Langsung ke konten utama

Kesultanan Madura Jawa Timur Mataram 2

Daftar raja Madura

Berikut ini adalah daftar raja dan penguasa Madura, dan hubungan dengan penguasa sebelumnya:
Hasil gambar untuk lambang kesultanan madura Hasil gambar untuk bendera kesultanan madura Hasil gambar untuk bendera kesultanan madura
Lambang dan Bendera tahun 1825M & 1735M 

Penguasa lokal

  • Raden Lembu Peteng [anak Brawijaya dari Majapahit]
  • Arya Menger [anak]
  • Arya Pratikel [anak]
  • Arya Pojok [anak menantu]
  • Ki Demung [anak]
  • Ki Pragalba (?-1531) [anak]
  • Raden Pratanu (1531-1592/96) [anak]
  • Raden Kara (1592/6-1621) [anak]
  • Pangeran Mas (1621–1624) [saudara]

Penguasa Madura Barat

  • Cakraningrat I (1624–1648) [anak]
  • Raden Demang Malaya Kusuma (pemangku (?) 1648-1656) [saudara]
  • Cakraningrat II (1648–1707) [anak dari Cakraningrat I]
  • Cakraningrat III (1707–1718) [anak]
  • Cakraningrat IV (1718–1745) [saudara]
  • Cakraningrat V (1745–1770) [anak]
  • Cakraningrat VI (1770–1780) [anak]
  • Cakraningrat VII (1780–1815) [saudara]
  • Cakraningrat VIII (1815–1847) [anak]
  • Cakraningrat IX (1847–1862) [anak dari Cakraningrat VI]
  • Cakraningrat X (1862–1882) [anak]
  • Cakraningrat XI (1882–1885, hanya Bangkalan 1885-1905) [anak dari Cakraningrat VIII]

Regen Bangkalan 1885-1957

  • Suryanegara (1905–1918) [anak]
  • Cakraningrat XII (1918–1945) [saudara]
  • Muhammad Aziz Cakraningrat XIII (1948–1956) [anak]
  • R. A. Muhammad Ruslan (1956–1957) [saudara]
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_raja_Madura

Keraton Sumenep

Keraton Sumenep adalah tempat kediaman resmi para Adipati/Raja-Raja selain sebagai tempat untuk menjalankan roda pemerintahan. Kerajaan Sumenep sendiri bisa dibilang sifatnya sebagai kerajaan kecil (setingkat Kadipaten) kala itu, sebab sebelum wilayah Sumenep dikusai VOC wilayah Sumenep sendiri masih harus membayar upeti kepada kerajaan-kerajaan besar(SinghasariMajapahit, dan Kasultanan Mataram).
Keraton Sumenep sejatinya banyak jumlahnya, selain sebagai kediaman resmi adipati/raja yang berkuasa saat itu, karaton juga difungsikan sebagai tempat untuk mengatur segala urusan pemerintahan kerajaan. Saat ini Bangunan Karaton yang masih tersisa dan utuh adalah bangunan Karaton yang dibangun oleh Gusti Raden Ayu Tirtonegoro R. Rasmana dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) beserta keturunannya yakni Panembahan Somala Asirudin Pakunataningrat dan Sri Sultan Abdurrahman Pakunataningrat I (Raden Ario Notonegoro). Sedangkan untuk bangunan karaton-karaton milik Adipati/Raja yang lainnya, seperti Karaton Pangeran Siding Puri di Parsanga, Karaton Tumenggung Kanduruan, Karaton Pangeran Lor dan Pangeran Wetan di Karangduak hanya tinggal sisa puing bangunannya saja yakni hanya berupa pintu gerbang dan umpak pondasi bangunan Keraton.
Istilah penyebutan Karaton apabila dikaitkan dengan sistem pemerintahan di Jawa saat itu, merasa kurang tepat karena karaton Sumenep memeliki strata tingkatan yang lebih kecil dari bangunan keraton yang ada di Jogjakarta dan Surakarta. Karaton Sumenep sebenarnya adalah bangunan kediaman keadipatian yang pola penataan bangunannya lebih sederhana daripada keraton-keraton besar seperti Jogjakarta dan Surakarta. Namun perlu dimaklumi bahwa penggunaan penyebutan istilah karaton sudah berlangsung sejak dulu kala oleh masyarakat Madura, karena kondisi geografis Sumenep yang berada di daerah mancanegara (wilayah pesisir wetan) yang jauh dari Kerajaan Mataram. Begitu juga penyebutan Penguasa Kadipaten yang lebih familiar dikalangan masyarakatnya dengan sebutan "Rato/Raja"
Hasil gambar untuk keraton sumenep
Labhang Mesem (pintu tersenyum), merupakan salah satu pintu gerbang menuju kompleks Karaton, terletak di sebelah timur Gedhong Negeri

Pendiri

Karaton Pajagalan atau lebih dikenal Karaton Songennep dibangun di atas tanah pribadi milik Panembahan Somala penguasa Sumenep XXXI. Dibangun Pada tahun 1781 dengan arsitek pembangunan Karaton oleh Lauw Piango salah seorang warga keturunan Tionghoa yang mengungsi akibat Huru Hara Tionghoa 1740 M di Semarang. Karaton Panembahan Somala dibangun di sebelah timur karaton milik Gusti R. Ayu Rasmana Tirtonegoro dan Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro (Bindara Saod) yang tak lain adalah orang tua dia. Bangunan Kompleks Karaton sendiri terdiri dari banyak massa, tidak dibangun secara bersamaan namun di bangun dan diperluas secara bertahap oleh para keturunannya.

Kompleks Bangunan Karaton

Hasil gambar untuk kompleks keraton sumenep
Keraton Madura 
Keraton Sumenep berdiri di atas tanah milik pribadi Pangeran Natakusuma I (Panembahan Somala) (sebelah timur keraton lama milik Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara). Kompleks bangunan Karaton Sumenep lebih sederhana dari kompleks Karaton kerajaan Mataram, bangunannya hanya meliputi Gedong Negeri, Pengadilan Karaton, Paseban, dan beberapa bangunan Pribadi Keluarga Karaton.
Di depan keraton, ke arah selatan berdiri Pendapa Agung dan di depannya berdiri Gedong Negeri (sekarang Kantor Disbudparpora) yang didirikan oleh Pemerintahan Belanda. Konon, Pembangunan Gedong Negeri sendiri dimaksudkan untuk menyaingi kewibawaan keraton Sumenep dan juga untuk mengawasi segala gerak-gerik pemerintahan yang dijalankan oleh keluarga Keraton. Selain itu Gedong Negeri ini juga difungsikan sebagai kantor bendahara dan pembekalan Karaton yang dikelola oleh Patih yang dibantu oleh Wedana Keraton.
Disebelah timur Gedong Negeri tersebut berdiri pintu masuk keraton Sumenep yaitu Labang Mesem. Pintu gerbang ini sangat monumental, pada bangian atasnya terdapat sebuah loteng, digunakan untuk memantau segala aktifitas yang berlangsung dalam lingkungan keraton. Konon jalan masuk ke kompleks keraton ini ada lima pintu yang dulunya disebut ponconiti. Saat ini tinggal dua buah yang masih ada, kesemuanya berada pada bagian depan tapak menghadap ke selatan. Pintu yang sebelah barat merupakan jalan masuk yang amat sederhana. Di bagian pojok disebelah timur bagian selatan Labhang Mesem berdiri Taman Sare (tempat pemandian putera-puteri Adipati) dimana sekelilingnya dikelilingi tembok tembok yang cukup tinggi dan tertutup.
Sedangkan di halaman belakang keraton sebelah timur berdiri dapur, sebelah barat berdiri sisir (tempat tidur para pembantu keraton, emban, dayang-dayang Puteri Adipati), di sebelah barat terdapat sumur. Di depan sumur agak ke arah barat berdiri Keraton Ratu R. Ayu Rasmana Tirtanegara, dan di depannya berdiri pendapa. Namun pada zaman pemerintahan Sultan Abdurahman Pakunataningrat pendapa tersebut dipindahkan ke Asta Tenggi dan disana didirikan Kantor Koneng. Pembangunan Kantor Koneng (kantor kerajaan/adipati) semula mendapat tentangan keras oleh pemerintah Hindia Belanda karena hal tersebut bertentangan dengan peraturan pemerintah saat itu. Namun, untuk menghindari tuduhan tersebut maka Sultan beninisiatif untuk mengubah seluruh cat bangunan tembok berwarna kuning selaras dengan namanya yaitu "kantor koneng" (bahasa belanda :konenglijk=kantor raja/adipati). Pada Masa Pemerintahan Sultan Abdurrahman, kantor Koneng difungsikan sebagai tempat rapat-rapat rahasia para pejabat-pejabat tinggi Karaton. Di sebelah selatan Kantor Koneng, di pojok sebelah barat pintu masuk berdiri pendapa (paseban).
Pada mulanya antara keraton dengan pendopo letaknya terpisah. Namun, pada masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Pakunataningrat, kedua bangunan tersebut dijadikan satu deret. Dahulu, Paseban (pendopo ageng) difungsikan sebagai tempat sidang yang dipimpin langsung oleh sang Adipati dan dihadiri oleh seluruh pejabat tinggi karaton yang waktunya dilaksanakan pada hari-hari tertentu. Paseban sendiri diurus oleh mantri besar dan dibantu oleh kebayan.
Di sebelah selatan Taman Sare berdiri Pendapa atau Paseban dan sekarang dijadikan toko souvenir. Di sebelah selatan keraton terbentang jalan menuju Masjid Jamik Sumenep (ke arah barat), sedangkan ke arah timur menuju jalan Kalianget. Di sebelah timur keraton adalah perkampungan,dan di arah timur jalan adalah Kampong Patemon. Artinya tempat pertemuan aliran air taman keraton dan aliran-aliran air taman milik rakyat dan Taman Lake’ (tempat pemandian prajurit keraton). Dari jalan Dr. Sutomo ke arah timur terdapat jalan menurun, sebelum tikungan jalan berdiri pintu gerbang keluar atau Labang Galidigan. Di sebelah barat pintu keluar terdapat jalan menurun, bekas undakan tujuh.
Di sebelah selatan jalan undakan terdapat Sagaran atau laut kecil merupakan tempat bertamasya putera-puteri Adipati. Sekarang Sagaran tersebut ditempati perumahan rakyat dan lapangan tennis. Di sebelah barat lapangan tennis, berdiri kamarrata merupakan tempat kereta kencana, dan dibelakangnya berdiri kandang kuda lengkap dengan dua taman.
Komplek keraton Sumenep justru tidak menghadap ke barat tetapi ke selatan. Hal ini berhubungan dengan legenda laut selatan ( selat Madura ) tempat bersemayamnya Raden Segoro dan analog dengan legenda di Mataram tentang Nyai Roro Kidul yang konon istri dari Sultan Agung yang bersemayam/bertahta di Segoro Kidul ( Lautan Indonesia ). Dari legenda tersebut menimbulkan dogma turun temurun bahwa rumah tinggal yang baik harus menghadap ke selatan. Ditinjau dari tapak ( site planning ) terlihat bahwa kompleks bangunan keraton pada prinsipnya menganut keseimbangan simetri dengan menggunakan as/sumbu yang cukup kuat. Hal ini merupakan usaha perencanaannya untuk memberikan kesan agung dan berwibawa dari kompleks ini.

Struktur Penataan Kota

Konsep dasar perencanaan tata kota Sumenep ditentukan berdasarkan ajaran Islam : hablum minallah wa hablum minannas artinya berhubungan dengan Allah dan berhubungan dengan manusia. Maksudnya alun-alun sebagai pusatnya. Bila menghadap lurus ke barat dimaksudkan kita berhubungan dengan Tuhan ( kiblat di Masjidil haram ) dan kita temukan Masjid jamik. Sebaliknya bila kita menghadap ke timur dimaksudkan berhubungan dengan manusia dan kita dapatkan keraton Sumenep. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan ajaran agama Hindu yang mengatakan bahwa timur, arah tempat matahari terbit adalah lambang kehidupan, jadi tempat manusia di alam dunia. Sebaliknya barat tempat matahari terbenam adalah lambang kematian, lambang akherat, dan lambang ketuhanan.

Prasasti Karaton Sumenep

Prasasti keraton Sumenep berisi wasiat Panembahan Somala tentang kompleks bangunan Karaton dan sekitarnya. Prasasti tersebut ditulis pada tahun 1200 H atau tahun ba' Bulan Muharram dengan huruf arab dan sekarang masih tersimpat di Museum Karaton Sumenep.
Tahun Hijriah Nabi SAW. 1200 (tahun ba') dibulan Muharram, inilah bangunan-bangunan (tempat tinggal) serta tanah-tanah wakaf Pangeran Natakusuma Adipati Sumenep. Semoga Allah SWT memberi ampun baginya dan kedua orang tuanya. Inilah bangunan serta tanah yang tidak dapat dirusak dan tidak dapat diwaris sebabb bangunan (termasuk tanah tersebut) adalah wakaf yang diperuntukkan untuk kebutuhan orang fair dan orang miskin. Saya memberi perintah kepada sekalian keturunan, atau kalau tidak ada sanggup, kepada lainnya guna memperbaiki mengawasi dan memlihara bangunan-bangunan dan tanah tersebut, bagi keturunan lainnya yang telah memlihara dan mengawasi wakaf itu semoga Allah SWT, mengaruniai keselamatan dunia maupun akherat.

Warisan Budaya

Selain memiliki kemegahan bangunan, Karaton Sumenep juga memiliki suatu warisan budaya yang tak ternilai. antara lain :

  • Tari Gambuh,

Tari Gambu Keraton Sumenep
Pada awalnya tari Gambu lebih dikenal dengan Tari keris, dalam catatan Serat Pararaton tari Gambu disebut dengan Tari Silat Sudukan Dhuwung, yang diciptakan oleh Arya Wiraraja dan diajarkan pada para pengikut Raden Wijaya kala mengungsi di keraton Sumenep. Tarian tersebut pernah ditampilkan di keraton Daha oleh para pengikut Raden Wijaya pada perayaan Wuku Galungan yang dilaksanakan oleh Raja Jayakatong dalam suatu acara pasasraman di Manguntur Keraton Daha yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun pada Wuku Galungan. Para pengikut Raden Wijaya antara lain Lembusora, Ranggalawe dan Nambi diadu dengan para Senopati Daha yakni Kebo Mundarang, Mahesa Rubuh dan Pangelet, dan kemenangan berada pada pengikut Rade Wijaya.
Tari Keris ciptaan Arya Wiraraja ini lama sekali tidak diatraksikan. Pada masa kerajaan Mataram Islam di Jawa yakni pada pemerintahan Raden Mas Rangsang Panembahan AGUNG Prabu Pandita Cakrakusuma Senapati ing Alaga Khalifatullah (Sultan Mataram 1613-1645), seorang Raja yang sangat peduli dengan seni dan budaya. Maka kala itu Sumenep diperintah oleh seorang Adipati kerabat Sultan Agung yang bernama Pangeran Anggadipa tarian tersebut dihidupkan kembali sekiotar tahun 1630, diberi nama “Kambuh” dalam bahasa Jawa berarti “terulang kembali” dan sampai detik ini terus diberi nama Kambuh dan lama kelamaan berubah istilah menjadi tari Gambu (dalam logat Sumenep).
  • Tari Moang Sangkal,
Mowang berarti membuang, Sangkal berarti sukerta, dan sukerta artinya gelap (sesuatu yg menjadi santapan sebangsa setan, dedemit, jin rayangan, iblis, menurut ajaran Hindu). Sedangkan sangkal adalah mengadopsi dari bahasa Jawi Kuno yang maksudnya Sengkala (sengkolo). Jadi sangkal yang dimaksudkan pada umumnya di Songennep adalah : bila ada orang tua mempunyai anak gadis lalu dilamar oleh laki-laki, tidak boleh ditolak karena membuat si gadis tersebut akan “sangkal” (tidak laku selamanya).Pada awalnya tari Mowang Sangkal agak keras geraknya yang diiringi dengan gamelan dengan gending ”sampak” lalu mengalir pada gending ”oramba’-orambe’” yang mengisyaratkan para putri keraton menuju ke ”taman sare”. Dan kemudian gerakannya tambah halus, gerakan yg lebih halus inilah mengisyaratkan para putri sedang berjalan di Mandiyoso (korridor keraton keraton menuju Pendopo Agung Keraton). Pada umumnya kostum yang dipakai adalah warna ciri khas Songennep, merah dan kuning, karena perpaduan warna tersebut mengandung filosofi ”kapodhang nyocco’ sare” yang maksudnya ”Rato prapa’na bunga” (raja sedang bahagia). sedangkan paduan warna kostum merah dan hijau atau kuning dan hijau folosofinya ”kapodang nyocco’ daun” maksudnya ”Rato prapa’na bendhu” (Raja sedang marah).
  • Odeng rek-kerek, salah satu kostum penutup kepala seorang laki-laki yang diciptakan oleh Sultan Abdurrahman Pakunataningrat yang tak lain dimaksudkan untuk merendahkan martabat pemerintahan Kolonial Belanda ketika menjajah Sumenep kala itu, "rek-kerek" dalam bahasa Madura mempunyai arti anak anjing (patek).
https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Sumenep

Gambar terkait
Masjid Agung Keraton 
Hasil gambar untuk masjid keraton sumenep
Pintu Gerbang Masjid Agung Keraton 
Hasil gambar untuk taman sare keraton sumenep
Taman Sore (buat mandi keputren kraton) 

Sejarah Mojowarno



KESULTANAN BANGKALAN


Pada jaman VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), Kesultanan Bangkalan sering kali mendapat tugas melawan pemberontak yang menentang kepentingan penjajah. Taktik yang dipergunakan yaitu taktik ”adu domba” antar suku bangsa atau antar kerajaan. Setelah berhasil maka para pemimpinnya diberi hadiah berupa: gelar, surat penghargaan, bintang jasa, kenaikan pangkat kemiliteran, barang-barang berharga dan sebagainya. Adapun para bawahan atau para prajurit hanya menjadi alat saja.
Pada tahun 1800 Panembahan Adipati Cokroadiningrat VIIatau R. Tawangalun atau Raden Tumenggung Ario Suroadiningrat, dimintai bantuan oleh G.G.1) van Overstraten untuk membantu menjaga pantai sekitar Batavia (Jakarta), karena Compagnie sedang menghadapi perang melawan Inggris.
Beliau mengirimkan puteranya nomor 2 (dua) yang bernama R. Abdul Kadirun dengan atau Raden Tumenggung Mangkuadiningrat untuk memimpin + 500 orang pasukan Madura ke Batavia. Karena bantuan ini dia menerima tanda penghargaan berupa gelar Pangeran Mangkuadiningrat, selain itu diberikan juga tanda jasa berupa baki emas dengan huruf berukir (sampai sekarang disimpan di museum Jakarta).
Ketika kembali ke Madura, dia singgah ke Semarang menghadap Edeler (Eedele Heer)2) dan di sini juga dia menerima gelar menjadi Pangeran Adipati Secoadiningrat III dan mendapat surat ketetapan untuk mewakili ayahnya yang sudah lanjut usia.
Dari Semarang dia melanjutkan perjalanan dan singgah ke Surabaya menghadap GezagHebber3). Di sana dia diberi penghargaan berupa surat ketetapan sebagai wakil ayahnya selaku Kroonprins van Madura (Putra mahkota dari Madura).
Pada tahun 1806, di Cirebon terjadi pemberontakan yang dipimpin R. Bagus Idum. Kompeni (VOC) minta bantuan lagi kepada Kesultanan Bangkalan untuk menumpas pemberontakan ini. Setelah berhasil maka Pangeran Adipati Secoadiningrat III menerima hadiah keris indah yang dihiasi emas dan intan (barang tersebut juga telah disimpan di museum Jakarta).
Pada tahun 1808 G.G. Daendels datang ke Madura, selaku wakil pemerintah Inggris di Indonesia, karena VOC kalah perang. Pada waktu itu Panembahan Cokroadiningrat VII menerima gelar Sultan Bangkalan I atau Sultan Cokroadiningrat I. Beliau diangkat untuk membawahi bupati-bupati pesisir bang Wetan4) selain itu G.G. Daendels juga memberikan kereta kebesaran sebagai kendaraan beliau.
Pada saat inilah Sultan Bangkalan I bisa membalas dendam kepada Kompeni (VOC) , karena eyangnya yang bernama Pangeran Cakraningrat IV dibuang ke Kaap de goede hoop (Tanjung Harapan), Afrika. Semua pegawai dari Kompeni (VOC) yang berada di wilayah bawahannya ditangkap dan diserahkan kepada pemerintah Inggris.
Sultan Cokroadiningrat I meninggal dunia pada tahun 1815 di dalam pemerintahan Inggris. Jenasahnya dimakamkan di Aermata, Arosbaya, Bangkalan. Beliau digantikan puteranya, yaitu Pangeran Adipati Secoadiningrat III atau R. Abdul Kadirun yang sejak 1803 mewakili ayahnya melakukan pemerintahan di Bangkalan.
Pangeran Adipati Secoadiningrat III dalam tahun 1815 oleh Letnan G.G. Sir Thomas Stamford Raffles (wakil pemerintahan Inggris di Indonesia) diangkat menjadi pengganti ayahnya di Bangkalan dengan gelar Sultan Cokroadiningrat II. Dan dalam tahun ini juga pulau Madura dikembalikan oleh pemerintah Inggris kepada Pemerintah Hindia Belanda (bukan lagi VOC).
Pada tahun 1824 G.G. Baron van der Capellen minta bantuan Sultan Cokroadiningrat II menumpas pemberontakan ke Bone. Yang diutus, yaitu Pangeran Surioadiningrat, putera nomor 8 (delapan) lihat sisipan 1, ia memimpin tentaranya sekitar 1.600 orang. Penumpasan itu di bawah komando Mayor Jenderal van Geen. Penumpasan pemberontakan di Bone, Sulawesi Selatan, selesai pada waktu 7 (tujuh) bulan.
Baru 41 hari lamanya beristirahat di rumah masing-masing, pasukan Madura dalam tahun 1825 dikirim lagi ke Jogyakarta untuk membantu pemerintahan Gubernur Jenderal, menumpas pemberontakan Pangeran Diponegoro. Dalam pengiriman ini, pasukan Madura dipimpin oleh dua orang putera Sultan Cokroadiningrat II yaitu Pangeran Surioadiningrat putera nomor 8 (delapan) dan Pangeran Adipati Secoadiningrat IV (putera nomor 7) didampingi putera menantunya yang bernama Pangeran Atmojodiningrat (suami puteri pertama).
Setelah pasukan Madura tiba di Semarang, Pangeran Adipati Secoadiningrat IV dianugerahi pangkat Letnan Kolonel, sedang dua pangeran yang lain dengan pangkat Mayor. Setelah 6 bulan berperang di Yogyakarta, Pangeran Adipati Secoadiningrat IV dinaikkan pangkat menjadi Kolonel, sedang dua Pangeran yang lain menjadi Letnan Kolonel.
Pada tahun pertama dalam peperangan ini, karena semangat dan keberhasilannya, prajurit Madura mendapat penghargaan. Namun pada tahun berikutnya semangat mereka mulai kendur, karena banyak yang menderita sakit, bahkan Sultan Bangkalan II juga terkena sakit kaki (pologra), sehingga beliau tergeletak di tempat tidur saja. Syukurlah pemberontakan Pangeran Diponegoro dapat segera dipadamkan pada tahun 1830.
Bala bantuan dari Bangkalan lalu ditarik kembali pulang. Sultan Bangkalan II menerima tanda jasa bintang emas. Tiga orang pangeran Bangkalan juga menerima bintang emas. Sultan Bangkalan II menerima pangkat Commodor In De Orde Van De Nederlandsche Leeuw5).
Dalam bulan Pebruari tahun 1831 di tiga negeri Madura: Bangkalan, Sumenep dan Pamekasan, diadakan jawatan kemiliteran yang dinamakan Corps Barisan (Barisan Madura). Residen Surabaya menerima desakan dari komisaris Jenderal van den Bosch agar meniru apa yang dilakukan oleh raja-raja di Madura menuju ke arah jalan berdirinya ‘Barisan Corps’.
Dalam tahun 1833, Pemerintah Hindia Belanda minta bantuan dari Sultan Cokroadiningrat II untuk mengirim Barisan Corps ke Jambi. Sultan Bangkalan II ini mengirimkan bala bantuan yang dipimpin oleh puteranya no. 18 bernama Pangeran Adinegoro. Diakui oleh Belanda, bahwa kecakapan barisan Madura yang diperlihatkan dalam segala peperangan , tidak kalah dibandingkan dengan kecakapan Nederlandsch Indische Leger6).
Pada saat itulah, R. Abdurrasid alias Pangeran Cokrokusumo, putera no. 25 Sultan Bangkalan II mulai resah dan bergumul. Dia tidak setuju dengan pengiriman barisan Madura untuk menumpas pemberontakan. Hal ini dianggap merugikan rakyat Madura dan hanya menguntungkan pemerintah Hindia Belanda.
Saat itu yang memimpin Barisan Madura ke Jambi adalah putera no.18 yang bernama Pangeran Adinegoro, giliran berikutnya putra laki-laki adalah putera no. 24 yaitu Pangeran Cokronegoro dan putera no. 25, dia sendiri (Pangeran Cokrokusumo).
Oleh karena itu, dia bertekad akan meninggalkan Bangkalan dan pergi ke pulau Jawa untuk menyelamatkan keluarga dan kerabat dekatnya.
Dari sinilah titik tolak cerita bagaimana keluarga Kesultanan Bangkalan menjadi pengikut Kristus. ( Lihat silsilah I atau silsilah Bangkalan ).
https://mojowarno1844.wordpress.com/

Kerajaan Madura



Kerajaan Madura. Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang saling bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik perkawinan. Di antaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Di samping itu kerajaan-kerajaan di Madura berada dibawah supermasi dari kerajaan yang lebih besar yang kekuasaannya berpusat di Jawa. Antara tahun 1100-1700, kerajaan-kerajaan itu berada dibawah supermasi kerajaan Hindu di Jawa Timur, kerajaan-kerajaan Islam dipesisir Demak dan Surabaya serta kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Peda pertengahan abad ke 18, Madura berada di bawah pengarush VOC/Kompeni Belanda. Setelah Kompeni dibubarkan pada tahun 1879, Madura dengan berangsur-angsur menjadi bagian dari Kolonial Belanda sampai dengan masa pendudukan Bala Tentara Jepang.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, Pulau Madura berstatus sebagai Karesidenan dalam Provinsi Jawa Timur. Pada akhir tahun 1947, Madura diduduki kembali oleh Pemerintah Penjajah Belanda. Untuk memperkuat cengkramannya atas Pulau Madura, seperti halnya terhadap daerah lainnya di Indonesia yang didudukinya, pada tahun 1948 Pemerintah Penjajah Belanda membentuk Negara Madura. Status sebagai negara tersebut berlangsung sampai kurun waktu pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat pada tahun 1949-1950 oleh Belanda.
Dalam Negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Madura merupakan salah satu Negara Bagian bersama-sama dengan Negara-Negara Bagian lainnya, seperti Republik Indonesia Yokyakarta, Indonesia Timur, Pasundan, Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Timur, Kalimantan Barat. Status Madura di dalam wadah RIS hanya berusia pendek, karen pada tahun 1950 itu juga Rakyat Madura telah membubarkan Parlemen dan Negara Madura, dan kembali bergabung dengan Republik Indonesia (kesatuan di Yogyakarta).

Semangat Berjuang Melawan Penindasan dan Penjajahan
Sejak jaman dahulu kala, orang-orang Madura memiliki semangat untuk melawan segala bentuk penindasan dan penjajahan baik yang dilakukan oleh kekuasaan dan kekuatan dari luar. Hal tersebut dapat kita ketahui baik dari legenda-legenda yang berkembang di kalangan rakyat Madura maupun buku-buku/tulisan-tulisan dan laporan-laporan penguasa yang pernah memerintah Pulau Madura.

1. Menurut cerita jaman kuno (± abad pertama Masehi), yang ditulis diatas daun lontar, pada suatu saat kerajaan Mendangkawulan kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut Mendangkawulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga kedatangan seorang yang sangat tua dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro (Madura) bertempat tinggal anak muda bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja dianjurkan minta bantuan kepada Raden Segoro jika didalam peperangan ingin menang. Raden Segoro berangkat dengan membawa senjata Si Nengolo dan berperanglah untuk mengusir tentara Cina. Tentara musuh banyak yang tewas dan kerajaan Mendangkawulan menang dalam peperangan.
2. Cerita lain tentang kepahlawanan oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarikdan mendapat bauh maja yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura di antaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk menaklukkan kerajaan Jawa.
Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.
3. Peristiwa lain terjadi disekitar abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar mereka tundek kepadanya. Didalam peperangan itu, Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapat berlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita legenda. Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata “pukul”, maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan.
Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.
4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang. Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria maupun wanita maju ke garis depan.
Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram.
Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan.
Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman. Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi korban pembersihan.
Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya: Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda).

5. dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759.
Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
6. dalam masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat.
Kemudian ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati. Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta, mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.
Sampang #1
Sesudah seluruh Mataram dikuasai oleh Sultan Agung, maka Cakraningrat I dipercayai memimpin pulau ini dengan berkeraton di Sampang tetapi ia sering tidak ada di Sampang karena oleh Sultan Agung tenaganya Di butuhkan di Mataram.

Pada suatu waktu ia pulang dari Mataram isterinya (Ratu Ibu) menceritakan bahwa ia seperti kedatangan Nabi Hedir, menanyakan apa yang ia cita-citakan lalu ia menjawab bahwa ia ingin ketujuh keturunannya memegang pemerintahan, Cakraningrat I sepertinya ia tidak puas dengan cerita isterinya, mengapa tidak menjawab untuk keturunan seterusnya, Ratu ibu merasa menyesal dan meneruskan tapanya di Air Mata sampai ia meninggal dunia dan dimakam kan ditempat itu pula, Cakraningrat I meninggal dunia di Mataram karena sengketa dengan Pangeran Alit, karena ia menghalang halangi untuk membunuh kakaknya ialah Sunan Amangkurat I.
Cakraningrat II menggantikan ayahnya dan setelah Trunojoyo dikalahkan keratonnya dipindah dari Sampang ke Tonjung. Pada waktu itu Madura pecah menjadi dua ialah Madura Timur dan Madura Barat (lihat pada perang Trunojoyo) setelah Keraton Sampang dipindah ke Tonjung maka yang memerintah di Sampang ialah Raden Ario Purbonagoro putera Cakraningrat II, selanjutnya lagi digantikan oleh puteranya yang bernama Purbonagoro Ganta’ yang terahir Sampang dikuasai oleh keturunan Purbonagoro yang lazim disebut Ghung Purba, kuburan Ghung Purba ini masih dianggap kearmat oleh orang-orang Sampang ialah yang terletak di sebelah selatan Perumahn Pegadaian Sampang.
Selanjutnya Sampang dipimpin oleh Raden Ario Mlojokusumo seorang keturunan dari Bangkalan, sesudah itu Madura langsung diperintahkan oleh pemerintah Hindia Belanda dan yang ditunjuk sebagai Bupati Sampang ialah Raden Ario Kusumadiningrat (tahun 1885). Setelah Kusumodiningrat meninggal dunia diganti oleh Raden Tumenggung Ario Condronegoro. Setelah Bpati Condronegoro meninggal dunia diganti oleh Raden Adipati Ario Setyodiningrat dari Bangkalan, pada tahun 1913 ia mengundurkan diri dan diganti oleh raden Adipati Ario Cakraningrat. Yang menggantikannya di Sampang ialah Raden Tumenggung Kartoamiprojo, kemudian dipindah menjadi Bupati Pamekasan dengan gelar Adipati Ario Kartoamijoyo. Disampang diganti oleh Raden Ario Sosro Winoto.
Pada Tahun 1931 setelah ia mengundurkan diri dengan pensiun, lalu Sampang dirubah statusnya hanya sebagai Kawedanan saja. Pada tahun 1949 pemerintahan Madura Samoang dijadikan Kabupaten lagi dengan Raden Tumenggung Mohammad Eksan dan diangkat sebagai bupatinya lagi. Setelah muhammad Eksan mengundurkan diri dengan hak pensiun maka Raden Soeharjo ditunjuk sebagai gantinya.
Sebagai pelaksana UU Pokok No.1 Tahun 1957, maka K.H. Achmad Zaini dipilih sebagaiKepala Daerah Tingkat II Sampang sampai UU itu dibekukan dan diganti dengan Penpres No 6 Tahun 1959 aka dualisme kepemimpinan di daerah dihapus.
Selanjutnya melalui pencalonan DPRD-GR Kabupaten Sampang, maka M. Wali Hadi diangkat sebagai Bupati kepala Daerah Kabupaten Sampang Tahun 1960 sampai Tahun 1965. Setelah Wali hadi Mengundurkan diri, R.S. Hafidz Soeroso B.A dicalonkan sebagai gantinya oleh DPRD-R dan diangkat oleh Pemerintah Pusat untuk memegang jabatan Bupati Kepala Daerah Kabupaten Sampang.
Sampang #2
Pada Zaman Majapahit di Sampang ditempatkan seorang Kamituwo yang pangkatnya hanya sebagai patih, jadi boleh dikatakan kepatihan yang berdiri sendiri. Sewaktu Majapahit mulai mundur di Sampang berkuasa Ario Lembu Peteng, Putera Raja Majapahit dengan Puteri Campa, LembuPeteng akhirnya pergi memondok di Ampel dan meninggal disana.

Yang mengganti Kamituwo di Sampang adalah puterayang tertua ialah Ario Menger yang keratonnya tetap di Madekan. Menger berputera 3 orang laki-laki ialah Ario Langgar, Ario Pratikel (ia bertempat tinggal di Pulau Gili Mandangil atau Pulau Kambing) dan Ario Panengah gelar Pulang Jiwo bertempat tinggal di Karangantang.
Pratikel mempunyai anak perempuan yang kawin dengan Ario Pojok dan mempunyai anak bernama Kiyai Demang (Demangan adalah tempat kelahirannya) setelah Demang menjadi dewasa ia sering pergi ke tempat tempat yang dipandang keramat dan bertapa beberapa hari lamanya disana, pada suatu waktu ia sedang tertidur dipertapaannya ia bermimpi supaya ia terus berjalan kearah Barat Daya kedesa Palakaran.
Setelah Demang bangun ia terus pulang dan minta ijin pada orang tuanya untuk memenuhi panggilan dalam mimpinya, ayah dan ibunya sebenarnya keberatan tetapi apa dikata, kehendak anaknya sangat kuat. Menurut cerita Demang terus berjalan kearah Barat Daya diperjalanan ia makan ala kadarnya daun-daun, buah-buahan dan apa saja yang dapat dimakan, dan kalau malam ia tertidur dihutan dimana ia dapat berteduh.
Pada suatu waktu ketika ia berhenti melepaskan lelah tiba-tiba datang seorang perempuan tua memberikan bingkisan dari daun-daun, setelah bingkisan dibuka terdapatlah 40 buah bunga nagasari, diamana ada Pohon Nagasari? Perempuan tua itu menjawab bahwa pohon yang dimaksud letaknya didesa Palakaran tidak beberapa jauh dari tempat itu.
Dengan diantar perempuan tua tersebut Demang terus menuju kedesa Palakaran dan diiringi oleh beberapa orang yang bertemu diperjalanan. Sesampainya didesa itu mereka terus beristirahat ditempat pengantarnya sambil menikmati hidangan yang lezat-lezat yang menghidangkan ialah, Nyi Sumekar puteri dari janda itu. Tidak bberapa lam Demang jatuh cinta pada perempuan itu dan mereka kawin, kemudian mereka mendirikan rumah besar, yang kemudian oleh orang-orang disebut keraton kota Anjar (Arosbaya) dari perkawinan Sumekar dan Demang lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama sebagai berikut :
1. Kiyahi Adipati Pranomo
2. Kiyahi Pratolo
3. Kiyahi Pratali
4. Pangeran Panagkan dan
5. Kiyahi Pragalbo.

Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpi2 masyarakat yang baik, putera yang tertua Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat tinggal di Sampang dan memimpin pemerintah dikota itu. Ia kawin dengan puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan Bonorogo Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, kedua-duanya putera Bonerogo.
Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kiyahi Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
Jokotole
Setelah Jokotole selesai melakukan peperangan ia kembali ke Sumenep, tidak lama kemudian datanglah Adipodaj (ayah dari Jokotole) untuk menjumpai ibu Jokotole (Puteri Kuning).

Pulau Sapudi
Setelah beberapa hari ke Sumenep, Ia lalu ke Sepudi membawa Puteri Kuning, pada waktu itu di Sepudi yang memerintah ialah nenek Jokotole Panembahan Blingi (Wilingi), setelah itu beliau meninggal dunia, setelah itu Adipodaj menggantikan ayahnya dengan gelar Penembahan Wiroakromo, menjalankan pemerintahan didaerah sekitar Sepudi, Panembahan ini dikenal sudah memeluk Islam siang dan malam suka memegang tasbih dari buah pohon Nyamplong, karena itu banyaklah orang menanam pohon Nyamplong tersebut. Keraton yang ia tempati disebut orang Desa Nyamplong, Adipodaj juga meninggal ditempat itu dan kuburannya disebut Asta Nyamplong yang hingga sekarang masih juga banyak orang yang berkunjng untuk berziarah.

Diceritakan bahwa Adipodaj memang menjalankan pemerintahannya dengan sangat bijaksana dan apa yang menjadi cita citanya dapat direalisir dengan baik, pohon nyamplong yang dianjurkan ditanam ternyata kayunya sangat baik untuk dijadikan alat-alat perahu, Pulau Sepudi dari dulu terkenal dengan sapinya yang sapi itu dilombakan di Madura dan terkenal dengan sebutan ‘Kerapan Sapi’.
Menurut keterangan orang hal itu terjadi karena cara-cara Adipodaj memelihara ternak itu tetap tertanam dalam hati dan sanubari rakyat dan rakyat tidak berani merubahnya, petunjuk-petunjuk Adipodaj dalam memelihara ternak dan pertanian dianggap mempunyai kekuatan magis untuk diikutinya dan pelanggaran-pelanggaran dianggap dapat menimbulkan bahaya juga menjadi kebiasaan warga Sepudi, jika ada wabah penyakit menyerang penduduk disana mereka mengeluarkan alat-alat peninggalan Adipodaj (Calo’, kodi, dsb) untuk diarak guna menolak adanya wabah penyakit tersebut.
Pulau Kaangean
Pulau lain yang perlu disebut ialah pulau Kangean pulau ini juga sudah terkenal sejak Zaman Majapahit. Empu Prapanca dalam kitabnya Negara Kertagama menulis sebagai berikut :

Syair 15 ( 2 )
Kunang tekang nusa Madura tanami Iwir parapuri
Ir denya tunggal mwang Yawadharani rakwekana
Dengu ………..

Syair 14 ( 5 )
Ingkang sakanusa Makasar butun Bangawi
Kuning Ggaliyao mwang ing Salaya Sumba Solot
Muar ………..

Jadi Pulau Kangean pada Zaman Majapahit disebut Galiyao. Di pulau itu pada saat itu sudah ditempatkan seorang Adipati, semula tempat tersebit adalah pembuangan bagi orang orang yang mendapt hukuman berat dari Raja. Tetapi kerena tanahnya subur (sawah, ladang) dan banyaknya penghasilan yang didapat dari lautan (ikan) beserta hasil hutannya maka lambat laun pulau itu menjadi pusat perdagangan serta banyak orang dari Sumenep dan dari daerah lain yang menetap di Kangean.
Diceritakan bahwa Jokotole (Setyoadiningrat III) memegang pimpinan pemerintahan di Sumenep sampai berumur lanjut dengan sangat memuaskan bagi lapisan masyarakat. Pada suatu saat datanglah utusan dari bali dengan menaiki sebuah kapal dan membawa surat bahwa putera mahkota Bali akan datang berkunjung ke Sumenep, kedatangan mereka di sambut baik oleh Raja Sumenep, akan tetapi setelah sampai ke Istana mereka ngamuk-ngamuk sehingga banyak orang-orang yang terluka atau mati terbunuh begitu juga dengan Jokotole ia mendapat luka-luka dan dibawa lari Lapataman dengan dipikul memakai tandu menuju ke keraton lama di Banasareh tetapi diperjalanan Jokotole meninggal dunia, sukar sekali dicari air untuk memandikan jenazah, karena itu Raden Ario Begonondo (putera Jokotole) menancapkan tongkat ibunya yang dipakai di Socah dan keluarlah air dari tanah.lalu tempat itu disebut Sa-Asa yang artinya tempat untuk mencuci Jokotole dan sekarang termasuk kecamatan Manding, adik dari Jokotole yaitu Jokowedi segera datang untuk membantunya setelah orang-orang Bali melihat Jokowedi yang mirip sekali dengan kakaknya mereka ketakutan dan lari tunggang langgang ke kapalnya.
Cerita kehidupan jokotole banyak mengandung “Legenda” dan kami telah mengadakan peninjauan kemakam Adipodaj dan Jokotole di Kuburan Nyamplong kedua kuburan yang dianggap keramat oleh rakyat itu tidak menunjukan bentuk kuburan jaman Jokotole kemungkinan besar bentuk kuburan yang lama sudah diganti dengan bentuk kuburan jaman sekarang.
Ratu Bangkalan #1
Dalam literatur perkembangan Islam di Madura, sosok Raden Abdul Kadirun memang tidak banyak disebut. Sultan Bangkalan II ini memang lebih dikenal sebagai tokoh pemerintahan yang ulung.

Mewarisi Pemerintahan Sultan Bangkalan I (Sultan Abdul/Panembahan Adipati Tjakraadiningat I), Raden Abdul Kadirun berjasa memajukan wilayah di ujung Barat Madura ini. Tapi itu tidak serta merta menghapuskan perannya dalam penyebaran Islam. Raden Abdul Kadirun dikenal menjalankan pemerintahannya dengan prinsip-prinsip islami.
Saat memerintah pada 1815-1847 Islam berkembang dan menjadi warna yang dominan di masyarakat Bangkalan. Tak heran, Rato (pemimpin/pemerintah) ini begitu dihormati sosoknya. Tanda bahwa Sultan Abdul Kadirun begitu berjasa terhadap penyebaran Islam juga terlihat dari nisannya yang dibangun sedemikian megahnya, bak istana.
Terletak di sisi barat komplek Masjid Agung Bangkalan, makam Raden Abdul Kadirun ini selalu dipenuhi para peziarah, terutama saat Ramadan seperti sekarang ini. Siang, bahkan hingga larut malam alunan ayat suci Alquran berkumandang tanpa henti. Nyaris tidak ada tempat kosong di setiap sudut ruang komplek makam maupun masjid.
Nuansa bangunan kuno begitu kental dengan ukiran motif bunga dan lambang-lambang perjuangan saat mengusir penjajah. Salah satu nisan makam ada yang berbentuk mahkota kerajaan. Ini merupakan sebagai simbol seseorang yang masih keturunan pemimpin. Juru kunci makam Achmad Yahya mengatakan Raden Abdul Kadirun merupakan tokoh penting dalam sejarah Bangkalan, bahkan merupakan seorang pemimpin atau Bupati pertama yang berjuang melawan penjajah belanda.
Raden Abdul Kadirun merupakan keturan Ratu Ibu, yang terletak di Arosbaya. Yahya menambahkan, Raden Abdul Kadirun yang bergelar Sultan Cakra Adiningrat II ini juga masih mempunyai garis keturunan dengan Brawijaya. “Beliau mempunyai 16 orang anak, saat ini masih ada keturunannya dan sering nyekar ke komplek makam ini,” terang pria sepuh ini.
Komplek makam tersebut, bisa dikatakan merupakan komplek makam keluarga. Hampir seluruh kerabat Sultan disemayamkan di sini. Bahkan, istri tercinta Sultan yakni R. Ayu Masturah atau Ratu Ajunan, beserta beberapa orang putranya disemayamkan secara bersebelahan dan berada dalam satu cungkup. Komplek makam bagian dalam yang dibangun sejak 1848 tertera jelas didominasi kultur Jawa.
“Berdasarkan pengakuan para ahli warisnya, Sultan masih keturunan Jawa dan senang wayang kulit,” ungkap Yahya. Sementara itu, Muadzin Masjid Agung Bangkalan, Supardi mengatakan, jumlah pengunjung masjid dan komplek makam terus meningkat. Kebanyakan ingin beritikaf atau mengkhatamkan Alquran.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs. Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Setelah abad 17 M, status Kabupaten Sampang menjadi sebuah daerah Kadipaten, dengan Adipatinya masing-masing, R. Temenggung Purbonegoro, R. Ario Meloyokoesuma (Reight Besfuurder Gebheid). Dan sejak 15 Januari 1885 dipimpin oleh Adipati R. Temenggung Ario Koesuma Adiningrat (Zelfstending).
Lalu, berturut-turut dipimpin oleh R. Temenggung Ario Candranegoro, R. Adipati Ario Secodiningrat, R. Ario Suryowinoto, dan R. Temenggung Kartoamiprojo. Sedangkan pada tahun 1929 – 1931 M dipimpin oleh R. Ario Sosrowinoto. Sebelum akhirnya pada sekitar tahun 1931-1949 M, Kadipaten Sampang menjadi sebuah daerah Kawedanan di wilayah Kabupaten Pamekasan.
Ratu Bangkalan #2
Warga Kabupaten Bangkalan tentunya boleh berbangga hati, lantaran disana menyimpan beribu macam potensi wisata yang tidak ada duanyadi kota lain di wilayah Pulau Madura. Karena disana terdapat sebuah makam seorang ibu, menurut ceritanya yang melahirkan raja-raja Madura. Bangunan berusia ratusan tahun tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh. Obyek wisata ziarah itu merupakan salah satu asset Kabupaten Bangkalan, yeng ternyata tetap terawat baik.

Makam Rato Ebu terletak didalam kompleks Paserean ‘Aer Mata’, terletak 25 km arah Utara kota Bangkalan, tepatnya di desa Buduran Kecamatan Arosbaya Kabupaten Bangkalan. Makam Rato Ebu adalah makam seorang wanita mulia bernama Syarifah Ambami. Menurut dokumen sejarah, menyebutkan bahwa Syarifah Ambami adalah keturunan Sunan Giri Gresik ke 5. Ia dipersunting oleh Pangeran Tjakraningrat I yang juga anak angkat Sultan Agung Mataram. Dikisahkan bahwa sejak terjadinya Perang Mataram tahun 1624, Madura dikuasai oleh Sultan Agung. Lalu ia menginginkan agar Pangeran Tjakraningrat I memerintah Madura secara keseluruhan. Titah raja pun dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Meskipun Madura menjadi daerah kekuasaannya, namun Pangeran Tjakraningrat justru jarang sekali tinggal di Sampang. Apalagi Raja Mataram, Sultan Agung, masih membutuhkan tenaganya untuk memimpin kerajaannya di tanah Jawa sehingga Pangeran Tjakraningrat I sering tinggal di kerajaan tanah Jawa. Wajar apabila Ratu Syarifah lebih banyak tinggal di Kraton Sampang sendirian tanpa didampingi suami tercintanya. Namun Ratu Syarifah adalah seorang figur wanita yang taat dan patuh pada semua perintah suaminya. Maka untuk mengisi waktu kosongnya, Ratu Syarifah yang lebih populer dengan sebutan Ratu Ibu tersebut lebih banyak menghabiskan waktunya untuk bertapa di seatu bukit di Desa Buduran Kecamatan Arosbaya.
Didalam legenda sejarah Babat Madura dikisahkan, bahwa selama dalam pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah senantiasa memohon kepada Allah SWT. agar keturunannya yang laki-laki kelak bisa menjadi pucuk pimpinan pemerinytahan di Madura. Ia berharap agar pimpinan Pemerintahan tersebut dijabat hingga tujuh turunan. Anehnya dalam legenda tadi juga dikisahkan bahwa suatu hari didalam pertapaannya, Ratu Ibu Syarifah berjumpa dengan Nabi Khidlir AS. Dalam pertemuannya yang Cuma sesaat itu, sepertinya semua permohonan Ratu Ibu akan dikabulkan.
Merasa pertapaannya sudah cukup, maka Ratu Ibu Syarifah pun kembali ke Kraton Sampang. Tidak selang beberapa lama, suaminya yakni Paneran Tjakraningrat I datang dari bertugas di Kerajaan Mataram.sebagai istri yang setia, tentu saja Ratu Syarifah menyambut kedatangan suaminya dengan senang hati. Beliau bahkan menceritakan apa yang dialaminya selama bertapa, termasuk adanya petunjuk bahwa permohonannya agar turunannya kelak memimpin Pemerintahan di Madura dikabulkan juga diceritakannya dengan runtun.
Mendengar penuturan Ratu Syarifah tersebut, Pangeran Tjakraningrat I marah, ia sangat kecewa dengan pernyataan istrinya. Sebaliknya Pangeran Tjakraningrat I bertanya dengan marah, “Mengapa kamu cuma memohon untuk tujuh turunan, sebaiknya kan tututan kita selamanya harus memerintah di Madura!”, tegur Pangeran Tjakraningrat I kepada Ratu Syarifah. Wanita itupun cuma menundukkan kepala.
Sepeninggal suaminya yang bertugas ke Mataram, Ratu Syarifah kembali ke Desa Buduran untuk bertapa. Dalam pertapaannya itulah Ratu Ibu memohon agar keinginan seaminya untuk menjadikan seluruh keturunannya bisa menjadi pemimpin Pemerintahan di Madura.siang malam Ratu Ibu memohon kepada Allah SWT. agar harapan suaminya bisa dikabulkan, ia memohon sambil terus menangis. Ini dilakukannya hingga meninggal di pertapaan, dalam keadaan menangis.
Ditempat pertapannya itulah Ratu Ibu dimakamkan. Itulah sebabnya, maka makam tersebut dikenal dengan sebutan Makam Ratu Ibu atau Aer Mata. Dikompleks Pasarean Aer Mata tadi juga dimakamkan raj-raja Madura, ternyata bangunan kuno dengan corak arsitekur bernilai tinggi itu menarik perhatian para wisatawan asing dan domestik. Tidak kalah menariknya dibandingkan kemegahan arsitektur Candi Borobudur atau lain di Jawa.
Konon menurut cerita legenda sejarah menyebut, bahwa konstruksi bangunan itu berdiri pada abad ke 15 atau ke 16 yang tersusun rapi, tanpa alat perekat dari semen. Mulai dari nisan, kerangka kuburannya, semuanya terukir indah yang terbuat dari batu putih mirip pualam yang diambil dari lokasi sekitar makam. Salah satu juru kunci makam, mengatakan bahwa peziarah yang datang dari tahun ke tahun ada peningkatan. Anehnya, meskipun banyak peziarah yang hilir mudik datang, namun kompleks pasarean itu tetap tampak bersih dan terkesan terawat baik.
Keindahan yang menonjol dan bernilai seni tinggi tersebut terletak pada tiga ‘cungkup’ utama makam yang berukuran 40 x 20, yakni makam Ratu Ibu Syarifah Ambami, Panembahan Tjakraningrat II dan Tjakraningrat III. Begitu juga ‘cungkup’ pada makam Panembahan Tjakraningrat V, VI dan VII yang disebut-sebut bergelar Tjakradiningrat I. Maka wajar apabila kelangkaan dan keindahan nilai seni dan arsitektur pada Pasarean Aer Mata menjadi perhatian Pemerintah, selanjutnya pada tahun 1975 kompleks Pasarean Aer Mata diikut sertakan dalam lomba dan pameran seni arsitektur peninggalan Purbakala se Asia mewakili Indonesia. Hasilnya mendapat nilai tertinggi.
Sejak itulah Pasarean Aer Mata di Kabupaten Bangkalan tidak saja dikenal wisatawan domestik, namun wisatawan asing berdatangan, selain wisatawan, juga para disiplin ilmu pengetahuan seperti arkeologi, antropologi dan sejarah, mereka datang dari dalam dan luar negeri, menjadikan kompleks Pasarean Aer mata sebagai riset ilmiahnya. Yang menarik untuk dijadikan bahan penelitian, lantaran gaya arsitektur dan seni ukir di Aer Mata mempunyai ciri khas perpaduan Hindu, Budha dan Islam.
Pasarean Aer Mata tadi pada tahun 1970 lalu terancam hancur. Diantara tiga Cungkup utama sebagai penyangga rapuh, beberapa “Kemuncak” (hiasan pagar) banyak berjatuhan disekitar kompleks, karena tidak terawat. Maka pada tahun 1978, Kasi Depdikbud Bangkalan yang saat itu dijabat oleh Ny. Hari Siyanto melaporkan tentang kondisi tempat bersejarah di Bangkalan kepada pemerintah Pusat. Rupanya laporan tadi mendapat perhatian besar sehingga dilakukan pemugaran pada tahun 1979 lalu dan 1987 diresmikan oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hasan.
Ada lima cungkup yang dipugar, antara lain :
CUNGKUP I
Terdapat 20 makam termasuk makam Ratu Ibu Syarifah Ambami.
CUNGKUP II
Terdapat 46 makam, diantaranya makam Pangeran Tjakraningrat II dan IV.
CUNGKUP III
Terdapat 24 makam diantaranya terdapat makam Panembahan Tjakra Adingrat I, PPA Tjakraningrat (Wali Negoro), dan RA. Moh. Roslan Tjakraningrat yang meninggal pada tanggal 23 Desember 1976.
CUNGKUP IV
Terdapat 11 makamdiantaranya kuburan Tumenggung Mloyo.
CUNGKUP V
Terdapat 10 makam dan dua antaranya terdapat makam Kolonel Suryo Adiningrat dan Mas Ayu Aminah.

Sultan Agung Bangkalan
sena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.

Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.
Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan. Seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.
Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.
Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.
Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang.
Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III.
Suatau saat terjadi perselisihan antara Cakraningrat dengan menantunya, Bupati Pamekasan yang bernama Arya Adikara. Untuk menghadapi pasukan dari Pamekasan, Cakraningrat III meminta bantuan dari pasukan Bali. Dimasa Cakraningrat inilah Madura betul-betul bergolak, terjadi banyak peperangan dan pemberontakan di Madura.
Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi.
Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.
Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang disepakati.
Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC.
Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan Sidengkap

Islam di Madura
Seperti yang di kemukakan di atas bahwa Sunan Giri jang menyebarkan Agama Islam di Pulau Madura, akan tetapi sebelum itu sudah banyak pedagang-pedagang Islam misalnya dari Gujarat yang singgah dipelabuhan-pelabuhan pantai madura, terutama dipelabuhan kalianget. Antar aksi yang berpuluh-puluh tahun antara penduduk asli dengan para pedagang sebagai pendatang tentu membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan kepercayaan mereka, diceritakan disuatu daerah didekat desa Persanga di Sumenep datang seorang penyiar Agama Islam.
Ia memberi pelajaran Agama Islam di Pulau Sumenep, diceritakan pula bahwa seorang santri telah dianggap dapat melakukan rukun agam Islam maka ia lalu dimandikan dengan air dengan dicampuri macam-macam bunga yang baunya sangat harum, dimandikan secara demikian disebut dengan “e dusdus”, karena itu tempat dimana dilakukan upacara dinamakan desa “Padusan”. Kampung Padusan ini termasuk desa Pamolokan kota Sumenep, guru yang memberi pelajaran agama itu disebut “Sunan Padusan” menurut riwayat hidupnya ia keturunan dari Arab ayahnya bernama Usman Hadji, anak dari Raja Pandita saudara dari Sunan Ampel. Pada waktu itu rakyat sangat suka mempelajari Agama Islam sehingga mempengaruhi kepada Rajanya ialah pangeran jokotole yang lalu masuk Islam.
Sunan Padusan itu lalu dipungut menjadi anak menantu Jokotole tempat tinggal Sunan padusan itu mula-mula di desa Padusan lalu pindah kekeraton Batuputih. Penyebaran agama Islam ini terus meluas tidak hanya di pantai-pantai Pulau Madura, tetapi juga sampai kepelosok-pelosok desa, karena itu penduduk Madura hingga sekarang boleh dikatakan 99% beragama Islam. Demikian pula kebudayaan Arab masuk ke Madura bersama meluasnya Agama Islam. Karena itu kesenian Hadrah, gambus, zamrah terdapat sampai kepelosok-pelosok desa dan kampung sehingga boleh dikatakan sudah menjadi kebudayaan Madura. Demikian artikel mengenai Kerajaan Madura dari PusakaDunia.Com.
http://www.duniapusaka.com/blog/kerajaan-madura

sejarah kerajaan dan daftar raja sumenep

sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sumenep  dan  http://sumenep.go.id/

JAMAN PEMERINTAH KERAJAAN ARYA WIRARAJA 
           Arya Wiraja dilatik sebagai Adipati pertama Sumenep pada tanggal 31 Oktober 1269, yang sekaligus bertepatan dengan hari jadi Kabupaten Sumenep. Selama dipimpin oleh Arya Wiraja, banyak kemajuan yang dialami kerajaan Sumenep. Pria yang berasal dari desa Nangka Jawa Timur ini memiliki pribadi dan kecakapan/kemampuan yang baik. Arya Wiraja secara umum dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu penasehat/pengatur strategi, analisanya cukup tajam dan terarah sehingga banyak yang mengira Arya Wiraja adalah seorang dukun.
Adapun jasa-jasa Arya Wiraja :
- Mendirikan Majapahit b ersama dengan Raden Wijaya.
- Menghancurkan tentara Cina/tartar serta mengusirnya dari tanah Jawa.
           Dalam usia 35 Tahun, karier Arya Wiraja cepat menanjak. Mulai jabatan Demang Kerajaan Singosari kemudian dipromosikan oleh Kartanegara Raja Singosari menjadi Adipati Kerajaan Sumenep, kemudian dipromosikan oleh Raden Wijaya menjadi Rakyan Menteri di Kerajaan Majapahit dan bertugas di Lumajang. Setelah Arya Wiraja meninggalkan Sumenep, kerajaan di ujung timur Madura itu mengalami kemunduran. kekuasaan diserahkan kepada saudaranya Arya Bangah dan keratonnya pindah dari Batuputih ke Banasare di wilayah Sumenep juga. Selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya Danurwendo, yang keratonnya pindah ke Desa Tanjung. Dan selanjutnya diganti oleh anaknya, yang bernama Arya asparati. Diganti pula oleh anaknya bernama Panembahan Djoharsari. Selanjutnya kekuasaan dipindahkan kepada anaknya bernama Panembahan Mandaraja, yang mempunyai 2 anak bernama Pangeran Bukabu yang kemudian menganti ayahnya dan pindah ke Keratonnya di Bukabu (Kecamatan Ambunten). Selanjutnya diganti oleh adiknya bernama Pangeran Baragung yang kemudian pindah ke Desa Baragung (Kecamatan Guluk-guluk).
PANGERAN JOKOTOLE (Pangeran Secodiningrat III)
           Pangeran Jokotole menjadi raja Sumenep yang ke 13 selama 45 tahun (1415-1460). Jokotole da adiknya bernama Jokowedi lahir dari Raden Ayu Potre Koneng, cicit dari Pangeran Bukabu sebagai hasil dari perkawinan bathin (melalui mimpi) dengan Adipoday (Raja Sumenep ke 12). Karena hasil dari perkawinan Bathin itulah, maka banyak orang yang tidak percaya. Dan akhirnya, seolah-olah terkesan sebagai kehamilan diluar nikah. Akhirnya menimbulkan kemarahan kedua orang tuanya, sampai akan dihukum mati. Sejak kehamilannya, banyak terjadi hal-hal yang aneh dan diluar dugaan. Karena takut kepada orang tuanya maka kelahiran bayi RA Potre Koneng langsung diletakkan di hutan oleh dayangya. Dan, ditemukan oleh Empu Kelleng yang kemudian disusui oleh kerbau miliknya.
            Peristiwa kelahiran Jokotole, terulang lagi oleh adiknya yaitu Jokowedi. Kesaktian Jokotole mulai terlihat pada usia 6 tahun lebih, seperti membuat alat-alat perkakas dengan tanpa bantuan dari alat apapun hanya dari badanya sendiri, yang hasilnya lebih bagus ketimbang ayah angkatnya sendiri. Lewat kesaktiannya itulah maka ia membantu para pekerja pandai besi yang kelelahan dan sakit akibat kepanasan termasuk ayah angkatnya dalam pengelasan membuat pintu gerbang raksasa atas pehendak Brawijaya VII. Dengan cara membakar dirinya dan kemudian menjadi arang itulah kemudian lewat pusarnya keluar cairan putih. Cairan putih tersebut untuk keperluan pengelasan pintu raksasa. Dan, akhirnya ia diberi hadiah emas dan uang logam seberat badannya. Akhirnya ia mengabdi di kerajaan Majapahit untuk beberapa lama.
            Banyak kesuksessan yang ia raih selama mengadi di kerajaan Majapahit tersebut yang sekaligus menjadi mantu dari Patih Muda Majapahit. Setibanya dari Sumenep ia bersama istrinya bernama Dewi Ratnadi bersua ke Keraton yang akhirnya bertemu dengan ibunya RA Potre Koneng dan kemudian dilantik menjadi Raja Sumenep dengan Gelar Pangeran Secodiningrat III. Saat menjadi raja ia terlibat pertempuran besar melawan raja dari Bali yaitu Dampo Awang, yang akhirnya dimenangkan oleh Raja Jokotole dengan kesaktiannya menghancurkan kesaktiannya Dampo Awang. Dan kemudian kekuasaannya berakhir pada tahun 1460 dan kemudian digantikan oleh Arya Wigananda putra pertama dari Jokotole.
RADEN AYU TIRTONEGORO DAN BINDARA SAOD
             Raden Ayu Tirtonegoro merupakan satu-satunya pemimpin wanita dalam sejarah kerajaan Sumenep sebagai Kepala Pemerintahan yang ke 30. Menurut hikayat RA Tirtonegoro pada suatu malam bermimipi supaya Ratu kawin dengan Bindara Saod. Setelah Bindara Saod dipanggil, diceritakanlah mimpi itu. Setelah ada kata sepakat perkawinan dilaksanakan, Bindara Saodmenjadi suami Ratu dengan gelar Tumenggung Tirtonegoro.
             Terjadi peristiwa tragis pama masa pemerintahan Ratu Tirtonegoro. Raden Purwonegoro Patih Kerajaan Sumenep waktu mencintai Ratu Tirtonegoro, sehingga sangat membenci Bindara Saod, bahkan merencanakan membunuhnya. Raden Purwonegoro datang ke keraton lalu mengayunkan pedang namun tidak mengenai sasaran dan pedang tertancap dalam ke tiang pendopo. Malah sebaliknya Raden Purwonegoro tewas di tangan Manteri Sawunggaling dan Kyai Sanggatarona. Seperti diketahui bahwa Ratu Tirtonegoro dan Purwonegoro sama-sama keturunan Tumenggung Yudonegoro Raja Sumenep ke 23. Akibatnya keluarga kerajaan Sumenep menjadi dua golongan yang berpihak pada Ratu Tirtonegoro diperbolehkan tetap tinggal di Sumenep dan diwajibkan merubah gelarnya dengan sebutan Kyai serta berjanji untuk tidak akan menentang Bindara Saod sampai tujuh turunan. Sedang golongan yang tidak setuju pada ketentuan tersebut dianjurkan meninggalkan kerajaan Sumenep dan kembali ke Pamekasan, Sampang atau Bangkalan.
PANEMBAHAN SOMALA
             Bandara Saod dengan isterinya yang pertama di Batu Ampar mempunyai 2 orang anak. Pada saat kedua anak Bindara Saod itu datang ke keraton memenuhi panggilan Ratu Tirtonegoro, anak yang kedua yang bernama Somala terlebih dahulu dalam menyungkem kepada Ratu sedangkan kakaknya mendahulukan menyungkem kepada ayahnya (Bindara Saod). Saat itu pula keluar wasiat Sang Ratu yang dicatat oleh sektretaris kerajaan. Isi wasiat menyatakan bahwa di kelak kemudian hari apabila Bindara Saod meninggal maka yang diperkenankan untuk mengganti menjadi Raja Sumenep adalah Somala. Setelah Bindara Saod meninggal 8 hari kemudian Ratu Tirtonegoro ikut meninggal tahun 1762, sesuai dengan wasiat Ratu yang menjadi Raja Sumenep adalah Somala dengan gelar Panembahan Notokusumo I.
              Beberapa peristiwa penting pada zaman pemerintahan Somala antara lain menyerang negeri Blambangan dan berhasil menang sehingga Blambangan dan Panarukan menjadi wilayah kekuasaan Panembangan Notokusumo I. Kemudian beliau membangun keraton Sumenep yang sekarang berfungsi sebagai Pendopo Kabupaten. Selanjutnya beliau membangun Masjid Jamik pada tahuhn 1763, Asta Tinggi (tempat pemakaman Raja-Raja Sumenep dan keluarganya) juga dibangun oleh beliau.
SULTAN ABDURRACHMAN PAKU NATANINGRAT
               Sultan Abdurrachman Pakunataningrat bernama asli Notonegoro putra dari Raja Sumenep yaitu Panembahan Notokusumo I. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat mendapat gelar Doktor Kesusastraan dari pemerintah Inggris, karena beliau pernah membantu Letnan Gubernur Jendral Raffles untuk menterjemahkan tulisan-tulisan kuno di batu kedalam bahasa Melayu. Beliau memang meguasai berbagai bahasa, seperti bahasa Sansekerta, Bahasa Kawi, dan sebagainya. Dan, juga ilmu pengetahuan dan Agama. Disamping itu pandai membuat senjata Keris. Sultan Abdurrachman Pakunataningrat dikenal sangat bijaksana dan memperhatikan rakyat Sumenep, oleh karena itu ia sangat disegani dan dijunjung tinggi oleh rakyat Sumenep sampai sekarang.


Daftar Raja yang pernah memerintah di Sumenep
NO
NAMA
TEMPAT KERATON
TAHUN
KETERANGAN
1.
Aria Banyak Wedi
( Aria Wiraraja )
Batuputih
1269-1292
Otak pendiri Ker. Majapahit
2.
Ario Bangah( Wiraraja )
Banasare
1292-1301

3.
Ario Danurwendo
( Lembu Sarenggono )
Aeng Anyar
1301-1311

4.
Ario Assrapati

1311-1319

5.
Panembahan Joharsari
Bluto
1319-1331

6.
Panembahan Mandaraga
( R. Piturut )
Keles
1331-1339

7.
P. Bukabu Wotoprojo
Bukabu
1339-1348

8.
P. Baragung Notoningrat
Baragung
1348-1358

9.
R. Agung Rawit
( Secodiningrat I )
Banasare
1358-1366

10.
Tumenggung Gajah Pramono
( Secodiningrat II )
Banasare
1366-1386

11.
Panembahan Blongi
( Aryo Pulang Jiwo )
Bolingi / Poday
1386-1399

12.
Pangeran Adipoday
(Ario Baribin )
Nyamplong / Poday
1399-1415

13.
Pangeran Jokotole( P. Secodiningrat III )
Banasare
1415-1460
Pendiri Benteng Kalimo'okmelawan orang-orang Bali . Awang pendiri pintuGerbang Ker. Majapahit>
14.
R. Wigonando
( P. Secodiningrat IV )
Gapura
1460-1502

15.
P. Siding Purih
( P. Secodingrat V )
Parsanga
1502-1559
Patoh Takundur
16.
RT. Kanduruwan
Karang Sabu
1559-1562

17.
P. Wetan dan P Lor

1562-1567

18.
R. Keduk ( P. Keduk II )

1567-1574

19.
R. Rajasa ( P. Lor II )

1574-1589

20.
R. Abdullah( P. Cokronegoro I )
Karang Toroy
1589-1626

21.
P. Anggadipa
Karang Toroy
1626-1644

22.
Tumenggung JaingPatih dari Sampang
Karang Toroy
1644-1648

23.
R. Bugan
( Tumenggung Yudonegoro )
Karang Toroy
1648-1672

24.
P.T. Pulang Jiwo dan P. Sepuh
Karang Toroy
1672-1678

25.
P. Romo
( P. Cokronegoro II )
Karang Toroy
1678-1709

26.
RT. Wiromenggolo( Purwonegoro )
Karang Toroy
1709-1721

27.
R. Ahmat alias P. Jimat
( T. Aryo Cokronegoro III )
Karang Toroy
1721-1744

28.
R. Alza Alias P. Lolos
Karang Toroy
1744-1749
Lolos dalam penyergapan K. Lesap
29.
K. Lesap
Karang Toroy
1749-1750
Pimpinan sementara diserahkan T. Tirtonegoro
30.
R. Ayu Tirtonegoro
R. Rasmana & Bindara Saod
Pajagalan
1750-1762
Pemerintahan diserahkanpada suaminya
31.
Panembahan Sumolo Asiru
Pajagalan
1762-1811
Pendiri Masjid Jamik
32.
Sri Sultan Abdurrahman
( Pakunataningrat I )
Pajagalan
1811-1854
Kerajaan Sumenep
33.
Panembahan Moh. Saleh
( Notokusumo II )
Pajagalan
1854-1879

34.
P. Mangkudiningrat
( P. Pakunataningrat II )
Pajagalan
1879-1901

35.
P. Ario Prataningkusumo
Pajagalan
1901-1926

36.
RP. Ario Prabuwinoto
Pajagalan
1926-1929

https://sites.google.com/site/ziarahsumenep/mari-mengenal-sumenep/daftar-raja-raja-sumenep




Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer