HAJI AKBAR tanggal 9 hijriyah

Meluruskan Istilah Haji Akbar (Bagian 01)

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Segala puji bagi Allah yang mengajarkan semua nama dan istilah kepada Nabi Adam ‘’alaihis salam. Segala puji bagi Allah yang mengajarkan kita berbicara, yang menjadi pembeda antara kita dengan binatang. Dengan nikmat ini kita bisa menyebut berbagai benda dan keadaan di sekitar kita, sesuai dengan apa yang diajarkan.
Kita bisa menyebut ini bapak, ini ibu, ini baju, ini sandal, ini motor, ini kuda, dst,, karena orang tua yang mengajarkan. Demikian pula, kita bisa menyebut ini shalat, ini puasa, ini zakat, ini haji, dst, karena syariat yang mengajarkan. Oleh karena itu, bukan termasuk sikap yang baik, ketika seseorang menggunakan istilah untuk makna yang tidak sesuai dengan apa yang diajarkan.
Haji Akbar, saat ini menjadi salah satu istilah yang ramai dibicarakan masyarakat. dan kita bisa memahami penyebabnya, karena pemerintah saudi menetapkan hari arafah jatuh ada tanggal 3 oktober tepatnya di hari jumat.
Istilah haji akbar adalah istilah yang benar. Kita tidak mengingkari keberadaan istilah ini. Karena istilah ini ada dalam al-Quran dan hadis. Hanya saja, ada sebagian kaum muslimin yang memahami istilah ini dengan pemahaman yang tidak benar. Berikut kita akan memahami beberpaa catatan tentang istilah haji akbar,
Pertama, bahwa istilah haji akbar adalah istilah syariah. Istilah ini Allah sebutkan dalam al-Quran dan juga disebutkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis. Allah berfirman,
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Inilah suatu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (QS. At-Taubah: 3)
Kemudian, dalam hadis dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَفَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الْجَمَرَاتِ فِى الْحَجَّةِ الَّتِى حَجَّ فَقَالَ « أَىُّ يَوْمٍ هَذَا ». قَالُوا يَوْمُ النَّحْرِ. قَالَ « هَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ »
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahr (idul adha) beliau berdiri diantara tempat melempar jumrah, ketika haji wada’. Kemudian beliau bertanya, “Sekarang hari apa?”
“Hari Nahr (hari idul adha).” Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ini adalah hari haji akbar.” (HR. Bukhari 1742, Abu Daud 1947, dan yang lainnya).
Oleh karena itu, sikap ekstrim dari sebagian dai yang menyatakan, ‘haji akbar itu tidak ada’, ‘tidak ada istilah haji akbar’, atau kalimat pengingkaran yang lainnya, ini jelas sikap yang tidak dibenarkan. Karena istilah ini ada dalam al-Quran dan hadis yang shahih, tidak mungkin diingkari.
Kedua, bersama ayat haji akbar
Allah berfirman,
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Inilah suatu maklumat dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.” (QS. At-Taubah: 3)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji wada’ di tahun 10 H. Di tahun sebelumnya, tahun 9 H, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Bakr, Ali dan beberapa sahabat lainnya untuk pergi ke Mekah. Apa misi mereka? Tugas mereka adalah menyampaikan surat at-Taubah. Artinya, surat ini turun sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan ibadah haji wada’. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan di tafsir at-Taubah,
وأول هذه السورة الكريمة نزل على رسول الله صلى الله عليه وسلم ، لما رجع من غزوة تبوك وهم بالحج، ثم ذُكر أن المشركين يحضرون عامهم هذا الموسم على عادتهم في ذلك، وأنهم يطوفون بالبيت عراة فكره مخالطتهم، فبعث أبا بكر الصديق، رضي الله عنه، أميرًا على الحج هذه السنة، ليقيم للناس مناسكهم، ويعلم المشركين ألا يحجوا بعد عامهم هذا، وأن ينادي في الناس ببراءة
Bagian awal surat ini turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sepulang beliau dari Tabuk, dan mereka hendak berhaji. Kemudian disampaikan bahwa umumnya orang musyrikin melakukan haji di periode ini sesuai kebiasaan mereka. Dan mereka thawaf di Ka’bah sambil telanjang. Beliaupun tidak suka untuk berhaji bersama mereka. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Bakr as-Shiddiq untuk menjadi Amir Haji di tahun ini (th. 9 H). Membimbing manusia melakukan manasik dan memberi tahu orang musyrik agar mereka tidak melakukan haji setelah tahun ini. Dan mengumumkan kepada orang musyrik permusuhan dari Allah dan Rasul-Nya. (Tafsir Ibn Katsir, 4/102)
Kenyataan ini menunjukkan bahwa istilah haji akbar tidak ada hubungannya dengan haji wada’ yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Istilah haji akbar telah ada sebelum beliau melaksanakan haji wada’.
Ketiga, ulama berbeda pendapat tentang arti istilah ‘haji akbar’ yang disebutkan di ayat dan hadis di atas.
Pendapat pertama, hari haji akbar adalah hari wukuf di arafah. Ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, dan salah satu pendapat Imam as-Syafii. Beliau beralasan, bahwa inti haji adalah arafah. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْحَجُّ عَرَفَةُ
“Inti haji adalah arafah.” (HR. Ahmad 19287, Nasai 3016, Turmudzi 889,  dan yang lainnya)
Pendapat kedua, hari haji akbar adalah hari idul adha. Ini penndapat mayoritas ulama, diantaranya Imam Malik dan Imam as-Syafii dalam salah satu pendapat.
An-Nawawi menyebutkan perbedaan pendapat ini,
وقد اختلف العلماء في المراد بيوم الحج الأكبر فقيل يوم عرفه وقال مالك والشافعي والجمهور هو يوم النحر ونقل القاضي عياض عن الشافعي أنه يوم عرفة وهذا خلاف المعروف من مذهب الشافعي
Ulama berbeda pendapat tentang makna hari haji akbar. Ada yang mengatakan, hari arafah. Imam Malik, as-Syafii dan mayoritas ulama mengatakan hari nahr (idul adha). Sementara al-Qadhi Iyadh menukil keterangan dari as-Syafii bahwa hari haji akbar adala hari arafah. Dan ini perbedaan pendapat yang makruf di kalangan madzhab Syafii. (Syarh Shahih Muslim, 9/116).
Pendapat ketiga, haji akbar adalah seluruh hari selama pelaksanaan haji. Ini adalah pendapat Sufyan at-Tsauri (Zadul Masir, 3/148).
Dari ketiga pendapat ini, pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat mayoritas ulama, bahwa hari haji akbar adalah hari nahr (idul adha). Ada beberapa dalil yang menguatkan pendapat ini,
1. Tafsir ayat yang menyebutkan istilah haji akbar. Ayat ini turun berkaitan dengan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada beberapa sahabat, diantaranya Abu Bakr as-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhum untuk mengumumkan kepada penduduk Mekah, tidak boleh lagi ada orang musyrik yang berhaji dan tidak boleh lagi masuk masjid sambil telanjang. Dan pengumuman ini terjadi pada saat hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah).
2. Keterangan Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu,
أن أبا بكر رضي الله عنه بعثه في الحجة التي أمره رسول الله صلى الله عليه و سلم عليها قبل حجة الوداع في رهط يؤذن في الناس أن لا يحجن بعد العام مشرك ولا يطوف بالبيت عريان
Bahwa dalam misi haji yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum haji wada’, yang diikuti beberapa sahabat, Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu mengutus Abu Hurairah untuk mengumumkan kepada umat manusia, bahwa oranng musyrik tidak boleh melakukan haji setelah tahun ini, dan tidak boleh melakukan thawaf sambil telanjang. (HR. Bukhari 4380 & Muslim 3353).
Kata Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam shahihnya setelah membawakan riwayat di atas,
فكان حميد يقول يوم النحر يوم الحج الأكبر من أجل حديث أبي هريرة
Karena itu, Humaid mengatakan, hari nahr (idul adha) adalah hari haji akbar. Berdasarkan hadis Abu Hurairah.
3. Keterangan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَقَفَ يَوْمَ النَّحْرِ بَيْنَ الْجَمَرَاتِ فِى الْحَجَّةِ الَّتِى حَجَّ فَقَالَ « أَىُّ يَوْمٍ هَذَا ». قَالُوا يَوْمُ النَّحْرِ. قَالَ « هَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ »
Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari nahr (idul adha) beliau berdiri diantara tempat melempar jumrah, ketika haji wada’. Kemudian beliau bertanya, “Sekarang hari apa?”
“Hari Nahr (hari idul adha).” Jawab para sahabat.
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah hari haji akbar.” (HR. Bukhari 1742, Abu Daud 1947, dan yang lainnya).
4. Keterangan dari Murrah at-Thayyib, dari salah seorang sahabat, beliau menceritakan,
خَطَبَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ النَّحْرِ عَلَى نَاقَةٍ لَهُ حَمْرَاءَ مُخَضْرَمَةٍ فَقَالَ « هَذَا يَوْمُ النَّحْرِ وَهَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ »
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari nahr (idul adha) di atas ontanya,
هَذَا يَوْمُ النَّحْرِ وَهَذَا يَوْمُ الْحَجِّ الأَكْبَرِ
Ini hari nahr, dan ini hari haji akbar. (HR. Ahmad 16306).
5. Keterangan dari Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ يَوْمِ الْحَجِّ الأَكْبَرِ فَقَالَ « يَوْمُ النَّحْرِ »
Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hari haji akbar. Beliau bersabda, ‘Itu hari an-Nahr (idul adha).’ (HR. Turmudzi 957 dan dishahihkan al-Albani).
Karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan batasan hari haji akbar maka selayaknya kita mengikuti apa yang yang beliau sampaikan dan tidak menetapkan pendapat yang baru.
 Ditulis oleh: Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
https://konsultasisyariah.com/23530-meluruskan-istilah-haji-akbar-bagian-01.html

HAJI AKBAR (Penafsiran Ayat 3 Surat al-Taubah)

Seringkali terdengar perbincangan tentang haji akbar, terkait dengan firman Allah dalam surat al-Taubah berikut:
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ فَإِنْ تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِي اللَّهِ وَبَشِّرِ الَّذِينَ كَفَرُوا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ (التوبة :3)
Dan (inilah) suatu pemakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu, dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S. al-Taubah [9]: 3).
Banyak orang berasumsi bahwa haji akbar terjadi jika wukuf di Arafah jatuh pada hari Jumat. Benar tidaknya asumsi ini tentu harus diukur dari kesahihan terminologi yang digunakan, sehingga dapat dinyatakan sesuai dengan maksud ayat di atas. Jadi harus ditelusuri lebih dahulu maksud kata haji akbar dalam ayat.
Kata haji akbar hanya disebutkan sekali dalam Alquran. Tentunya hal ini menyulitkan identifikasi jika mengandalkan metode tafsîr bi al-ma’tsûr saja. Namun demikian, dapat ditelusuri secara kontekstual dengan panduan konteks ayat, hadis, dan sirah nabawi. Maka pertanyaan yang mendasar apakah ayat ini sedang berbicara tentang haji yang berbeda dari haji yang lain? Beruntung karena untuk menjawabnya, kita mewarisi banyak peninggalan (turats) dari para mufasir terdahulu.
Usaha penafsiran cukup maksimal dilakukan berdasar metode, dan analisa yang dimungkinkan secara metodologis. Namun juga tidak bisa dihindari munculnya beragam pandangan akibat keterbatasan informasi sehingga terkesan intuitif, dan kadang dipengaruhi kecenderungan tertentu sehingga terkesan subjektif. Oleh karena itu, pembahasan ini harus dimulai dari penelusuran asbabunnuzul ayat, dan konteks sosialnya.
Asbabunnuzul ayat
Menurut Ibn Sa‘ad, ayat di atas bersama beberapa ayat lain awal surat al-Taubah, diturunkan setelah Abu Bakar memulai perjalanan haji yang dipimpinnya dalam bulan Zulkaidah tahun 9 Hijrah. Agak berbeda, Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebut penurunan ayat ini setelah kepulangan Nabi saw. dari perang Tabuk. Versi Ibn Katsir didukung oleh penyataan Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya, karena ia diperintah Abu Bakar untuk mendampingi Ali membuat pengumuman ayat bara’ah itu.
Berdasar Sahih al-Bukhari, kuat dugaan awal surat al-Taubah turun sebelum Abu Bakar berangkat haji. Jadi selain memimpin jamaah haji, Abu Bakar juga mengemban tugas membuat pengumuman bara’ah. Setengah perjalanan, Rasulullah mengutus Ali menyusul rombongan, mereka bertemu di suatu tempat bernama Dhanjanân. Peristiwa ini memunculkan khilaf di tengah umat Islam, bahkan sebagian golongan secara subjektif menggiring ke arah pengutamaan Ali dari Abu Bakar.
Ibn Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya Fath al-Bari, menengahi khilaf ini secara moderat. Sebagaimana hadis sahih Bukhari, Abu Bakar memang mengemban tugas membuat pengumuman; 1) musyrikin tidak boleh berhaji pada tahun berikutnya, 2) tidak boleh tawaf secara telanjang. Lalu Rasulullah mengutus Ali untuk tugas tambahan yang lebih spesifik, yaitu terkait dengan pemutusan perjanjian damai dengan musyrikin. Hal ini dilakukan Rasulullah karena hukum adat Quraysy menggariskan, bahwa perjanjian hanya boleh diakhiri oleh orang yang mengikatnya, atau setidaknya oleh keluarga terdekatnya (ahl al-bayt). Maka semua setuju, bahwa orang yang paling tepat melakukannya adalah Ali, lalu butir pengumuman pun bertambah menjadi empat poin. Dari itu dapat disimpulkan, bahwa perjalanan haji Abu Bakar ini sejak semula memang didisain sebagai misi lanjutan setelah ekspedisi Tabuk yang sukses itu.
Perlu dicatat, bahwa Nabi saw. memulai ekspedisi Tabuk pada awal bulan Rajab, menetap berjaga selama 29 hari, dan tiba kembali di Madinah menjelang puasa Ramadhan. Sedangkan Rombongan haji pimpinan Abu Bakar berangkat di bulan Zulkaidah, jadi benar ayat itu turun setelah ekspedisi Tabuk. Dengan demikian, Ibn Katsir menunjukkan kondisi sosial yang melatari turunnya awal surat al-Taubah.
Sebagaimana diketahui, dalam perang Tabuk Rasulullah berhasil membuat gentar negara Adidaya, Romawi, sehingga mereka menarik diri, bertahan dalam benteng, dan mengikat perjanjian. Meski peperangan tidak sempat pecah, tapi sudah lebih dari cukup untuk membuktikan kekuatan Madinah, sehingga membuat kecut para musyrikin. Di samping itu, ekspedisi Tabuk melewati rintangan terberat, 30.000 pasukan menempuh perjalanan jauh dalam cuaca bulan Rajab yang sangat panas dengan perbekalan yang terbatas. Sulit dipercaya, kekuatan macam apa yang mampu membuat mereka bertahan di medan seberat ini. Dengan melewati ujian ini, kredibilitas umat Islam semakin disegani, dan Negara Islam Madinah sudah cukup siap untuk melanjutkan misi yang secara revolusioner telah dimulai saat Pembebasan Mekah.
Saat pembebasan Mekah yang terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 Hijrah, kaum muslimin telah berhasil meruntuhkan berhala yang menjadi simbol keangkuhan paganisme. Tugas selanjutnya membersihkan kota Mekah dari sisa-sisa pengaruh keberhalaan, dan tugas ini menjadi mulus setelah hapusnya ancaman dari negara adidaya Romawi. Maka musim haji tahun 9 Hijrah merupakan waktu yang tepat untuk melanjutkan misi.
Rasulullah sendiri tidak ikut berhaji. Hal ini dapat dimaklumi, sebab ibadah haji kali ini masih terganggu oleh musyrikin yang juga berhaji. Mereka kerap mengganggu dengan ucapan talbiyah syirik mereka. Mereka tawaf tanpa seutas benang ditubuh, katanya agar hadir sebagaimana kondisi saat dilahirkan ibunya. Rasulullah tidak bisa melarang mereka, sebab masih terikat perjanjian damai, dan Allah mengingatkan:
(Inilah pernyataan) pemutusan perhubungan daripada Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir. (Q.S. al-Taubah [9]: 1-2).
Menurut Haekal, pada hari berkumpulnya jamaah haji di Mina, Ali membacakan ayat 1-36 surat al-Taubah, lalu mengumumkan empat perkara; 1) orang yang kufur tidak akan masuk syurga, 2) sesudah tahun ini, orang musyrik tidak boleh lagi naik haji, 3) tidak dibolehkan lagi bertawaf secara telanjang, 4) ikatan perjanjian dengan Rasulullah hanya berlaku sampai habis temponya.
Dari pembahasan ini tampak bahwa awal surat al-Taubah diturunkan sebagai bentuk proklamasi bagi kedaulatan penuh Islam atas tanah haram. Waktu proklamasinya dicatat Alquran dengan identifikasi; hari haji akbar. Lalu bagaimana haji akbar itu dipahami?
Beberapa pendapat
Tafsir al-Qurthubi mengangkat pendapat beberapa ulama tentang maksud haji akbar. Satu pendapat diriwayatkan bersumber dari Mujahid (w. 104 H) menyatakan, bahwa haji besar (al-hajj al-akbar) adalah haji qiran. Istilah al-hajj al-akbar ini diperhadapkan dengan istilah al-hajj al-ashghar (haji kecil) yang menurut Mujahid adalah haji ifrad. Al-Qurthubi tidak setuju dengan pendapat ini, sebab tidak berdasar nas.
Mujahid juga punya pendapat lain yang sama dengan pendapat ‘Athâ’ (w. 114 H), bahwa haji kecil (al-hajj al-ashghar) adalah umrah. Jadi haji akbar adalah ibadah haji itu sendiri yang dilaksanakan lengkap dengan wukuf di Arafah. Al-Thabari dalam tafsirnya menambahkan tokoh tabiin lainnya yang berpendirian sama, yaitu al-Sya‘bi. Sementara Ibn Hajar dalam Fath al-Bari menyatakan adanya riwayat serupa yang disampaikan ‘Abd al-Razzaq dari Abdullah ibn Syadad.
Pendapat lain dari al-Hasan (w. 97 H), dan ‘Abd Allah ibn al-Harits ibn Nawfal (w. 79 H), bahwa penamaan haji akbar itu karena pada masa itu non muslim juga ikut berhaji. Namun pendapat ini dibantah oleh Ibn ‘Athiyah, sebab tidak mungkin alasan seperti ini menjadi dasar penamaan oleh Alquran. Al-Hasan juga berpendapat, bahwa penamaan haji akbar karena pada haji tahun 9 Hijrah itu, Abu Bakar membawa misi pengumuman bara’ah, dan pemutusan perjanjian damai dengan musyrikin Quraysy.
Sementara Ibn Sîrîn (w. 110 H) menyatakan bahwa haji akbar adalah haji wada’, penamaan itu karena Nabi saw. sendiri ikut serta di dalamnya bersama umat. Selain itu juga ada pendapat bahwa hari haji akbar adalah seluruh hari peribadatan haji. Menurut Ibn Hajar, pendapat ini bersumber dari al-Tsawri, dan dikuatkan oleh al-Suhayli, karena Ali diperintah menyampaikan pengumuman dalam hari-hari haji tanpa ditentukan satu hari yang khusus.
Semua pendapat di atas menunjukkan pola yang sama, bahwa pemilik pendapat berasumsi adanya afdhaliyah pada satu rangkaian ibadah haji sehingga disebut haji akbar. Namun mereka berbeda dalam hal bandingannya yang disebut al-hajj al-asghar. Sayangnya pendapat dalam pemetaan pertama ini tidak dikuatkan petunjuk nas, baik Alquran maupun Hadis.
Adapun pemetaan yang kedua, polanya lebih kepada pencarian satu hari yang disebut sebagai hari haji akbar di antara hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Maka al-hajj al-asghar adalah seluruh hari-hari haji setelah dikecualikan satu hari yang akbar. Di sini terpecah menjadi dua pendapat, sesuai dengan hadis yang menjadi dasar pegangan.
Pendapat pertama, menyatakan hari haji akbar jatuh pada hari Arafah, yaitu tanggal 9 Zulhijjah. Artinya, hari Arafah merupakan hari terbesar di antara hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Dasarnya hadis yang diriwayatkan dari Umar, Usman, Ibn Abbas, Thaus, dan Mujahid. Mereka juga berpegang pada Hadis riwayat Ismail al-Qadhi, bahwa Rasulullah menyatakan hari haji akbar adalah hari Arafah. Menurut al-Qurthubi, pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Sayangnya hadis yang dipegang bernilai dha‘if, sebab dalam sanadnya terdapat Sufyan ibn Waki‘ yang dicatat Ibn Hajar dalam kitab Tahzib al-Kamal sebagai orang yang diduga dusta.
Pendapat kedua, menyatakan hari haji akbar jatuh pada hari Nahar, yaitu dimulai dari terbitnya fajar tanggal 10 Zulhijjah. Artinya, hari terbesar dari hari-hari pelaksanaan ibadah haji adalah hari Nahar. Pendapat ini didasarkan pada dua hadis, pertama, hadis yang dipandang sahih oleh Abu Daud, di mana Rasulullah bertanya; “Hari apa ini?”, sahabat menjawab; “Hari Nahar”, lalu Rasulullah meralat; “ini adalah hari haji akbar”. Kedua, hadis yang di-takhrij al-Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa dirinya mendampingi Ali membuat pengumuman bara’ah pada hari Nahar. Menurut al-Qurthubi, pendapat ini juga dipegang oleh Imam Malik.
Kedua hadis yang menjadi dasar pendapat kedua ini bernilai sahih. Hadis Abu Daud di atas telah diteliti oleh al-Albani, dan dinyatakan sahih. Adapun hadis kedua sudah tidak diragukan lagi karena ketatnya syarat sahih al-Bukhari. Bisa saja kedua hadis ini dianggap saling melengkapi, sehingga kuatlah pendapat; hari haji akbar adalah hari Nahar. Tapi sebenarnya kedua hadis ini berbicara tentang dua peristiwa berbeda. Hadis pertama tentang hari haji akbar di masa haji wada’ (tahun 10 H), sementara hadis kedua tentang hari haji akbar pada haji Abu Bakar (tahun 9 H).
Sampai di sini, inti masalah belum terjawab. Apakah hari haji akbar yang disebut Rasulullah pada haji wada’ itu semakna dengan hari haji akbar yang di sebut dalam ayat?
Haji akbar dalam terminologi Alquran
Jika hari Nahar tahun 10 Hijrah sangat jelas disebut Rasul sebagai hari haji akbar, maka itu sangat berbeda dengan hari Nahar tahun 9 Hijrah. Perhatikan teks hadis sahih al-Bukhari berikut:
 حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عُقَيْلٌ قَالَ ابْنُ شِهَابٍ فَأَخْبَرَنِي حُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ: بَعَثَنِي أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي تِلْكَ الْحَجَّةِ فِي الْمُؤَذِّنِينَ بَعَثَهُمْ يَوْمَ النَّحْرِ يُؤَذِّنُونَ بِمِنًى أَنْ لَا يَحُجَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ قَالَ حُمَيْدٌ ثُمَّ أَرْدَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَأَمَرَهُ أَنْ يُؤَذِّنَ بِبَرَاءَةَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ مَعَنَا عَلِيٌّ فِي أَهْلِ مِنًى يَوْمَ النَّحْرِ بِبَرَاءَةَ وَأَنْ لَا يَحُجَّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلَا يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
Dari Abdullah ibn Yusuf, dari al-Layts, dari ‘Uqayl; Ibn Syihab berkata; “Humayd ibn Abdurrahman mengabari saya, bahwa Abu Hurairah berkata: ‘Pada musim haji itu Abu Bakar ra. mengutus saya bersama utusan lain untuk membuat pengumuman di Mina, bahwa orang-orang musyrikin dilarang berhaji lagi setelah tahun ini, dan dilarang bertawaf secara telanjang”. Humayd berkata: “Kemudian Rasulullah membuat penambahan dengan mengutus Ali ibn Abu Thalib, maka ia membuat pengumuman bara’ah”. Abu Hurairah berkata: ”Maka Ali menyampaikan pengumuman bara’ah bersama kami di hadapan jamaah yang hadir di Mina, sekaligus pengumuman dilarangnya musyrikin berhaji tahun depan, dan tidak boleh bertawaf telanjang”.
Peristiwa yang diuraikan Abu Hurairah di atas merupakan pelaksanaan atas pengumuman bara’ah dalam ayat 3 surat al-Taubah, dan Alquran menyebut waktu pelaksanaannya pada hari haji akbar. Masalahnya, apakah Alquran memaksudkan hari haji akbar itu sebagai hari Nahar?
Penjelasan untuk itu tidak ditemukan dalam hadis sahih bukhari di atas, walaupun hadis itu jelas-jelas sedang mengurai peristiwa pengumuman bara’ah (haji tahun 9 Hijrah). Redaksi ucapan Abu Hurairah di atas hanya memberitahu bahwa pengumuman bara’ah dilaksanakan pada hari Nahar, dan bertempat di Mina. Jadi tidak secara tegas menjelaskan hari Nahar sebagai hari haji akbar. Bisa saja yang dimaksud dengan hari haji akbar merupakan keseluruhan hari-hari haji tahun 9 Hijrah, sehingga Abu Bakar bebas memilih salah satu hari dalam musim haji itu sebagai waktu membuat pengumuman. Lalu Humayd ibn Abdurrahman menyimpulkan sendiri bahwa yang dimaksud hari haji akbar adalah hari Nahar.
Pendapat Humayd ini bisa saja ditinggalkan, dan bisa pula diterima. Namun tentu harus dipikirkan konsekuensinya sebelum memutuskan penerimaan atau penolakan ini.
Jika ditolak, maka hari haji akbar dalam hadis haji wada’ menjadi berbeda dari hari haji akbar dalam ayat. Artinya, penjelasan hadis bisa dipahami secara mandiri tanpa harus terkait dengan konteks ayat. Sebab dalam hadis Abu Daud, jelas ditentukan hari Nahar sebagai hari haji akbar, sementara dalam ayat tidak ditentukan harinya. Lalu, apakah dengan memahami hadis secara mandiri ini mengantarkan pada petunjuk afdhaliyah haji akbar yang jatuh pada hari Jumat?
Apa yang dipahami masyarakat umum tidak terjawab lewat hadis ini. Sebab hari Nahar yang disebut dalam hadis sahih Abu Daud itu jatuh pada hari Sabtu, 10 Zulhijjah tahun 10 Hijrah/7 Maret 632 M. Sedangkan hari Jumat, 9 Zulhijjah tahun 10 Hijrah yang merupakan hari Arafah, tidak bisa dinyatakan sebagai hari haji akbar, sebab hadis yang mendasarinya bernilai dha’if. Sebagaimana disebutkan di atas, dalam sanadnya terdapat Sufyan ibn Waki‘ yang dicatat Ibn Hajar dalam kitab Tahzib al-Kamal sebagai orang yang diduga dusta.
Sebaliknya, jika didasarkan kepada analisa Humayd ibn Abdurrahman berdasar informasi Abu Hurairah, maka hari Nahar tahun 9 Hijrah jatuh pada hari Selasa, 19 Maret 631 M. Jadi hari Arafah dan hari Nahar tahun 9 Hijrah tidak jatuh pada hari Jumat, maka hadis dan ayat tidak menginformasikan haji akbar dalam konteks jatuh pada hari Jumat. Hal ini menjadi semakin kabur karena tidak sahihnya hadis yang dikutip sebagian ulama. Misalnya hadis yang dikutip dalam kitab I‘anat al-Thalibin tentang afdhal-nya haji yang hari Arafahnya jatuh pada hari Jumat.
 Sampai di sini, pendekatan secara parsial terhadap ayat atau hadis, ternyata tidak memberi pemahaman yang komprehensif. Lalu mungkinkah ayat dan hadis ini dipahami secara terintegrasi?

Kiranya kesepakatan usuliyun ,tentang berposisinya hadis sebagai penjelas ayat, patut dijadikan pendekatan dalam memahami hari haji akbar ini. Maka berdasar asbabun nuzul, ayat 3 surat al-Taubah berbicara tentang pengumuman bara’ah. Adapun hari haji akbar, disebutkan sebagai informasi tambahan yang tidak perlu diperdetil, sebab ia bukan pokok pembicaraan. Jika kemudian Rasul memberikan informasi yang lebih kurang sama dengan terminologi ayat, maka dapat diyakini sebagai tambahan penjelasan, kecuali ada petunjuk sebaliknya. Dengan demikian, interpretasi Humayd ibn Abdurrahman dapat diterima, sebab ia mempertautkan hadis dengan ayat. Wallahu a‘lam.
 http://jabbarsabil.blogspot.co.id/2013/10/haji-akbar-penafsiran-ayat-3-surat-al.html

Apakah yang Dimaksud dengan Haji Akbar?

 Al-Qur’an [QS. at-Taubah [9]: 3] menyebut istilah haji akbar (al-hajj al-akbar), “Dan inilah satu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari Haji Akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik,…”. Ayat ini turun pada tahun ke sembilan hijrah, dan tahun itulah yang dimaksud oleh ayat ini dengan tahun haji akbar. Dalam beberapa kitab tafsir, antara lain Tafsîr al-Qurthûbî, dijelaskan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang hari haji akbar yang dimaksudkan dalam ayat itu.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan hari haji akbar (al-hajj al-akbar) adalah hari wuquf di ‘Arafah, yakni tanggal 9 Dzulhijjah. Inilah pendapat Imam Abû Hanîfah dan Imam Syâfi‘î.
Sementara itu, Imam Mâlik, ath-Thabarî, dan Imam Bukhârî berpendapat bahwa hari itu adalah hari penyembelihan kurban di Mina atau, dengan kata lain, tanggal 10 Dzulhijjah (Hari Raya Idul Adha). Seperti terbaca dalam ayat di atas, para ulama mengaitkan “hari haji akbar” dengan aktivitas ibadah haji –wuquf atau penyembelihan kurban. Jika kita menerima pendapat para ulama di atas, yakni bahwa “hari haji akbar” adalah hari wuquf atau hari penyembelihan kurban, maka ini berarti bahwa ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun disebut haji akbar. Sebab, dalam ibadah haji setiap tahun, pastilah ada hari wuquf dan hari penyembelihan kurban. Bahkan, secara tegas dan gamblang Imam ‘Athâ’ menyatakan bahwa haji akbar adalah haji (kunjungan ke Mekkah) yang disertai dengan kewajiban wuquf di ‘Arafah.
Imam Mujâhid lebih jelas lagi dengan menyatakan bahwa seluruh hari pelaksanaan ibadah haji dinamai haji akbar. Kembali kepada Imam al-Qurthûbî, ulama ini menjelaskan bahwa hari itu disebut hari haji akbar, karena dikenal pula istilah haji kecil (al-hajj al-asghar). Haji kecil adalah umrah. Dengan demikian, ibadah haji yang dalam pelaksanaannya mengandung tata cara umrah ditambah wuquf, melontar, dan lain-lain wajar disebut haji akbar, untuk membedakannya dengan umrah.
Ada juga sebagian ulama lain yang berpendapat bahwa ia disebut haji akbar, karena –ketika dikumandangkan permakluman oleh ayat di atas– orang-orang Muslim dan musyrik berkumpul melaksanakan ibadah haji, atau hari itu bertepatan dengan empat hari raya penganut berbagai agama –Islam, Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Betapapun juga, pada akhirnya, kita dapat mengatakan bahwa tidak ditemukan pendapat seorang ulama pun yang mengaitkan hari haji akbar dengan hari Jumat, sebagaimana populer di kalangan masyarakat.
Memang benar bahwa wuquf di ‘Arafah pada hari Jumat memiliki keistimewaan, karena hari Jumat adalah hari yang terbaik (sayyid al-ayyâm), dan Nabi Muhammad hanya melaksanakan ibadah haji sekali seumur hidup dengan wuquf di ‘Arafah yang bertepatan dengan hari Jumat. Di sisi lain, ada sebuah riwayat bernilai dhaif yang berbunyi demikian, “Seutama-utama hari adalah hari ‘Arafah. Dan jika hari ‘Arafah ini bertepatan dengan hari Jumat, maka haji yang dilakukan pada hari itu lebih utama dari tujuh puluh haji yang wuqufnya selain pada hari Jumat. Seutama-utama doa adalah doa di hari ‘Arafah; seutama-utama kalimat yang kuucapkan dan diucapkan oleh para nabi sebelumku adalah: Lâ ilâha illâ Allâh wahdahu lâ syarîka lahu —Tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah semata. Tiada sekutu bagi-Nya.”
Hadits ini diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaydillâh bin Kuraiz, seorang yang tidak pernah bertemu dengan Nabi. Sebagian ulama menilai riwayat ini bernilai lemah.
[M. Quraish Shihab – Dewan Pakar Pusat Studi al-Qur’an]
 http://alifmagz.com/quran-answer/haji-akbar-dan-haji-biasa/

Haji Akbar 

BANYAK orang berasumsi, “haji akbar” terjadi jika wukuf di Arafah jatuh pada hari Jumat, padahal tidak ada satupun hadis tentang ini yang sahih. Namun demikian, ada yang mengaitkannya dengan firman Allah dalam surat al-Taubah berikut; Dan (inilah) suatu pemakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada `hari haji akbar’, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertobat itu lebih baik bagimu, dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S. al-Taubah [9]: 3).
Apa itu haji akbar?
Tafsir al-Qurthubi mengangkat beberepa pendapat tentang maksud haji akbar. Diriwayatkan dari Mujahid (w. 104 H), bahwa haji besar (al-hajj al-akbar) adalah haji qiran, kebalikannya al-hajj al-ashghar (haji kecil), adalah haji ifrad. Al-Qurthubi tidak setuju dengan pendapat ini, sebab tidak berdasar nas.
Pendapat lain dari ‘Athâ’ (w. 114 H), bahwa haji kecil (al-hajj al-ashghar) adalah umrah. Menurut Tafsir al-Thabari, pendapat ini juga dipegang oleh al-Sya‘bi. Sementara Ibn Hajar dalam Fath al-Bari mengemukakan riwayat serupa dari ‘Abd al-Razzaq, dan dari Abdullah ibn Syadad. Sementara al-Hasan (w. 97 H), dan ‘Abd Allah ibn al-Harits ibn Nawfal (w. 79 H), menyatakan penamaan haji akbar karena nonmuslim juga ikut berhaji pada musim haji tahun 9 Hijrah. Namun pendapat ini dibantah oleh Ibn ‘Athiyah.
Al-Hasan juga berpendapat, penaman haji akbar karena pada haji tahun 9 Hijrah itu, Abu Bakar membawa misi pengumuman bara’ah, dan pemutusan perjanjian damai dengan musyrikin Quraysy. Ada juga pendapat dari Ibn Sîrîn (w. 110 H), bahwa haji akbar adalah haji wada’, karena Nabi saw. sendiri ikut serta di dalamnya bersama umat.
Semua pendapat di atas mengasumsikan adanya afdhaliyah pada satu rangkaian ibadah haji sehingga disebut haji akbar. Namun mereka berbeda dalam hal bandingannya yang disebut al-hajj al-asghar. Sayangnya semua pendapat di atas tidak dikuatkan petunjuk nas, baik Alquran maupun Hadis. Selain pendapat di atas, ada pula pendapat ulama yang polanya lebih kepada pencarian satu hari yang disebut sebagai hari haji akbar di antara hari-hari pelaksanaan ibadah haji. Di sini terpecah menjadi dua pendapat, sesuai dengan hadis yang menjadi dasar pegangan.
Pendapat pertama, menyatakan hari haji akbar jatuh pada hari Arafah, yaitu tanggal 9 Zulhijjah. Dasarnya hadis yang diriwayatkan dari Umar, Usman, Ibn Abbas, Thaus, dan Mujahid. Mereka juga berpegang pada Hadis riwayat Ismail al-Qadhi, bahwa Rasulullah menyatakan hari haji akbar adalah hari Arafah. Menurut al-Qurthubi, pendapat ini juga dipegang oleh Abu Hanifah dan Imam Syafi’i. Sayangnya hadis yang dipegang bernilai dha‘if, sebab dalam sanadnya terdapat Sufyan ibn Waki‘ yang dicatat Ibn Hajar dalam kitab Tahzib al-Kamal sebagai orang yang diduga dusta.
Pendapat kedua, menyatakan hari haji akbar jatuh pada hari Nahar, yaitu dimulai dari terbitnya fajar tanggal 10 Zulhijjah. Dasarnya hadis yang dipandang sahih oleh Abu Daud, di mana Rasulullah bertanya; “Hari apa ini?”, sahabat menjawab; “Hari Nahar”, lalu Rasulullah meralat; “ini adalah hari haji akbar”. Pendapat ini juga didasarkan kepada hadis yang di-takhrij al-Bukhari dari Abu Hurairah, bahwa dirinya mendampingi Ali membuat pengumuman pada hari Nahar. Menurut al-Qurthubi, pendapat ini juga dipegang oleh Imam Malik.
Menurut al-Albani, hadis Abu Daud dalam pendapat kedua di atas bernilai sahih. Adapun hadis al-Bukhari tidak diragukan lagi kesahihannya karena syarat sahih yang dipakai al-Bukhari sangat ketat. Maka dapat dipastikan, bahwa pada musim haji wada’ ada hari haji akbarnya berdasar penegasan Rasul, yaitu hari Nahar. Adapun keberadaan hari haji akbar dalam haji tahun 9 Hijrah telah dinyatakan Alquran dalam ayat 3 surat al-Taubah.
Asbabunnuzul ayat
Menurut Ibn Sa‘ad, ayat di atas bersama beberapa ayat lain awal surat al-Taubah, diturunkan setelah Abu Bakar memulai perjalanan haji yang dipimpinnya dalam bulan Zulkaidah tahun 9 Hijrah. Agak berbeda, Ibn Katsir dalam tafsirnya menyebut penurunan ayat ini setelah kepulangan Nabi saw. dari perang Tabuk. Versi Ibn Katsir didukung oleh penyataan Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari dalam kitab Sahih-nya, karena ia diperintah Abu Bakar untuk mendampingi Ali membuat pengumuman ayat bara’ah itu.
Perlu dicatat, Nabi saw  memulai ekspedisi Tabuk pada awal bulan Rajab, menetap berjaga selama 29 hari, dan tiba kembali di Madinah menjelang puasa Ramadhan. Sedangkan Rombongan haji pimpinan Abu Bakar berangkat di bulan Zulkaidah, jadi benar ayat itu turun setelah ekspedisi Tabuk.
Berdasar Sahih al-Bukhari, diyakini awal surat al-Taubah turun sebelum Abu Bakar berangkat haji. Jadi Abu Bakar mengemban tugas mengumumkan bara’ah, selain memimpin jemaah haji. Setengah perjalanan, Rasulullah mengutus Ali menyusul rombongan, mereka bertemu di suatu tempat bernama Dhanjanân. Peristiwa ini memunculkan khilaf di tengah umat Islam, bahkan sebagian golongan secara subjektif menggiring ke arah pengutamaan Ali dari Abu Bakar. Ibn Hajar al-‘Asqalani, dalam kitabnya Fath al-Bari, menengahi khilaf ini secara moderat, bahwa Abu Bakar memang mengemban tugas membuat pengumuman bara-ah. Lalu Rasulullah mengutus Ali untuk tugas tambahan yang lebih spesifik, yaitu terkait dengan pemutusan perjanjian damai dengan musyrikin. Hal ini dilakukan Rasulullah karena hukum adat Quraysy menggariskan, bahwa perjanjian hanya boleh diakhiri oleh orang yang mengikatnya, atau setidaknya oleh keluarga terdekatnya (ahl al-bayt). Maka semua setuju, bahwa orang yang paling tepat melakukannya adalah Ali, lalu butir pengumuman pun bertambah menjadi empat poin.
Pada hari berkumpulnya jemaah haji di Mina, yaitu pada hari nahar,  Ali membacakan ayat 1-36 surat al-Taubah, lalu mengumumkan empat perkara; 1) orang yang kufur tidak akan masuk syurga, 2) sesudah tahun ini, orang musyrik tidak boleh lagi naik haji, 3) tidak dibolehkan lagi bertawaf secara telanjang, 4) ikatan perjanjian dengan Rasulullah hanya berlaku sampai habis temponya. Begitu pentingnya hari pengumuman itu, sehingga Alquran mencatatnya dengan menyebut “Hari Haji Akbar”.
Pengumuman itu merupakan proklamasi atas kekuasaan penuh Islam terhadap tanah haram. Hari itu penting untuk dikenang umat Islam, oleh karena itu, hari itu ada di setiap tahun, bukan khusus di tahun yang wukuf arafah-nya jatuh pada hari Jumat. Wallahu A’alam.
* Penulis adalah mahasiswa program doktoral PPs IAIN Ar-Raniry.
http://www.serambinews.com/news/view/41302/haji-akbar
 https://mulyadinurdin.wordpress.com/2010/11/02/haji-akbar/
 Dalam Qur'an surah At Taubah ( 9 ) : 3,disebutkan
istilah haji Akbar itu,dalam FirmanNya : :" Dan inilah
satu pemakluman dari Allah SWT dan RasulNya kepada
ummat manusia pada hari haji Akbar,bahwa sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik ".

Ayat ini turun pada tahun ke - 9 H.Tahun itulah yang
dimaksud oleh ayat dengan haji Akbar.

Dalam beberapa tafsir,antara lain tafsir karya imam Al
Qurthubi,dijelaskan bahwa ulama berbeda pendapat
tentang haji Akbar yang dimaksud ayat tersebut..

Ada yang berpendapat,bahwa yang dimaksud dengan haji
Akbar adalah wukuf di Arafah.,yakni tgl 9
Dzulhijjah.Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan Syafi'i.

Sedangkan imam Malik,At Thabbary dan Bukhari
berpendapat bahwa hari tersebut adalah hari
penyembelihan kurban di Mina.dengan kata lain,tgl 10
Dzulhijjah ( Idil Adha ).

Seperti terbaca di atas,para ulama mengaitkan haji
Akbar dengan aktifitas ibadah haji wukuf,atau
penyembelihan kurban.

kalau kita menerima pendapat para ulama diatas,bahwa
haji akbar adalah hari penyembelihan,dan wukuf di
Arafah,berarti setiap tahun adalah haji Akbar,karena
setiap tahun ada penyembelihan dan wukuf di Arafahnya.

Kembali kepada Imam Al Qurthubi,ulama ini menjelaskan
bahwa " Hari tersebut dinamai dengan haji Akbar,karena
dikenal pula dengan istilah haji Asghar ( kecil ).Haji
Asghar adalah Umrah.

Dengan demikian,ibadah haji yang tata caranya
mengandung tata cara ditambah wukuf,melontar,dan
lain-lainnya,wajar dikatakan dengan haji Akbar,untuk
membedakannya dengan umrah.

Ada juga yang berpendapat,bahwa ia dinamai haji
Akbar,oleh ayat diatas,karena ketika di
kumandangkannya pemakluman oleh ayat tersebut,orang
muslim dan musyrik berkumpul melaksanakan ibadah haji.

Betapapun,tidak ditemukan pendapat seorang ulamapun
yang mengaitkan haji Akbar dengan hari
Jum'at,sebagaimana populer dalam masyarakat kita.

Tetapi benar,bahwa wukuf di Arafah,pada hari jum'at
mempunyai keistimewaan.Antara lain,adalah,disebabkan
karena hari jum'at hari yang terbaik ( Sayyid Al Ayyam
).

Dan nabi Muhammad SAW yang hanya melaksanakan haji
sekali dalam umurnya,melakukan wukuf di
Arafah,bertepatan dengan hari jum'at.

Disisi lain,ada sebuah riwayat yang nilainya
lemah,menyatakan bahwa : " Seutama-utama hari adalah
hari 'Arafah.dan apabila hari Arafah bertepatan dengan
hari Jum'at,maka haji itu lebih utama dari 70
haji,yang wukufnya selain hari jum'at ".

Hadist ini diterima melalui Thalhah bin
Ubaidillah.seorang yang tidak pernah bertemu Nabi
Muhammad.Maka nilai,atau derajat hadistnya lemah.

Namun meski demikian lemah hadistnya,harus diakui
bahwa wukuf di hari Jum'at mempunyai
keistimewaan.Karena Allahpun memilih nabiNya untuk
wukuf di Arafah,tepat pada hari jum'at itu
pula,sehingga diharapkan semua yang wukuf pada hari
jum'at,mendapat tambahan percikan rahmat dari Allah
SWT.

Kalau terjadi persamaan wukuf dan shalat
jum'at,silahkan khutbah dan shalat jum'at ( bersamaan
).Setelah itu,silahkan shalat ashar,bila sudah tiba
waktunya.Setelah terbenam matahari,siap-siap berangkat
dari Arafah menuju Mudzdhalifah.

Demikian dulu jawaban saya,yang saya nukilkan dari
buku haji Quraish Shihab ( mantan dubes Indonesia
untuk mesir ). 
https://groups.yahoo.com/neo/groups/surau/conversations/messages/20555

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer