Qira'at



ILMU QIRA’AT, MACAM, DAN SEJARAHNYA

1. Pengertian Qiraat
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan
Pengertian qira’at  menurut istilah cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama tersebut. Berikut ini akan diberikan dua pengertian qira’at menurut istilah.
Qira’at menurut al-Zarkasyi merupakan perbedaan lafal-lafal al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun cara pengucapan huruf-huruf tersebut, sepeti takhfif, tasydid dan lain-lain.
Dari pengertian di atas, tampaknya al-Zarkasyi hanya terbatas pada lafal-lafal al-Qur'an yang memiliki perbedaan qira’at saja. Ia tidak menjelaskan bagaimana perbedaan qira’at itu dapat terjadi dan bagaimana pula cara mendapatkan qira’at itu.
Ada pengertian lain tentang qira’at yang lebih luas daripada pengertian dari al-Zarkasyi di atas, yaitu pengertian qira’at menurut pendapat al-Zarqani.
Al-Zarqani memberikan pengertian qira’at sebagai : “Suatu mazhab yang dianut oleh seorang imam dari para imam qurra’ yang berbeda dengan yang lainnya dalam pengucapan al-Qur’an al-Karim dengan kesesuaian riwayat dan thuruq darinya. Baik itu perbedaan dalam pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuknya.”
Ada beberapa kata kunci dalam membicarakan qiraat yang harus diketahui. Kata kunci tersebut adalah qira’at, riwayat dan tariqah. Berikut ini akan dipaparkan pengetian dan perbedaan antara qira’at dengan riwayat dan tariqah, sebagai berikut :
Qira’at adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang imam dari qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas; seperti qira’at Nafi’, qira’at Ibn Kasir, qira’at Ya’qub dan lain sebagainya.
Sedangkan Riwayat adalah bacaan yang disandarkan kepada salah seorang perawi dari para qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Nafi’ mempunyai dua orang perawi, yaitu Qalun dan Warsy, maka disebut dengan riwayat Qalun ‘anNafi’ atau riwayat Warsy ‘an Nafi’.
Adapun yang dimaksud dengan tariqah adalah bacaan yang disandarkan kepada orang yang mengambil qira’at dari periwayat qurra’ yang tujuh, sepuluh atau empat belas. Misalnya, Warsy mempunyai dua murid yaitu al-Azraq dan al-Asbahani, maka disebut tariq al-Azraq ‘an Warsy, atau riwayat Warsy min thariq al-Azraq. Bisa juga disebut dengan qira’at Nafi’ min riwayati Warsy min tariq al-Azraq.

2. Sejarah Perkembangan Qiraat
Pembahasan tentang sejarah dan perkembangan ilmu qira’at ini dimulai dengan adanya perbedaan pendapat tentang  waktu mulai diturunkannya qira’at. Ada dua pendapat tentang hal ini; Pertama, qira’at mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya al-Qur’an. Alasannya adalah bahwa sebagian besar surat-surat al-Qur’an adalah Makkiyah di mana terdapat juga di dalamnya qira’at sebagaimana yang terdapat pada surat-surat Madaniyah. Hal ini menunjukkan bahwa qira’at itu sudah mulai diturunkan sejak di Makkah.
Kedua, qira’at mulai diturunkan di Madinah sesudah peristiwa Hijrah, dimana orang-orang yang masuk Islam sudah banyak dan saling berbeda ungkapan bahasa Arab dan dialeknya. Pendapat ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, demikian juga Ibn Jarir al-Tabari dalam kitab tafsirnya. Hadis yang panjang tersebut menunjukkan tentang waktu dibolehkannya membaca al-Qur’an dengan tujuh huruf adalah sesudah Hijrah, sebab sumber air Bani Gaffar – yang disebutkan dalam hadis tersebutterletak di dekat kota Madinah.
Kuatnya pendapat yang kedua ini tidak berarti menolak membaca surat-surat yang diturunkan di Makkah dalam tujuh huruf, karena ada hadis yang menceritakan tentang adanya perselisihan dalam bacaan surat al-Furqan yang termasuk dalam surat Makkiyah, jadi jelas bahwa dalam surat-surat Makkiyah juga dalam tujuh huruf.
Ketika mushaf disalin pada masa Usman bin Affan, tulisannya sengaja tidak diberi titik dan harakat, sehingga kalimat-kalimatnya dapat menampung lebih dari satu qira’at yang berbeda. Jika tidak bisa dicakup oleh satu kalimat, maka ditulis pada mushaf yang lain. Demikian seterusnya, sehingga mushaf Usmani mencakup ahruf sab’ah dan berbagai qira’at yang ada.
Periwayatan dan Talaqqi (si guru membaca dan murid mengikuti bacaan tersebut) dari orang-orang yang tsiqoh dan dipercaya merupakan kunci utama pengambilan qira’at al-Qur’an secara benar dan tepat sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Para sahabat berbeda-beda ketika menerima qira’at dari Rasulullah. Ketika Usman mengirimkan mushaf-mushaf ke berbagai kota Islam, beliau menyertakan  orang yang sesuai qiraatnya dengan mushaf tersebut. Qira’at orang-orang ini berbeda-beda satu sama lain, sebagaimana mereka mengambil qira’at dari  sahabat yang berbeda pula, sedangkan sahabat juga berbeda-beda  dalam mengambil qira’at dari Rasulullah SAW.
Dapat disebutkan di sini para Sahabat ahli qira’at, antara lain adalah : Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab,  Zaid bin Tsabit, Ibn Mas’ud, Abu al-Darda’, dan Abu Musa al-‘Asy’ari.
Para sahabat kemudian menyebar ke seluruh pelosok negeri Islam dengan membawa qira’at masing-masing. Hal ini menyebabkan berbeda-beda juga ketika Tabi’in mengambil qira’at dari para Sahabat. Demikian halnya dengan Tabiut-tabi’in yang berbeda-beda dalam mengambil qira’at dari para Tabi’in.
Ahli-ahli qira’at di kalangan Tabi’in juga telah menyebar di berbagai kota. Para Tabi’in ahli qira’at yang tinggal di Madinah antara lain : Ibn al-Musayyab, ‘Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan’Ata’ (keduanya putra Yasar), Muadz bin Harits yang terkenal dengan Mu’ad al-Qari’, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, Ibn Syihab al-Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Makkah, yaitu: ‘Ubaid bin’Umair, ‘Ata’ bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, ‘Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi’in yang tinggal di Kufah, ialah : ‘Alqamah, al-Aswad, Maruq, ‘Ubaidah, ‘Amr bin Surahbil, al-Haris bin Qais,’Amr bin Maimun, Abu Abdurrahman al-Sulami, Said bin Jabir, al-Nakha’i dan al-Sya'bi.
Sementara Tabi’in yang tinggal di Basrah , adalah Abu ‘Aliyah, Abu Raja’, Nasr bin ‘Asim, Yahya bin Ya’mar, al-Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedangkan Tabi’in yang tinggal di Syam adalah : al-Mugirah bin Abu Syihab al-Makhzumi dan Khalid bin Sa’d.
Keadaan ini terus berlangsung sehingga muncul para imam qiraat yang termasyhur, yang mengkhususkan diri dalam qira’at – qira’at tertentu dan mengajarkan qira’at mereka masing-masing.
Perkembangan selanjutnya ditandai dengan munculnya masa pembukuan qira’at. Para ahli sejarah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qira’at  adalah Imam Abu Ubaid al-Qasim bin Salam yang wafat pada tahun 224 H. Ia menulis kitab yang diberi nama al-Qira’at yang menghimpun qiraat dari 25 orang perawi. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qiraat adalah Husain bin Usman bin Tsabit al-Baghdadi al-Dharir yang wafat pada tahun 378 H.  Dengan demikian mulai saat itu qira’at menjadi ilmu tersendiri dalam ‘Ulum al-Qur’an.
Menurut Sya’ban Muhammad Ismail, kedua pendapat itu dapat dikompromikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qiraat dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menullis tentang qira’at sab’ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin Usman al-Baghdadi.
Pada penghujung Abad ke III Hijriyah, Ibn Mujahid menyusun qira’at Sab’ah dalam kitabnya Kitab al-Sab’ah. Dia hanya memasukkan para imam qiraat yang terkenal siqat dan amanah serta panjang pengabdiannya dalam mengajarkan al-Qur’an, yang berjumlah tujuh orang. Tentunya masih banyak imam qira’at yanng lain yang dapat dimasukkan dalam kitabnya.
Ibn Mujahid menamakan kitabnya dengan Kitab al-Sab’ah hanyalah secara kebetulan, tanpa ada maksud tertentu. Setelah munculnya kitab ini, orang-orang awam menyangka bahwa yang dimaksud dengan ahruf sab’ah  adalah qira’at sab’ah oleh Ibn Mujahid ini. Padahal masih banyak lagi imam qira’at lain yang kadar kemampuannya setara  dengan tujuh imam qira’at dalam kitab Ibn Mujahid
Abu al-Abbas bin Ammar mengecam Ibn Mujahid karena telah mengumpulkan qira’at sab’ah. Menurutnya Ibn Mujahid telah melakukan hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang mengaburkan pengertian orang awam bahwa Qiraat Sab’ah itu adalah ahruf sab’ah seperti dalam hadis Nabi itu. Dia juga menyatakan, tentunya akan lebih baik jika Ibn Mujahid mau mengurangi atau menambah jumlahnya dari tujuh, agar tidak terjadi syubhat.
Banyak sekali kitab-kitab qiraat yang ditulis para ulama setelah Kitab Sab’ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah :  al-Taysir fi al-Qira’at al-Sab’i yang diisusun oleh Abu Amr al-Dani, Matan al-Syatibiyah fi Qira’at al-Sab’i karya Imam al-Syatibi, al-Nasyr fi Qira’at al-‘Asyr karya Ibn al-Jazari dan Itaf Fudala’ al-Basyar fi al-Qira’at al-Arba’ah ‘Asyara karya Imam al-Dimyati al-Banna.  Masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qira’at yang membahas qiraat dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.

3.  Pembagian  Qira’at  dan Macam-macamnya
Ibn al-Jazari, sebagaimana dinukil oleh al-Suyuti, menyatakan bahwa qira’at  dari segi sanad dapat dibagi menjadi 6 (enam) macam, yaitu :
1.    Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara   mereka untuk berbuat kebohongan.
Contoh untuk qira’at mutawatir ini ialah qira’at yang telah disepakati jalan perawiannya dari imam Qiraat Sab’ah
2. Q ira’at Masyhur
Qira’at Masyhur adalah qira’at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta qira’at -nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik qira’at itu dari para imam qira’at  sab’ah, atau imam Qiraat’asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima qira’at -nya dan dikenal di kalangan ahli qira’at bahwa qira’at itu tidak salah dan tidak syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawatir
Misalnya ialah qira’at yang diperselisihkan perawiannya dari imam qira’at Sab’ah, dimana sebagian ulama mengatakan bahwa qira’at itu dirawikan dari salah satu imam qira’at Sab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka.
Dua macam qira’at di atas, qira’at Mutawatir dan qira’at Masyhur, dipakai untuk membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun diluar shalat, dan wajib meyakini ke-Qur’an-annya serta tidak boleh mengingkarinya sedikitpun.
      3.  Q ira’at Ahad
Qira’at  Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan imam qiraat.
Qira’at  Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak wajib meyakininya sebagai al-Qur’an.
      4. Q ira’at  Syazah
Qira’at  Syazah adalah qira’at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung  sampai kepada Rasulullah SAW. Hukum Qiraat Syazah ini tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar   sholat.
qira’at Syazah dibagi lagi dalam 5 (lima) macam, sebagai berikut :
a.    Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir dan menyalahi rasam Usmani atau kaidah bahasa Arab.
b.    Syaz, yaitu qira’at yang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga.
c.    Mudraj, yaitu qira’at yang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan tafsirnya.
d.    Maudu’, yaitu qira’at yang dinisbahkan kepada orang yang mengatakannya (mengajarkannya) tanpa mempunyai asal usul riwayat qiraat sama sekali.
e.    Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir serta sesuai dengan kaeidah tata bahasa Arab dan Rasam Usmani.
Dari segi jumlah, macam-macam qira’at dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam qiraat yang terkenal, yaitu :
1.    Qira’at Sab’ah, adalah qira’at yang dinisbahkan kepada para imam Qurra’ yang tujuh yang termasyhur. Mereka adalah Nafi’, Ibn KAsir, Abu Amru, Ibn Amir, Ashim, Hamzah dan Kisa’i.
2.    Qira’at ‘Asyarah, adalah qira’at Sab’ah di atas ditambah dengan tiga qiraat lagi, yang disandarkan kepada Abu Ja’far, Ya’kub dan Khalaf  al-‘Asyir.
3.    Qira’at Arba’ ‘Asyarah, adalah qira’at ‘Asyarah lalu ditambah dengan empat qiraat lagi yang disandarkan kepada Ibn Muhaisin, Al-Yazidi, Hasan al-Bashri dam al-A’masy.
Dari ketiga macam qira’at di atas, yang paling terkenal adalah Qiraat Sab’ah kemudian disusul oleh qira’at ‘Asyarah.
http://kusuma-akf.blogspot.co.id/2011/10/ilmu-qiraat-macam-dan-sejarahnya.html

PENGENALAN ILMU QIRAAT

              Qiraat adalah salah satu ilmu daripada ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Quran. Ilmu qiraat mengajar bagaimana cara untuk menyebut ayat-ayat Al-Quran mengikut riwayat-riwayat selain daripada riwayat imam Hafs A’n Aa’sim, riwayat ini adalah riwayat yang kita amalkan setiap hari. Daripada ilmu qiraat juga kita akan dapat mempelbagaikan jenis-jenis bacaan, tidak hanya terikat dengan riwayat Hafs A’n Aa’sim sahaja. Ilmu qiraat merupakan ilmu yang harus diketahui oleh semua manusia yang mengucap dua kalimah Syahadah dan mengaku tubuh badan dan darah dagingnya beragama Islam.
1.       Qiraat  :
– Iaitu bacaan yang disandarkan bacaan kepada salah seorang daripada imam-imam al-qurra’ yang mana bersambung ( sanad ) bacaan mereka kepada Nabi Muhammad S.A.W.
 2.        Imam:
– Iaitu orang yang disandarkan bacaan kepadanya serta menjadi ikutan umat khususnya bagi mereka yang sezaman dengannya.
3.       Riwayat:
– Iaitu bacaan yang disandarkan kepada orang yang meriwayatkan bacaan daripada imam Qurra’.
4.       Rawi:
– Iaitu orang yang meriwayatkan bacaan daripada imam Qurra’.
5.       Toriq:
– Iaitu bacaan yang disandarkan kepada orang yang meriwayatkan bacaan daripada rawi, demikian juga orang yang meriwayatkan bacaan daripada rawi tersebut dinamakan sebagai toriq. Penggunaan istilah toriq tidak dihususkan bagi mereka dan bacaan mereka sahaja, bahkan ia juga digunakan bagi bacaan dan generasi sesudah mereka hingga ke bawah.
BACAAN SEPULUH YANG MUTAWATIR
Bacaan sepuluh yang mutawatir iaitu bacaan yang disandarkan kepada sepuluh imam al-qurra’ serta diriwayatkan oleh kumpulan manusia yang ramai. Bacaan sepuluh yang mutawatir ina terbahagi kepada dua kategori :
1) Al-Qiraat al-Asyr al-Kubra
– Iaitu bacaan-bacaan sepuluh besar. Bacaan sepuluh besar adalah bacaan yang disandarkan kepad   sepuluh imam yang al-qurra’ yang terkenal iaitu :
I. Imam Nafi’
II. Imam Ibnu Kathir
III. Imam Ibnu ‘Aamir
IV. Imam ‘Aashim
V. Imam Hamzah
VI. Imam Al-Kisaie
VII. Imam Abu Ja’far
VIII. Imam Ya’kub
IX. Imam Khalaf Al-‘Aasyir
Bacaan-bacaan ini telah dihimpunkan oleh imam Ibnu al-Jazari dalam matannya (syair ) yang disebut matan al-Jazariah

2) Al-qiraat al-‘Asyr al-Shughra)
–           iaitu bacaan-bacaan sepuluh kecil. Bacaan-bacaan yang disandarkan kepada sepuluh imam al-Qurra’ yang sama tetapi gabungan dua sumber iaitu :
I.            Al-qiraat al-Sab’ iaitu bacaan-bacaan tuuh yang disandarkan kepada tujuh imam al-Qurra’ iaitu imam Nafi’, imam ‘Aasim, imam Ibnu Kathir, imam Abu ‘Amru, imam Ibnu ‘Aamir, imam Hamzah dan al-Kisaie. Bacaan ini telah dihimpunkan oleh imam al-Syatibi dalam matannya ( syair )yang di sebut matan al-Syatibi .

II.            Al-qiraat al-Thalath iaitu bacaan-bacaan tiga ( melengkapkan bacaan tujuh ) yang disandarkan kapada tiga imam al-Qurra’ iaitu imam Abu Ja’far, imam Ya’kub dan imam Khalaf al-‘Aasyir. Bacaan –bacaan ini telah dihimpunkan oleh imam al-Jazari dalam matannya ( syair ) yang disebut matan al-Durrah .
http://www.kl.utm.my/islamic-center/ask-imaam-2/al-quran-hadith/pengenalan-ilmu-qiraat/
QIRA’AT AL-QUR’AN
Pengertian Qira’at al-Qur’an
Secara etimologi, lafal qira’at ( قراءة ) merupakan bentuk masdar dari ( قرأ ) yang artinya bacaan. Sedangkan menurut terminologi, terdapat berbagai pendapat para ulama yang sehubungan dengan pengertian qira’at ini.
Menurut Al-Dimyathi sebagaimana dikutip oleh Dr. Abdul Hadi al-Fadli bahwasanya qira’at adalah: “Suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an, baik yang disepakati maupun yang diikhtilapkan oleh para ahli qira’at, seperti hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), washl (menyambung huruf), ibdal (menggantiukan huruf atau lafal tertentu) dan lain-lain yang didapat melalui indra pendengaran.”
Sedangkan menurut Imam Shihabuddin al-Qushthal, qira’at adalah “Suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at, seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, i’rab, isbat, fashl dan lain-lain yang diperoleh dengan cara periwayatan.”
Dari definisi-definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-Qur’an berasal dari Nabi Muhammad SAW, melalui al-sima ( السماع ) dan an-naql ( النقل ). Berdasarkan uraian di atas pula dapat disimpulkan bahwa:
• Yang dimaksud qira’at dalam bahasan ini, yaitu cara pengucapan lafal-lafal al-Qur’an sebagaimana di ucapkan Nabi atau sebagaimana di ucapkan para sahabat di hadapan Nabi lalu beliau mentaqrirkannya.
• Qira’at al-Qur’an diperoleh berdasarkan periwayatan Nabi SAW, baik secara fi’liyah maupun taqririyah.
• Qira’at al-Qur’an tersebut adakalanya memiliki satu versi qira’at dan adakalanya memiliki beberapa versi.
Selain itu ada beberapa ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu. Muhammad Ali ash-Shobuni misalnya, mengemukakan definisi sebagai berikut: “Qira’at merupakan suatu madzhab tertentu dalam cara pengucapan al-Qur’an, dianut oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanadnya yang bersambung sampai kepada Nabi SAW.”
Sehubungan dengan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu Qira’at al-Qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudahnya. Istilah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1. القرأة : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam qira’at tertentu seperti qira’at Nabi umpamanya.
2. الرواية : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dari imamnya.
3. الطريق : Apabila Qira’at al-Qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at
Mengenai hal ini, terjadi perbedaan pula dari para ulama tentang apa sebenarnya yang menyebabkan perbedaan tersebut. Berikut pendapat para ulama:
1. Sebagaimana ulama berpendapat bahwa perbedaan Qira’at al-Qur’an disebabkan karena perbedaan qira’at Nabi SAW, artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an, beliau membacakannya dalam berbagai versi qira’at. Contoh: Nabi pernah membaca ayat 76 surat ar-Rahman dengan qira’at yang berbeda. Ayat tersebut berbunyi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَ عَبْقَرِيٍّ حِسَاٍن
Lafadz ( رَفْرَفٍ ) juga pernah dibaca Nabi dengan lafadz ( رَفَارَفٍ ), demikian pula dengan lafadz ( عَبْقَرِيٍّ ) pernah dibaca ( عَبَاقَرِيٍّ ), sehingga menjadi:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفَارَفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ
2. Pendapat lain mengatakan: Perbedaan pendapat disebabkan adanya taqrir Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku dikalangan kaum muslimin pada saat itu. Sebagai contoh: ( حَتَّى حِيْنَ ) dibaca ( حَتَّى عِيْنَ ), atau ( تَعْلَمْ ) dibaca ( تِعْلَمْ ).
3. Suatu pendapat mengatakan, perbedaan qira’at disebabkan karena perbedaannya qira’at yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi melalui perantaraan Malaikat jibril.
4. Jumhur ulama ahli qira’at berpendapat perbedaan qira’at disebabkan adanya riwayat para sahabat Nabi SAW menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
5. Sebagian ulama berpendapat, perbedaan qira’at disebabkan adanya perbedaan dialek bahasa di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya al-Qur’an.
6. Perbedaan qira’at merupakan hasil ijtihad atau rekayasa para imam qira’at. Bayhaqi menjelaskan bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal-hal qira’at merupakan sunnah, tidak boleh menyalahi mushaf dan tidak pula menyalahi qira’at yang mashur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.
Tingkatan Qira’at
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa qira’at bukanlah merupakan hasil ijtihad para ulama, karena ia bersumber dari Nabi SAW. Namun untuk membedakan mana qira’at yang berasal dari Nabi SAW dan mana yang bukan, maka para ulama menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu. Ada 3 persyaratan bagi qira’at al-Qur’an untuk dapat digolongkan sebagai qira’at shahih, yaitu:
1. صحة السند , harus memiliki sanad yang shahih
2. مطابقة الرسم , harus sesuai dengan rasm mushaf salah satu mushaf Utsmani
3. موافقة العربية , harus sesuai dengan kaidah Bahasa Arab.
Jika salah satu dari persyaratan ini tidak terpenuhi, maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.
Berdasarkan kuantitas sanad dalam periwayatan qira’at tersebut dari Nabi SAW, maka para ulama mengklasifikasikan qira’at al-Qur’an kepada beberapa macam tingkatan. Sebagian ulama membagi qira’at kepada 6 macam tingkatan, yaitu sebagai berikut:
1. المتواتر : Qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta.
2. المشهور : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir dan sesuai dengan kaidah Bahasa Arab juga rasm Utsmani.
3. الآحد : Qira’at yang shahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Utsmani ataupun kaidan Bahasa Arab (qira’at ini tidak termasuk qira’at yang diamalkan).
4. الشاذ : Qira’at yang tidak shahih sanadnya, seperti qira’at مَلَكَ يَوْمَ الدِّيْنِ , versi lain qira’at yang terdapat dalam firman Allah, berikut: مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ (الفاتحة:4)
5. الموضوع : Qira’at yang tidak ada asalnya.
6. المدرج : Qira’at yang berfungsi sebagai tafsir atau penjelas terhadap suatu ayat al-Qur’an.
Macam-macam Qira’at
Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at al-Qur’an. Dan hal ini banyak menyangkut qira’at sab’ah dan qira’at syazzat.
a. Qira’at Sab’ah
Yaitu tujuh versi qira’at yang diisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, yaitu: Ibn Amir, Ibn Katsir, Ashm, Abu Amr, Hamzah, Nafi dan al-Kisai. Qira’at ini dikenal di dunia Islam pada akhir abad ke-2 hijrah, dan di bukukan pada akhir abad ke-3 hijrah di Baghdad, oleh seorang ahli qira’at bernama Ibn Mujahid Ahmad Ibn Musa Ibn Abbas.
Contoh qira’at sab’ah yang tidak mempengaruhi makna, adalah: وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا {البقرة : 83} Ibn Katsir, Abu Amr, Nafi, Ashm dan Ibn Amir membaca حُسْبًا , sementara Hamzah dan al-Kisai membaca حَسَنًا .
Contoh qira’at sab’ah yang mempengaruhi makna, adalah: وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُوْنَ {الأنعام : 132 } Ibn Amir membaca تَعْمَلُوْنَ , sementara yang lainnya membaca يَعْمَلُوْنَ .
b. Qira’at Syazzat
Yaitu qira’at yang sanadnya shahih, sesuai dengan kaidah Bahasa Arab, akan tetapi menyalahi rasm Ustmani. Dengan demikian qira’at ini dapat diterima eksistensinya, akan tetapi para ulama sepakat tidak mengakui kegunaannya, dengan kata lain qira’at ini dimaksudkan sebagai penjelasan terhadap qira’at yang terkenal diakui kegunaannya.
Beberapa contoh qira’at syazzat:
• Qira’at Aisyah dan Hafsah
• Qira’at Ibn Mas’ud
• Qira’at Ubay Ibn Ka’ab
• Qira’at Sa’ad Ibn Abi Waqash
• Qira’at Ibn Abbas
• Qira’at Jabir
Kegunaan Mempelajari Qira’at
Dengan bervariasinya qira’at, maka banyak sekali manfaat atau faedahnya, diantaranya:
1. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
2. Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an
3. Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan makna, karena setiap qira’at menunjukkan sesuatu hukum syara tertentu tanpa perlu pengulangan lafadz.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.
5. Memperbesar pahala.
Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbat Hukum
Sebelum masuk kepada pengaruh perbedaan qira’at terhadap istinbat hukum, kata istinbat ( إستنباط ) adalah Bahasa Arab yang akar katanya al-nabth ( النبط ) artinya air yang pertama kali keluar atau tampak pada saat seseorang menggali sumur.
Adapun istinbat menurut bahasa berarti: “Mengeluarkan air dari mata air (dalam tanah)”, karena itu, secara umum kata istinbat dipergunakan dalam arti istikhraj ( استخراج ), mengeluarkan. Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud istinbat yaitu:
إستخراج المعانى من النصوص بفرط الذهب وقوة الفريحة
“Mengeluarkan kandungan hukum dari nash-nash yang ada (al-Qur’an dan al-Sunnah), dengan ketajaman nalar serta kemampuan yang optimal.”
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa, esensi istinbat yaitu: Upaya melahirkan ketentuan-ketentuan hukum yang terdapat baik dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah. Mengenai obyek atau sasarannya yaitu dalil-dalil syar’i baik berupa nash maupun bukan nash, namun hal ini masih berpedoman pada nash.
Adapun perbedaan qira’at al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
Firman Allah SA‎WT:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلاَةِ قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ
اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِ { المائدة : 6 }
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah/5: 6)
Ayat ini menjelaskan, bahwa seseorang yang mau mendirikan shalat, diwajibkan berwudhu. Adapun caranya seperti yang disebutkan dalam firman Allah di atas. Sementara itu, para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki ( وارجلكم ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air.
Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ Sementara Ashm riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashm riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ .
Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada قَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepada وَامْسَحُوْابِرُءُ وْسِكُمْ .
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلَكُم , mereka memberikan argumentasi sebagai berikut:
a. Menunjukkan betapa terpelihara dan terjaganya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan.
b. Dalam ayat tersebut Allah membatasi kaki sampai mata kaki, sebagaimana halnya membatasi tangan sampai dengan siku. Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.
Selain itu jumhur berupaya menta’wilkan qira’at وَاَرْجُلِكُمْ sebagai berikut:
a. Qira’at وَاَرْجُلِكُمْ kedudukannya ma’thuf kepada kata وَاَيْدِيَكُمْ , akan tetapi kata وَاَرْجُلِكُمْ dibaca majrur disebabkan karena berdekatan dengan رُءُ وْسِكُمْ yang juga majrur.
b. Lafadz اَرْجُلِكُمْ dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mata karena ma’thuf kepada lafadz وَاَرْجُلِكُمْ yang majrur. Akan tetapi ma’thufnya hanya dari segi lafadz bukan dari segi makna.
Sementara itu, sebagian ulama dari kalanga Syi’ah Immamiyyah cenderung memilih qira’at وَاَرْجُلِكُمْ . Sedangkan ulama azh-Zhahir berpendapat bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alasan mengamalkan ketentuan hukum yang tedapat dalam dua versi qira’at tersebut. Menurut Ibn Jabir ath-Thabari berpendapat bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكم dipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at وَاَرْجُلِكُمْ dipahami oleh sebagian ulama dengan menghasilkan ketentuan hukum bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya. Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
https://ridwan202.wordpress.com/istilah-agama/qiraatul-quran/
A.    Pengertian Qira’at dan Qurra’
Qira’at menurut bahasa berupa isim mashdar dari lafadqara’a (fi’il madhi) yang berarti membaca. Maka qira’at berarti bacaan atau cara membaca. Menurut istilah, definisi qira’at yaitu:
القراءة نوع من التلا وة توفقا اللغة العرابية وتواترسندها ووا فقت احد المصاحف العثمانية

Artinya: “qira’at ialah salah satu cara membaca Al-Quran yang selaras dengan kaidah bahasa Arab, dan sanadnya mutawatir serta cocok dengan salah satu dari beberapa mushaf Utsmani”
Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Quran yang dipakai oleh salah seorang imam qurra'. Menurut bahasa, Qurra’ adalah bentuk jamak dari lafadqari’ yang berupa isim fa’il dari fi’il qara’a yang berarti orang yang membaca/pembaca/ahli qira’at/yang pandai qira’at.
Menurut istilah kadang-kadang kata qira’at itu diartikan dengan orang yang pandai ilmu qira’at, yang menguasai bacaan-bacaan Al-Quran sehingga dapat menceritakannya secara lisan/hafalan. Tetapi kadang-kadang kata qurra’ diistilahkan pada salah seorang imam ahli qira’at yang terkenal memiliki cara bacaan tersendiri seperti imam Hafs, Nafi’, Al-Kisai, dan lain-lain.
B.     Macam-macam Qiraat
a.       Ditinjau dari para qurra’
1.      Qira’at Sab’ah
Yaitu qira’atnya disandarkan kepada tujuh tokoh ahli qira’at yang termasyhur. Qira’at ini dikenal sejak abad II H, pada masa pemerintahan Al-Makmun. Tujuh pakar qiraah tersebut diantaranya:
a)      Di Mekkah dikenal qira’at Abdullah Ibn Katsir Ad Dari (wafat tahun 120 H). Beliau bertemu dengan beberapa sahabat antara lain: Anas Ibn Malik, Abdullah Ibn Zubair, Abu Ayyub Al Anshary.
b)      Di Madinah dikenal qira’at Nafi’Ibn Abdur Rahman Ibn Nu’aim (wafat tahun 167 H) yang menerima qira’at dari 70 orang tabi’in yang telah mempelajari qira’at dari Ubay Ibn Ka’ab, Abdullah Ibn Abbas, dan Abu Hurairah.
c)      Di Syam dikenal qira’at Abdullah Al Yahshabi yang terkenal dengan nama Ibnu Amir (wafat tahun 118 H). Beliau mengambil qira’at dari Al Mughirah Ibn Syu’bah Al Makhzumi yang mengambil dari Utsman Ibn Affan
d)     Di Bashrah dikenal qira’at Abu Amr atau Zabba Ibn Al ‘Ala Ibn Ammar (wafat tahun 154 H) beliau menerima qira’at dari Mujahid Ibn Jabr. Dan dikenal juga qira’at Ya’qub Ibn Ishaq (wafat tahun 205 H) beliau menerima qira’at dari Salam Ibn Sulaiman Ath Thawil yang menerima dari Ashim dan Abu Amr. 
e)      Di Kuffah di kenal qira’at Ashim bin Abi Najud Al-Asady (wafat tahun 127H), beliau mempelajari qira’at pada Zurr Ibn Hubaisy yang belajar pada Abdullah Ibn Mas’ud.
f)       Hamzah bin Habib At-Taymy,dia mempelajari qira’at pada Sulaiman Ibnu Mihran Al-A’masy yang menerima dari Yahya IbnWatstsab yang menerima dari zurr bin Hubaisy yang menerima dari Usman Ali dan Ibnu Mas’ud
g)      Abu Ali Al-Kisai (wafat tahun 189 H) di Kuffah. 

Menurut imam Al-Makki ada dua alasan mengapa dinamakan qira’at sab’ah. Pertama, Khalifah Utsman ketika mengirim copy mushaf ke daerah-daerah itu ada tujuh buah yang masing-masing disertai ahli qira’at yang mengajarkannya. Kedua, tujuh qira’at itu sama dengan tujuh cara (dialek) bacaan diturunkannya Al-Quran.
Menurut imam Mujahid, syarat diterimanya Al-Quran harus dari orang yang hafal Al-Quran, bisa dipercaya, selalu menekuni qira’at sepanjang hidupnya, serta selalu relevan antara yang diterima dengan yang diajarkan.
2.      Qira’at ‘asyrah
Qira’at asyrah ialaha qira’at yang di sandarkan kepada sepuluh orang ahli qira’at,yaitu tujuh orang dalam qira’at sab’ah di tambah dengan tiga orang lagi yaitu:
a)      Abu Ja’far Yazid Ibnul Qa’qa Al-Qari (wafat 130 H) di Madinah
b)      Abu Muhammmad Ya’kub bin Ishaq Al-Hadhary (wafat 205 H) di Bashrah
c)      Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam Al-A’masyy (wafat 299 H)
3.      Qira’at arba’a ‘asyrata
Qira’at arba’a asyrata yaitu qira’a yang disandarkan kepada empat belas ahli qira’at yaitu sepuluh orang ahli qira’at asyrah di tambah empat orang ahli qira’at yang lain yaitu:
a)      Hasan Al-Bashry (wafat 110 H) dari Bashrah
b)      Ibnu Muhaish (wafat 123 H)
c)      Yahya Ibnul Mubarak Al-yasidy (wafat 202 H) dari Baghdad
d)     Abul Faraj Ibnul Ahmad Asy-Syambudzy (wafat 388 H) dari Baghdad
b.      Ditinjau dari para perawi
1.        Qira’at Mutawatiroh, yaitu qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak, mereka tidak mungkin bersepakat dusta.
2.        Qira’at Masyhurah, yaitu qira’at yang shahih sanadnya, seperti diriwayatkan oleh orang-orang adil, dhabit, selaras dengan kaidah bahasa arab, serta bacaanya cocok dengan salah satu mushaf Utsman.
3.        Qira’at Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih tetapi tulisannya tidak cocok dengan mushaf Utsman dan tidak selaras dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
4.        Qira’at Syadzdzah, yaitu qira’at yang sanadnya tidak shahih.
5.        Qira’at Maudhu’ah, yaitu bacaan yang dibuat-buat tidak ada dasarnya sama sekali.
6.        Qira’at Mudraj, yaitu qira’at yang bacaanya ditambah-tambah sebagai penjelasan.
c.       Ditinjau dari segi nama jenis
1.        Qira’at, yaitu untuk nama bacaan yang telah memenuhi tiga syarat. Seperti qira’at sab’ah, asyrah, dan arba’a asyrah.
2.        Riwayah, yaitu nama bacaan yang hanya berasal dari salah seorang perawinya sendiri.
3.        Thariq, yaitu nama untuk bacaan yang sanadnya terdiri dari orang-orang yang sesudah para perawinya sendiri.
4.        Wajah, yaitu nama untuk bacaan terhadap Al-Quran yang tidak didasarkan sifat-sifat tersebut diatas, melainkan berdasarkan pilihan pembacanya sendiri.

C.     Fungsi Qiraat dan pengaruhnya dalam istinbat hukum
a.      Faidah Qira’at
Keberagaman qiraat yang sahih ini mengandung banyak faedah dan fungsi
1.    Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan
2.    Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-quran
3.    Menunjukkan kemukjizatan Al-Quran
4.    Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain
b.      Pengaruh Perbedaan Qira’at dalam Istinbat Hukum
Perbedaan qira’at Al-Quran yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum dan berpengaruh terhadap istinbat hukum, dapat dikemukakan dalam contoh berikut:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki.” (QS. al-Maidah [5]: 6)
Para ulama berbeda pendapat tentang apakah dalam berwudhu, kedua kaki (وارجلكم) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air. Hal ini dikarenakan adanya dua versi qira’at yang menyangkut hal ini. Ibn Katsir, Hamzah dan Abu Amr membaca وَاَرْجُلِكُمْ . Nafi, Ibn Amir dan al-Kisai membaca وَاَرْجُلَكُمْ . Sementara Ashim riwayat Syu’bah membaca وَاَرْجُلِكُمْ , sedangkan Ashim riwayat Hafsah membaca وَاَرْجُلَكُمْ . Qira’at وَاَرْجُلَكُمْ menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki wajib dicuci, yang dalam hal ini ma’thuf kepada فاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ . Sementara qira’atوَاَرْجُلِكُمْ  menurut dzahirnya menunjukkan bahwa kedua kaki hanya wajib diusap dengan air, yang dalam hal ini ma’thuf kepadaوَامْسَحُوْابِرُءُوْسِكُمْ . 
Dari uraian di atas tampak jelas, bahwa perbedaan qira’at dapat menimbulkan perbedaan istinbat hukum. Qira’at وارجلكمdipahami oleh jumhur ulama bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki, sementara qira’at  وَاَرْجُلِكُمْ  dipahami oleh sebagian ulama bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi diwajibkan mengusapnya.Sementara ulama lainnya membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut. Dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.
http://didiaananggariani.blogspot.co.id/2013/12/ilmu-qiraat-al-quran.html

A.                PENGERTIAN QIRA’AT
Menurut bahasa (etimologi), qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan.[1]
Menurut istilah (Terminologi) arti qira’at cukup beragam. Hal ini disebabkan oleh keluasan makna dan sisi pandang yang dipakai oleh ulama-ulama dalam mengartikannya.
1.      Menurut Az-Zarkasyi:
إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.

            Artinya:
           
            “Qira’at adalah perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya.[2]

2.      Menurut As-Shabuni:
مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya:
“Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang  imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.[3]

3.      Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.[4]
Perbedaan cara pendefinisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Nabi Muhammad. Dengan demikian dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga pengertian qira’at yang dapat ditangkap dari definisi di atas, yaitu:
a)         Qira’at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
b)        Cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada Nabi. Jadi bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
c)         Ruang lingkup perbedaan qira’at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, i’rab, itsbat, fashl dan washl.

B.                 SEJARAH MUNCULNYA QIRA’AT
Pada masa Rasulullah SAW umat Islam memperoleh ayat-ayat al-Quran dengan mendengarkan, membaca dan menghafalkan secara lisan dari mulut ke mulut, al-Quran belum dibukukan. Pada masa sahabat sudah dibukukan dalam satu mushhaf. Pembukuan al-Quran tersebut merupakan ikhtiar khalifah Abu Bakar r.a. atas inisiatif Umar bin Khattab r.a.
Pada masa Khalifah Usman bin Affan r.a. mushhaf al-Quran itu disalin dan dibuat banyak, dan dikirim ke daerah-daerah Islam. Hal itu dilakukan Khalifah Usman, karena pada waktu itu ada perselisihan diantara kaum muslimin mengenai bacaan al-Quran, mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat al-Quran karena Nabi mengajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek masing-masing. Tetapi karena tidak memahami maksud dan tujuan Nabi, lalu meraka menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar, sedang bacaan yang lain salah. Sehingga mengakibatkan perselisihan. Inilah pangkal perbedaan qira’ah dan tonggak sejarah timbulnya ilmu qira’ah.
Mushhaf-mushhaf yang ditulis atas perintah Khalifah Usman tidak berbaris dan bertitik, sehingga mushhaf-mushhaf itu dapat dibaca dengan berbagai qira’ah. Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ اُُنْزِلَ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَاُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Sesungguhnya al-Quran itu diturunkan atas tujuh huruf (cara bacaan) maka bacalah (menurut) mana yang engkau anggap mudah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara baca al-Quran, sebagian mengambil satu cara baca al-Quran dari Rasul, sebagian mengambil dua, dan lainnya mengambil lebih sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat ini berpencar ke berbagai kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca tersebut menjadi populer di kota atau daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan baca al-Quran dari satu kota ke kota lain. Kemudian para tabi’in menerima cara baca tertentu dari sahabat tertentu. Para tabi’i al-tabi’in menerimanya dari tabi’in dan meneruskannya pula kepada generasi selanjutnya. Dengan demikian timbullah berbagai qira’ah yang semuanya berdasarkan riwayat, hanya saja sebagian menjadi populer dan yang lain tidak. Riwayatnya juga sebagian mutawatir dan yang lain tidak.

C.                 SYARAT-SYARAT SAH QIRA’AT
Para ulama menetapkan tiga syarat sah dan diterimanya qiraat. yaitu :
1. Sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
            Tidak menyalahi salah satu segi dari segi-segi qawa’id bahasa Arab, baik bahasa Arab yang paling fasih ataupun sekedar fasih, atau berbeda sedikit tetapi tidak mempengaruhi maknanya. Yang lebih dijadikan pegangan adalah qiraat yang telah tersebar secara luas dan diterima para imam dengan sanad yang shahih.
2.      Sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf Usmani, walaupun hanya tersirat.
            Qiraat itu sesuai dengan tulisan pada salah satu mushaf yang ditulis oleh panitia yang dibentuk oleh Usman bin ‘Affan dan dikirimkannya ke kota-kota besar Islam pada masa itu.
3.      Shahih sanadnya.
Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Sebagian menganggap cukup dengan shahih saja,
sebagian yang lain mensyaratkan harus mutawatir.[5]

D.                PEMBAGIAN QIRA’AT DAN MACAM-MACAMNYA
a)        Macam-macam qiraat dilihat dari segi kuantitas
1)        Qiraah sab’ah (qira’ah tujuh)
Kata sab’ah artinya adalah imam-imam qiraat yang tujuh. Mereka itu adalah :
1.      Abdullah bin Katsir ad-Dari,
2.      Nafi bin Abdurrahman bin Abu Naim,
3.      Abdullah al-Yashibi,
4.      Abu ‘Amar,
5.      Ya’qub,
6.      Hamzah,
7.      Ashim ibnu Abi al-Najub al-Asadi.
2)        Qiraat Asyrah (qira’at sepuluh)
Yang dimaksud qiraat sepuluh adalah qiraat tujuh yang telah disebutkan di atas ditambah tiga qiraat sebagai berikut :
1.      Abu Ja’far (nama lengkapnya Yazid bin al-Qa’qa al-Makhzumi al-Madani)
2.      Ya’qub (lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid bin Abdullah bin Abu Ishaq al-Hadrani)
3.      Khallaf bin Hisyam.
3)        Qiraat Arba’at Asyarh (qira’at empat belas)
Yang dimaksud qiraat empat belas adalah qiraat sepuluh sebagaimana yang telah disebutkan di atas ditambah dengan empat qiraat lagi, yakni :
1.      al-Hasan al-Bashri,
2.      Muhammad bin Abdurrahman,
3.      Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi and-Nahwi al-Baghdadi,
4.      Abu al-Fajr Muhammad bin Ahmad asy-Syambudz.
b)        Macam-macam qiraat dilihat dari segi kualitas
Berdasarkan penelitian al-Jazari, berdasarkan kualitas, qiraat dapat dikelompokkan dalam lima bagian, yaitu:
1)        Qiraat Mutawatir
Yakni yang disampaikan sekelompok orang mulai dari awal sampai akhir sanad, yang tidak mungkin bersepakat untuk berbuat dusta. Umumnya, qiraat yang ada masuk dalam bagian ini.
2)        Qiraat Masyhur
Yakni qiraat yang memiliki sanad sahih dengan kaidah bahasa arab dan tulisan Mushaf utsmani. Umpamanya, qiraat dari tujuh yang disampaikan melalui jalur berbeda-beda, sebagian perawi, misalnya meriwayatkan dari imam tujuh tersebut, sementara yang lainnya tidak, dan qiraat semacam ini banyak digambarkan dalam kitab-kitab qiraat.
3)        Qiraat Ahad
Yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisan Mushaf Utsmani dan kaidah bahasa arab, tidak memiliki kemasyhuran dan tidak di baca sebagaimana ketentuan yang telah di tetapkan[6].

4)        Qiraat Syadz (menyimpang),
Yakni qiraat yang sanadnya tidak sahih. Telah banyak kitab yang ditulis untuk jenis qiraat ini.
5)        Qiraat Maudhu’ (palsu), seperti qiraat al-Khazzani
6)        As-Suyuthi kemudian menambah qiraat yang keenam,
Yakni qiraat yang menyerupai hadits Mudraj (sisipan), yaitu adanya sisipan pada bacaan dengan tujuan penafsiran. Umpamanya qiraat Abi Waqqash.

E.                 PERBEDAAN QIRA’AT DAN MANFAATNYA
Masalah-masalah yang terkait dengan qira’at di atas berhubungan dengan perbedaan-perbedaan qira’at. Jika diteliti, perbedaan-perbedaan itu dapat terjadi pertama, pada tulisan itu sendiri, seperti:

1) perbedaan i’rab,

2) perbedaan harakat baik pada isim maupun fi’il,

3) perbedaan huruf-huruf pada kata,

4) perbedaan kata-kata dan bentuk tulisan,

5) perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan,

6) perbedaan dalam penambahan dan pengurangan.

Kedua, perbedaan cara atau aturan membacanya, seperti:

1) perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran madd, takhfif, tafkhim, imalah, isymam dan lain-lain,

2) perbedaan tempat waqaf

Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan Khalid Abd al-Rahman al-‘Ak lebih tegas menyatakan bahwa perbedaan qira’at ada yang berpengaruh pada tafsir –bukan hanya makna– dan ada yang tidak. Ia menjelaskan bahwa yang tidak berpengaruh pada tafsir yaitu perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran mad, takhfif, imalah, dsb.

Adanya bermacam-macam qiraat seperti telah disebutkan di atas, mempunyai berbagai manfaat, yaitu :
1.                  Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca al-Qur’an.
Keringanan ini sangat dirasakan khususnya oleh penduduk Arab pada masa awal diturunkannya al-Qur’an, dimana mereka terdiri dari berbagai kabilah dan suku yang diantara mereka banyak terdapat perbedaan logat, tekanan suara dan sebagainya. Meskipun sama-sama berbahasa Arab. Sekiranya al-Qur’an itu diturunkan dalam satu qiraat saja maka tentunya akan memberatkan suku-suku lain yang berbeda bahasanya dengan al-Qur’an.
2.   Menunjukkan betapa terjaganya dan terpeliharanya al-Qur’an dari perubahan dan penyimpangan, padahal kitab ini mempunyai banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
3.      Dapat menjelaskan hal-hal mungkin masih global atau samar dalam qiraat yang lain, baik qira’at itu Mutawatir, Masyhur ataupun Syadz. Misalnya qira’at Syadz yang menyalahi rasam mushaf Usmani dalam lafaz dan makna tetapi dapat membantu penafsiran, yaitu lafaz (فامضوا) sebagai ganti dari lafaz (فَاسْعَوْا) pada Q.S. al-Jumu’ah (62): 9:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ….
Yang dimaksud dengan (فَاسْعَوْا) di sini adalah bukan berjalan cepat-cepat dan tergesa-gesa, tetapi bersegera pergi ke masjid dan berjalan dengan tenang.
4.    Bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi kepadatan maknanya, karena setiap qiraat menunjukkan suatu hukum syara’ tertentu tanpa perlu adanya pengulangan lafaz.
5.     Meluruskan aqidah sebagian orang yang salah, misalnya dalam penafsiran tentang sifat-sifat surga dan penghuninya dalam Q.S. al-Insan (76): 20 :
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
            Dalam qira’at lain dibaca (مَلِكًا) dengan memfathahkan mim dan mengkasrahkan lam, sehingga qira’at ini menjelaskan qira’at pertama bahwa orang-orang mukmin akan melihat wajah Allah di akhirat nanti.
6.    Menunjukkan keutamaan dan kemuliaan umat Muhammad  SAW atas umat-umat pendahulunya, karena kitab-kitab yang terdahulu hanya turun dengan satu segi dan satu qiraat saja, berbeda dengan al-Qur’an yang turun dengan beberapa qiraat.
http://trimuerisandes.blogspot.co.id/2014/10/ilmu-qiraat-dan-perbedaan-qiraat.html

Ini Syarat Untuk Belajar Ilmu Qira'at

Ilmu Qira'at adalah perbedaan tata cara membaca Al Qur'an yang diajarkan malaikat Jibril As kepada baginda nabi Muhammad Saw. Perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan pengucapan kata, dialeg, cara pengungkapan kosa kata bangsa arab di zaman beliau Saw sesuai suku dan kabilah masing-masing.
Mungkin teman-teman sebagaian ada yang sudah bisa mengikuti dan ada juga yang belum dengan paparan penulis dibawah ini. Tapi setidaknya penulis sudah berusaha memperkenalkan salah satu produk ajaran baginda Rasulullah SAW dalam Al Qur'an yang tidak ada satupun kelompok keagamaan yang menentangnya. Begitu juga, 'amaliyyah ibadah kita sehari-hari adalah salah satu produk yang dihasilkan para ulama dari ilmu Qira'at ini. Jadi, silahkan diikuti dan dibaca dengan baik. 
Langsung saja, berikut ini adalah step-step yang harus kita kuasai secara matang sebelum terjun mempelajari ilmu Qira'at, baik Qira'at Sab'ah (tujuh) atau Qira'at 'Asyroh (sepuluh):

MENGUASAI BAHASA ARAB

Bahasa arab sangat diperlukan sebagai pengantar memahami kitab-kitab atau literatur ilmu Qira'at yang ada. Sampai saat ini, penulis belum menemukan buku berbahasa Indonesia yang mengajarkan ilmu Qira'at secara detail dan lengkap. Hanya beberapa saja, itupun cuma pengenalan pokok-pokok & dasar-dasarnya saja.

HAFAL AL QUR'AN 30 JUZ

Tidak mungkin bagi seseorang yang belum hafal 30 juz untuk mempelajari ilmu Qira'at, karena ia akan merasa kebingunan dengan potongan-potongan suku kata Al Qur'an yang dijelaskan dalam panduan bait-bait syair. Tidak harus lancar 100 %, namun setidaknya ia sudah hafal dan mengenal letak-letak potongan ayat 70 % keatas.

FASIH & BERTAJWID MEMBACA AL QUR'AN

Seseorang yang mengaji Al Qur'annya belum memenuhi kriteria standar baca bertajwid (diutamakan yang sudah mendapatkan sanad Hafs 'an 'Ashim) ia akan semakin kacau dan rusak mengajinya. Hal ini disebabkan perbedaan yang sangat super sensitif pada suara bacaan yang ada. Sebagai contoh: untuk membedakan bacaan Fathah & Taqlil atau Imalah & Kasroh, seseorang harus benar-benar telah memantapkan bacaannya supaya tidak tertukar. Belum lagi nanti ada istilah Ikhtilas, yaitu membeca sepertiga harakat.

HAFAL BAIT AS SYATIBIYYAH ATAU AT THOYYIBAH

Kedua rangkaian bait tersebut adalah tuntunan yang menjelaskan perbedaan tata cara membaca pada setiap kata dalam sebuah ayat. Diawali dengan kaedah ushul yang dapat dikiaskan pada setiap tempat. Kemudian ada juga kaedah farsy yang berisi perbedaan yang hanya dijumpai pada satu tempat atau beberapa saja dalam Al Qur'an.
Menghafal rangkaian bait ini bersifat wajib, tidak bisa tidak. Karena keduanya ibarat sebuah perahu & dayung yang digunakan berlayar oleh seseorang yang akan mengarungi samudra luas ilmu Qira'at. 
As Syatibiyyah adalah kumpulan bait-bait Qira'at Sab'ah yang berjumlah 1173 baris. Sedangkan At Thoyyibah adalah kumpulan bait-bait Qira'at 'Asyroh yang berjumlah 1015 baris. Diharuskan menghafalkannya sampai benar-benar lancar 100 % sebagai dalil petunjuk penyebutan perbedaan baca, jika ingin meneruskan pada tahap setor ke seorang guru/syekh.

HAFAL RUMUS-RUMUS IMAM QIRA'AT DALAM BAIT

Pada kedua kitab diatas terdapat rumus-rumus imam-imam Qira'at beserta perawi-perawinya yang harus juga dihafal agar dapat memahami imam atau rawi mana yang sedang membaca demikian. Dengan demikian, akan mudah menuangkannya dalam bacaan setoran secara urut. Terdapat 2 macam rumusan:Rumusan tunggal untuk 1 Qori' atau 1 rawi, contoh: 
Huruf ا (Alif) : Rumus dari imam Nafi' Al Madani 
Huruf ب (Ba'): Rumus dari perawinya, yaitu Qolun 
Huruf ج (Jim): Rumus dari perawinya, yaitu Warsy

Rumus kelompok 

Rumus ini adalah rumus kalimat yang terdiri dari beberapa imam dan perawi, contoh:
Kata 'سما': Rumus dari Imam Nafi', Ibn Katsir & Abu Amr
Kata 'حصن': Rumus dari Imam Ashim, Hamzah, Al Kisa'i & Nafi'
Kata 'صحاب' : Rumus dari Imam Hamzah, Kisa'i & Hafs 
Ini hanya sebagian kecil dari contoh rumus-rumus yang penulis sertakan. Untuk lebih lengkapnya, silahkan merujuk pada kitab-kitab ilmu Qira'at yang ada.

MENGAJI SYARAH BAIT DENGAN SYEKH

Pada umumnya, bait-bait yang berisi tentang nasehat, keterangan ilmu, anjuran atau petuah sangatlah mudah untuk difahami. Namun untuk bait-bait ilmu Qira'at ini tidak semudah yang anda bayangkan. Tidak menjamin ahli baca kitab gundul, lalu faham ketika membacanya. Sebagai contoh: 

َنَعَمْ إذْ تََمَشَّتْ زَيْنَبٌ صَالَ دَلُّهَا *** سَمِيَّ جَمَالٍ وَاصِلاً مَنْ تََوَصَّلا 

Atau ingin mencoba memahami bait yang lain:

وَأَبْدَتْ سَنَا ثَغْرٍ صَفَتْ زُرْقُ ظَلْمِهِ *** جَمَعْنَ وُرُوْدًا بَارِدًا عَطِرَ الطِّلاَ

Bagaimana kawan-kawan?

MENGHAFAL NAMA IMAM & PERAWI DAN URUT-URUTANNYA

Untuk Qiraat Sab'ah, akan ada 7 nama imam/perawi yang harus dihafal. Sedangkan setiap imam memiliki 2 rawi masyhur, berarti ada 14 urutan nama yang harus dihafal dengan baik.
Untuk Qiraat 'Asyroh, hanya penambahan 3 imam beserta 2 rawinya saja, jadi ada 6 nama. Secara keseluruhan, harus menghafal 20 urutan nama. Ini jika memakai jalur Qira'at 'Asyroh Shughro (As Syatibiyyah + Ad Durroh). Jika memakai jalur Qira'at 'Asyroh Kubro (At Thoyyibah) maka rumusnya akan berbeda.

HAFAL SETIAP KATA YANG BERBEDA CARA BACA

Dalam hampir setiap ayat Al Qur'an terdapat beberapa perbedaan cara baca sebuah kata dari ke 20 imam diatas. Ada juga beberapa perbedaan terjadi hanya pada 1 kata saja. Nah, seorang 'aktifis' ilmu Qira'at yang handal harus tahu dan benar-benar hafal perbedaanya, jika ia ingin lancar perjalanan belajar Qira'atnya.

HAFAL URUTAN PERBEDAAN SETIAP KATA PADA AYAT

Pada point diatas dijelaskan bahwa perbedaan cara baca kata terjadi hampir pada setiap ayat. Jumlahnya bermacam-macam, tergantung tingkat kerumitan perbedaan pada ayat tersebut. Nah, seorang 'aktifis' ilmu Qira'at yang ideal harus mengetahui urutan perbedaan tersebut dimulai dari akhir ayat sampai awal ayat.
Dari pengetahuan 'tertib perbedaan' inilah ia dapat meramu urutan baca 20 imam Qira'at yang penulis maksud. Sebagai contoh:

وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلَائِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاءِ هَٰؤُلَاءِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ 

Pada surat Al Baqarah 31 diatas hampir di setiap kata terdapat perbedaan tata cara baca. Jadi, sang 'aktifis' tersebut harus hafal urutannya dimulai dari akhir sampai awal ayat sbb:
كُنتُمْ : Mim Jama'
ءِ إِن : Bertemu 2 hamzah
هَٰؤُلَاءِ : Mad wajib pada "laaa'i"
هَٰؤُلَاءِ : Mad Jaiz pada "Haaa'u"
بِأَسْمَاءِ : Mad Wajib pada "Maaa'i"
بِأَسْمَاءِ : Ibdal, Tashil pada "Bi a" 
أَنبِئُونِي : Mad Badal pada "Uuuu"
أَنبِئُونِي : Naql pada "AnBuuni"
الْمَلَائِكَةِ: Tashil pada kata "i" ketika waqaf
الْمَلَائِكَةِ : Mad Wajib pada "Laai"
عَرَضَهُمْ : Mim jama'
الْأَسْمَاءَ : Mad Wajib pada "Maaaa a"
مَ الْأَسْمَاءَ : Ada Naql dan Saktah pada "Mal as"
آدَمَ : Mad Badal pada "aaa"

Dari setiap ayat memiliki urutan dan perbedaan yang sangat mencolok, sehingga sang 'aktifis' harus benar-benar hafal kaidah dan rumusan sampai ia dapat teliti dan super sensitif mengenali setiap perbedaan kata dan bacaan setiap imam dari hafalan bait-bait diatas.Pembaca yang budiman..Step-step diatas adalah modal dasar sebelum mengarungi samudra ilmu Qira'at secara menyeluruh. Namun sebelumnya, ada hal-hal yang lebih penting untuk dipertimbangkan yang berkaitan dengan urusan batin, seperti:
Apakah tujuan dan niat anda belajar ilmu Qira'at?
Apakah sudah yakin, mantab dan bertekat bulat menyelaminya?
Apakah siap bersabar dengan waktu yang cukup lama?
Apakah anda sudah siap dengan materi hafalan yang ada?
Perlu diketahu, bahwa syarat-syarat diatas diperuntukkan bagi teman-teman yang ingin belajar ilmu Qira'at secara jama'/kolektif (mengumpulkan perbedaan seluruh imam). Adapun bagi yang ingin mempelajarinya secara partial (per Imam/rawi), maka syarat-syaratnya lebih mudah dan ringan. 
Semoga kita semua dijadikan termasuk dari ahlul qur'an yang mereka adalah manusia-manusia yang 'dimanja' oleh Allah SWT. Dan semoga ada sedikit manfaatnya untuk bekal pengetahuan kita sebagai wujud kecintaan kita terhadap Al Qur'an. Dan pada akhirnya kelak, Al Qur'an akan menjadi penolong dan pemberi syafaat kita, amin yaa robbal 'alamin.
Mohon koreksi bila ada kesalahan dan kekurangan.Wassalam
Via : Ust. Mochamad Ihsan Ufiq
http://noternative.blogspot.co.id/2014/11/ini-syarat-untuk-belajar-ilmu-qiraat.html

Qiraat

Bahasa = Adalah Kata Jamak Dari Perkataan Qiraah, yaitu kaedah membaca.
Istilah = adalah kaedah cara bacaan alQur’an yg diambil oleh ulamak Qurra’ sebagai mazhab bacaan, yg diriwayatkan secara mutawatir, yg mana antara satu dengan yg lain ada perbezaan-perbezaan tersendiri
Penambahan : sedikit saja yg tak sama, bukan keseluruhan alQur’an.


10 Qiraat

Bilangan Qiraat yg Masyur:
       Imam al-Jazari meriwayatkan 10 Qiraat
       Imam sy-Syatibi meriwayatkan 7 Qiraat.
   Kesimpulannya = ada 10 Qiraat yg masyhur yg diterima sah dari Rasul s.a.w ( sebagaimana yg dinyatakan oleh imam al-Jazari)
   Bacaan sepuluh yang mutawatir = iaitu bacaan yang disandarkan kepada sepuluh imam al-qurra’ (“Readers”) serta diriwayatkan oleh kumpulan manusia yang ramai.
   Aliran Qiraat yaitu dengan bertalaqqi antara murid dengan guru bersanad hingga Rasul saw.

   Bagi setiap Qiraat yg 10 itu, ada bacaan2 yg khusus untuk Qiraat yg dibaca.
   Kita adalah pengamal bacaan Qur’an = Qiraat Imam ‘Asim.
   Lebih khusus lagi = Qiraat ”Hafs ‘an ‘Asim min Toriqi Shatibiyah” = Maksudnya :-
   Qiraat yg melalui aliran sanad (toriq) imam Syatibi, yg diriwayatkan oleh imam Hafs, yg ambil bacaan dari imam ‘Asim.
   Dalam lain kata2 :-
   Qiraat atau Mazhab bacaan imam ‘Asim, yg dirawikan oleh imam Hafs, yg dikumpulkan sanad dan bacaannya oleh imam Syaatibi.
   Seperti Hadith yg diriwayatkan oleh seorang Sahabat dan di kumpulkan oleh imam Bukhari dan sebagainya.

Perhatian: Ada juga Qiraat imam ‘Asim, yg dirawikan oleh imam Hafs, dari aliran sanad imam alJazari ( ada sedikit perbezaan dari aliran Syatibi; terutama sekali pada mad jaiz munfaSil – mereka baca dengan 2 harakat sahaja )
Apa itu Qiraat, Riwayat dan Toriq
   Qiraat (“Readings”) yg bersandarkan kepada Qurra’ (Readers) yg 10.
   bacaan yg disandarkan pada imam = digelar “Qiraat” = contoh: Qiraat ‘Asim

   Bacaan setiap ahli Qurra’ ini dirawikan oleh dua Perawi (“Transmitters”)
   bacaan yg disandarkan kepada perawi = digelar “Riwayat” = contoh: Riwayat Hafs

   Bacaan yg disandarkan kepada yg setelah daripada “perawi” = digelar “Toriq” = contoh = Toriq Syatibi
Setelah kamu khatam Qur’an menurut bacaan Hafs dan Syu’bah, barulah kamu telah selesai bacaan Qiraat ‘Asim.


Sanad imam ‘Asim

Imam ‘Asim ambil bacaan dari =
(1) Abd Rahman Assulami (2) Abu Amru AlSyaibani , (3) Abu Ubaid al Salma , (4) Zirr bin Hubaisiy al Asadi

Abd Rahman Assulami ambil bacaan dari =
(1) Ali bin Abi Tolib, (2)  Uthman bin Affan, (3) Zaid bin Thabit,  (4) Ubai bin Kaab

Zirr bin Hubaisiy ambil bacaan dari = Abdullah bin Mas’ud dan lain2


Sanad imam ‘Asim yg diambil Qiraat dan diriwayatkan oleh imam Hafs

     Sebahagian besar (majoriti 90%) ummat Islam di dunia membaca Quran mengikut Qiraat Hafs ‘an ‘Asim
  1. Hafs
  2. ‘Asim
  3. Abd Rahman Assulami
  4. Ali bin Abi Tolib
  5. Rasul saw

Sanad imam ‘Asim yg diambil Qiraat dan diriwayatkan oleh imam Syu’bah

  1. Syu’bah
  2. ‘Asim
  3. Zir bin Hubaisy
  4. Abdullah bin Mas’ud
  5. Rasul saw


7 Mazhab bacaan al-Qur’an(Qiraat) yg dikumpulkan oleh Imam Syatibi :-

1. Imam Nafi (Madina) dan 2 Perawinya :  1) Qaaloon,  2) Warsh
2.  Imam Ibn Katheer (Makkah) dan 2 Perawinya :  1) Qunbul,  2) Bazzi
3.  Imam Abu ‘Amru (BaSra: Iraq) dan 2 Perawinya : 1) Duri, 2) Susi
4.  Imam Ibn ‘Amir (Syam) dan 2 Perawinya :  1) Hisham,  2) Ibn Zakwaan
5.  Imam Aasim (Kufah: Iraq) dan 2 Perawinya : 1) Shu’aba,  2) Hafs 
6.  Imam Hamzah (Kufah: Iraq) dan 2 Perawinya:  1) Khalaf , 2) Khallad
7. Imam Kisaa’i (Kufah: Iraq) dan 2 Perawinya:         1) Abul Haarith,  2) Duri.


Selain di atas, ada tiga lagi Qiraat ( jadi semuanya 10 Qiraat yg sah sepertimana diriwayatkan oleh imam alJazari )

  1. Abu Ja’far Al-Madani ( madinah)
    - Ibnu Wardan
    - Ibnu Jammaz
  2. Ya’qub Al-Basri
    - Ruwais
    - Rauh
  3. Khalaf Al-’Asyir
    - Ishaq
    - Idris
http://www.shukom.com/qiraat.html

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer