Tambahan dari Kutubus Sittah menjadi Kutubus Tis'ah

Musnad Ahmad

Musnad al-Kabir atau lebih dikenal sebagai Musnad Ahmad adalah salah satu dari Sembilan Kitab hadits yang dijadikan rujukan utama umat Islam kebanyakan, terutama dari golongan Ahlus Sunnah. Kitab ini disusun oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Yaitu Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad Adz-Dzuhli asy-Syaibani (164 H - 241 H). Seorang Syaikhul Islam, al-Imam, al-Hafizh, al-Hujjah, Pemimpin Umat Islam pada masanya. Musnad ini terbagi menjadi beberapa musnad besar yang terdiri dari beberapa musnad sahabat atau hadits sahabat. Musnad sahabat atau hadits sahabat ini kemudian memuat beberapa hadits. Di antara kutubuttis'ah, kitab ini merupakan kitab dengan jumlah hadits terbanyak.
 

Deskripsi

Imam Ahmad menyusun kitab ini berdasarkan sahabat yang lebih awal masuk Islam dan lebih utama kedudukannya dalam Islam. Dia memulainya dari sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, kemudian ahli badar, disusul ahli ba'it ridhwan dan seterusnya.

Penomoran

Pada asalnya dalam menyusun kitab Musnadnya, Imam Ahmad tidak memberikan nomor. Barulah di kemudian hari ditambahkan nomor pada Musnad Ahmad oleh penerbit untuk memudahkan perujukan hadits, antara lain sebagai berikut:

Penomoran al-Alamiyah (26363)

Perujukan hadits pada penomoran al-Alamiyah berdasarkan hadits yang serupa. Setiap hadits yang serupa dihitung satu hadits.

Penomoran Ihya at-Turats (27100)

Perujukan hadits pada penomoran Ihya at-Turats berdasarkan sanad hadits. Setiap sanad dihitung satu hadits. Penomoran ini banyak digunakan dalam penulisan kitab, buku, dan artikel keislaman.
  • Penulisan: HR Ahmad (nomor hadits), maksudnya adalah hadits riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya pada nomor yang disebutkan.

Penomoran naskah al-Maimuniyah (6 jilid)

Perujukan pada nomor halaman dari naskah al-Maimuniyah. Naskah ini terdiri dari 6 jilid. Penomoran ini banyak digunakan dalam penulisan kitab keislaman, termasuk kitab-kitab Syaikh al-Albani.
  • Penulisan: HR Ahmad (Jilid/halaman), maksudnya adalah hadits riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya pada jilid dan halaman yang disebutkan.
Perbedaan penomoran menjadikan perbedaan perhitungan jumlah hadits dalam Musnad Ahmad. Menurut penomoran al-Alamiyah, terdapat 26363 hadits dalam Musnad Ahmad. Sedangkan menurut penomoran Ihya, ada 27100 hadits. Perbedaan ini timbul karena penomoran al-Alamiyah menghitung hadits yang serupa sebagai satu hadits; sedangkan penomoran Ihya menghitung setiap sanad hadits sebagai satu hadits, walaupun hadits tersebut serupa. Oleh karena itu, jumlah hadits menurut penomoran Ihya menjadi lebih banyak daripada al-Alamiyah.

Jumlah Hadits

Didapatkan riwayat-riwayat tentang jumlah dari Hadits-hadits yang termuat dalam kitab musnad ini.
Imam Ahmad berkata: "Kitab ini saya kumpulkan dan saya pilihkan dari lebih 750.000 hadits."
Al-Hafizh Abu Musa Muhammad bin Abu Bakar al-Madini berkata : "Adapun jumlah haditsnya, maka saya masih mendengar dari ucapan manusia bahwa jumlahnya mencapai 40.000 hadits, hingga aku membacakannya kepada Abu Manshur bin Zuraiq al-Qazzaz di Baghdad. Dia berkata : "Abu Bakar al-Khathib menceritakan kepada kami, dia berkata : "Ibnu al-Munadi berkata : Tidak ada seorang pun di dunia ini (pada masa itu) yang lebih akurat riwayatnya dalam meriwayatkan hadits dari bapaknya, daripada Abdullah anak dari Ahmad bin Hanbal, karena dia telah mendengar Musnad, dan jumlahnya mencapai 30.000 hadits, dan tafsir dengan jumlah 120.000." "Kitab ini merupakan sumber asli yang sangat besar, referensi utama bagi ahli hadits, dia memilihnya dari banyak hadits dan riwayat yang melimpah, menjadikan nya sebagai imam dan pedoman serta sebagai sandaran ketika terjadi perselisihan." (Al-Mish'ad al-Ahmad 1/31-33, Ibnu al-Jazairi, dengan ringkasan).

Mengenal Musnad Al-Imaam Ahmad



Saya yakin sebagian besar Pembaca pernah mendengar ‘Musnad Ahmad bin Hanbal’. Minimal, pernah membaca di beberapa artikel kalimat : ‘diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya...’. Melalui artikel ini saya mencoba membantu para Pembaca sekalian untuk mengenal lebih lanjut tentang kitab Al-Musnad ini. Dalam sajian ringkas tentu saja.
Nama Pengarang/Penulis
Ia adalah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilaal bin Asad bin Idriis bin ‘Abdillah bin Hayyaan Adz-Dzuhliy Asy-Syaibaaniy Al-Marwaziy tsumma Al-Baghdaadiy; salah seorang imam yang disepakati keimamannya, syaikhul-Islaam,tsiqah, faqiih, haafidh, lagi hujjah.
Hajjaaj bin Asy-Syaa’ir berkata : “Kedua mataku tidak pernah melihat ruh yang ada pada di satu jasad yang lebih utama (afdlal) daripada Ahmad bin Hanbal”. Abu Bakr bin Abi Daawud berkata : “Tidak ada di jaman Ahmad bin Hanbal orang yang semisalnya”. Abu Zur’ah berkata : “Ahmad bin Hanbal hapal sejuta hadits”. Ibnu Maakuulaa berkata : “Ia adalah orang yang paling ‘aalim terhadap madzhab shahabat dan taabi’iin”.
Biografi beliau terdapat di banyak kitab, di antaranya : Tahdziibul-Kamaal 1/437-470 no. 96, Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 11/177-359 no. 78, al-Jarh wat-Ta’diil 1/292-313, dan yang lainnya.
Metode Penyusunannya
Al-Imaam Ahmad rahimahullah menyusun kitab Al-Musnad berdasarkan tartiib hadits :
1.     Sepuluh orang shahabat yang dijamin masuk surga.
2.     ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr, Zaid bin Khaarijah, Al-Haarits bin Khazamah, dan Sa’d bin Maulaa Abi Bakr.
3.     Musnad Ahlul-Bait.
4.     Musnad dari banyak shahabat, di antaranya : Ibnu Mas’uud, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’iid Al-Khudriy, Jaabir, Anas, Ibnu ‘Amru bin Al-‘Aash, dan yang lainnya.
5.     Musnad penduduk Makkah (Makiyyiin)
6.     Musnad penduduk Madiinah (Madaniyyiin).
7.     Musnad penduduk Syaam (Syaamiyyiin).
8.     Musnad penduduk Kuufah (Kuufiyyiin).
9.     Musnad penduduk Bashrah (bashriyyiin).
10.   Musnad Al-Anshaar.
11.   Musnad ‘Aaisyah dan para shahabiyyaat.
12.   Kabilah-kabilah yang lain.
Kedudukan Al-Musnad
Ibnu Samaak berkata :
حدثنا حنبل، قال: جمعنا أحمد بن حنبل، أنا وصالح وعبد الله، وقرأ علينا " المسند "، ما سمعه غيرنا. وقال: هذا الكتاب: جمعته وانتقيته من أكثر من سبع مئة ألف وخمسين ألفا، فما اختلف المسلمون فيه من حديث رسول الله، صلى الله عليه وسلم، فارجعوا إليه. فإن وجدتموه فيه، وإلا فليس بحجة
Telah menceritakan kepada kami Hanbal, ia berkata : “Ahmad bin Hanbal mengumpulkan kepada kami, yaitu aku, Shaalih, dan ‘Abdullah; dan beliau membacakan kepada kami Al-Musnad yang tidak ada yang mendengarnya selain kami. Beliau berkata : ‘Kitab ini (yaitu Al-Musnad) aku kumpulkan dan aku pilih dari lebih 750.000 hadits. Dan apa yang diperselisihkan kaum muslimin dari hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka merujuklah kepadanya. Apabila kalian mendapatkan padanya (hadits tersebut, maka itu dapat dipergunakan sebagai hujjah). Namun jika kalian tidak mendapatkannya, maka ia tidak bisa digunakan sebagai hujjah” [As-Siyar, 11/329].
Abu Muusaa Muhammad bin Abi Bakr Al-Madiniy rahimahullah berkata :
وهذا الكتاب أصل كبير ، ومرجع وثيق لأصحاب الحديث ، انتقي من حديث كثير ومسموعات وافرة ، فجعله إماماً ومعتمداً ، وعند التنازع ملجأً ومستنداً
“Kitab ini merupakan pokok yang besar, referensi yang kokoh bagi ahli hadits. Ia (Ahmad) memilahnya dari hadits yang banyak dan riwayat yang melimpah, sehingga menjadikannya sebagai imam dan pedoman, serta sandaran ketika terjadi perselisihan” [Khashaaish Musnad Al-Imaam Ahmad, hal. 13].
Jumlah Hadits dalam Al-Musnad
Abu Muusaa Muhammad bin Abi Bakr Al-Madiniy rahimahullah berkata :
فأما عدد أحاديث المسند فلم أزل أسمع من أفواه الناس أنها أربعون ألفا إلى أن قرأت على أبي منصور بن زريق ببغداد أخبرنا أبو بكر الخطيب قال وقال أبن النادي لم يكن في الدنيا أحد أروى عن أبيه منه يعني عبد الله بن أحمد بن حنبل لأنه سمع المسند وهو ثلاثون ألفا والتفسير وهو مائة ألف وعشرون ألفا.... فلا أدري هل الذي ذكره ابن المنادي أراد به ما لا مكرر فيه وأراد غيره من المكرر فيصح القولان جميعا ....
“Adapun jumlah hadits dalam kitab Al-Musnad, maka aku senantiasa mendengar dari ucapan manusia bahwa ia berjumlah 40.000 hadits, hingga aku membacakannya kepada Abu manshuur bin Zuraiq di Baghdaad : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Khathiib, ia berkata : Telah berkata Ibnul-Munaadiy : ‘Tidak ada di dunia seorang pun yang meriwayatkan dari ayahnya lebih banyak darinya, yaitu ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Karena ia mendengar Al-Musnad yang jumlahnya 30.000 hadits, dan Tafsiir yang jumlahnya 120.000 hadits’.... Aku tidak tahu apakah yang disebutkan Ibnul-Munaadiy adalah hadits yang tidak diulang-ulang ataukah hadits lain yang diulang-ulang ? sehingga kedua perkataannya itu bisa benar...” [Khashaaish Musnad Al-Imaam Ahmad, hal. 15].
Namun jika kita perbandingkan dengan versi cetak yang sampai kepada kita, maka jumlah haditsnya sebagai berikut (sebatas yang saya punya/ketahui) :
1.     Penerbit Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. 1/1419 H, tahqiiq : As-Sayyid Abul-Ma’aathiy An-Nuuriy dkk, : sebanyak 28.199 hadits.
2.     Penerbit Baitul-Afkaar Ad-Dauliyyah, Cet. Thn. 1419 H : sebanyak 28.199 hadits.
3.     Penerbit Daarul-Hadiits, Cet. 1/1416, tahqiiq : Ahmad Syaakir dan Hamzah Zain : sebanyak 27.519.
4.     Penerbit Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1421, tahqiq : Syu’aib Al-Arna’uth dkk. : sebanyak 27.647 hadits.
5.     Program Jawaami’ul-Kalim versi 4.5 : sebanyak 27.099 hadits.
Jumlah Shahabat yang Haditsnya Tercantum dalam Al-Musnad
Abu Muusaa Muhammad bin Abi Bakr Al-Madiniy rahimahullah berkata :
قد عددتهم فبلغوا ستمائة ونيفا وتسعين سوى النساء، وعددت النساء فبلغن ستا وتسعين، واشتمل ((المسند)) على نحو ثمانمائة من الصحابة، سوى ما فيه ممن لم يسم من الأبنا والمبهمات وغيرهم
“Sungguh aku telah menghitung jumlah mereka dan mencapai 690 orang lebih selain yang wanita. Dan aku telah menghitung yang wanita (shahabiyyah)mencapat 96 orang. Oleh karena itu, kitab Al-Musnad mencakup sekitar 800 shahabat, selain yang tidak disebutkan namanya dari kalangan anak-anak, mubhaamaat (orang dewasa yang tidak disebutkan namanya), dan yang lainnya” [Al-Mish’adul-Ahmad, 1/34-35].
Syarat Al-Imaam Ahmad
Ibnu Rajab rahimahullah berkata :
والذي يتبين من عمل الإمام أحمد وكلامه أنه يترك الرواية عن المُتهمين والذين كثر خطؤهم للغفعة وسوء الحفظ
“Dan yang nampak dari perbuatan dan perkataan Al-Imaam Ahmad bahwasannya beliau meninggalkan riwayat orang-orang yang tertuduh (berdusta) dan orang-orang yang banyak kelirunya akibat kelalaian dan jeleknya hapalan mereka” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy, 1/386].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
شرط ((المسند)) أقوى من شرط أبي داود في ((سننه))، وقد روى أبو داود في ((سننه)) عن رجال أعرض عنهم أحمد في ((المسند)) ولهذا كان الإمام أحمد لا يروي في ((المسند)) عمن يعرف أنه يكذب مثل محمد بن سعيد المصلوب ونحوه، ولكن قد يروي عمن يُضَعَّف لسوء حفظه، فإنه يكتب حديثه ليعتضد به ويعتبر به
“Syarat kitab Al-Musnad lebih kuat dibandingkan syarat Abu Daawud dalam Sunan-nya. Abu Daawud telah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari para perawi yang ditolak oleh Ahmad dalam Al-Musnad. Oleh karena itu, Al-Imaam Ahmad tidaklah meriwayatkan dalam Al-Musnad dari perawi yang diketahui telah sering berdusta semisal Muhammad bin Sa’iid Al-Mashluub[1] dan yang lainnya. Akan tetapi beliau kadang meriwayatkan dari para perawi yang dilemahkan karena faktor jeleknya hapalannya. Perawi tersebut ditulis haditsnya untuk menguatkan (hadits lain) dan dijadikan sebagai i’tibar” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 18/26].
Beberapa perawi yang padanya ada kelemahan sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiiyahrahimahullah, contohnya sebagai berikut :
1.     Haramiy bin ‘Ammaarah Al-‘Atakiy. Ahmad berkata : “Shaduuq, namun padanya terdapat kelalaian (ghaflah)”. Ibnu Ma’iin berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun sering ragu (yahimu)”.
2.     ‘Abdullah bin Al-Waliid Al-‘Adaniy. Ahmad berkata : “Ia bukan seorang shaahibul-hadiits, dan haditsnya adalah hadits shahih. Akan tetapi ia kadang keliru dalam penyebutan nama-nama. Abu Haatim berkata : “Ditulis haditsnya, namun tidak boleh berhujjah dengannya. Ibnu Hibbaan berkata : “Mustaqiimul-hadiits”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun kadang keliru”.
3.     ‘Abdul-Wahhaab bin ‘Athaa’ Al-Khaffaaf. Ahmad berkata : “Dla’iiful-hadiits, goncang (mudltharib). Ia seorang yang ‘aalim terhadap hadits Sa’iid bin Abi ‘Aruubah”. Ibnu Ma’iin berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Adz-Dzahabiy berkata : “Haditsnya berderajat hasan”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun kadang keliru”.
4.     Al-Muhaadlir bin Al-Mauri’. Ahmad berkata : “Ia seorang yang sangat lalai”. Abu Haatim berkata : “Ia tidak kokoh, ditulis haditsnya”. Abu Zur’ah berkata : “Shaduuq”. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun mempunyai beberapa keraguan”.
5.     Muammal bin Ismaa’iil. Ahmad berkata : “Ia sering keliru”. Abu Haatim berkata : “banyak keliru”. Ia ditsiqahlkan oleh Ibnu Ma’iin, Ishaaq, dan Ibnu Sa’d. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, namun jelek hapalannya”.
Menurut penelitian Dr. ‘Aamir bin Hasan Shabriy hafidhahullah, ternyata dalam di antarasyuyuukh Al-Imaam Ahmad rahimahullah terdapat beberapa orang perawi matruuk. Perawi matruuk ini dalam ilmu mushthalah termasuk perawi yang sangat lemah. Ada empat orang, yaitu [Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad fil-Musnad, hal. 29-30] :
1.     ‘Aamir bin Shaalih bin ‘Abdillah Az-Zubairiy. Ibnu Hajar berkata : “Matruukul-hadiits”.
2.     ‘Abdullah bin Waaqid. Ibnu Hajar berkata : “Matruuk”.
3.     ‘Umar bin Haaruun Al-Balkhiy. Ibnu Hajar berkata : “Matruuk”.
4.     Muhammad bin Al-Qaasim Al-Asadiy. Ibnu Hajar berkata : “Mereka mendustakannya”.
Derajat Hadits dalam Al-Musnad
Al-Haafidh Abul-Qaasim At-Tamiimiy rahimahullah berkata :
لا يجوز أن يقال ؛ فيه السقيم، بل فيه الصحيح والمشهور والحسن والغريب
“Tidak boleh untuk dikatakan : Padanya ada hadits saqiim (lemah). Akan tetapi, padanya terdapat hadits shahih, masyhuur, hasan, dan ghariib” [Al-Mish’adul-Ahmad, hal. 34].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
وقد تنازع الناس : هل في مسند الإمام أحمد حديث موضوع ؟ فقال طائفة من الحفاظ كأبي العلاء الهمداني و غيره : ليس فيه موضوع ، و قال بعض العلماء كأبي الفرج ابن الجوزي : فيه موضوع
“Orang-orang berselisih pendapat : ‘Apakah di dalam Musnad Al-Imaam Ahmad terdapat hadits maudluu’ (palsu) ?. Sekelompok huffaadh seperti Abul-‘Alaa’ Al-Hamdaaniy dan selainnya berkata : ‘Tidak ada padanya hadits maudluu’’. Sebagian ulama seperti Abul-Farj bin Al-Jauziy berkata : ‘Padanya terdapat hadits maudluu’” [Majmuu’ Al-Fataawaa,18/26 dan Al-Mish’adul-Ahmad, hal. 35].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ليس في ((مسند أحمد)) حديث لا أصل له إلا ثلاثة أحاديث أو أربعة، منها حديث عبد الرحمن بن عوف : أنه يدخل الجنة زحفا، والاعتذار عنه أنه مما أمر الإمام أحمد بالضرب عليه فتُرك سهوا
“Tidak ada dalam Musnad Ahmad hadits yang tidak ada asalnya, kecuali tiga atau empat hadits saja. Di antaranya hadits ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, bahwasannya ia masuk surga dengan merangkak. Alasannya adalah bahwa hadits ini termasuk yang diperintahkan Al-Imaam Ahmad untuk dibuang, namun ternyata ia ditinggalkan karena lupa” [Ta’jiilul-Manfa’ah, sebagaimana disebutkan dalam Tadwiin As-Sunnah An-Nabawiyyah, hal. 99].
Klasifikasi Hadits-Hadits dalam Al-Musnad yang Tercetak
Asy-Syaikh Ahmad bin ‘Abdirrahmaan As-Saa’aatiy rahimahullah berkata :
بتتبعي لأحاديث المسند وجدتها تنقسم إلي ستة أقسام :
1 - قسم رواه أبو عبد الرحمن عبد الله بن الإمام أحمد ــ رحمهما الله ــ عن أبيه سماعا منه ، وهو المسمي بمسند الإمام أحمد ،  وهو كبير جدا يزيد علي ثلاثة أرباع الكتاب .
2 - وقسم سمعه عبد الله من أبيه وغيره ، وهو قليل جدا .
3 - وقسم رواه عبد الله عن غير أبيه ، وهو المسمي عند المحدثين بزوائد عبد الله ، وهو كثير بالنسبة للأقسام كلها عدا القسم الأول .
4 - وقسم قرأه عبد الله علي أبيه ولم يسمعه منه وهو قليل .
5 - وقسم لم يقرأه ولم يسمعه ولكنه وجده في كتاب أبيه بخط يده وهو قليل أيضا .
6 - وقسم رواه الحافظ أبو بكر القطيعي عن غير عبد الله وأبيه -رحمهم الله - وهو أقل الجميع
“Berdasarkan penelitianku terhadap hadits-hadits dalam Al-Musnad, aku dapati terbagi menjadi enam macam :
1.     Bagian yang diriwayatkan oleh Abu ‘Abdirrahmaan ‘Abdullah bin Al-Imaam Ahmadrahimahumallaah – dari ayahnya dengan mendengarnya langsung. Inilah yang diberi nama Musnad Al-Imaam Ahmad. Jumlahnya sangat banyak mencapai ¾ bagian kitab.
2.     Bagian yang ‘Abdullah mendengarnya dari ayahnya dan yang lainnya. Jumlahnya sangat sedikit.
3.     Bagian yang diriwayatkan ‘Abdullah dari selain ayahnya. Bagian ini dinamakan oleh para muhadditsiin (ahli hadits) sebagai Zawaaid (tambahan) dari ‘Abdullah. Jumlahnya cukup banyak dibandingkan bagian yang lain, selain bagian yang pertama.
4.     Bagian yang ‘Abdullah membacanya di hadapan ayahnya, dan ia tidak mendengar darinya. Jumlahnya sedikit.
5.     Bagian yang ia (‘Abdullah) tidak membacakannya (di hadapan ayahnya) dan tidak pula mendengarnya, akan tetapi ia mendapati kitab ayahnya dengan tulisan tangannya. Jumlahnya sedikit juga.
6.     Bagian yang diriwayatkan oleh Al-Haafidh Abu Bakr Al-Qathii’iy dari selain ‘Abdullah dan ayahnya – rahimahumullah. Jumlahnya paling sedikit [Fathur-Rabbaaniy, 1/8].
Ini saja yang dapat dituliskan. Semoga sekilas info tentang kitab Musnad Al-Imaam Ahmad ini dapat menambah kecintaan kita terhadap sunnah dan para ulama. Dan bagi yang belum pernah membaca langsung kitab ini,... hayooo,.... mari kita berusaha membacanya.
Semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – jl. Arjuna 4/6, wonokarto, wonogiri. Banyak mengambil faedah dari kitabTadwiin As-Sunnah An-Nabawiyyah oleh Dr. Muhammad Az-Zahraaniy, hal. 95-100, Maktabah Daaril-Minhaaj, Cet. 1/1426; dan Mu’jamu Syuyuukh Al-Imaam Ahmad fil-Musnad oleh Dr. ‘Aamir bin Hasan Shabriy, Daarul-Basyaair Al-Islaamiyyah; dan yang lainnya].



[1]      Namanya adalah : Muhammad bin Sa’iid bin Hassaan bin Qais Al-Qurasyiy Al-Asadiy; seorang pendusta [At-Taqriib, hal. 847 no. 5944].
http://abul-jauzaa.blogspot.co.id/2011/10/mengenal-musnad-al-imaam-ahmad.html

Musnad Imam Ahmad bin Hanbal


Kitab al-Musnad, hasil karya Imam Ahmad B. Hanbal (241H) atau nama penuhnya Abu ‘Abdillah Ahmad B. Muhammad B. Hanbal B. Hilaal B. Asad B. Idriis B. ‘Abdillah B. Hayyaan adz-Dzuhliy asy-Syaibaaniy al-Marwaziy kemudian al-Baghdaadiy. Salah seorang imam yang disepakati keimamannya, Syaikh al-Islaam, tsiqah, faqiih, haafiz, lagi hujjah.
Kitab yang dikenali sebagai Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal ini, merupakan salah satu kitab hadis ahlus sunnah wal-jama’ah, yang menjadi rujukan penting dalam bidang hadis, tafsir, fiqh, ‘aqidah, sirah, dan selainnya.

Di dalamnya menghimpunkan ribuan hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berserta atsar-atsar para sahabat yang diriwayatkan secara musnad (bersanad).
Hajjaaj B. asy-Syaa’ir rahimahullah berkata:
Kedua mataku tidak pernah melihat ruh yang ada di suatu jasad yang lebih utama (afdhal) berbanding Ahmad B. Hanbal.”
Abu Bakr B. Abi Daud as-Sijistani rahimahullah berkata: “Tidak ada di zaman Ahmad B. Hanbal orang yang seumpamanya.”

Abu Zur’ah rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal hafal sejuta hadis.”
Ibnu Maakuulaa berkata: “Beliau adalah orang yang paling ‘aalim (berilmu) terhadap mazhab sahabat dan tabi’in.”
Biografi beliau terdapat di banyak kitab, di antaranya: Tahdziib al-Kamaal, 1/437-470, no. 96, Siyar A’laam an-Nubalaa’, 11/177-359, no. 78, al-Jarh wa al-Ta’diil, 1/292-313, dan yang lainnya.

Imam Ahmad rahimahullah menyusun kitab al-Musnad berdasarkan tertib susunan berikut;
1.       Sepuluh orang sahabat yang dijamin masuk Syurga, kemudian:
2.       ‘Abdurrahmaan B. Abi Bakr, Zaid B. Khaarijah, Al-Haarits B. Khazamah, dan Sa’d B. Maulaa Abi  Bakr, kemudian:
3.       Musnad Ahlul-Bait, kemudian:
4.       Musnad dari kalangan sahabat-sahabat lainnya, di antaranya: Ibnu Mas’oud, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah, Abu Sa’iid Al-Khudriy, Jaabir, Anas, Ibnu ‘Amru B. Al-‘Aash, dan yang lainnya, demikian seterusnya:
5.       Musnad penduduk Makkah (Makiyyiin).
6.       Musnad penduduk Madinah (Madaniyyiin).
7.       Musnad penduduk Syaam (Syaamiyyiin)
8.       Musnad penduduk Kuufah (Kuufiyyiin).
9.       Musnad penduduk Bashrah (bashriyyiin).
10.   Musnad Al-Anshaar
11.   Musnad ‘Aaisyah dan para shahabiyyaat.
12.   Kabilah-kabilah yang lain.
 
Kedudukan Kitab Al-Musnad susunan Imam Ahmad;
Ibnu Samaak berkata: Telah menceritakan kepada kami Hanbal, beliau berkata: “Ahmad B. Hanbal mengumpulkan kepada kami, iaitu aku, Sholeh, dan ‘Abdullah. Beliau membacakan kepada kami al-Musnad yang tidak ada yang mendengarnya selain kami. Beliau berkata:
“Kitab ini (iaitu al-Musnad) aku kumpulkan dan aku pilih dari lebih 750.000 hadis. Dan apa yang diperselisihkan kaum muslimin dari hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, maka merujuklah kepadanya. Apabila kalian mendapatkan padanya (hadis tersebut, maka itu dapat dipergunakan sebagai hujjah). Namun jika kalian tidak mendapatkannya, maka ia tidak dapat digunakan sebagai hujjah.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 11/329)
Abu Muusaa Muhammad B. Abi Bakr Al-Madini rahimahullah (Wafat: 581H) berkata:
Kitab ini merupakan ushul yang besar, rujukan yang teguh (terpercaya) bagi ahli hadis. Ia (Ahmad) memilahnya (mengasingkan) dari hadis-hadis yang banyak dan riwayat yang melimpah, sehingga menjadikannya sebagai imam dan pedoman, serta sandaran ketika terjadi perselisihan.” (Khashaaish Musnad Al-Imaam Ahmad, m/s. 13)
Jumlah Hadis dalam Al-Musnad;
Abu Muusaa Muhammad bin Abi Bakr Al-Madiniy rahimahullah berkata: “Adapun jumlah hadis dalam kitab Al-Musnad, maka aku sentiasa mendengar dari ucapan manusia bahawa ia berjumlah 40, 000 hadis, sehingga aku membacakannya kepada Abu manshuur B. Zuraiq di Baghdaad: Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr Al-Khathiib, beliau berkata: Telah berkata Ibnul-Munaadi: ‘Tidak ada di dunia seorang pun yang meriwayatkan daripada ayahnya lebih banyak darinya, iaitu ‘Abdullah B. Ahmad B. Hanbal. Karena ia mendengar Al-Musnad yang jumlahnya 30, 000 hadis, dan Tafsiir yang jumlahnya 120, 000 hadis...” Aku tidak tahu adakah yang disebutkan oleh Ibn al-Munaadi adalah hadis yang tidak diulang-ulang ataukah hadis lain yang diulang-ulang? Sehingga kedua perkataannya itu mungkin benar...” (Khashaaish Musnad Al-Imaam Ahmad, m/s. 15)
Namun jika kita perbandingkan dengan versi cetak yang sampai kepada kita, maka jumlah hadisnya seperti berikut:

1.    Penerbit Daar ‘Aalamil-Kutub, Cet. 1/1419H, tahqiq: As-Sayyid Abul-Ma’aathiy An-Nuuriy dan sahabat-sahabatnya, sebanyak 28, 199 hadis.
 2.     Penerbit Baitul-Afkaar Ad-Dauliyyah, Cet. Thn. 1419H: sebanyak 28, 199 hadis.
 3.      Penerbit Daar al-Hadiits, Cet. 1/1416H, tahqiq: Syaikh Ahmad Syaakir dan Hamzah Zain: sebanyak 27, 519 hadis.
 4.    Penerbit Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1421H, tahqiq: Syu’aib Al-Arna’uth dan sahabat-sahabatnya: sebanyak 27, 647 hadis.
 5.       Program Jawaami’ul-Kalim versi 4.5: sebanyak 27, 099 hadis.
 
Beberapa Methode Penomboran hadis Bagi Edisi Tercetak;

1.       Penomborannya disusun berdasarkan hadis-hadis yang serupa. Hadis-hadis yang serupa dianggap sebagai satu hadis.
2.       Penomboran hadis diletakkan berpandukan sanad, iaitu setiap sanad dikira sebagai satu hadis.
3.      Pernomboran dari naskah al-Maimuniyyah, terdiri dari cetakan dengan 6 jilid lengkap. Penomboran diletakkan berdasarkan halaman dan jilid.

Jumlah Sahabat yang hadisnya Tercantum dalam Kitab al-Musnad;
Abu Muusaa Muhammad B. Abi Bakr Al-Madini rahimahullah berkata: “Sungguh aku telah menghitung jumlah mereka (dari kalangan sahabat) dan ia mencapai 690 orang lebih selain yang wanita. Dan aku telah menghitung yang wanita (shahabiyyah) mencapai 96 orang. Oleh kerana itu, kitab Al-Musnad mencakup sekitar 800 orang sahabat, selain yang tidak disebutkan namanya dari kalangan anak-anak, mubhaamaat (orang dewasa yang tidak disebutkan namanya), dan yang lainnya.” (al-Mish’ad al-Ahmad, 1/34-35)
Syarat Imam Ahmad Dalam Al-Musnad;
Al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah (Wafat: 795H) berkata:  “Dan yang nampak dari perbuatan dan perkataan Al-Imam Ahmad bahawasannya beliau meninggalkan riwayat orang-orang yang tertuduh (berdusta) dan orang-orang yang banyak kelirunya akibat kelalaian dan buruknya hafalan mereka.” (Syarh ‘Ilal at-Tirmidzi, 1/386)

Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah (Wafat: 728H) berkata: 
Syarat kitab Al-Musnad lebih kuat berbanding syarat Abu Daud dalam Sunan-nya. Abu Daud telah meriwayatkan dalam Sunan-nya dari para perawi yang ditolak oleh Ahmad dalam Al-Musnad. Oleh sebab itu, al-Imam Ahmad tidaklah meriwayatkan dalam Al-Musnad dari perawi yang diketahui telah sering berdusta seperti Muhammad B. Sa’iid Al-Mashluub dan yang lainnya. Akan tetapi beliau adakalanya meriwayatkan dari para perawi yang dilemahkan kerana buruknya hafalannya. Perawi tersebut ditulis hadisnya untuk menguatkan (hadis lain) dan dijadikan sebagai i’tibar.” (Majmu’ al-Fataawaa, 18/26)
 
Menurut penelitian Dr. ‘Aamir B. Hasan Shabri hafidzahullah, ternyata dalam di antara syuyuukh (para guru) Imam Ahmad rahimahullah terdapat beberapa orang perawi yang matruuk. Perawi matruuk ini dalam ilmu mushthalah termasuk perawi yang sangat lemah. Ada empat orang, iaitu:

1.        ‘Aamir B. Sholeh B. ‘Abdillah Az-Zubairiy. Kata al-Hafiz Ibnu Hajar: “Matruuk al-hadiits.”
2.        ‘Abdullah B. Waaqid. Kata al-Hafiz Ibnu Hajar: “Matruuk.”
3.       ‘Umar B. Haaruun Al-Balkhiy. Kata al-Hafiz Ibnu Hajar: “Matruuk.”
4.      Muhammad B. Al-Qaasim al-Asadi. Kata al-Hafiz Ibnu Hajar: “Mereka mendustakannya.” (Mu’jam Syuyuukh Al-Imaam Ahmad fil-Musnad, m/s. 29-30)

Darjat Hadis dalam Al-Musnad
al-Haafiz Abu al-Qaasim at-Tamiimi rahimahullah berkata:
“Tidak boleh untuk dikatakan: Padanya ada hadis saqiim (lemah). Akan tetapi, padanya terdapat hadis sahih, masyhuur, hasan, dan ghariib.” (Al-Mish’adul-Ahmad, m/s. 34)
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Orang-orang berselisih pendapat: ‘Adakah di dalam Musnad Imam Ahmad terdapat hadis maudhu’ (palsu)?
Sekelompok huffaaz (para penghafaz hadis) seperti Abu al-‘Alaa’ al-Hamdaani dan selainnya berkata: “Tidak ada padanya hadis maudhu’.”

Sebahagian ulama seperti Abul-Farj B. Al-Jauzi berkata: “Padanya terdapat hadis maudhu’.” (Majmuu’ al-Fataawaa, 18/26. Al-Mish’adul-Ahmad, m/s. 35)
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah (Wafat: 852H) berkata:
“Tidak ada dalam Musnad Ahmad hadis yang tidak ada asalnya, kecuali tiga atau empat hadis saja. Di antaranya hadis ‘Abdurrahmaan B. ‘Auf, bahawasannya ia masuk Syurga dengan merangkak. Alasannya adalah bahawa hadis ini termasuk yang diperintahkan Al-Imam Ahmad untuk dibuang, namun ternyata ia ditinggalkan kerana lupa.” (Ta’jiilul-Manfa’ah, sebagaimana disebutkan dalam Tadwiin as-Sunnah an-Nabawiyyah, m/s. 99)
Klasifikasi Hadis-Hadis dalam Al-Musnad yang Tercetak;

Asy-Syaikh Ahmad B. ‘Abdirrahmaan As-Saa’aatiy rahimahullah berkata:
“Berdasarkan penelitianku terhadap hadis-hadis dalam Al-Musnad, aku dapati ia terbahagi menjadi enam kelompok (atau bahagian kategori):
1.         Bahagian yang diriwayatkan oleh Abu ‘Abdirrahmaan ‘Abdullah B. Imam Ahmad rahimahumallaah dari ayahnya dengan mendengarnya secara langsung. Inilah yang diberi nama Musnad Al-Imaam Ahmad. Jumlahnya sangat banyak mencapai ¾ kitab.

2.         Bahagian yang ‘Abdullah mendengarnya dari ayahnya dan yang lainnya. Jumlahnya sangat sedikit.

3.         Bahagian yang diriwayatkan ‘Abdullah dari selain ayahnya. Bahagian ini dinamakan oleh para muhadditsiin (ahli hadis) sebagai Zawaaid (tambahan) daripada ‘Abdullah. Jumlahnya cukup banyak dibandingkan bahagian yang lain, selain bahagian yang pertama.

4.         Bahagian yang ‘Abdullah membacanya di hadapan ayahnya, dan ia tidak mendengar darinya. Jumlahnya sedikit.

5.         Bahagian yang ia (‘Abdullah) tidak membacakannya (di hadapan ayahnya) dan tidak pula mendengarnya, akan tetapi ia mendapati dari kitab ayahnya dengan tulisan tangannya. Jumlahnya sedikit juga.

6.         Bahagian yang diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakr al-Qathii’iy dari selain ‘Abdullah dan ayahnya rahimahumullah. Jumlahnya paling sedikit. (Fathur-Rabbaani, 1/8)

Terjemahan al-Musnad dalam bahasa Melayu;

Sekadar pengetahuan saya, Kitab al-Musnad ini telah diterjemahkan dalam bahasa Melayu / Indonesia dan diterbitkan oleh Pustaka Azzam Indonesia  lengkap  dalam 22 jilid. Ini adalah edisi terjemahan yang ditahqiq (diteliti dan dicetak dari semakkan manuskrip) oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir rahimahullah. Di dalamnya disertakan mukaddimah, takhrij, ta’liq, dan catatan kaki oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir.
http://abusyahmin.blogspot.co.id/2013/02/musnad-imam-ahmad-bin-hanbal.html

Muwatta Malik

Al-MuwattaAl-Muwaththa atau Muwatta Malik merupakan kitab hadits dan fiqih yang disusun oleh Imam Malik bin Anas, merupakan salah satu dari Kutubut Tis'ah(sembilan kitab hadits utama di kalangan Sunni).
Imam Malik, Yaitu Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir Al-Ashbahi (93 H dan -179 H). Ia banyak tinggal di Madinah. Ia ulama Islam yang terkenal, dan pendiri mazhab Maliki. Ia dikenal mempunyai lebih dari seribu murid di antaranya yang terkenal adalah Imam Syafe'i. Selama kehidupannya, Imam Malik senantiasa memperbarui Kitab Muwaththa dia ini, sehingga kitab ini mencerminkan pembelajaran dan pengetahuan dia selama lebih dari empat puluh tahun. Kitab ini mengandung seribuan hadits. 

Deskripsi

Imam Malik memberi nama kitab haditsnya dengan nama al-Muwaththa' karena kitab ini menjadi pembicaraan umat muslim di jamannya, maksudnya kitab tersebut dimudahkan untuk dipahami dan dan diambil faidahnya oleh manusia. Imam Malik berkata : "Saya menunjukkan kitabku ini kepada 70 ahli fiqih Madinah. Semuanya menyepakatiku atasnya, maka saya memberinya nama al-Muwaththa'." [Tanwir al-Hawalik hal 7, as-Suyuthi]. Kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik ini adalah kitab yang berisikan hadits - hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, perkataan (atsar) para sahabat, fatawa para tabi'in. [Tanwir al-Hawalik hal 8, as-Suyuthi]
Kedudukan Al-Muwaththa' di dalam ilmu hadits, tingkatnya diatas Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Bahkan Imam asy-Syafi'i berkata : "Kitab yang paling shahih setelah al-Qur'an adalah Muwaththa' Imam Malik." [Ulum al-Hadits hal 14, Ibnu ash-Shalah rahimahullah]
Imam Malik tidak menulis semua riwayat dari Nabi S.A.W. Terdapat ulama lain yang mengumpulkan riwayat lainnya. Sehingga kitab ini terdiri dari: - Perkataan dan perbuatan Nabi Muhammad S.A.W (juga dikenal sebagai sunnah). Riwayat perkataan dan perbuatan Nabi disebut hadits. - Pendapat dan keputusan resmi sahabat Nabi, penerus mereka, dan beberapa ulama kemudian.

Macam penomoran

Dalam menyusun kitab Muwaththanya, Imam Malik tidak memberikan nomor. Di kemudian hari beberapa pihak menambahkan nomor pada kitab al-Muwaththa' untuk memudahkan perujukan hadits, sehingga dikenal beberapa penomoran berikut:

Penomoran al-Alamiyah (1594)

Penomoran ini diberikan oleh al-Alamiyah, penerbit program komputer Mausu'ah al-Hadits asy-Syarif (Ensiklopedia Hadits Syarif). Versi online ensiklopedia ini ada di situs 

Penomoran Al-Muwaththa' Imam Malik (1836)

Penomoran ini diberikan oleh Muhammad Ridhwan Syarif Abdullah ketika mentakhrij dan mentahqiqnya, Penomoran ini banyak digunakan dalam penulisan kitab, buku, dan artikel keislaman.

Penomoran Aisha Abdarahman at-Tarjumana dan Yaqub Johnson

Penomoran ini menurut penomoran pada Translation of Malik's Muwatta, terjemah Muwaththa Malik dalam Bahasa Inggris oleh Aisha Abdarahman at-Tarjumana dan Yaqub Johnson. Penomoran ini berturut-turut menyebutkan nomor kitab, bab, dan hadits (book, section and hadith).

Jumlah Hadits

Kitab al-Muwaththa' karya Imam Malik ini adalah kitab yang berisikan hadits - hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, atsar - atsar (perkataan) para sahabat, fatawa - fatawa para tabi'in. Dia memilahnya dari seratus ribu hadits yang pernah dia riwayatkan. [Tanwir al-Hawalik hal 8, as-Suyuthi rahimahullah]
Menurut riwayat Yahyah bin Yahyah al-Andalusi hadits yang ada di dalamnya mencapai 853 hadits. Akan tetapi Imm Abu Bakar al-Abhari berkata : "Jumlah hadits Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam, atsar sahabat dan fatawa tabi'in yang ada dalam kitab al-Muwaththa' adalah 1720 hadits, yang bersanad sebanyak 600, mursal 222, mauquf 613 dan fatawa tabi'in 285." [Tajrid at-Tamhid hal 258 dan Tanwir al-Hawarik hal 8]
Jumlah hadits dalam kitab al-Muwaththa' Imam Malik ini terkadang berbeda - beda dikarenakan perbedaan orang yang meriwayatkan dari Imam Malik, dimana Imam Malik selalu membersihkan dan memperbaiki kitab al-Muwaththa' nya ini, karena dia tetap menulis dan memperbaikinya selama 40 (empat puluh) tahun. [Tanwir al-Hawalik hal 8]

Buku Pendamping Penjelasan

Di antara kitab Syarah (Penjelas) al-Muwaththa' yang paling penting adalah : 1. Al-Istidzkar fi Syarhi Madzahibi Ulama' al-Amshar. 2. At-Tamhid lima fi al-Muwaththa' min al-Ma'ani wa al-Asanid. Kedua kitab ini karya Imam Ibnu Abdil Baar (wafat pada tahun 463 H) telah dicetak di Maroko sebanyak 24 jilid. 3. Awjāz-ul-Masālik ilá Muwattā' Imām Mālik yang ditulis oleh ulama Deobandi, Shaik ul Hadith Maulana Zakariyya al Khandalawi.

Kitab Al Muwatta


Terdapat beberapa versi yang timbul mengenai latar belakang penyusunan Al-Muwatta’. Antaranya menurut Noel J. Coulson  problem politik dan sosial agama  yang telah mencetuskan penyusunan Al-Muwatta’. Situasi politik yang penuh konflik pada masa peralihan Daulah Umayyah-Abasiyyah yang melahirkan tiga kelompok besar (Khawarij, Syi’ah & Keluarga Istana) telah mengancam perpaduan kaum Muslimin. Di samping situasi sosial keagamaan yang berkembang penuh dengan perbezaan. Perbezaan-perbezaan pemikiran yang berkembang (khususnya dalam bidang hukum) yang bertitik tolak dari perbezaan petikan nas di satu sisi dan penggunaan logik akal di sisi yang lain, telah melahirkan percanggahan yang penuh konflik. Versi yang lain menyatakan penulisan al-Muwatta’ disebabkan adanya permintaan Khalifah Ja’far al-Mansur atas usul yang dibuat Muhammad ibn al-Muqaffa’ yang sangat prihatin  terhadap perbezaan fatwa dan pertentangan yang berkembang saat itu, beliau mengusulkan kepada Khalifah untuk menyusun undang-undang yang menjadi jalan tengah  dan dapat diterima semua pihak. Khalifah Ja’far lalu meminta Imam Malik menyusun Kitab hukum sebagai Kitab rujukan bagi seluruh wilayah Islam. Imam Malik menerima usul tersebut, namun ia keberatan menjadikannya sebagai kitab rujukan atau kitab rasmi negara.
Sementara  ada pula versi yang lain mengatakan, di samping terpujuk oleh usulan Khalifah Ja’far al-Mansur, sebenarnya Imam Malik sendiri memiliki keinginan kuat untuk menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami agama.
Pemberian Nama Kitab
Al-Muwatta’ adalah nama yang berasal dari Imam Malik sendiri. Cuma, mengapa kitab tersebut dinamakan dengan Al-Muwatta’ menimbulkan beberapa pendapat :
Pertama, sebelum kitab itu disebarluaskan, Imam Malik telah meperlihatkan karyanya ini di hadapan para 70  ulama Fiqh Madinah dan mereka menyepakatinya. Dalam sebuah riwayat As-Suyuthi menyatakan: “Imam Malik berkata, Aku mengajukan kitabku ini kepada 70 ahli Fiqh Madinah, mereka semua setuju denganku atas kitab tersebut, maka aku namakanya Al-Muwatta’. 
Kedua, pendapat yang menyatakan ia dinamakan Al-Muwatta’, kerana kitab tersebut “memudahkan” khalayak  umat Islam dalam memilih dan menjadi pegangan hidup dalam beraktiviti dan beragama.
Ketiga, pendapat yang menyatakan ia dinamkan Al-Muwatta’, kerana kitab Al-Muwatta’ merupakan perbaikan terhadap kitab-kitab fiqh sebelumnya.
Isi Kitab
Kitab ini menghimpun hadith-hadith Nabi SAW, pendapat sahabat, qaul tabi’in, Ijma’ ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik.
Para ulama berbeza pendapat tentang jumlah hadis yang terdapat dalam al-Muwatta’;

  • Ibnu Habbab yang dikutip Abu Bakar al-A’rabi dalam Syarah al-Tirmizi menyatakan ada 500 hadith yang disaring dari sejumlah 100.000 hadith
  • Abu Bakar al-Abhari berpendapat ada 1726 hadith dengan perincian 600 musnad, 222 mursal, 613 mauquf dan 285 qaul tabi’in.  
  • Al-Harasi dalam “Ta’liqah fi al-Usul” mengatakan Al-Muwatta’ memuat 700 hadith dari 9000 hadith yang telah disaring
  • Abu al-Hasan bin Fahr dalam “Fada’il” mengatakan ada 10.000 hadith dalam kitab Al-Muwatta’.
  • Arnold John Wensinck menyatakan dalam Al-Muwatta’ ada 1612 hadith
  • Muhammad Fu’ad Abdul Baqi mengatakan Al-Muwatta’ berisi 1824 hadith”.  
g.    Ibnu Hazm berpendapat, dengan tanpa menyebutkan jumlah tepat,  500 lebih hadith musnad, 300 lebih hadith mursal, 70 hadith lebih yang tidak diamalkan Imam Malik dan beberapa hadith dha’if.
h.    M. Syuhudi Ismail menyatakan “Al-Muwatta’  hadithnya ada 1804”.

Perbezaan pendapat ini terjadi kerana perbezaan sumber periwayatan di satu sisi dan perbezaan cara penghitungan. Ada ulama hadith yang hanya menghitung hadith berdasar jumlah hadith yang disandarkan kepada Nabi SAW saja, namun adapula yang menghitung dengan menggabungkan  fatwa sahabat, fatwa tabi’in yang memang termaktub dalam Al-Muwatta’.
    
Menurut As-Suyuthi, lebih dari seribu orang yang meriwayatkan Al-Muwatta’, dan banyak naskah tentang itu. Namun yang terkenal adalah 14 naskah menurut As-Suyuthi, dan menurut al-Kandahlawi  ada 16 naskah, sedang menurut Qadi Iyad ada 20 naskah, malah ada yang berpendapat ada 30 naskah.  Di antara naskah itu adalah:
  1. Naskah Yahya bin Yahya al-Masmudi al-Andalusi (w. 204 H). Beliaulah yang pertama kali mengambil Al-Muwatta’ dari Yazid bin ‘Abdurrahman bin Ziyad al-Lahmi (al-Busykatun) dan pembawa mazhab Maliki di Andalusia
  2. Naskah ibn Wahb (w. 197 H)
  3. Naskah Abu Ubaidillah Abd al-Rahman bin al-Qasim ibn Khalid al-Misri (w. 191 H)
  4. Naskah Abu Abd al-Rahman Abdullah bin Musalamah bin Qa’nabi al-Harisi (w.221 H).
  5. Naskah Abdullah bin Yusuf al-Dimsyqi Abu Muhammad at-Tunaisi (w. 217 H)
  6. Naskah Mu’an al-Qazzazi (w. 198 H)
  7. Naskah Sa’id bin ‘Uffair (w. 226 H)
  8. Naskah Ibn Bukair (w. 231 H)
  9. Naskah Abu Mas’ab Ahmad bin Abu Bakr al-Qasim az-Zuhri (w. 242 H)
  10. Naskah Muhammad ibn al-Mubarak al-Quraisyi (w. 215 H).
  11. Naskah Musa’ab ibn Abdullah al-Zubairi (w. 215 H).
  12. Naskah Suwaid ibn Zaid Abi Muhammad al-Harawi (w. 240 H)
  13. Naskah  Muhammad ibn al-Hasan al-Syaibani (w. 179 H)
  14. Naskah Yahya bin Yahya al-Taimi (w. 226 H)
  15. Naskah Abi Hadafah al-Sahmi (w. 259 H)
Di antara naskah-naskah tersebut, riwayat Yahya bin Yahya al-Andalusi yang paling mahsyur.

Ada perbezaan pendapat yang timbul ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah kitab Al-Muwatta’ ini kitab fiqih semata mata, Kitab Hadith semata mata  atau Kitab Fiqh dan kitab Hadith sekaligus. Menurut Abu Zahra , Al-Muwatta’ adalah kitab Fiqh, bedasarkan hujahnya, Tujuan Malik mengumpulkan hadith adalah untuk melihat fiqh dan undang-undangnya bukan kesahihannya dan Imam Malik menyusun kitabnya dalam bab-bab beraliran fiqh.
Senada dengan Abu Zahra, Ali Hasan Abdul Qadir juga melihat Al-Muwatta’ sebagai kitab fiqh dengan dalil hadith. Sebab tradisi yang dipakai adalah tradisi kitab fiqh yang seringkali hanya menyebut sebahagian sanad atau bahkan tidak menyebut sanadnya sama sekali.
Sementara menurut Abu Zahwu kitab ini bukan semata-mata kitab Fiqh, tetapi sekaligus kitab hadith, kerana sistem fiqh juga dipakai dalam kitab-kitab hadith yang lain, di samping Imam Malik sesekali juga melontarkan kritik melalui pendapat beliau dalam mengupas sebuah riwayat hadith, dan juga menggunakan kriteria-kriteria dalam memilih hadithnya.

Penyusunan Kitab
Kitab Al-Muwatta’ adalah kitab hadith yang beraliran Fiqh. Berdasar kitab yang telah di-tahqiq oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Al-Muwatta’ terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab) dan 1824 hadith. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Juzuk I : 
  • Waktu-waktu Solat, 80 tajuk, 30 hadith, 
  • Bersuci, 32 tajuk, 115 hadith, 
  • Solat, 8 tajuk, 70 hadith, 
  • Lupa dalam Solat, 1 tajuk, 3  hadith, 
  • Solat Juma’at, 9 tajuk, 21 hadith, 
  • Solat pada bulan Ramadhan, 2  tajuk, 7  hadith, 
  • Solat Malam, 5 tajuk, 33 hadith, 
  • Solat Jama’ah, 10 tajuk, 38 hadith, 
  • Mengqasar Solat dalam perjalanan, 25 tajuk, 95 hadith, 
  • Dua hari raya, 7 tajuk, 13 hadith, 
  • Solat dalam keadaan takut, 1 tajuk, 4 hadith, 
  • Solat gerhana matahari dan bulan, 2 tajuk, 4 hadith, 
  • Solat minta hujan, 3 tajuk, 6  hadith, 
  • Menghadap qiblat, 6 tajuk, 15 hadith, 
  • Al-Qur’an, 10 tajuk, 49 hadith, 
  • Solat Jenazah, 16 tajuk, 59 hadith, 
  • Zakat, 30 tajuk, 55 hadith, 
  • Puasa, 22 tajuk, 60 hadith, 
  • I’tikaf, 8 tajuk, 16 hadith, 
  • Haji, 83 tajuk, 255 hadith.
Juz II: 
  • Jihad, 21 tajuk, 50 hadith, 
  • Nadhar dan sumpah, 9 tajuk, 17 hadith, 
  • Qurban, 6 tajuk, 13 hadith, 
  • Sembelihan, 4  tajuk, 19 hadith,
  • Bintang buruan, 7 tajuk, 19 hadith, 
  • Aqiqah, 2  tajuk, tujuh  hadith, 
  • Faraid, 15 tajuk, 16 hadith, 
  • Nikah, 22 tajuk, 58 hadith, 
  • Talaq, 35 tajuk, 109 hadith, 
  • Persusuan, 3  tajuk, 17 hadith, 
  • Jual beli, 49 tajuk, 101 hadith, 
  • Pinjam meminjam, 15 tajuk, 16 hadith, 
  • Penyiraman, 2 tajuk, 3 hadith, 
  • Menyewa tanah, 1 tajuk, 5  hadith, 
  • Syufa’ah, 2  tajuk, 4  hadith, 
  • Hukum, 41 tajuk, 54 hadith,
  • Wasiat, 10 tajuk, sembilan hadith, 
  • Kemerdekaan dan persaudaraan, 13 tajuk, 25 hadith, 
  • Hamba Mukatabah, 13 tajuk, 15 hadith, 
  • Hamba Mudharabah, 7  tajuk, 8 hadith, 
  • Hudud, 11 tajuk, 35 hadith, 
  • Minuman, 5 tajuk, 15 hadith, 
  • Orang yang berakal, 24 tajuk, 16 hadith, 
  • Sumpah, 5 tajuk, 2 hadith, 
  • Al-Jami’, 7 tajuk, 26 hadith, 
  • Qadar, 2 tajuk, 10 hadith, 
  • Akhlak yang baik, 4  tajuk, 18 hadith, 
  • Memakai pakaian, 8  tajuk, 19 hadith, 
  • Sifat Nabi SAW., 13 tajuk, 39 hadith,  
  • Mata, 7  tajuk, 18 hadith, 
  • Rambut, 5  tajuk, 17 hadith, 
  • Penglihatan, 2  tajuk, tujuh  hadith, 
  • Salam, 3  tajuk, 8  hadith,
  • Minta Izin, 17 tajuk, 44 hadith,
  • Bai’ah, 1  tajuk, 3  hadith, 
  • Kalam, 12 tajuk, 27 hadith, 
  • Jahannam, 1  tajuk, 2  hadith, 
  • Sadaqah, 3 tajuk, 15 hadith, 
  • Ilmu, 1 tajuk, 1  hadith, 
  • Dakwah orang yang teraniaya, 1 tajuk, 1  hadith, 
  • Nama-nama Nabi SAW, 1  tajuk, 1  hadis.
Kriteria Kitab dan Kualiti Hadith-Hadithnya
    Secara umumnya, tidak ada pernyataan yang tepat tentang kriteria yang dipakai Imam Malik dalam menghimpun kitab Al-Muwatta’. Namun secara terperinci, dengan melihat paparan Imam Malik dalam kitabnya, cara yang dipakai adalah ciri ciri pembukuan hadith berdasar klasifikasi hukum Islam (abwab fiqhiyyah) dengan mencantumkan hadis marfu’ (berasal dari Nabi), mauquf (berasal dari sahabat) dan maqthu’ (berasal dari tabi’in).  Bahkan bukan itu sahaja, kita dapat melihat bahawa Imam Malik menggunakan susunan susunan berupa  
(a) pemilihan terhadap hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi, 
(b) Atsar/fatwa sahabat,. 
(c) fatwa tabi’in, 
(d) Ijma’ ahli Madinah dan 
(e) pendapat Imam Malik sendiri.
    
Meskipun kelima aturan tersebut tidak selalu muncul bersamaan dalam setiap pembahasannya, urutan pembahasan dengan mendahulukan penulusuran dari hadith Nabi yang telah dipilih merupakan acuan pertama yang dipakai Imam Malik, sedangkan proses kedua dan seterusnya dipaparkan Imam Malik apabila dirasakan perlu untuk dipaparkan.

Dalam hal ini empat kriteria yang dikemukakan Imam Malik dalam mengkritik periwayatan hadith adalah: 
(a) Periwayat bukan orang yang berperilaku jelek 
(b) Bukan ahli bid’ah 
(c) Bukan orang yang suka berdusta dalam hadis 
(d) Bukan orang yang tahu ilmu, tetapi tidak mengamalkannya.
    
Biarpun Imam Malik telah berupaya meneliti sehalus mungkin dalam menyaring hadith-hadith yang diterima untuk dihimpun, tetap saja para ulama hadith berbeza pendapat dalam memberikan penilaian terhadap kualiti hadith-hadithnya:

  • Sufyan ibn ‘Uyainah dan As-Suyuthi mengatakan, seluruh hadith yang diriwayatkan Imam Malik adalah sahih, kerana diriwayatkan dari orang-orang yang terpercaya
  • Abu Bakar al-Abhari berpandangan tidak semua hadith dalam Al-Muwatta’ sahih, 222 hadis mursal, 623 hadis mauquf dan 285 hadis maqthu’.
  • Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan bahawa hadith-hadith yang termuat dalam Al-Muwatta’ adalah sahih menurut Imam Malik dan pengikutnya.
  • Ibn Hazm dalam penilaiannya yang termaktub dalam Maratib al-Diyanah, ada 500 hadith musnad, 300 hadith mursal dan 70 hadis dha’if yang ditinggalkan Imam Malik.  Sedang menurut Ibn Hajar  di dalamnya ada hadith yang mursal dan munqati’.
  • Al-Gafiqi berpendapat dalam Al-Muwatta’ ada 27 hadith mursal dan 15 hadith mauquf.
  • Hasbi ash-Shiddiqi  menyatakan dalam Al-Muwatta’ ada hadith yang sahih, hasan dan da’if.

Harus diingat biarpun dalam Al-Muwatta’ tidak semuanya sahih, ada yang munqati’, mursal dan mu’dal. Banyak ulama hadis berikutnya yang mencuba mentakhrij dan me-muttasil-kan hadith-hadith yang munqati’, mursal dan mu’dal seperti Sufyan ibn Uyainah, Sufyan al-Tsauri, dan Ibn Abi Dzi’bi. Dalam pandangan Ibnu Abdil Barr dari 61 hadith yang dianggap tidak  muttasil semuanya sebenarnya musnad dengan jalur selain Imam Malik 

Kitab-kitab Syarahnya        
Kitab Al-Muwatta’ disyarahkan oleh beberapa ulama di antaranya:
  • Al-Tamhid lima fi Al-Muwatta’ min al-Ma’ani wa al-Asanid karya Abu Umar ibn Abdil Bar al-Namri al-Qurtubi ( w. 463 H)
  • Al-Istizkar fi Syarh Maz|ahib Ulama al-Amsar karya Ibn ‘Abdil Barr (w. 463 H.)
  • Kasyf al-Mugti fi Syarh Al-Muwatta’ karya Jalaluddin al-Suyuti (w. 911 H.)
  • Tanwirul Hawalik, karya Jalaluddin as-Suyuti (w. 911 H)
  • Syarah al-Ta’liq al-Mumajjad Al-Muwatta’ Imam Muhammad karya al-Haki ibn Muhammad al-Laknawi al-Hindi
  • Al-Muntaqa karya karya Abu Walid al-Bajdi (w. 474 H.).
  • Al-Maswa karya  al-Dahlawi al-Hanafi (w. 1176 H.)
  • Syarh al-Zarqani karya al-Zarqani al-Misri al-Maliki (w. 1014 H.)
Pendapat Para Ulama tentang Al-Muwatta’
Di antara ulama yang memberikan penilaian terhadap kitab Al-Muwatta’ adalah:
  • Asy-Syafi’i : “Di dunia ini tidak ada kitab setelah al-Qur’an yang lebih sahih daripada kitab Malik...”
  • Al-Hafiz al-Muglatayi al-Hanafi: “  Karya Imam Malik adalah kitab sahih yang pertama kali”
  • Ibn Hajar:” Kitab Malik sahih menurut Malik dan pengikutnya...”
  • Waliyullah al-Dahlawi menyatakan al-Muwatta’ adalah kitab yang paling sahih, masyhur dan paling terdahulu pengumpulannya.
Kritikan Orientalis terhadap al-Muwatta`
    
Di antara orientalis yang memberikan kritikan terhadap karya Imam Malik adalah Joseph Schacht. Schacht meragukan keaslian hadith dalam Al-Muwatta’, di antara hadith yang dikritiknya adalah tentang bacaan ayat sajdah dalam khutbah Jum’ah oleh Khatib:

عن هشام ين عروة عن أبيه أن عمر بن الخطاب قرأ سجدة وهو على المنبر يوم الجمعة فنزل فسجد الناس معه ثم قرأها يوم الجمعة الأخرى. فتهيأ الناس السجود فقال على رسلكم  إن الله ثم يكتبها علينا إلا أن نشأ فلم يسجد ومنهم أن يسجد.

Dalam pandangan Schacht, hadith tersebut putus sanadnya, padahal dalam riwayat Bukhari sanadnya bersambung. Menurutnya, dalam naskah lama kitab Al-Muwatta’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama Umar”. Kata-kata ini tidak pernah diucapkan oleh Urwah, hanya dianggap ucapannya. Oleh kerananya, dari pendekatan sejarah bererti naskah/teks hadith lebih dahulu ada, baru kemudian dibuatkan sanadnya. Sanad tersebut untuk kemudian dikembangkan dan diselidiki sedemikian rupa dan disebut berasal dari masa silam.  
    
Tuduhan Schacht tersebut dibantah oleh Muhammad Mustafa A’zami, teks tersebut adalah sesuai dengan naskah aslinya, karena naskah asli tulisan Malik tidak diketemukan. Para pensyarah Al-Muwatta’ seperti Ibnu ‘Abdil Barr dan az-Zarqani sama sekali tidak pernah menyinggung tentang adanya naskah lama seperti yang disebut Schacht. Secara umum Azami menyatakan apa yang dilakukan Schacht dalam penelitian keaslian sanad dengan mengambil contoh hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Fiqh seperti Al-Muwatta’ Imam Malik, Al-Muwatta’ al-Syaibani dan al-Umm al-Syafi’i adalah tidak tepat, kerana pada umumnya ciri ciri yang dipakai dalam kitab-kitab fiqh ataupun sejarah tidak memberi data secara  lengkap turutan sanadnya, tetapi mencukupi menyebutkan sumbernya atau sebahagian sanadnya.
Hal lain yang dikritik Schacht adalah tentang 80 hadis dalam Al-Muwatta’ yang disebut “Untaian Sanad Emas”, Iaitu Malik-Nafi’-Ibnu Umar. Schact meragukan untaian sanad tersebut, alasannya usia Imam Malik terlalu muda (15 tahun). Apa mungkin riwayat dari anak usia 15 tahun diikuti banyak orang, sementara masih banyak ulama besar lain di Madinah. Alasan lainnya, Nafi’ pernah menjadi hamba sahaya dalam keluarga Ibnu Umar, sehingga kredibilitinya perlu dipertanyakan.
Hal tersebut disanggah Azami, Schacht dianggap keliru dalam menghitung usia Malik, seharusnya Schacht menghitung umur Malik saat Nafi’ wafat bukan dari tahun wafatnya Malik. Sehingga usia Malik saat itu adalah 20-24 tahun. Pada usia-usia tersebut bukan terlalu muda untuk dianggap sebagai seorang ulama. Adapun tentang  Nafi’ yang bekas hamba Ibnu Umar, sebenarnya itu tidak menjadi masalah kerana penerimaan seorang rawi yang paling penting adalah “dapat dipercaya”, dan Nafi dianggap orang yang paling dipercaya dalam meriwayatkan hadith dari Ibn Umar. Di samping dalam hal ini Nafi’ bukan satu-satunya orang yang meriwayatkan hadith Ibn Umar, sehingga bisa dijadikan pembanding dan mungkinkah ribuan rawi di perbagai tempat bersepakat berbohong untuk menyusun sanad tersebut?

Kesimpulan
Dari paparan di atas, ada beberapa perkara yang dapat dirumuskan :
1.    Kitab Al-Muwatta’ disusun Imam Malik atas usulan Khalifah Ja’far al-Mansur dan keinginan kuat dari dirinya yang berniat menyusun kitab yang dapat memudahkan umat Islam memahami  agamanya.
2.    Kitab Al-Muwatta’ tidak hanya menghimpun hadith Nabi SAW, tetapi juga memasukkan pendapat sahabat, Qaul Tabi’in, Ijma’ Ahlul Madinah dan pendapat Imam Malik. Menurut Fuad Abdul Baqi, Al-Muwatta’  memuatkan 1824 hadith dengan kualiti yang beragam dengan aturan penyusunan hadith berdasar klasifikasi hukum (abwab fiqhiyyah).              
3.    Tuduhan Joseph Schacht yang meragukan keaslian hadis dalam Al-Muwatta’ ditangkis oleh Mustafa al-A’zami. A’zami menolak  penelitian keaslian sanad hadith dengan mendasarkan pada kitab-kitab fiqih seperti al-Muwatta’ al-Syaibani, Al-Muwatta’ Imam Malik dan al-Umm al-Syafi’i.Nurun Najwah
http://matasiapa.blogspot.co.id/2012/11/kitab-al-muwatta.html

Sunan Darimi

Sunan al-Darimi (bahasa Arabسن الدارمي) atau Musnad al-Darimi oleh Abdullah ibn Abdul Rahman ad-Darimi (181H–255H) merupakan kumpulan Hadits yang penting, seperti Muwatta Malik dan Musnad Ahmad.
Walaupun terkadang disebut sebagai Musnad kitab ini tidak diatur sesuai nama perawi seperti 'Musnad' yang lain, misalnya Musnad Imam Ahmad, akan tetapi lebih dalam bentuk Sunan, di mana kandungan disusun seperti Sunan Ibnu Majah.

Penyampaian

Al-Darimi menyampaikan hadits-hadits ini kepada Isa ibn Umar al-Samarqandi; Kemudian setelah itu disampaikan kepada:
  • Abdullah ibn Ahmad ibn Hamawiya al-Sarkhasi (293–381 H)
  • Abdur-Rahman ibn Muhammad ibn Muzaffar al-Dawudi "Jamal al-Islam" (374–467 H)
  • Abu'l-Waqt Abd al-Awwal ibn Isa ibn Shu'ayb al-Sijizzi (458–553 H)
Hasil gambar untuk sunan ad darimi     
  

Ad-Darimi

Ad-Darimi ialah salah satu Imam Ahli Hadits Sunni, Nama lengkapnya Abdullah bin Abdurrahman bin al Fadhl bin Bahram bin Abdush Shamad. Ad Darimi adalah nisbah kepada Darim bin Malik dari kalangan at-Tamimi. Dan dengan nisbah ini dia terkenal. Ia di lahirkan pada taun 181 H dan wafat pada tahun 255 H, dalam usia 75 tahun.

Karya-karyanya

  • Sunan ad-Darimi, Kitab hadist yang banyak menjadi rujukan.
  • Tsulutsiyat, kitab hadits
  • al Jami’
  • Tafsir

Imam Ad-Darimi & Kitabnya As-Sunan

Biografi

Beliau adalah Al-Hafizh al-Imam Abdullah bin Abdul Rahman bin Fadhl bin Bahram bin Abdillah abu Muhmad ad-Darimi as-Samarqandi.[2] ad-Darimi adalah nama lengkapnya Darim bin Malik bin Handalah bin Zaid bin Munah bin Tamim.[3] Ia di lahirkan pada taun 181 H (ada juga yang berpendapat 182) atau bertepatan dengan tahun 797 M.[4]

Keilmuan

Sebagai seorang yang bertekad menjadi penyebar hadits dan sunnah, maka syarat-syarat sebagai seorang rawi sejati menjadi satu kemestian untuk dimiliki. Diantaranya ia mesti terlebih dahulu belajar dan berguru.
a. guru-guru beliau
Yazid bin Tharus, Nadzar bin Syumail (paling awal meninggal diantara guru-gurunya), imam Muslim dan yang lainnya.[5] Dan setelah mendapatkan ilmu dan memulai menapaki masa-masa kematangan intelektualnya, beliaupun mulai mengajar dan berkarya.
b. Murid-murid beliau
Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Abdullah bin Beumaid (ia adalah murid paling awal/pertama).[6]
c. karya beliau
  1. Sunan ad-Darimi (ada juga yang menyebutnya al-Jam’u ash-Shahiih)
  2. Tsulutsiyat (kitab hadits)
  3. al-Musnad
  4. Tafsir [7]
karenanya menjadi tidak mengherankan jika kemudian para ulama memuji dan menyanjung keilmuan beliau.
1. Imam Ahmad bin Hanbal memuji beliau dan menggelarinya dengan gelar “imam” dan berpesan agar menjadikannya rujukan (seraya ucapannya diulang-ulang).[8]
2. Muhamad bin Basyar (bundar) berkata : “penghapal kaliber dunia ada empat: Abu Zur’ah ar-Razi, Muslim an-Nasaiburi, Abdullah bin Abdul Rahman di Samarqandi dan Muhamad bin Ismail di Bukhari”.[9]
Abu Harits ar-Razi berkata: “…dan Abdullah bin Abdurrahman paling kuat (atsbat) di antara mereka (Bukhari, Muhamad bin Yahya dan Muhamad bin Aslam).[10]
Sebagai seorang imam (barangkali profesor/guru besar sekarang) ilmu yang dikuasainya tidak terbatas kepada satu macam saja. Pantas saja jika para ulama menempatkan beliau sebagai seorang ahli tafsir yang sempurna mumpuni dan seorang ahli fiqh yang alim.[11]
Sudah barang tentu, penghargaan ulama seperti ini kepada beliau bukanlah datang dengan tiba-tiba –bim salabim–. Hal ini merupakan buah atau hasil dari sebuah proses panjang dalam hidup rabbani.
Abu Bakar al-Khilib al-Baghdadi melukiskan hal ini dalam buku beliau tarikh baghdad,[12] dan kemudian di nukil oleh adz-Dzahabi, ia berkata: “ia salah seorang pengembara sejati dalm mencari hadits atau memiliki kekuatan hapalan, dalm mengumpulkan hadits secara propesional (itqan)……”.[13]
Adz-Dzahabi menjulukinya dengan tawafal (mengelilingi banyak negeri) menjadi seorang imam, tentu saja sebuah gelar yang besar/agung. Kebesaran ini menjadi lengkap, karena ternyata beliau memang seorang imam seperti dalam makna yang sesungguhnya, luar dalam.
Muhamad bin Ibrahiem bin Manshur as-Saerozi: “Abdullah adalah puncak kecerdasan dan konsistensi beragama, di antara orang yang menjadi teladan/perumpamaan dalam kesantunan, keilmuan, hafalan, ibadah dan juhud….”.[14] Bahkan imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa suatu ketika ditawarkan kepada beliau materi (dunia) tetapi beliau tidak menerimanya.[15]
d.Wafat beliau
Beliau meninggal dunia pada hari Kamis, 8 Dzulhidjah (hari tasriah) setelah ashar tahun 225 H /69 M, dalam usia 75 tahun. Dan dikuburkan keesokan harinya, Jumat (hari Arafah).[16]
Kitab “Sunan”:
  1. Nama kitab:
Dari dua ahli sejarah lama, Adzahabi dan Ibnul Imad,[17] menyebutnya dengan “al-Musnad” juga dalam photo copy manuskrip (makhtuth) di Tendiyas India.[18] Dan dari dua ahli sejarah kontemporer, Umar Ridla Kahalah[19] dan ad-Darakli,[20]menyebutkan dengan “as-Sunan atau Sunan ad-Darimi”.
Dan setelah mempelajari susunan bab-bab (kitab yang telah di cetak) disusun sesuai dengan bab-bab fiqh, maka lebih tepat di sebut dengan “Sunan”.[21]
  1. cetakan kitab sampai tahun 1997, sudah ada lima cetakan kitab sunan ad-Darimi.[22]
    1. Pada tahun 1293 H di Kanbower, dengan tebal halaman 467.
    2. Pada tahun 1346 H di Cairo, dalam dua jilid, diperbanyak oleh M. Ahmad Rahman.
    3. Pada tahun 1404 H, dengan takhrij, tahqiq, ta’liq: Abdullah Hasyim Yamani Al-Madani di Faishal Abad dalam dua jilid. Juga di Cairo pada tahun tersebut di Dar Ihya as-Sunnah ar-Rabiyyah dalam dua jilid juga.
    4. Pada tahun 1405 H di Cairo, tahqiq bagian ke tiga dalam disertasi doktoral setebal 1110 halaman oleh Abdul Qayyim Abdul Rabi Nabbiy al-Fakistani dengan dosen pembimbing M. Syaukani Khadr as-Sayyid.
    5. pada tahun 1412 H di Damaskus, tahqiq, syarh, dan daftar isi Dr. Mushthafa Diib al-Bugha.
  2. kedudukan Sunan ad-Darimi:
sejarah yang saya ketahui, Sunan ad-Darimi, mendapatkan perhatian lebih dari para peneliti (bahitsin), terutamanya setelah muncul al-Mujtamul Mufahrats Li Alfazdil Hadits, dimana Sunan ad-Darimi menjadi salah satu rujukan Mu’jam tersebut, sehingga jika kemudian disebut Kutub at-Tis’ah, maka masuklah Sunan ad-Darimi di dalamnya.
Adapun dalam tulisan-tulisan ulama terdahulu, tentang pembahasan-pembahasan atau istilah-istilah tertentu yang berkaitan dengan kitab-kitab hadits, maka jarang di masukkan, contoh: ketika membahas tentang syarat-syarat kitab-kitab hadits tertentu, seperti Abu Bakar Muhamad Musa al-Hazimi (w. 584 H) dalam kitabnyasyurutul……….khamsah, atau Abu Fadhl bin Thahir al-Maqdisi (w. 507 H), (dalam kitabnya syurutul….sittah lebih lanjut, apakah tesis/desertasi atau kajian/tulisan non akademis? Saya belum melihatnya), hanya melihat 5/6 kitab dan tidak termasuk di dalamnya Sunan ad-Darimi. Wallahu a’lam.
Sampai sejauh ini kajian atau penelitian yang mendalam –selain dari tahqiq, tq’liq, syarh dan yang sejenisnya—belum saya jumpai, sampaipun dalam tesis-tesis atau disertasi-desirtasi. Di berbagai universitas di negeri Arab, ada satu judul buku “Imam ad-Darimi Atsaruhu Fil Hadits dalam catatan kaki sebuah buku, namun tidak rinci. Karenannya saya pribadi tidak bisa menulis lebih dari sekedar memperkenalkan secara sangat kasat tentang buku ini.
  1. isi Sunan ad-Darimi
– kitab ini di mulai dengan muqaddimah yang berisi bab-bab pengantar seperti:
 kondisi manusia sebelum islam
 tentang sifat, mu’jizat Nabi
 tentang fatwa
 tentang ilmu dan orang berilmu
 Didalamnya terdapat 654 hadits, dan yang lainnya.
– kemudian di sambung dengan kitab Taharah, kitab Shalat dan di akhiri dengan kitab Fadhail al-Qur’an. Jumlah kitab dalam Sunan Darimi seluruhnya berjumlah 23 kitab, dan dalam setiap kitab terdapat bab, di dalam bab-bab inilah beliau menyebutkan hadits-hadits yang sesuai dengan judul bab yang di maksud.
  1. jumlah hadit-hadits dan kedudukannya:
– dari hitungan Dr. Mushthafa Diib al-Bugha: “terdapat sebanyak 3375 hadits dalam sunan darimi termasuk hadits-hadits yang termaktub dalam muqaddimah”.
– sejauh ini, saya belum mengetahui sebuah study dan penelitian yang detail dan mendalam tentang persentase kekuatan/kedudukan hadits-hadits Sunan ad- Darimi.
Barangkali, dari contoh-contoh riwayat beliau yang di nukil sebagian oleh adz-Dzahabi dalam kitabnya Siyar ‘Ilam Nubala,[23] dapat disimpulkan, bahwa sebagian hadits beliau ada yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, artinya riwayatnya termasuk kategori shahih. Dan ada yang masuk dalam kategori Gharibul Isnad. Seperti halnya karakter dari kitab sunan yang menekankan kepada hadits-hadits hukum, maka kemungkinan adanya hadits-hadits yang tidak shahih adalah wajar. Karena para penulis (mukharrij sunan) tidak mensyaratkan hal itu (hanya meriwayatkan yang shahih saja). Wallahu ‘alam.
penutup

[1] Makalah ini diobrolkan dalam acara Bidang Taklim Forum Silaturahmi Persatuan Islam (FOSPI) Cairo Mesir, hari Rabu, 17 April 2002 M, bertepatan, 4 Shafar 1423 H.
[2] Syamsuddin adz-Dzahabi, Syar ‘Alam Nubala. Dar Fikr. Vol. X. Hal. 173. lihat juga, al-A’lam. Vol. IV. Hal 95. juga Mu’jam-ul ‘Muallifîn. Vol.VIHal.71. Sebagaimana dituturkannya sendiri (saya di lahirkan pada tahun wafatnya Ibnu Mubarak 181 H.
[3] ibid.
[4] Umar Ridlo. Mu’jamul Muallifîn. Vol. VI. Hal. 71
[5] Syamsudin adz-Dzahabi. ibid
[6] ibid
[7] Umar Ridlo.ibid.
[8] Khairuddin az-Zarakli. al-A’lamDar ilmi lil Malaayin. Vol. IV. Hal. 95.
[9] Syamsudin adz-Dzahabi. Ibid. Hal. 174
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] ibid. Vol. X. Hal. 29 (lihat catatan kaki Hijaz hal 175).
[13] Ibid. Hal 175
[14] Ibid. Hal 174
[15] Ibid. Hal 175
[16] Ibid. Hal 175. lihat juga, Imam al-Hambali, Syarat-udz Dzahabi Fî Akbarinan Ad Dazahabi. Dar al-fikr Al-Arabiyah. Vol. II. Hal. 130
[17] Imam al-Hambali, Syarat-udz Dzahabi Fî Akbarinan Ad Dazahabi. Dar al-fikr Al-Arabiyah. Vol. II. Hal. 130
[18] pengantar dan pentajdid Sunan ad-Darimi, Dr. Mushthafa Diib al-Bugha
[19] Ibid. Vol. VI. Hal. 71.
[20] Ibid. Vol. IV. Hal. 95, tetapi ia menyebutnya nama lain, yaitu ash-Shahih bukan dari al-Musnad..
[21] Sunan dalam istilah pembagian kitab-kitab hadits. Definisi sunan adalah kitab yang di susun sesuai dengan bab-bab fiqh, thaharah, shalat dll. Risalah manuskrif hal. 33. sementara definisi musnad ialah kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan sahabat ……..
[22] Muhyidin…….Vol. II. Hal. 521
[23] vol. X hal 176 dan seterusnya.
https://pwkpersis.wordpress.com/2008/06/15/imam-ad-darimi-kitabnya-as-sunan/


Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer