ubaidah.” (Tahdzibul Kamaal 25/350)
Dari Ibnu Aun ia berkata, “Ada tiga orang yang kedua mataku tidak pernah melihat orang lain yang semisal mereka, yaitu Ibnu Sirin di Irak, al-Qasim bin Muhammad di Hijaz, dan Raja’ bin Haiwah di Syam. Seolah-olah mereka pernah bertemu lalu saling berwasit untuk mengajarkan ilmu.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/464)
POTRET IBADAH DAN KEWARA’AN BELIAU
Bersikap Waro’ dari keharaman-keharaman Allah ‘Azza wa Jalla adalah seperti barang yang langka di zaman ini, namun itu tidak pada zaman keemasan, zaman kejayaan islam, tiga generasi pertama dari umat ini. Dan diantara imam dalam waro’, sangat berhati-hati dalam berfatwa dan juga ahli ibadah adalah imam tabi’in Muhammad bin Sirin.
Dari Ayyub bin Hisyam: “Ibnu Sirin selalu sehari puasa dan seharinya lagi berbuka dan demikian seterusnya.” (Thabaqat Ibnu Sa’d 7/200)
Berkata Anas bin Sirin: “Adalah Muhammad bin Sirin memiliki kebiasaan membaca do’a-do’a tertentu di waktu malam dan bila terluputkan maka beliau menggantinya di siang harinya”. (Thabaqat Ibnu Sa’d 7/200)
Berkata Bakr bin Abdillah al-Muzani: “Barangsiapa ingin melihat seorang yang paling waro’ yang pernah aku jumpai, maka lihatlah Muhammad bin Sirin”. (Siyar A’lam an-Nubala’4/614)
Berkata al Khothib al Baghdadi: “Muhammad bin Sirin adalah salah satu tokoh ahli fiqh terkemuka di kota Bashroh, dan beliau adalah seorang ulama yang dikenal dalam kewaroannya di zamannya”. (Tarikh Baghdad 5/300)
Dari Abdul Hamid bin Abdillah bin Muslim bin Yasar ia berkata: “Tatkala Muhammad bin Sirin dijebloskan ke penjara, (karena iba) Sang penjaga mengatakan kepada beliau: ‘Apabila datang waktu malam (Kalau engkau mau-Pent) pulanglah ke keluargamu lalu di waktu subuh segera kembali lagi’. Namun berkata Muhammad bin Sirin: ‘Tidak, saya tidak mau tolong-menolong dalam mengkhianati sulthon (pemimpin)”. (Tarikh Baghdad 6/334)
Dari Asy’ah ia berkata: “Adalah Ibnu Sirin apabila beliau ditanya tentang masalah yang berkenaan dengan halal dan harom maka tiba-tiba berubah raut wajahnya, hingga seolah-olah ia bukan seperti sebelumnya”. (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/613)
SIKAP BELIAU KEPADA AHLU BID’AH
Seorang sunni tidak akan pernah membiarkan ahlul bid’ah, ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu) berkeliaran di muka bumi ini, karena pada hakikatnya mereka merusak bukan memperbaiki, mengubur sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan menjunjung tinggi ajaran beliau. Sekalipun tampaknya ucapan-ucapan mereka dihiasi dengan senyuman, dibalut dengan keindahan bahasa ilmiah, sebenarnya mereka sedang menghembuskan racun yang berbahaya lagi mematikan. Maka, mari kita melihat panutan kita dalam bermu’amalah kepada ahlul bid’ah.
Dari Syu’aib bin al-Hibhab ia berkata, “Aku pernah bertanya kepada Ibnu Sirin, ‘Apa pendapatmu bila seorang mendengarkan ucapan seorang ahlul ahwa’ (pengekor hawa nafsu)?’ Beliau menjawab, ‘Kita tidak boleh mendengarkan ucapannya, dan tidak ada kemuliaan pada diri mereka.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/611)
Dari Ibnu Aun ia berkata, “Datang seorang laki-laki menemui Muhammad bin Sirin lalu berbicara miring seputar masalah takdir, lalu beliau membaca ayat Allah ‘azza wa jalla:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِتَاىءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ – النحل: 90
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.(QS. An-Nahl [15]: 90)
Kemudian beliau memasukkan dua jarinya ke telinganya sseraya mengatakan. “Silakan, engkau yang pergi atau aku yang akan meninggalkanmu.” Lalu laki-laki itu pun pergi meninggalkan beliau, kemudian beliau berkata, “Sesungguhnya hatiku bukan atas kuasaku, dan aku khawatir jangan-jangan ia menghembuskan syubhat ke dalam hatiku sedang aku tidak mampu menolaknya, maka aku lebih senang untuk tidak mendengar ucapan-ucapannya.” (Thabaqat Ibn Sa’d 7/197)
KEAHLIAN DALAM MENYIBAK TABIR MIMPI
Kejernihan hati seseorang, kebeningan tujuan dan harapan, sserta kecerdasan akal yang tidak ternodai, terkadang akan tampak pada kemahiran dalam menilai dan keberkahan pada setiap apa yang ia pilih dan tentukan. Menyibak tabir mimpi adalah karunia ilahi yang tidak bisa di pelajari di bangku-bangku sekolah atau di meja-meja para dosen, namun hal itu merupakan pemberian mutlak dan karunia Allah ‘azza wajalla sebagai salah satu wujud pertolongan-Nya, kepada hamba-Nya yang Dia ridhai.
Berkata al-Imam adz-Dzahabi rahimahullaah , “Sungguh pada diri Muhammad bin Sirin banyak keajaiban, yang bila dibukukan maka akan sangat panjang, maka itu merupakan pertolongan ilahi kepada beliau.” (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/618)
Dari Abdullah bin Muslim al-Marwazi, “Dahulu aku selalu bermajelis kepada Muhammad bin Sirin, lalu aku pindah dan bermajelis kepada al-Ibadiyah, lalu aku melihat dalam mimpi seolah-olah aku bersama suatu kaum yang memikul jenazah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu aku balik menemui Ibnu Sirin dan aku ceritakan hal itu lalu beliau menjawab, ‘Mengapa engkau ikut bermajelis dengan orang-orang yang hendak menguburkan apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.’” (Siyar A’lam an-Nubala’ 4/617)
Dari abu Qilabah ia berkata, “Ada seorang yang datang kepada Ibnu Sirin lalu berkata, ‘aku bermimpi seakan-akan aku kencing darah.’ Lalu beliau berkata, ‘Apakah engkau mendatangi istrimu sedang ia dalam keadaan haid?’ Ia menjawab, ‘Benar.’ Lalu beliau mengatakan, ‘Bertakwalah kepada Allah ‘azza wa jalla, dan jangan engkau ulangi.’” (Hilyatul Auliya’ 2/227)
Dari Mubarak bin Yazid al-Bashri ia berkata, “Ada seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu Sirin, ‘Sungguh aku melihat dalam mimpiki seolah-olah aku terbang di antara langit dan bumi.’ Lalju beliau menjawab, ‘Engkau adalah seorang yang banyak berkhayal.’” (Hilyatul Auliya’ 2/228)
Akhirnya, beliau meninggal dunia pada bulan Syawal tahun 110 H dengan meninggalkan berbagai warisan ilmu, akhlak, dan qudwah hasanah, yang selayaknya bagi seluruh kaum muslimin mencontoh dan meneladani para salaf mereka yang shalih. Semoga Allah ‘azza wa jalla merahmati Muhammad bin Sirin dan menempatkan beliau di tempat yang tinggi di sisi Rabb-Nya . Aamiin.
MUTIARA TELADAN
Beberapa catatan penting dari perjalanan hidup beliau yang hendaknya menjadi qudwah(teladan) bagi kita adalah:
1. Termasuk Kebaikan Islam seseorang adalah hendaknya seorang muslim berusaha untuk selalu memupuk keimanannya dan menjauh dari syubhat dan kerancuan yang dapat meracuni pemahamannya dari ajaran yang haq, yang hal itu selalu dihembuskan oleh ahlul ahwa’, maka meninggalkan mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai teman adalah sebuah tindakan preventif yang diajarkan oleh para salaf kita. Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga telah mengisyaratkan dalam sabdanya:
الرَجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ
“Seorang itu sesuai dengan agama teman akrabnya, maka hendaklah masing-masing kalian melihat siapa teman akrabnya.” (HR. Abu Dawud 4/259, at-Tirmidzi 4/589)
2. Takwa dan wara’ adalah perhiasan seorang muslim yang hakiki. Keikhlasan dalam menuntut dan mangamalkan ilmu akan terbiaskan dalam amal perbuatannya sehingga menghasilkan buah takwa yang indah dan wara’ yang tinggi.
3. Barangsiapa yang menolong agama Allah ‘azza wajalla maka Allah ‘azza wajalla akan menoloong dirinya baik di dunia maupun di akhirat, sehingga Allah ‘azza wajalla akan menundukkan hati-hati manusia untuk menerima seruannya dan akan memberikan keutamaan-Nya yang hanya diberikan kepada orang-orang yang Allah ‘azza wajallakehendaki dari hamba-hamba-Nya yang shalih.[]
Selesai diketik ulang oleh:
Abu Hanifah Farmanaa ibnu Mulyatnaw as-Sukawharjiy
Solo, 24 Muharram 1433
hikmah-salaf.blogspot.com/2012/02/muhammad-bin-sirin-rahimahullah-imam.html
Muhammad Bin Sirin
“Aku tidak pernah melihat seseorang lebih faqih dalam wara’nya, dan lebih wara’ dalam fiqihnya” (Muriq Al-’Ijly)
Sirin telah ber’azam (bertekad kuat) untuk melengkapi separuh agamanya (menikah) setelah Anas bin Malik RA. memerdekakannya dan setelah pekerjaannya bisa menghasilkan banyak keuntungan dan harta yang berlimpah.
Sirin adalah seorang pandai besi yang mahir dan piawai dalam membuat panci.
Pilihannya telah jatuh pada seorang budak wanita Amirul Mukminin, Abu Bakar as-Shiddiq RA., yang bernama Shofiyyah untuk menjadi istrinya.
Shofiyyah adalah budak wanita yang masih muda belia, wajahnya bercahaya, akalnya cerdas, mulia tabiatnya, luhur akhlaknya dan dicintai oleh setiap wanita Madinah yang mengenalnya.
Pilihannya telah jatuh pada seorang budak wanita Amirul Mukminin, Abu Bakar as-Shiddiq RA., yang bernama Shofiyyah untuk menjadi istrinya.
Shofiyyah adalah budak wanita yang masih muda belia, wajahnya bercahaya, akalnya cerdas, mulia tabiatnya, luhur akhlaknya dan dicintai oleh setiap wanita Madinah yang mengenalnya.
Tidak ada bedanya dalam hal itu antara remaja-remaja putri yang seusia dengannya dan antara ibu-ibu yang sudah berumur namun menganggapnya selevel dengan mereka dalam hal kecerdasan akal dan keluhuran akhlak.
Di antara wanita-wanita yang paling mengasihinya adalah istri-istri Rasul SAW terlebih lagi Sayyidah Aisyah RA.
Sirin datang menghadap Amirul mu’minin, lalu melamar budak wanitanya, shofiyyah.
Sementara Abu Bakar ash-Shiddiq RA segera mencari tahu tentang agama dan akhlak si pelamar layaknya seorang ayah yang amat mengasihi saat mencari tahu kondisi si pelamar anak perempuannya.
Sementara Abu Bakar ash-Shiddiq RA segera mencari tahu tentang agama dan akhlak si pelamar layaknya seorang ayah yang amat mengasihi saat mencari tahu kondisi si pelamar anak perempuannya.
Dan itu tidaklah aneh, sebab Shofiyyah bagi dirinya sama posisinya dengan posisi seorang anak bagi ayahnya. Di samping itu, dia adalah amanat yang Allah titipkan di pundaknya.
Lalu Abu Bakar mulai meneliti dengan sangat cermat kondisi Sirin dan menelusuri secara detail riwayat hidupnya.
Karena itu, orang pertama yang beliau tanyai mengenai siapa dirinya adalah Anas bin Malik RA.
Maka Anaspun berkata kepadanya,
“Nikahkanlah Shofiyyah dengannya wahai Amirul Mukminin, dan engkau jangan khawatir dia akan bertindak kasar terhadapnya. Yang aku ketahui darinya hanyalah orang yang benar agamanya, mengesankan akhlaqnya dan sempurna maruah dan kelelakiannya.
“Nikahkanlah Shofiyyah dengannya wahai Amirul Mukminin, dan engkau jangan khawatir dia akan bertindak kasar terhadapnya. Yang aku ketahui darinya hanyalah orang yang benar agamanya, mengesankan akhlaqnya dan sempurna maruah dan kelelakiannya.
Dia sudah terbina dengan pendidikanku sejak ditawan oleh Khalid bin Al-Walid pada perang “’Ain at-Tamr” [Sebuah kawasan yang terletak bagian selatan Kufah, berhasil ditaklukkan Khalid bin al-Walid pada masa kekhilafahan Abu Bakar] bersama empat puluh orang anak-anak lainnya, lalu dia membawa mereka ke Madinah. Kebetulan, Sirin adalah bagianku dan aku merasa beruntung mendapatkannya.”
Akhirnya Abu Bakar ash-Shiddiq RA setuju atas pernikahan Shofiyyah dengan Sirin dan bertekad untuk memperlakukannya secara baik sebagaimana perlakuan baik seorang ayah terhadap anak yang paling dikasihinya. Karena itu, dia mengadakan pesta perkawinan yang meriah, yang amat jarang ada wanita-wanita Madinah kala itu yang bernasib baik seperti ini.
Hadir sebagai undangan pesta pernikahan itu sejumlah besar para pembesar shahabat. Di antara mereka ada sebanyak 18 orang Ahli Badar. Juga turut mendoakannya, penulis wahyu Rasulullah, Ubay bin Ka’b dan diamini doanya oleh para undangan.
Bukan itu saja, bahkan tiga orang Ummahatul Mukminin turut menempelkan wewangian ke badannya dan meriasnya ketika akan dipersandingkan dengan calon suami.
Sebagai buah dari pernikahan yang diberkahi tersebut, lahirlah dari kedua orangtua tersebut seorang anak yang sepanjang 20 tahun menjadi salah satu dari bintang para Tabi’in dan tokoh tiada duanya dari kalangan kaum Muslimin pada masanya. Dia lah Muhammad bin Sirin.
Mari kita mulai kisah kehidupan seorang Tabi’i yang agung ini dari mula pertama.
Muhammad bin Sirin dilahirkan dua tahun menjelang berakhirnya kekhilafahan, Amirul Mukminin, ‘Utsman bin ‘Affan RA.
Muhammad bin Sirin dilahirkan dua tahun menjelang berakhirnya kekhilafahan, Amirul Mukminin, ‘Utsman bin ‘Affan RA.
Dididik di sebuah rumah yang dipenuhi oleh sifat wara’ dan taqwa dari segala sudutnya.
Dan ketika sudah menginjak usia baligh, si anak yang baik pekerti dan cerdas ini mendapatkan masjid Rasulullah SAW., disesaki oleh sisa-sisa para shahabat yang mulia dan para senior kalangan Tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin Malik, ‘Imran al-Hushain, ‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin az-Zubair dan Abu Hurairah.
Maka dia pun menyongsong mereka layaknya orang yang haus menyongsong sumber air yang demikian bening. Menimba ilmu Kitabullah, Fiqhuddin (memahami agama) dan periwayatan hadits dari mereka, sehingga hal itu dapat mengisi akalnya dengan hikmah dan ilmu serta memerisai dirina dengan keshalihan dan kelurusan (berpetunjuk).
Kemudian keluarganya membawa pemuda yang langka ini pindah ke Bashrah, untuk kemudian menjadi tempat menetap mereka. Ketika itu, Bashrah masih merupakan kota yang baru dibuka. Kaum Muslimin berhasil membukanya pada akhir-akhir kekhilafahan ‘Umar, al-Faruq, RA.
Pada masa itu, Bashrah masih merupakan kota yang mewakili karakteristik umat Islam. Ia merupakan pangkalan militer tentara kaum Muslimin yang berperang di jalan Allah. Ia merupakan pusat pengajaran dan penyuluhan bagi orang-orang dari penduduk Iraq dan Persia yang masuk Islam. Ia adalah potret masyarakat Islam yang bekerja keras di dalam beramal untuk dunia seakan hidup selama-lamanya dan beramal untuk akhirat seakan-akan kematian menjelang esok hari.
Di dalam menempuh hidupnya yang baru di Bashrah, Muhammad bin Sirin mengambil dua cara yang berimbang dan transparan: pertama, memfokuskan pada separuh harinya untuk menimba ilmu dan beribadah. Kedua, memperuntukkan sebagiannya lagi untuk mencari rizki dan berbisnis.
Bila fajar telah menyingsing dan dunia telah memancarkan cahaya Rabb-nya, beliau berangkat ke masjid untuk mengajar dan belajar hingga bila matahari sudah naik, beliau beranjak dari masjid menuju pasar untuk berjual-beli.
Bilamana malam telah tiba dan sudah mengibar tabir untuk menyelimuti alam semesta, beliau berbaris di Mihrab rumahnya, merundukkan tulang punggung guna mengulang juz-juz al-Qur’an dan menangis karena takut kepada Allah dengan linangan air mata kedua mata dan hatinya. Sampai-sampai keluarga dan para tetangga dekatnya merasa kasihan terhadapnya lantaran seringnya mereka mendengar tangisanya yang seakan memutus urat nadi hati.
Sekalipun biasa berkeliling ke pasar pada siang hari untuk berjual-beli, namun beliau senantiasa mengingatkan manusia akan akhirat dan membuka mata mereka akan fitnah dunia. Beliau biasa bercerita kepada mereka dengan cerita menarik dan membimbing mereka kepada hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah serta memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara mereka.
Terkadang dalam satu dan lain kesempatan, beliau bercerita kepada mereka dengan cerita yang enak didengar sehingga mampu menghapuskan keburaman jiwa mereka tanpa harus mengurangi kewibawaan dan keagungan citra beliau di sisi mereka.
Allah telah menganugerahi beliau sebagai sosok penuntun dan geliat Ahli kebajikan serta mengaruniai beliau sebagai orang yang dapat diterima dan punya pengaruh.
Manakala orang-orang yang tengah tenggelam dalam suasana dan lalai kebetulan melihat beliau di pasar, mereka jadi tersadar lantas mengingat Allah, bertahlil dan bertakbir.
Riwayat hidup yang beliau praktikkan merupakan tuntuan yang baik bagi manusia. Tiadalah dua hal yang dihadapinya di dalam perniagaannya kecuali beliau akan mengambil mana di antara keduanya yang lebih menambat dirinya dengan agamanya sekalipun mengakibatkan kerugian duniawi bagi dirinya.
Pemahamannya yang detail terhadap rahasia-rahasia agama dan kebenaran pandangannya terhadap hal mana yang halal dan haram terkadang mendorongnya untuk mengambil sebagian sikap yang tampaknya aneh bagi manusia.
Salah satunya adalah kisah seorang laki-laki yang menuduhnya punya hutang kepadanya sebanyak dua dirham secara dusta, namun beliau menolak untuk memberikannya.
Lalu laki-laki itu berkata kepadanya, “Anda bersedia untuk bersumpah.?” Sementara orang itu mengira bahwa beliau tidak akan bersumpah karena hanya uang dua dirham saja.
“Ya, aku bersedia.” Jawabnya sembari bersumpah setelah itu.
“Ya, aku bersedia.” Jawabnya sembari bersumpah setelah itu.
Maka orang-orang pun berkata kepadanya, “Wahai Abu Bakar! Apakah kamu akan bersumpah juga untuk uang yang hanya dua dirham itu.?”
“Ya, aku akan bersumpah. Sebab, aku tidak ingin memakan hal yang haram sementara aku tahu bahwa ia haram.” Katanya.
“Ya, aku akan bersumpah. Sebab, aku tidak ingin memakan hal yang haram sementara aku tahu bahwa ia haram.” Katanya.
Majlis yang diisi oleh Ibn Sirin adalah majlis kebajikan dan penuh dengan wejangan. Bila disinggung nama seseorang yang berbuat kejahatan di sisinya, beliau langsung mengingatkan orang itu dengan penyelesaian yang dia tahu itu adalah terbaik baginya.
Bahkan, suatu ketika beliau mendengar ada salah seorang yang mencaci maki al-Hajjaj (bin Yusuf ats-Tsaqafy, salah seorang penguasa Bani Umayyah yang amat tirani. Para sejarawan banyak memuat kisah kebengisan, kekejaman dan kebiadabannya) sepeninggalnya, maka dia menyongsong orang tersebut sembari berkata kepadanya,
“Diam, wahai saudaraku!!!. Sebab al-Hajjaj sudah berpulang ke Rabb-nya. Sesungguhnya dosa paling hina yang engkau lakukan akan engkau dapatkan ketika menghadap Tuhanmu lebih berat bagimu ketimbang dosa paling besar yang dilakukan al-Hajjaj. Masing-masing kalian akan sibuk dengan dirinya sendiri. Ketahuilah, wahai anak saudaraku, bahwa Allah pasti akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan al-Hajjaj untuk orang-orang yang pernah dizhaliminya. Demikian pula, Dia akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan oleh mereka untuknya. Jadi, janganlah sekali-kali engkau menyibukkan dirimu dengan mencaci-maki siapapun.”
“Diam, wahai saudaraku!!!. Sebab al-Hajjaj sudah berpulang ke Rabb-nya. Sesungguhnya dosa paling hina yang engkau lakukan akan engkau dapatkan ketika menghadap Tuhanmu lebih berat bagimu ketimbang dosa paling besar yang dilakukan al-Hajjaj. Masing-masing kalian akan sibuk dengan dirinya sendiri. Ketahuilah, wahai anak saudaraku, bahwa Allah pasti akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan al-Hajjaj untuk orang-orang yang pernah dizhaliminya. Demikian pula, Dia akan membalaskan kezhaliman yang dilakukan oleh mereka untuknya. Jadi, janganlah sekali-kali engkau menyibukkan dirimu dengan mencaci-maki siapapun.”
Bila ada orang yang berpamitan kepadanya untuk suatu perjalanan bisnis, beliau selalu berpesan kepadanya,
“Bertakwalah kepada Allah, wahai anak saudaraku! Carilah rizki ditakdirkan kepadamu dengan cara yang halal. Ketahuilah bahwa jika engkau mencarinya tanpa cara yang halal, niscaya kamu tidak akan mendapatkannya lebih banyak dari apa yang telah ditakdirkan kepadamu.”
“Bertakwalah kepada Allah, wahai anak saudaraku! Carilah rizki ditakdirkan kepadamu dengan cara yang halal. Ketahuilah bahwa jika engkau mencarinya tanpa cara yang halal, niscaya kamu tidak akan mendapatkannya lebih banyak dari apa yang telah ditakdirkan kepadamu.”
Muhammad bin Sirin memiliki catatan sejarah yang dapat dibuktikan dan amat masyhur di dalam menghadapi penguasa Bani Umayyah dimana beliau berani mengucapkan kebenaran dan dengan ikhlash memberikan nasehat bagi Allah, Rasul-Nya serta para pemimpin kaum Muslimin.
Di antara contohnya, kisah ‘Umar bin Hubairah al-Fazary, salah seorang tokoh besar Bani Umayyah dan penguasa kawasan Iraq yang mengirimkan surat untuk mengundangya berkunjung kepadanya. Maka, beliaupun datang menjumpainya bersama anak saudaranya.
Tatkala beliau datang, sang penguasa ini menyambungnya dengan hangat, memberikan penghormatan untuk kedatangannya, meninggikan tempat duduknya serta menanyakannya seputar beberapa masalah agama dan dien, kemudian berkata kepadanya,
“Bagaimana kondisi penduduk negerimu saat engkau meninggalkannya, wahai Abu Bakar?.”
“Bagaimana kondisi penduduk negerimu saat engkau meninggalkannya, wahai Abu Bakar?.”
“Aku tinggalkan mereka dalam kondisi kezhaliman meraja lela terhadap mereka dan kamu lalai terhadap mereka.” Katanya. Karena ucapan ini, anak saudaranya memberikan isyarat dengan pundaknya. Lalu beliau menoleh ke arahnya sembari berkata, “Engkau bukanlah orang yang kelak akan dipertanyakan tentang mereka tetapi akulah orang yang akan dipertanyakan itu. Ini adalah persaksian, siapa yang menyembunyikannya, maka hatinya berdosa.” (dengan mengutip untaian ayat 283 surat al-Baqarah)
Ketika pertemuan itu bubar, ‘Umar bin Hubairah mengucapkan selamat berpisah kepadanya dengan perlakuan yang sama saat menyambutnya, yaitu dengan penuh kehangatan dan penghormatan.
Bahkan dia memberikannya sebuah kantong berisi uang 3000 dinar, namun Ibn Sirin tidak mengambilnya.
Karena penolakan itu, anak saudaranya berkata kepadanya,
“Apa sih yang menyebabkanmu tidak mau menerima pemberian Amir?.”
“Apa sih yang menyebabkanmu tidak mau menerima pemberian Amir?.”
“Dia memberiku karena baik sangkanya terhadapku. Jika aku benar termasuk orang-orang yang baik sebagaimana sangkaannya, maka tidaklah pantas bagiku untuk menerimanya. Bila aku tidak seperti yang disangkanya itu, maka adalah lebih pantas lagi bagiku untuk tidak membolehkan menerima itu.”
Sudah menjadi kehendak Allah untuk menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin. Karena itu, Dia mengujinya dengan ujian yang biasa dihadapi oleh orang-orang beriman.
Di antaranya, bahwa suatu hari beliau membeli minyak secara kredit dengan harga 40.000 dinar. Tatkala dia membuka salah satu tutupan wadah minyak yang terbuat dari kulit itu, dia mendapatkan seekor tikur yang mati dan sudah membusuk. Beliau berkata di dalam hatinya, “Sesungguhnya semua minyak ini berasal dari satu tempat penyaringan. Najis yang ada bukan hanya ada di dalam satu wadah ini saja. Jika, aku kembalikan kepada si penjual karena alasan ada aibnya, barangkali saja dia akan menjualnya lagi kepada orang lain.” Kemudian beliau menumpahkan semuanya.
Hal itu terjadi di saat beliau mengalami kerugian besar sehingga dililit hutang. Ketika pemilik minyak itu menagih uangnya, beliau tidak dapat mengembalikannya.
Maka, masalah itupun diadukan kepada penguasa di sana yang lalu memerintahkan agar mengurung beliau hingga mampu membayar hutang tersebut.
Ketika berada di penjara dan mendekam di situ beberapa lama, sipir penjaga penjara merasa kasihan terhadapnya karena mengetahui betapa kemapanan ilmu agamanya, kewara’annya yang amat berlebihan serta ibadahnya yang demikian panjang. Maka berkatalah sipir itu kepadanya,
“Wahai tuan guru, bilamana sudah malam, silahkan engkau kembali ke keluargamu dan bermalamlah bersama mereka. Bila sudah pagi, maka kembalilah ke sini. Teruslah demikian hingga engkau dibebaskan.”
“Wahai tuan guru, bilamana sudah malam, silahkan engkau kembali ke keluargamu dan bermalamlah bersama mereka. Bila sudah pagi, maka kembalilah ke sini. Teruslah demikian hingga engkau dibebaskan.”
Beliau menjawab,
“Demi Allah, hal ini tidak akan pernah aku lakukan.”
“Kenapa? Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu.” Tanya sipir
“Demi Allah, hal ini tidak akan pernah aku lakukan.”
“Kenapa? Semoga Allah memberi petunjuk kepadamu.” Tanya sipir
“Yah, hingga aku tidak terlibat dalam bertolong-tolong atas pengkhiatan terhadap penguasa negeri ini.”
Ketika Anas bin Malik RA., dekat ajalnya, dia berwasiat agar yang memandikan dan mengimami shalat atasnya adalah Muhammad bin Sirin yang saat itu masih di penjara.
Tatkala Anas wafat, orang-orang mendatangi penguasa itu dan memberitakannya perihal wasiat shahabat Rasulullah SAW., dan Khadim-nya tersebut, lalu mereka meminta izinnya agar membiarkan Muhammad bin Sirin ikuat bersama mereka untuk merealisasikan wasiat itu, maka sang penguasa pun mengizinkannya.
Lantas berkatalah Muhammad bin Sirin kepada mereka,
“Aku tidak akan keluar hingga kalian meminta izin juga kepada si tukang minyak sebab aku dipenjara hanya karena ada hutang yang aku harus bayar kepadanya.” Maka si tukang minyakpun mengizinkannya juga.
“Aku tidak akan keluar hingga kalian meminta izin juga kepada si tukang minyak sebab aku dipenjara hanya karena ada hutang yang aku harus bayar kepadanya.” Maka si tukang minyakpun mengizinkannya juga.
Ketika itulah, beliau keluar dari penjara, kemudian memandikan dan mengkafani Anas RA. Setelah itu, dia kembali ke penjara sebagaimana biasanya dan tidak sempat menjenguk keluarganya sendiri.
Muhammad bin Sirin mencapai usia 77 tahun. Tatkala kematian menjemputnya, dia mendapatkan dirinya sudah enteng karena tidak memikul beban duniawi lagi namun memiliki bekal yang banyak untuk kehidupan setelah kematian.
Hafshoh bintu Rasyid yang merupakan salah seorang wanita ahli ‘ibadah bercerita,
“Adalah Marwan al-Mahmaly tetangga kami. Dia seorang ahli ibadah dan pegiat dalam berbuat ta’at. Ketika dia wafat, kami sedih luar biasa. Di dalam tidur aku bermimpi melihatnya, lalu aku bertanya kepadanya,
‘Wahai Abu ‘Abdillah, apa yang diperbuat Rabbmu terhadapmu.?’
“Adalah Marwan al-Mahmaly tetangga kami. Dia seorang ahli ibadah dan pegiat dalam berbuat ta’at. Ketika dia wafat, kami sedih luar biasa. Di dalam tidur aku bermimpi melihatnya, lalu aku bertanya kepadanya,
‘Wahai Abu ‘Abdillah, apa yang diperbuat Rabbmu terhadapmu.?’
‘Dia telah memasukkanku ke dalam surga.’jawabnya
‘Lalu apa lagi?.’ Tanyaku
‘Lalu aku dinaikkan untuk bertemu Ash-habul Yamin (Golongan kanan, ahli surga).’jawabnya lagi
‘Lalu apa lagi?.’ Tanyaku
‘Lalu aku dinaikkan untuk bertemu Ash-habul Yamin (Golongan kanan, ahli surga).’jawabnya lagi
‘Kemudian apa lagi.?’ Tanyaku lagi
‘Kemudian aku dinaikkan lagi untuk bertemu al-Muqarrabun (Generasi awal).’ Jawabnya lagi
‘Kemudian aku dinaikkan lagi untuk bertemu al-Muqarrabun (Generasi awal).’ Jawabnya lagi
‘Siapa saja yang engkau lihat ada di sana.?’ Tanyaku lagi
‘Ada al-Hasan al-Bashary dan Muhammad bin Sirin…’ Jawabnya.
‘Ada al-Hasan al-Bashary dan Muhammad bin Sirin…’ Jawabnya.
CATATAN:
Sebagai bahan tambahan mengenai biografi Muhammad bin Sirin, silahkan merujuk:
1. ath-Thabaqât al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Jld.III:385; IV:333; VI:27; VII:11,19,154 dan VIII: 246 dan halaman-halaman lainnya.
2. Shifah ash-Shafwah karya Ibnu al-Jauzy, Jld.III:241-248.
3. Hilyah al-Auliyâ` karya al-Ashfahâny, Jld.II:263-282.
4. Târîkh Baghdad karya al-Khathîb al-Baghdâdy, Jld.V:331.
5. Syadzarât adz-Dzahab, Jld.I:138-139.
6. Wafayât al-A’yân karya Ibnu Khalakân, Jld.III:321-322.
7. al-Wafayât karya Ahmad bin Hasan bin Ali bin al-Khathîb, h.109.
8. Al-Wâfy Bi al-wafayat karya ash-Shafady, Jld.III:146.
9. Thabaqât al-Huffâzh, Jld.III:9.
Sebagai bahan tambahan mengenai biografi Muhammad bin Sirin, silahkan merujuk:
1. ath-Thabaqât al-Kubra karya Ibnu Sa’d, Jld.III:385; IV:333; VI:27; VII:11,19,154 dan VIII: 246 dan halaman-halaman lainnya.
2. Shifah ash-Shafwah karya Ibnu al-Jauzy, Jld.III:241-248.
3. Hilyah al-Auliyâ` karya al-Ashfahâny, Jld.II:263-282.
4. Târîkh Baghdad karya al-Khathîb al-Baghdâdy, Jld.V:331.
5. Syadzarât adz-Dzahab, Jld.I:138-139.
6. Wafayât al-A’yân karya Ibnu Khalakân, Jld.III:321-322.
7. al-Wafayât karya Ahmad bin Hasan bin Ali bin al-Khathîb, h.109.
8. Al-Wâfy Bi al-wafayat karya ash-Shafady, Jld.III:146.
9. Thabaqât al-Huffâzh, Jld.III:9.
http://www.kisah.web.id/tokoh-islam/muhammad-bin-sirin.html
Muhammad Bin Sirin
Muhammad bin Sirin dilahirkan di Basrah tahun 33 H. Ia adalah maula Anas bin Malik. Ia pernah bertemu dengan 30 orang Sahabat Nabi saw.
Muhammad bin Jarir ath-Thabari berkata, “Ibnu Sirin adalah seorang ulama yang sangat fakih, ‘alim, wara’, berakhlak tinggi dan memiliki banyak hadis yang dipersaksikan oleh para ahlul ilmi dan kemuliaan.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 4/601).
Hal sama dikemukan oleh Ibnu Saad.
Tentang kefakihannya, Utsman al-Bhitti berkata. “Tidak ada di Kota Bashrah seorang pun yang paling memahami putusan hukum syariah selain Muhammad bin Sirin.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 4/6o8).
Bahkan Ibnu Yunus berkata, “Ibnu Sirin lebih pandai daripada Al-Hasan a-Bashri dalam berbagai hal.”
Ibn Sirin juga ahli ibadah. Ia selalu melakukan puasa Dawud (Ibn Saad, Ath-Thabaqat al-Kubra, 7/200).
Ia pun selalu banyak berzikir mengingat Allah SWT. Abu Awanah mengatakan, “Tak seorang pun melihat Ibn Sirin tanpa sedang berzikir kepada Allah SWT.” (Ibnu Hajar Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, 9/241)
Terkait kewaraannya, Bakr bin Abdillah al-Muzani berkata, “Siapa ingin melihat seorang yang paling wara’ yang pernah aku jumpai, lihatlah Muhammad bin Sirin”. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’ 4/614).
Al-Khathib al-Baghdadi juga berkomentar, “Muhammad bin Sirin adalah seorang ulama yang dikenal kewaraannya pada zamannya.” (Al-Baghdadi,Tarikh Baghdad, 5/300).
Terkait itu, Gubernur Irak pada zamannya, misalnya, pernah hendak memberikan uang kepada dirinya sebesar 40 ribu dirham (sekitar Rp 2,8 miliar). Namun, Ibn Sirin menolak. Keponakannya merasa heran, mengapa ia harus menolak pemberian itu. Ia mengingatkan keponakannya seraya berkata, “Ketahuilah, dia memberi aku hadiah karena dia menyangka aku ini orang baik. Kalau aku baik maka aku tidak pantas untuk menerima uang itu. Sebaliknya, jika aku tidak sebaik yang ia sangka, lebih tidak pantas lagi aku mengambil hadiah itu.” (Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in).
Dalam keseharian, Muhammad bin Sirin membagi waktunya untuk melakukan tiga aktivitas: beribadah, mencari ilmu dan berdagang. Sebelum subuh sampai waktu dhuha ia berada di Masjid al-Basrah. Di sana ia belajar dan mengajar berbagai pengetahuan Islam. Setelah dhuha hingga sore hari ia berdagang di pasar. Ketika berdagang ia selalu menghidupkan suasana ibadah dengan senantiasa melakukan zikir dan amar makruf nahi munkar. Malam harinya ia khususkan untuk bermunajat kepada Allah SWT.
Dalam menggeluti dunia perdagangan, ia sangat berhati-hati sekali. Ia khawatir kalau-kalau terjebak ke dalam masalah yang haram.
Suatu ketika, ada seseorang menagih hutang kepadanya sebanyak dua dirham. Ia sendiri tidak merasa berhutang. Orang tersebut tetap bersikukuh dengan tuduhannya. Dengan penuh paksa, ia meminta Muhammad bin Sirin untuk melakukan sumpah. Ketika ia hendak bersumpah, banyak orang yang merasa heran mengapa ia menuruti kemauan si penuduh itu. Salah seorang rekan Muhammad bin Sirin bertanya, “Syaikh, mengapa Anda mau bersumpah hanya untuk masalah sepele, dua keping dirham, padahal baru saja kemarin Anda telah merelakan 30 ribu dirham untuk diinfakkan kepada orang lain.”
Lantas Muhammad bin Sirin menjawab, “Iya, saya bersumpah karena saya tahu bahwa orang itu memang telah berdusta. Jika saya tidak bersumpah, berarti ia akan memakan barang yang haram.”
Terkait keberaniannya dalam menentang kemungkaran, Ibn Sirin pernah dipanggil oleh Gubernur Irak, Umar bin Hubairah. Gubernur menyambut kedatangannya dengan meriah. Setelah berbasa-basi sejenak, sang gubernur bertanya kepada, “Bagaimana pendapat Syaikh tentang kehidupan di negeri ini?”
Tanpa basa-basi, Ibn Sirin menjawab, “Kezaliman hampir merata di negeri ini. Saya melihat Anda selaku pemimpin kurang perhatian terhadap rakyat kecil.”
Belum lagi Muhammad bin Sirin selesai berbicara, keponakannya yang juga ikut ke istana gubernur mencubit lengan Muhammad bin Sirin agar ia menghentikan kritikan pedasnya kepada sang gubernur. Dengan tegas ia berkata kepada keponakannya itu, “Diamlah engkau! Kalau saya tidak mengkritik gubernur, nanti sayalah yang akan ditanya di akhirat. Apa yang saya lakukan merupakan persaksian dan amanah umat. Siapa saja yang menyembunyikan amanah ini, niscaya ia berdosa.” (Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, Shuwar min Hayah at-Tabi’in).
Kelebihan lainnya yang ada pada diri Ibnu Sirin adalah akhlak mulia yang senantiasa menghiasi kehidupannya. Ibnu Auf menuturkan, jika ada orang-orang yang menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Ibnu Sirin, maka ia justru menyebutkan hal terbaik dari orang itu yang ia ketahui.
Terkait akhlaknya pula, Hafshah binti Sirin mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Jika ia berkata-kata dengan ibunya, ia seperti seorang yang berbisik-bisik (sangat lembut) (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’).
Salah satu nasihat emas Muhammad bin Sirin yang sering dinukilkan oleh para ulama adalah ucapannya, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Muhammad bin Sirin meninggal dalam usia 77 tahun di Bashrah, seratus hari setelah Hasan al-Bashri wafat, yakni tahun 110 H. Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]
Muhammad Bin Sirin, Yang Paling Mengerti Tentang Peradilan
Chanelmuslim.com – Nama lengkapnya Muhammad bin Sirin, biasa dipanggil Abu Bakar. Ia dilahirkan di Bashrah tahun 33 H. ia adalah maula Anas bin Malik. Ia pernah bertemu dengan 30 orang sahabat. Hadits-hadits riwayatnya diriwayatkan oleh pengarang Kuttub As-Sittah.
Ia selalu melakukan puasa Daud, berpuasa sehari dan berbuka sehari .
Ia adalah orang yang diberi karunia, petunjuk, dan kewibawaan. Jika orang memandangnya, mereka akan dzikir mengingat Allah.
Ia pernah mengatakan, “Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia jadikan hati hamba-Nya sebagai nasehat yang menyuruhnya untuk berbuat makruf dan mencegahnya dari perbuatan munkar.”
Tentang Ibnu Sirin, Utsman Al-Batti pernah berkata, “Tidak ada seorang pun di Bashrah yang paling mengerti tentang peradilan selain Ibnu Sirin.”
Muwarriq Al-Ajali pernah berkata, “Abu belum pernah melihat orang yang lebih faqih dan lebih wira’i dari Muhammad bin Sirin.
Ia adalah seorang humoris. Ia suka menafsirkan mimpi. Konon buku Ta’bir Ar-Ru’ya (tafsir mimpi) dan (Muntakhab Al-Kalam fi Tafsir Al-Ahlam (Kapita Selekta Seputar Tafsir Mimpi) dinyatakan sebagai karangannya. Tetapi menurut sebagian orang, kedua buku ini bukan karyanya.
Ia memiliki wirid khusus. Jika lupa membacanya di malam hari, ia akan menggantinya di siang hari.
Ia meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairah, Aisyah, dan lainnya.
Di antara perawi yang meriwayatkan hadits darinya adalah qatadah, Asy-Sya’bi, Ayyub, Al-Auza’I, dan lainnya.
Ia meninggal di Bashrah –seratus hari setelah meninggalnya Hasan Al-Bashri–tahun 110 H dalam usia 77 tahun. Jasadnya dimakamkan di samping makam Hasan Al-Bashri.
(Sumber: Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Pustaka Al-Kautsar)
https://www.chanelmuslim.com/tarbiyah/muhammad-bin-sirin-yang-paling-mengerti-tentang-peradilan/10679/
Komentar
Posting Komentar