Lakon Baladewa Turun Tapa
Ealah, Jeliteng-Jeliteng! Adiku iki tarah katiwasan! Kakange dewe diapusi! Aku dikon topo ning Grojogan Sewu! Ono Goro-Goro ning ndonyo aku malah ra weruh! Opo tho karepmu? Jeliteng-Jeliteng! --- Betapa Baladewa merasa sedih! Kakrasana yang bringasan dan tidak sabaran itu termakan bujukan halus adik kandungnya sendiri untuk "menepi" dan "menyepi" sejenak dengan bertapa brata di Grojogan Sewu, seraya menunggu pecah perang Bharatayudha yang masih memasuki babak gonjang-ganjing, jadi, nggak, jadi, nggak, mo jadi kok nggak jadi-jadi... "Percayalah, Kakang! Ntar kalo pecah perang, tak bangunin njenengan wis! Saat ini cobalah mohon pada Dewata melalui tapa, cari wangsit dan petunjuk, bagaimana penyelesaian terbaik agar tidak mesti sampai pecah perang saudara yang sudah di ambang pintu gerbang ini..." Manggut-manggut Balarama yang warna kulitnya kontras banget, putih susu, beda ama si Jeliteng hitam legam Narayana, adik kembar dalam kisah wayang versi Jawa, atau adik kandung tapi bukan kandung, nah bingung khan? Semestinya adik kandung, tapi karena nyawa Balarama dalam kandungan terancam dibunuh oleh sepupunya Prabu Kangsa yang mendapat wisik titisan Wisnu akan lahir dari rahim Dewaki, dengan bantuan dewata, yang masih misteri gimana caranya dan tak terungkapkan dengan kata-kata atau penjelasan ilmiah paling mutakhir zaman sekarang pun, tiba-tiba, lalu, kemudian, ujug-ujug, sekonyong-konyong, bayi itu berpindah wussshhh... Masuk kandungan Rohini, bukan kembaran Rohana, apalagi Rohalus ya! :D (Kalo kata almarhum Om Kasino, Rohalus punya kembar namanya Roburik, halagh!) Walhasil, ga jadi dech Balarama punya adik kembar Narayana yang kemudian lahir selamat sebagai bayi ke delapan dan dititisi oleh dewa pemelihara semesta yang terkenal sepanjang masa, Bathara Wisnu! Ya, benar! Narayana adalah Kresna. Dia memang tercerdik di kolong langit. Kalah dech, Siau Hi Ji dari kisah The Impeccable Twins, alias Devilito kembaran Samsun yang pernah populer lewat cerita bergambar Tapak Sakti di zaman saya masih SMP dulu, ngetop bareng Tiger Wong di tahun sembilan puluhan. Baru sadar Baladewa, rupanya dirinya sengaja "diumpetin" adiknya, supaya gak ikut terjun ke kancah Bharatayudha, karena kalau dia terjun, tentu akan condong pada Kurawa, dan itu akan merusak keseimbangan cerita, sebab siapa yang bisa mengalahkan pusaka Nanggala serta gada Alugara miliknya? Hanya Cakra Sudarsana milik Kresna barangkali, tapi karena Kresna akan berperang di pihak para Pandawa, itu artinya dirinya akan harus berhadapan kelak dengan adik kandungnya sendiri! Akhirnya berangsur-angsur Baladewa bisa memahami alasan Kresna "menepikan" dirinya. Tepekur manggut-manggut Baladewa kini di hadapan tubuh remuk Duryudhana yang hancur oleh Gada Rujak Polo milik Bhima, yang masih gagah berdiri dengan keringat berderai mengaliri tubuh gotot berotot dan tinggi besar penegak Pandawa itu. Dalam nafas tersengal dan putus-putus penghabisan, Duryudhana menatap kakak sepupu yang juga iparnya, sama-sama menantu dari Prabu Salya yang juga baru saja gugur sebagai senapati pamungkas Kurawa di medan Kurusetra, tewas di tangan sulung Pandawa yang berhati suci, Yudhistira. Duryudhana bagai mengharap pembelaan darinya, Baladewa tahu itu. Semula ia memang protes menegur Bhima yang dinilai curang, menyerang bagian bawah yakni paha kiri dari Duryudhana, dimana terletak kelemahan karena tak terperciki oleh air suci saat kecil akibat luka jatuh saat bermain, salahnya, byayakan sich! Di mata Baladewa yang baru saja turun gunung dari tapa brata di Grojogan Sewu, menyaksikan dengan mata kepala sendiri saat baru tiba tergesa-gesa di padang Kurusetra, Bhima menghancurkan tubuh gagah Duryudhana dengan nafsu membunuh menggila, Baladewa protes pada Kresna yang semestinya menjadi wasit, berjanji tak akan turun tangan langsung dalam perang dan akan mengatur jalan pertempuran dengan adil se-adil-adil-nya, tentu saja adil menurut versinya, karena Baladewa yang paling tahu sejak kecil seperti apa nakal dan liciknya Narayana, meski untuk tujuan baik, cerdik beda-beda tipis dengan licik. Tapi setelah mendengar penjelasan dari Kresna, bahwa Bhima hanya menjalankan kewajiban dan sumpah sucinya, dan karena itu sudah setimpal bagi Duryudhana yang telah menjadi sumber petaka dalam perang saudara Bharatayudha yang tidak hanya menyeret seluruh wangsa Bharata tapi juga hampir seluruh bangsa-bangsa besar dan kecil di zamannya turut terjun dalam peperangan akbar dan hancur lebur bersama-sama! Hampir saja dirapalnya Nenggala, tapi sang raja resi yang memakai nama Wasi Jaladara ketika bertapa itu kembali tersadar, kemarahannya sudah terlambat, sudah tak ada gunanya. Datang saja sudah telat, apalah mau dikata. Sekali lagi dia harus mengagumi kecerdasan adiknya yang telah mengatur segala sesuatu hingga berjalan sesuai kehendaknya, meski mengatasnamakan ketertiban dunia. Huh, memangnya Kresna itu Gaban Polisi Angkasa? Maka, dengan hati hancur dan sedih, Baladewa kembali pergi meninggalkan semua mata yang memandang kepergiannya angkat kaki dari kancah percaturan politik dunia, kembali bertapa untuk menyelami segala hal yang telah, tengah terjadi, dan akan terjadi setelah kehancuran besar-besaran ini. Dia merasa sudah tidak peduli lagi pada segala apa urusan duniawi. Dia merasa tempatnya sudah tak lagi di sini. Kepedihan itu mungkin akan sepanjang penyesalan dan umurnya yang panjang. Namun kesedihan itu pun tak untuk selamanya. Adalah bayi yatim putera Abimanyu dan Dewi Utari, cucunda dari Arjuna sang panengah Pandawa, yakni Parikesit kecil yang menjadi obat penglipur laranya. Akhirnya sang uwak menemukan kembali perannya, yakni membimbing penerus wangsa Bharata agar berjalan di atas jalan kebenaran sebagaimana mestinya. Sesuatu yang sempat menjadi kesalahan dan pelajaran bagi Baladewa, yang sempat cenderung condong kepada para Kurawa alih-alih kepada para Pandawa, dan hasilnya Kurawa besar kepala dan menimbulkan beraneka petaka hingga mengguncang prahara. Tidak, Baladewa kini sudah memahami tujuan keberadaan setidaknya di penghujung hidup. Dia menjadi satu-satunya wakil generasi tua yang tersisa untuk membimbing dan membekali generasi penerus dan pembaharu memasuki Kali Yuga, yuwaraja Parikesit yang sangat disayanginya. --- Kita semua memiliki lakon dalam cerita dan peranan dalam kehidupan, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Hikmah tak terjunnya Baladewa di Bharatayudha baru ditemukan di usia tua, karena dibutuhkan kebijaksanaannya untuk membimbing raja muda Hastinapura setelah berlalu era Pandawa serta Kurawa yang menggoncangkan dunia, menjalani hari-hari baru dengan semangat baru yang menjunjung tinggi perdamaian dan kasih sayang, mewujudkan masyarakat adil makmur, hidup tenteram, aman, nyaman di negeri yang subur, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerta raharja. Tancep kayon?
http://www.kompasiana.com/dhimaswisnumahendra/baladewa-turun-tapa
http://www.kompasiana.com/dhimaswisnumahendra/baladewa-turun-tapa
Komentar
Posting Komentar