kisah Ba'iatur Ridwan

Hudaibiyah dan Baituridhwan

Hudaibiyah merupakan kota yang berada di sekitar 26 kilometer dari Masjidil Haram. Saat ini, kawasan tersebut juga dikenal sebagai daerah perbatasan Tanah Haram. Nama Hudaibiyah sebenarnya diambil dari nama telaga, yang juga dikenal dengan sebutan telaga Asy-Syumaisi.
Kawasan Hudaibiyah berkembang menjadi kawasan permukiman. Sepanjang jalan dari Makkah ke Hudaibiyah, akan terlihat peternakan onta dan domba. Pemerintah Arab Saudi sedang intensif mengembangkan daerah ini sebagai kawasan peternakan onta dan kibas (kambing).
Sekarang ini, Jamaah Haji Indonesia datang ke Hudaibiyah untuk melihat pemerahan susu unta sekaligus mencicipinya. Lokasi pemerahan berada di padang pasir. Para peternak, biasanya dari Sudan, memelihara  8-10 ekor unta, yang biasanya terdiri atas 7 ekor unta betina dan 4 anak unta. Para jamaah Haji bisa membeli susu perbotol ½ liter seharga 5 riyal.
Berdasarkan sejarah Islam, Hudaibiyah merupakan saksi sejarah penting bagi Islam. Hudaibiyah menjadi pintu masuk kecemerlangan kaum Muslimin dalam menaklukkan Kota Makkah (Fathul Makkah). Peristiwa yang terjadi di Hudabiyah antara lain:
1.      Baiat Ridwan
Baitu Ridwan adalah Sumpah ini diikrarkan pada sahabat Nabi di hadapan Rasulullah di bawah sebuah pohon di tepi telaga. Salah satu dahan pohonnya dipegangi oleh Ma’qil bin Yasir, sedangkan Umar Bin Khattab memegangi tangan Rasulullah. Bai’at ini tertulis dalam Alquran Surat Al Fath:
“Bahwasannya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah…” (QS Al Fath: 10)
“dan  Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mu’min ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon…” (QS Al Fath:18).
Bait ini terjadi karena Nabi SAW mendengar Usman Bin Affan yang diutus untuk berunding dengan kaum Quraisy, ditahan pihak Quraisy tidak bisa kembali ke rombongan. Kabar ini membuat para sahabat bersumpah untuk memerangi kaum kafir Quraisy sampai titik darah penghabisan. Sumpah tersebut membuat kaum Quraisy gentar dan melepaskan Usman, serta bersedia berunding sehingga Rasulullah dengan mengirim Suhail bin Amar. Kemudian Perjanjiannya dikenal dengan “perjanjian Hudaibiyah”.
Tempat tersebut dibangun masjid yang disebut Masjid Bai’ah Ar Ridhwan. Masjid ini terletak sekitar 2 kilometer dari pintu masuk Kota Makkah. Sekarang, masjid tersebut sudah tinggal puing, hanya menyisakan pondasi masjid. Namun di sampingnya, berdiri masjid baru bernama Masjid Asy-Syumaisi. 

2.      Perjanjian Hudaibiyah
PerjanjianHudaibiyah berlangsung pada bulan Dzulqaidah tahun 6 Hijriah saat umat Islam Madinah yang terdiri atas kaum Muhajirin dan Anshar berencana akan melakukan umrah di Baitullah.
Perjanjian tersebut antara Rasulullah dengan Quraisy yang diwakilli oleh Suhail bin amr. Isi perjanjianya antara lain:

  •       Kedua belah pihak mengadakan gencatan senjata selama sepuluh tahun—menurut pendapat sebagian besar penulis Sirah Nabi—atau dua tahun menurut Al-Waqidi.
  •       Barangsiapa dari golongan Quraisy menyeberang kepada Rasulullah tanpa seizin walinya, maka ia harus dikembalikan kepada mereka. Namun jika pengikut Muhammad SAW menyeberang kepada Quraisy, maka tidak akan dikembalikan.
  •       Kabilah Arab yang senang mengadakan persekutuan dengan Rasulullah, diperbolehkan. Demikian pula dengan pihak-pihak yang senang mengadakan persekutuan dengan Quraisy, juga diperbolehkan.
  •       kaum Muslimin bersedia menunda umrah ke Baitullah hingga tahun depan
  •       Pada saat umrah dilakukan, kaum Muslim hanya diizinkan membawa senjata yang biasa dibawa seorang musafir, yaitu sebatang tombak dan sebilah pedang yang disarungkan.
    Nilai positi dari perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah SAW bisa melakukan dakwah dengan leluasa, bahkan menyampaikan pesan Islam pada Kaisar Romawi, Raja Habsyah (Ethiopia), Raja Mesir, dan Raja Parsi. Peristiwa ini disebut oleh Alquran dalam surat Al-Fath ayat 1 sampai 3.
    “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus. Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kokoh (banyak).” (QS. Al-Fath 1-3).
    http://kbihalmanar.blogspot.co.id/2012/11/sejarah-hudaibiyah-baitur-ridhwan.html

    Peristiwa Bai’atur Ridhwan

    Dzulqa’dah Tahun 6 H / Maret – April 628 M
    Pada bulan Dzulka’dah tahun ke enam Hijriah Nabi Muhammad saw beserta para sahabatnya pergi ke Mekah untuk berumrah dan mengunjungi keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan.
    Sesampainya di Hudaibiyah, beliau berhenti dan mengutus Utsman bin Affan lebih dahulu ke Mekah untuk menyampaikan maksud kedatangan beliau dan kaum muslimin. Setelah itu mereka menanti-nanti kembalinya Utsman. Tetapi Utsman tidak juga datang karena ditahan oleh kaum musyrikin. Bahkan setelah itu tersiar lagi kabar bahwa Utsman telah dibunuh. Karena itu Nabi saw mengambil baiat (janji setia) dari kaum muslimin untuk bersiap siaga memerangi kaum Quraisy sampai kemenangan tercapai. Para sahabat yang ikut baiat pada waktu itu lebih kurang 1.400 orang. Mereka berjanji akan menepati semua janji yang telah mereka ucapkan walaupun akan berakibat kematian diri mereka sendiri. Hal ini tersebut dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari dari Salamah bin Akwa’, ia berkata yang artinya :
    Aku telah melakukan baiat kepada Rasulullah saw di bawah pohon kayu (Samurah) itu. Orang bertanya: “Untuk apa engkau melakukan baiat waktu itu?” Ia menjawab: “Untuk mati”. (H.R. Bukhari)
    Janji setia ini telah diridai Allah Ta’ala, karena itulah peristiwa ini disebut ”Bai`atur Ridwan”. Allah Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya).” (Q.S. Al-Fath: 18)
    Bai`atur Ridwan ini menggetarkan kaum musyrikin, sehingga mereka melepaskan Ustman dan mengirim utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan ”Shulhul Hudaibiyah”.
    Di kemudian hari, ada para sahabat yang datang ke pohon kayu itu untuk mengenang dan memperingati peristiwa yang besar itu. Menurut Nafi’, tatkala Umar bin Khattab yang menjadi khalifah waktu itu mendengar kedatangan sahabat ke pohon itu, beliau memerintahkan untuk menebang pohon itu, agar pohon kayu dan tempat itu tidak dikeramatkan dan dipuja oleh orang-orang yang datang kemudian sehingga menjadi tempat timbulnya syirik.

    BAI’ATUR RIDHWAN

    BAI’TUR RIDHWAN
    Pada edisi sebelumnya disebutkan bahwa ketika Utsman Radhiyallahu anhu diutus ke Mekah untuk menyampaikan misi kedatangan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Mekah kepada para para tokoh Quraisy, beliau Radhiyallahu anhu tertahan agak lama. Kondisi ini mendorong Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk memanggil para shahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajak mereka untuk berbai’at. Orang yang pertama kali membai’at Rasûlullâh adalah Abu Sinan bin Abdullah bin Wahab al-asadiy[1] , kemudian di ikuti yang lain dengan bai’at yang sama seperti bai’at beliau Radhiyallahu anhu . Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji perbuatan mereka ini dengan mengatakan:
    أَنْتُمْ خَيْرُ أَهْلِ الأَرْضِ
    Kalian adalah sebaik baik penduduk bumi[2]
    Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
    لاَ يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
    Insya Allâh, tidak ada satu pun yang masuk neraka dari orang orang yang berbai’at di bawah pohon[3]
    Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi isyarat dengan tangan kanan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bersabda, “Ini (ibarat) tangan Utsmân” lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjabatkan tangan kanan beliau itu dengan tangan kiri sambil bersabda, “Ini untuk Utsman.”[4] Sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa Utsman Radhiyallahu anhu ikut mendapatkan kebaikan atau keutamaan bai’at, meskipun belian tidak menghadirinya kala itu.
    Sebelum keadaan semakin memanas, tiba-tiba Utsman Radhiyallahu anhu datang dan hadir ditempat itu. Bai’at ini di kenal dengan Bai’atur Ridhwan, karena Allâh Azza wa Jalla mengabarkan bahwa Allâh Azza wa Jalla telah meridhai orang-orang yang ikut berbai’at. Allâh Azza wa Jalla berfirman :
    لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
    Sesungguh Allah telah ridha terhadap orang-orang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, lalu Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya) [Al-Fath/48:18][5]
    KISAH BEBERAPA UTUSAN QURAISY
    1.Urwah bin Mas’ud Atssaqafi
    Quraisy mengutus beberapa utusan untuk melakukan perundingan dengan kaum Muslimin. Setelah mengutus Budail bin Warqa’, mereka mengutus Urwah bin Masud Atssaqafi. Sebelum berangkat dia khawatir mendapatkan sikap dan ucapan buruk dari kaum Quraisy sebagaimana yang didapatkan orang sebelumnya yaitu Budail. Untuk menghilangkan kekhawatiran ini, dia menerangkan kepada Quraisy tentang sikapnya terhadap kaum Quraisy dan memastikan bahwa dia bukanlah orang yang pernah dicurigai. Setelah mendapatkan kepastian dari kaum Quraisy bahwa dia tidak dicurigai, baru kemudian dia mengajukan usulnya agar diutus untuk menemui Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . kaum Quraisy setuju dan berangkatlah Urwah bin Mas’ud menuju Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum Muslimin.
    Ketika Urwah tiba dihadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan yang pernah Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan kepada Budail. lalu Urwah berkata, ” Wahai Muhammad ! Bagaimana pendapatmu jika engkau memusnahkan kaummu (karena keliru mengambil keputusan-red), pernahkah engkau mendengar kisah orang Arab sebelummu yang membinasakan kaumnya ? Jika tidak demikian (jika Quraisy yang menang) , sesungguhnya demi Allâh Azza wa Jalla ! Saya tidak melihat mereka (para shahabatmu) berasal dari satu qabilah. Sungguh aku melihat kumpulan dari banyak qabilah yang bisa saja lari dan membiarkanmu. Mendengar ucapan lancang ini, Abu Bakar Radhiyallahu anhu emosi dan mengatakan, “Apakah kami akan lari meninggalkannya seorang diri ?!”
    Urwah menyangka bahwa para shahabat karena terdiri dari kabilah yang beragam, mereka tidak memiliki ikatan yang kuat, sehingga akan mudah lari dari medan pertempuran. Urwah tidak tahu, kalau ikatan aqidah jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan kesukuan.
    Urwah terus berusaha berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan setiap kali berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dia selalu memegang jenggot Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana kebiasaan kaum Quraisy ketika berbicara dengan para pembesar mereka, sebagai ungkapan hormat atau cinta. Sementara al-Mughirah bin Syu’bah Radhiyallahu anhu yang berdiri di dekat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa pedang tidak suka melihat perbuatannya ini. Oleh kaena itu, ia memukul Urwah dengan gagang pedang seraya menghardik, “Lepaskan jenggot Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam !”
    Disini Urwah mendapatkan pembelajaran penting. Dia menyaksikan sendiri, bagaimana pengagungan, kecintaan dan ketaaatan para shahabat terhadap Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang luar biasa. Inilah yang ia cerita sekembalinya ke Quraisy. Ia mengatakan :
    أَىْ قَوْمِ ، وَاللَّهِ لَقَدْ وُفِدْتُ عَلَى الْمُلُوكِ ، وَ وُفِدْتُ عَلَى قَيْصَرَ وَكِسْرَى وَالنَّجَاشِىِّ , وَاللَّهِ ما رَأَيْتُ مَلِكًا قَطُّ يُعَظِّمُهُ أَصْحَابُهُ مِثْلَ مَا يُعَظِّمُ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ – صلى الله عليه وسلم – مُحَمَّدًا
    Wahai kaum Quraisy ! Demi Allâh , saya pernah diutus ke banyak raja. Aku pernah diutus ke Kaisar, Kisra dan Najasyi, demi Allâh Azza wa Jalla saya tidak pernah melihat seorang penguasa pun yang diagungkan oleh pengikutnya sebagaimana sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengagungkan Muhammad[6]
    2. Al-Hulais bin al-Qamah al-Kinâni
    Kemudian Quraisy mengutus al-Hulais bin al-Qamah al-Kinâni. Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Hulais yang merupakan pemuka al-Ahâbisy , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang ini termasuk kaum yang mengagungkan hadyu (hewan kurban) maka kirimlah hewan kurban kehadapannya supaya dia melihatnya !” Para shahabat Radhiyallahu anhum menjalankan perintah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Sementara al-Hulais begitu melihat hewan kurban yang sudah diberi tanda di lehernya, dia langsung berbalik arah dan kembali ke Quraisy sebelum sempat bertemu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ini ia lakukan sebagai bentuk pengagungan terhadap apa yang ia lihat. Setibanya di perkemahan kaum Quraisy, ia mengatakan, “Aku telah melihat hewan kurban yang sudah di kalungi dan sudah diberi tanda. Saya berpendapat, tidak sepantasnya mereka dihalangi dari rumah Allâh Azza wa Jalla “[7]
    Mendengar perkatakan ini, kaum Quraisy geram dan mengatakan, “Diam dan duduklah ! Kamu hanya orang arab badui yang tidak tahu apa-apa.” Mendapat respon yang kurang baik ini, al-Hulais pun marah dan mengatakan, ” Wahai orang-orang Quraisy ! Demi Allâh ! Bukan untuk tujuan ini, kami bergabung dengan kalian ! Apakah orang yang datang ke Baitullah sambil mengabungkannya harus dihalang-halangi ?! Demi jiwa al-Hulais yang ada di tangannya, Kalian harus membiarkan Muhammad dengan tujuan kedatangannya atau saya menarik mundur semua al-Ahabisy secara bersamaan ?!” Supaya tidak terus memanas, mereka mengatakan, “Cukup ! Biarkan kami sampai kami menentukan apa yang kami ridhai.”
    3. Mikrâz bin Hafsh dan Suhail bin Amru.
    Kemudian Quraisy mengutus seorang lelaki berperangi buruk yaitu Mikrâz bin Hafsh. Ketika melihat orang ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
    وَهُوَ رَجُل فَاجِر
    Dia orang jahat
    Kemudian dia mulai berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ketika sedang berbicara dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , tiba-tiba seseorang yang bernama Suhail bin Amr datang sebagai utusan Quraisy berikutnya, lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dengan optimis :
    لقَدْ سَهَّلَ لَكُمْ أَمْركُمْ
    Sungguh ia telah memudahkan urusan untuk kalian.[8]
    Dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
    قَدْ أَرَادَ الْقَوْمُ الصُّلْحَ حِينَ بَعَثُوا هَذَا الرَّجُلَ
    Sesungguhnya mereka telah menginginkan perdamain ketika mengutus orang ini[9]
    Orang-orang Quraisy berpesan kepada Suhail bin Amru, ”Datangilah Muhammad dan buatlah penjanjian damai dengannya dan tidak akan terjadi perdamaian kecuali ia harus kembali tahun ini (tidak jadi melakukan umrah-red). Maka demi Allâh ! Jangan sampai orang-orang arab berbicara tentang kami bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki Makkah dengan paksa”.
    Ketika sampai di hadapan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Suhail berbicapa panjang lebar dan saling menjawab, kemudian terjadilah antara keduanya perdamaian.[10]
    SYARAT-SYARAT PERJAJIAN DAMAI
    Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai mendiktekan syarat-syarat perjanjian ke Ali bin Thâlib Radhiyallahu anhu selaku penulis isi perjanjian[11] , Suhail mengingkari penulisan kalimat ‘ar-Rahmân” dalam al-basmalah. Ia ingin menggantinya dengan “Bismika Allahumma” karena kalimat ini yang berlaku bagi orang orang jahiliyah. Keberatan Suhail ini ditolak oleh kaum Muslimin, namun tidak demikian dengan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setuju dengan usulan Suhail. Suhail juga mengkritisi penggunaan ungkapan, “Muhammad Rasulullah”, dia meminta diganti dengan “Muhammad bin Abdillah”. Kritikan ini disetujui oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Giliran Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengajukan syarat dengan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dengan syarat, kalian membiarkan kami mendatangi Ka’bah dan melakukan ibadah thawaf.” Suhail membantah dengan mengatakan, “Jangan sampai orang-orang arab mengatakan kami telah memaksa, akan tetapi kalian boleh datang tahun depan, sehingga kami keluar dan kamu bisa masuk dengan seluruh shahabatmu dan tinggal selama tiga hari dengan pedang yang tidak terhunus.”
    Rasûlullâh pun setuju dengan syarat tersebut, kemudian Suhail melanjutkan dengan syarat yang selanjutnya, “Dan tidak ada seorang pun dari kaum kami yang datang kepadamu (pada masa perjanjian ini-red) walaupun dia diatas agamamu melainkan engkau harus mengembalikannya kepada kami.” Mendengar syarat ini, kaum Muslimin langsung bereaksi. Mereka mengatakan, “Subhanallah ! Bagaimana mungkin dikembalikan kepada kaum musyrikin sementara dia dalam keadaan Muslim?!”
    Ketika sedang terjadi perundingan dalam poin ini, tiba-tiba datang Abu Jandal bin Suhail bin Amr bin Yarsuf dalam keadaan terikat. Ia keluar dari kota Mekah dan menggabungkan diri dengan kaum Muslimin. Melihat ini, Suhail tidak mau kehilangan kesempatan emas ini. Suhail mengatakan, “Wahai Muhammad ! Inilah orang pertama yang aku tuntut engkau untuk mengembalikannya kepadaku.” Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
    : إِنَّا لَمْ نَقْضِ الْكِتَابَ بَعْدُ
    Kita belum mulai melaksanakan isi perjanjian
    Suhail menimpali, “Demi Allâh ! Kalau demikian kami tidak akan berdamai selamanya denganmu dengan syarat apapun.”
    Rasûlullâh sangat mengharapkan agar Suhail bersedia mengecualikan Abu Jandal, namun ia tetap menolak walaupun Mikraz (utusan Quraisy yang lain) menyetujui permintaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Suhail tidak mau merubah pendiriannya, akhirnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki pilihan kecuali melanjutkan apa yang disyaratkan Suhail.[12]
    SYARAT-SYARAT PERDAMAIAN LAINNYA
    Kemudian setelah itu terjadi kesepakatan atas beberapa syarat yang lain seperti sepakat melakukan genjatan senjata selama sepuluh tahun. Sehingga selama itu orang bisa merasa aman, masing-masing menahan diri untuk tidak saling menyerang, dan tidak saling tuntut atas perkara-perkara yang sudah terjadi, tidak ada pencurian dan khianat dan barang siapa yang ingin masuk agama Muhammad maka di persilahkan untuk mamasukinya.
    Kemudian serentak orang orang dari Khuza’ah mengatakan, ” Kami bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perjanjiannya.” Banu Bakar juga mengatakan:” kami bersama Quraisy dan perjanjiannya”.[13]
    https://almanhaj.or.id/4085-baiatur-ridhwan.html

    Ibnu Ishaq berkata, Abdullah bin Abu Bakar berkata kepadaku, “Ketika Rasulullah SAW., mendapat informasi bahwa Utsman bin Affan RA., dibunuh, beliau bersabda, ‘Kita tidak pulang hingga mengalahkan kaum tersebut’. Beliau mengajak kaum muslimin berbaiat, kemudian berlang-sunglah Baiat Ar-Ridhwan di bawah pohon. Kaum muslimin berkata, ‘Rasulullah membaiat kaum muslimin untuk mati’. Jabir bin Abdullah berkata, ‘Rasulullah membaiat kita tidak untuk mati, namun untuk tidak melarikan diri’.” “Rasulullah membaiat mereka semua.”*

    Di antara kaum muslimin yang hadir di peristiwa Baiat Ar-Ridhwan namun tidak ikut barbaiat ialah Al-Jadd bin Qais saudara Bani Salamah. Jabir bin Abdullah berkata, ‘Demi Allah, sepertinya aku lihat Al-Jadd bin Qais merapat ke perut untanya dan bersembunyi di baliknya dari penglihatan manusia. Setelah itu, ia datang kepada Rasulullah dan menjelaskan kepada beliau bahwa informasi terbunuhnya Utsman bin Affan hanyalah berita bohong sema-ta’.”

    Perihal al-Hudnah (Perdamaian Hudaibiyah)

    “Kemudian orang-orang Quraisy mengutus Suhail bin Amr saudara Bani Amir bin Luai kepada Rasulullah SAW. Mereka berkata kepada Suhail bin Amr, ‘Temuilah Muhammad, berdamailah dengannya, dan isi perda-maian ialah: Ia harus pergi dari tempat kita tahun ini. Demi Allah, orang-orang Arab tidak boleh memperbincangkan kita bahwa ia datang kepada kami dengan kekerasan’.

    Suhail bin Amr datang menemui Rasulullah SAW. Ketika beliau meli-hat kedatangan Suhail bin Amr, beliau bersabda, ‘Orang-orang Quraisy menginginkan perdamaian ketika mereka mengutus orang ini’. Ketika Suhail bin Amr tiba di tempat Rasulullah SAW, ia berbicara panjang lebar dengan beliau, tawar menawar pun terjadi dan akhirnya perdamaian pun disepakati”.

    “Ketika segala sesuatunya telah beres dan tinggal penulisan, Umar bin Khaththab berdiri kemudian mendatangi Abu Bakar dan berkata kepadanya, ‘Wahai Abu Bakar, bukankah beliau utusan Allah?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Bukankah kita kaum muslimin?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Bukankah mereka orang-orang musyrikin?’ Abu Bakar menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Kalau begitu, kenapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?’ Abu Bakar berkata, ‘Hai Umar, tetaplah pada perintah dan larangan beliau. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa beliau utusan Allah’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Aku juga bersaksi bahwa beliau utusan Allah’. Umar bin Khaththab datang kepada Rasulullah dan berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau utusan Allah?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Bukankah kita kaum muslimin?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Bukankah mereka orang-orang musyrikin?’ Rasulullah menjawab, ‘Ya betul’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Kalau begitu, kenapa kita menerima kehinaan untuk agama kita?’ Rasulullah bersabda, ‘Aku hamba Allah dan RasulNya. Aku tidak menentang perintah Allah dan Dia tidak akan menelantarkanku’. Umar bin Khaththab berkata, ‘Aku selalu bersedekah, berpuasa, shalat, dan memerdekakan budak karena perbuatanku tersebut, karena aku takut ucapanku tersebut ketika aku menghendaki kebaikan’.”

    “Rasulullah memanggil Ali bin Abi Thalib dan bersabda kepadanya, ‘Tulislah ‘Bismillahir Rahmaanir Rahiim’. Suhail bin Amr berkata, ‘Aku tidak kenal kata-kata itu, namun tulislah bismikallahumma (dengan nama-Mu, ya Allah)’. Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, ‘Tulislah bismikallahumma’. Ali bin Abi Thalib menulisnya. Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, ‘Tulislah ini perdamaian antara Rasulullah dengan Suhail bin Amr’. Suhail bin Amr berkata, ‘Kalau aku melihatmu sebagai Rasulullah, aku tidak memerangimu, namun tulislah namamu dan nama ayahmu’. Rasulullah bersabda kepada Ali bin Abi Thalib, ‘Tulislah ini perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dengan Suhail bin Amr. Keduanya berdamai untuk menghentikan perang selama sepuluh tahun, masing-masing pihak memberikan keamanan selama jangka waktu tertentu, masing-masing pihak menahan diri dari pihak lainnya, barangsiapa di antara orang-orang Quiraisy datang kepada Muhammad tanpa izin pemiliknya maka ia dikembalikan kepadanya, barangsiapa di antara pengikut Muhammad pergi kepada orang-orang Quraisy maka ia tidak dikembalikan kepadanya, kita harus komitmen dengan isi perdamaian, pencurian rahasia dan pengkhianatan tidak diperbolehkan, barangsiapa ingin masuk ke dalam perjanjian Muhammad maka ia masuk ke dalamnya, dan barangsiapa ingin masuk ke dalam perjanjian orang-orang Quraisy maka ia masuk ke dalamnya. Orang-orang Khuza’ah berdiri dan berkata, ‘Kami masuk ke dalam perjanjian Muhammad’. Orang-orang Bani Bakr juga berdiri dan berkata, ‘Kami masuk ke dalam perjanjian orang-orang Quraisy’. Isi perdamaian lebih lanjut, ‘Engkau (Muhammad) pulang dari tempat kami tahun ini dan tidak boleh masuk ke Makkah pada tahun ini. Tahun depan, kami keluar Makkah, kemudian engkau memasuki Makkah dengan sahabat-sahabat-mu, engkau berada di sana selama tiga hari dengan membawa senjata layaknya musafir yaitu pedang di sarungnya dan tidak membawa senjata lainnya’.”

    “Ketika Rasulullah SAW., menulis teks perdamaian dengan Suhail bin Amr, tiba-tiba Abu Jandal bin Suhail bin Amr datang kepada beliau dengan melompat dan memegang pedang. Sebenarnya ketika para sahabat keluar dari Madinah dengan tujuan Makkah, mereka tidak meragukan terjadinya penaklukkan Makkah, karena mimpi Rasulullah SAW. Jadi, wajar ketika mereka menyaksikan perdamaian, sikap mengalah, dan apa yang dirasakan Rasulullah SAW, maka mereka sangat terpukul hingga keragu-raguan nyaris masuk ke hati mereka. Ketika Suhail bin Amr melihat Abu Jandal, ia berdiri, memukulnya, dan mencengkeram leher bajunya, kemudian berkata, ‘Hai Muhammad, permasalahan di antara kita telah selesai sebelum orang ini (Abu Jandal) datang kepadamu’. Rasulullah SAW., bersabda, ‘Engkau berkata benar’.

    Suhail bin Amr mencengkeram leher baju Abu Jandal dan menyeretnya untuk dibawa kepada orang-orang Quraisy. Abu Jandal berteriak dengan suara terkerasnya, ‘Hai seluruh kaum muslimin, apakah aku dibiarkan dibawa kepada kaum musyrikin kemudian mereka menyiksaku karena agamaku?’ Kaum muslimin semakin sedih dengan kejadian yang dialami Abu Jandal.

    Rasulullah bersabda, ‘Hai Abu Jandal, bersabarlah dan berharaplah akan pahala di sisi Allah, karena sesungguhnya Allah akan memberikan jalan keluar bagimu dan bagi orang-orang lemah sepertimu. Sungguh, kita telah meneken perjanjian dengan kaum tersebut. Kita berikan perjan-jian kepada mereka sedang mereka memberikan janji Allah kepada kita, dan kita tidak mengkhianati mereka’.”

    “Setelah teks perdamaian ditulis, perdamaian tersebut disaksikan sejumlah orang dari kaum muslimin dan kaum musyrikin. Para saksi tersebut adalah Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Abdurrahman bin Auf, Abdullah bin Suhail bin Amr, Sa’ad bin Abu Waqqash, Mahmud bin Maslamah, Mikraz bin Hafsh –yang masih musyrik ketika itu–, dan Ali bin Abi Thalib yang menulis teks perdamaian tersebut”.

    “Setelah menyelesaikan perdamaian, Rasulullah SAW., berjalan ke arah hewan sembelihannya kemudian menyembelihnya, duduk, dan mencukur rambutnya. Ketika kaum muslimin melihat beliau menyembelih hewan sembelihan dan mencukur rambut, mereka pun menyembelih hewan sembelihan (unta) dan mencukur rambut mereka”.

    “Kemudian, Rasulullah SAW., pulang dari tempat tersebut. Ketika beliau berada di antara Makkah dan Madinah, turunlah surat Al-Fath kepada beliau. Allah SWT., berfirman,
    ‘Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurna-kan nikmatNya kepadamu dan memimpin kamu ke jalan yang lurus’. (Al-Fath: 1-2)

    Setelah itu, Allah SWT., berfirman,
    ‘Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada RasulNya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguh-nya kalian pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan menggunting-nya, sedang kalian tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (Al-Fath: 27)

    Yakni kebenaran mimpi Rasulullah SAW., bahwa beliau akan masuk ke dalam kota Makkah dalam keadaan aman tanpa diliputi rasa takut, dengan mencukur rambut kepala mereka atau mengguntingnya tanpa diliputi rasa takut. Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang tidak mereka ketahui.

    'Dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat’. (Al-Fath : 27)
    Kemenangan yang dekat yang dimaksud pada ayat di atas adalah Perdamaian Al-Hudaibiyah”.

    Az-Zuhri berkata lagi, “Sebelum penaklukan Makkah, tidak ada penaklukan yang lebih agung daripada Perdamaian Al-Hudaibiyah. Perdamaian Al-Hudaibiyah dinamakan perang karena kedua belah pihak bertemu di sana. Ketika gencatan senjata terjadi, perang dihentikan, masing-masing pihak memberikan jaminan keamanan kepada pihak lain, dan mereka bertemu, mereka mengadakan pembicaraan, perdebatan, dan tidak ada seorang pun yang membicarakan Islam melainkan ia masuk ke dalamnya. Dalam jangka waktu dua tahun tersebut, telah masuk Islam orang-orang yang jumlahnya sama dengan jumlah orang-orang yang masuk Islam sebelumnya atau bahkan lebih banyak.”**

    CATATAN:

    * Ibnu Hisyam menyebutkan bahwa orang yang pertama kali membaiat Rasulullah SAW., saat itu adalah Abu Sinan Al-Asadi
    ** Ibnu Hisyam berkata: "Bukti kebenaran ucapan Az-Zuhri tersebut adalah: Rasulullah SAW., keluar menuju Hudaibiyah dengan membawa seribu empat ratus personil menurut perkataan Jabir RA. Kemudian beliau keluar pada saat penaklukan kota Makkah dua tahun setelah itu dengan membawa sepuluh ribu personil
    http://tafsiroh2.blogspot.co.id/2012/07/baiat-ar-ridwan.html

    Komentar

    Wayang Kulit Gagrak Surakarta

    Wayang Kulit Gagrak Surakarta
    Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

    Jika Anda Membuang Wayang Kulit

    Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

    Postingan Populer