Kesultanan Lingga Riau

Kesultanan Lingga

Kesultanan Lingga merupakan Kerajaan Melayu yang pernah berdiri di LinggaKepulauan RiauIndonesia. Berdasarkan Tuhfat al-NafisSultan Lingga merupakan pewaris dari Sultan Johor, dengan wilayah mencakup Kepulauan Riau dan Johor. Kerajaan ini diakui keberadaannya oleh Inggris dan Belanda setelah mereka menyepakati Perjanjian London tahun 1824, yang kemudian membagi bekas wilayah Kesultanan Johor setelah sebelumnya wilayah tersebut dilepas oleh Siak Sri Inderapura kepada Inggris tahun 1818, namun kemudian diklaim oleh Belanda sebagai wilayah kolonialisasinya.
Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah merupakan sultan pertama kerajaan ini. Kemudian pada tahun 3 Februari 1911, kesultanan ini dihapus oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kesultanan ini memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Bugis.
Hasil gambar untuk bendera kesultanan lingga riau Hasil gambar untuk lambang kesultanan lingga riau
Bendera dan Lambang Ksl.Lingga Riau 

Sejarah

Lingga pada awalnya merupakan bagian dari Kesultanan Malaka, dan kemudian Kesultanan Johor. Pada 1811 Sultan Mahmud Syah III mangkat. Ketika itu, putra tertua, Tengku Hussain sedang melangsungkan pernikahan di Pahang. Menurut adat Istana, seseorang pangeran raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat. Dalam sengketa yang timbul Britania mendukung putra tertua, Husain, sedangkan Belanda mendukung adik tirinya, Abdul Rahman. Traktat London pada 1824 membagi Kesultanan Johor menjadi dua: Johor berada di bawah pengaruh Britania sedangkan Riau-Lingga berada di dalam pengaruh Belanda. Abdul Rahman ditabalkan menjadi raja Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah, dan berkedudukan di DaikKepulauan Lingga.
Sultan Hussain yang didukung Britania pada awalnya beribukota di Singapura, namun kemudian anaknya Sultan Ali menyerahkan kekuasaan kepada Tumenggung Johor, yang kemudian mendirikan kesultanan Johor modern.
Pada tanggal 7 Oktober 1857 pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Mahmud IV dari tahtanya. Pada saat itu Sultan sedang berada di Singapura. Sebagai penggantinya diangkat pamannya, yang menjadi raja dengan gelar Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah. Jabatan raja muda (Yang Dipertuan Muda) yang biasanya dipegang oleh bangsawan keturunan Bugis disatukan dengan jabatan raja oleh Sultan Abdul Rahman II Muadzam Syah pada 1899. Karena tidak ingin menandatangani kontrak yang membatasi kekuasaannya Sultan Abdul Rahman II meninggalkan Pulau Penyengat dan hijrah ke Singapura. Pemerintah Hindia Belanda memakzulkan Sultan Abdul Rahman II in absentia 3 Februari 1911, dan resmi memerintah langsung pada tahun 1913.
Sultan
 - 1819-1832Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah
 - 18321835Sultan Muhammad II Muazzam Syah
 - 18351857Sultan Mahmud IV Muzzafar Syah
 - 18571883Sultan Sulaiman II Badarul Alam Syah
 - 18851911Sultan Abdul Rahman II Muazzam Syah
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Lingga

Berdiri dan Runtuhnya Kesultanan Lingga

BERDIRINYA KESULTANAN LINGGA
Hasil gambar untuk istana damnah kesultanan lingga riau
Mulanya pulau yang diberi nama Lingga ini diperintah oleh seorang pemimpin melayu yang sangat terkenal piawai bertempur terutama dilaut bernama Datuk Megat Kuning Putra dari Datuk Megat Merah Mata yang menurut kisah setempat berasal dari Pangkalan Lama di Jambi. Pada awal abad 18 Sultan Mahmud Syah memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Johor – Riau ke Daik, Sang Datuk diberi gelar Orang Kaya Temenggung dan bermastautin di Mepar sebagai tempat pegangannya.
Sultan Mahmud Syah yang dulu nya tempat puspersemayaman at pemerintahan nya di Hulu Riau ( Riau Lama ) pindah ke Lingga 1787. Sementara tempat kedudukan Yam Tuan Yang Dipertuan Muda juga dipindahkan ke Pulau Penyengat tahun 1787 itu juga. Pindahnya Sultan Mahmud Syahdan kerabat Diraja dengan angkatan sebanyak 200 buah perahu ke Lingga, maka bendahara Tun Abdul Majid dengan angkatannya sebanyak 150 buah perahu meninggalkan Hulu Riau ke Pahang mewakili Sultan Lingga di Pahang.
Sejak tahun itulah (1787) ramailah orang melayu meninggalkan Hulu Riau pindah ke tempat lain yakni ke Selangor, Terengganu, Selat ( Singapura ) Pulau Bulang, Batam, Karimun, Kalimantan dan pulau-pulau Kepulauan Lingga, Senayang, Singkep dan Kepulauan Riau. Sedangkan Pulau Bulang dekat Pulau Batam ditempatkan seorang Temenggung Datuk Abdul Jamal yang diserahi memegang kuasa di Johor, Singapura dan Pulau lainnya. Pulau Bulang juga ditempatkan sebagai armada angkutan laut kerajaan.
Di penghujung 1615 dengan persetujuan Sultan Acheh, ipar dari Raja Abdullah telah dilantik Sultan Johor ke VII, baginda diberi gelar Sultan Abdullah Ma’ayat Syah. Sultan Ma’ayat Syah memindahkan pusat kerajaan Johor di Batu Sawar ke Pulau Lingga. Namun pada tahun 1623 negeri Johor di Pulau Lingga di serang sehingga Sultan Ma’ayat syah terpaksa meninggalkan Lingga dan memilih Pulau Tambelan sebagai tempat persemayamannya yang baru. Tak lama kemudian pada bulan Maret 1623 Sultan Abdullah mangkat dan disebut Marhum Tambalan.
Keberadaan orang Cina zaman Kesultanan Lingga berkaitan erat dengan sejarah, dapat di kutip dari sejarah asli Johor dan Pahang. Dimana penulis-penulis dari Cina ikut andil merumuskan keberadaan Kerajaan Johor-Pahang-Riau dan Lingga. Sultan Mahmud memerintah semua pentabdiran negeri. Dalam menangani pemerintah diserah tugaskan kepada wakilnya yaitu di Pahang diwakilkan kepada Datuk Bendahara, di kawasan Johor-Singapura dan sekitarnya diwakilkan pada Datuk Temenggung yang bermestautin di Pulau Bulang  dekat Batam, sebagai pegangannya khusus di Riau diserahkan kepada Yang Dipertuan Muda ( Yam Tuan ) dengan Pulau Penyengat pusat perwakilan Sultan Lingga.
Pahang termasuk daerah taklukan Kesultanan Johor. Kerajaan Johor, Pahang, Riau dan Lingga adalah sebuah Kesultanan Diraja satu perahu dua nakhoda yakni yang memerintah Sultan dan Yam Tuan ( Yang Dipertuan Muda).
BERAHIRNYA  KESULTANAN LINGGA 
                                   Hasil gambar untuk istana damnah kesultanan lingga riau                            
Melihat perkembangan Lingga lebih kurang 120 tahun diperintah oleh Sultan yang berasal dari kerajaan Johor, Belanda yang berada di Riau-Tanjung Pinang pun mengambil alinya sehingga menyebabkan kekuasan Sultan semakin sempit dan akhirnya Sultan Lingga terahir Sultan Abdul Rahman Muazzamsyah memindahkan pusat kerajaan Lingga Riau ke Pulau Penyengat pada tahun 1900 setelah lembaga Yang Dipertuan Muda dihapuskan.
Pada Kongres Wina tahun 1815 ditegaskan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali jajahan Belanda termasuk Melaka dan Riau yang dikuasai Inggris sejak tahun 1795. 
Letnan Gubernur Jenderal Inggris di Batavia tetap menduduki Bengkulu sedangkan Malaka dan Riau baru dikembalikan pada Belanda tahun 1816. Tanggal 29 Januari 1819 Reffles sampai di Singapura dan Tanggal 30 Januari 1819 membuat perjanjian dengan Temenggung Abdul Rahman yang mengizinkan Inggris untuk membangun Loji dan pada 6 Pebruari 1819 berhasil menobatkan Tengku Husin menjadi Sultan Johor-Singapura.
Perjanjian antara Reffles dengan Tengku Husin tentang oleh Belanda karena Singapura adalah adalah Wilayah Kesultanan Melayu Lingga-Riau yang diperintah oleh Sultan Abdurrachman ( saudara Tengku Husin ). Persengketaan antara Inggris dan Belanda dalam usaha perebutan pengaruh di Kesultanan Melayu Lingga-Riau diselesaikan dengan perjanjian yang dikenal dengan Traktat London pada tanggal 17 Maret 1824 yang isinya antara lain Belanda tak mencampur segala urusan Inggris di Semenanjung Melayu.
Isi dari Traktat London itu ialah daerah kesultanan dibagi dua :
1.       Bagian utara yang sebelumnya adalah bagian Kesultanan Melayu Lingga-Riau menjadi wilayah Kesultanan Melayu Johor.

2.       Bagian Selatan yaitu pulau-pulau Lingga-Singkep dan Riau serta beberapa daerah lainnya tetap berada dalam Kesultanan Melayu Lingga – Riau. Daerah – daerah inilah yang terus dibina dan dikembangkan sebagai usaha mempertahankan keberadaan suku bangsa Melayu – Riau.
Pada masa pemerintahan Sultan Abdurrachman ( 1824 – 1832 ) ditanda tangani perjanjian yang berisi pengakuan tentang kekuasaan tertinggi berada ditangan pemerintah Hindia Belanda. Sultan Muzzaffar Syah ( 1834 – 1857 ) karena tak mengacuhkan perjanjian dengan Belanda dan tak sungguh – sungguh menumpas orang-orang laut, dimakzulkan dari jabatan pada tanggal 23 September Gubernur Jenderal Belanda dan penggantinya dipilih Tengku Sulaiman dan dilantik tanggal 10 Oktober 1857 dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ( 1857 – 1883 ).
Sebagai pengganti Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah II dilantiklah Raja Abdul Rahman Putera Yamtuan Muda ke X Riau Muhammad Yusuf Al – Ahmadi dengan Tengku Embung Fatimah Binti Sulaiman Mahmud Muzzaffar Syah Marhum Mangkat di Pahang dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muzzaffar Syah. Sultan Riau – Lingga yang terahir memerintah dari tahun 1883 – 1912 dengan pusat pemerintahan di Negeri Daik sampai tahun semenjak meninggal Yamtuan Muda Riau yang ke X Raja Muhammad Yusuf tahun 1899.
Pada tahun itu Lembaga Yang Dipertuan Muda dihapus, maka tinggallah Sultan yang memerintah negeri Riau-Lingga. Maka pusat pemerintahan Riau Lingga di pindahkan dari Daik ke Pulau Penyengat dari tahun 1900 – 1912. Yamtuan Muda Raja Muhammad Yusuf tinggal di Riau ditempatnya memerintah.
Raja Muhammad Yusuf Al – Ahmadi Mangkat di Daik dan dimakamkan di Damnah dan dikenal dengan nama Marhum Damnah. Selepas tahun 1912 kerajaan Riau – Lingga yang berpusat di Pulau Penyengat dibubarkan oleh Kerajaan Belanda. Semenjak itu Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah beserta keluarganya pindah ke Singapura dan bertempat tinggal disana.
Berpindahnya Sang Sultan ke Singapura maka berahirlah kesultanan Lingga yang berada di Daik yang menjadi pusat pemerintahan Melayu. Baginda mangkat diperkirakan pada tahun 1930 dan dimakamkan di Singapura.
http://junihardi-elegan.blogspot.co.id/berdiri-dan-runtuhnya-kesultanan-lingga.html
Jejak Sejarah Kerajaan Riau Lingga di Pulau Penyengat
 Gambar terkait
TANJUNGPINANG (HK) - Pulau Penyengat tak cuma tempat kedudukan Yang Dipertuan Muda atau Perdana Menteri Kerajaan Melayu Riau–Lingga, tetapi juga tempat kedudukan Sultan dengan segala macam bangunan fisiknya: istana, mahkamah, rumah sakit, listrik yang tersedia sebelum abad ke-20.
Muncul dalam sejarah Melayu pada awal abad ke-18 ketika meletus perang saudara di Kerajaan Johor-Riau yang kemudian melahirkan Kerajaan Siak di daratan Sumatera. Pulau ini menjadi penting ketika perang Riau berkobar pada akhir abad ke-18 yang dipimpin Raja Haji Fisabilillah.
Ia menjadikan pulau  ini sebagai kubu penting yang dijaga oleh orang-orang asal Siantan dari kawasan Pulau Tujuh di Laut Cina Selatan.
Raja Haji Abdurahman Djantan, tokoh masyarakat Penyengat, menerangkan  bahwa banyak cerita beredar bahwa nama pulau tersebut diambil dari nama binatang yakni penyengat (sebangsa lebah). Semula dikenal sebagai tempat orang mengambil air bersih dalam pelayaran. Suatu hari para saudagar yang mengambil air di situ diserang binatang itu.
"Pihak Belanda sendiri menjuluki pulau ini dengan dua nama yakni Pulau Indera dan Pulau Mars. Kini Pulau Penyengat lebih dikenal dengan nama Penyengat Inderasakti. Pulau ini mendapat perhatian yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya yaitu pada 1805, Sultan Mahmud menghadiahkan pulau itu kepada istrinya, Engku Puteri Raja Hamidah, sebagai mas kawin," ungkapnya, Jumat (16/5).
Beberapa tahun kemudian, Yang Dipertuan Muda Raja Jaafar (1806-1832) memindahkan tempat kedudukannya di Ulu Riau (Pulau Bintan) ke Penyengat sehingga namanya semakin menjadi perhatian khalayak ramai. Sedangkan Sultan Mahmud pindah ke Daik Lingga.
Dengan pengalamannya sebagai pengusaha timah di Semenanjung Malaya dan selalu bepergian ke berbagai tempat, Raja Jaafar membangun pulau ini dengan cita rasa pemukiman yang indah. Penyengat ditata sedemikian rupa dengan penyusunan pemukiman, keberadaan tembok-tembok, saluran air, dan jalan-jalan.
Hingga pada akhirnya, giliran Sultan Abdurahman Muazamsyah, pada 1900 memindahkan tempat kedudukannya dari Daik ke Penyengat. Setelah menolak menandatangani politik kontrak dengan Belanda dan melakukan berbagai macam bentuk perlawanan, Sultan Abdurahman Muazamsyah diturunkan dari tahta oleh penjajah.
"Tak seorang pun orang Melayu yang bersedia menjadi sultan setelah itu, Abdurahman Muazamsyah bahkan mengilhami orang-orang Riau meninggalkan Penyengat menuju Singapura dan Johor pada 1911. Hanya beberapa ratus orang penduduk dari 6.000 orang penduduk waktu itu yang menetap di Penyengat setelah peristiwa itu," ujar Abdurahman menambahkan.
Dengan demikian, bangunan-bangunan kerajaan terbiarkan bahkan dijarah.
Menurut informasi yang diperoleh, diantara para bangsawan mengharapkan agar bangunan-bangunan yang ada dirobohkan ketimbang diambil oleh Belanda. Tindakan ini tidak berlaku pada Mesjid Sultan, malahan rumah ibadah dipelihara baik sebagaimana layaknya rumah ibadah lainnya.
Keunikan yang terdapat di dalam masjid ialah mushaf Al Quran yang ditulis tangan dan diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Sitambul pada 1867. Ia adalah putra Riau yang dikirim kerajaan Riau-Lingga untuk menuntut ilmu di Istambul, Turki.
Disebabkan tempat belajarnya penulisan mushaf Alquran bergaya Istambul yang dikerjakan sambil mengajar agama Islam di Penyengat. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab dalam dua lemari di sayap kanan depan mesjid. Kitab-kitab tersebut adalah sisa-sisa kitab yang dapat diselamatkan dari perpustakaan Kerajaan Riau-Lingga, Kutub Khanah, Marhum Ahmadi yang tidak terbawa bersama eksodusnya masyarakat Riau awal abad ke-20 ke Singapura dan Johor.
Engku Putri
Sejarah Riau mencatat, Engku Putri Raja Hamidah adalah Putri Raja Syahid Marhum Teluk Ketapang Yang Dipertuan Muda Riau ke-IV yang termashur sebagai pahlawan Riau dalam menantang penjajahan Belanda. Sebagai putri tokoh ternama, Engku Putri besar peranannya dalam pemerintahan kerajaan Riau sebab selain memegang regalia (alat-alat kebesaran kerajaan).
Beliau juga seorang permaisuri Sultan Mahmud. Sebagai pemegang regalia kerajaan, beliau sangat menentukan dalam penobatan sultan karena penobatan haruslah dengan regalia kerajaan. Engku Putri pernah pula melakukan perjalanan ke beberapa daerah lain seperti Sukadan, Mempawah, dan lain-lain untuk mempererat tali persaudaraan antara kerajaan Riau dengan kerajaan yang dikunjunginya.
Engku Putri mangkat di Pulau Penyengat pada Juli 1884. Makamnya terletak di Pulau Penyengat, terbuat dari beton, dan dikelilingi pagar tembok. Dahulu atap bangunan makam dibuat bertingkat-tingkat dengan hiasan yang indah.
Di kompleks ini terdapat pula makam tokoh terkemuka kerajaan Riau seperti makam Raja Haji Abdullah ( Marhum Mursyid), Yang dipertuan muda Riau IX, makam Raja Ali Haji, pujangga Riau yang terkenal dengan Gurindam 12, makam Raja Haji Abdullah, makam-mahkamah Syariah Kerajaan Riau-Lingga, makam Tengku Aisyah Putri Yang Dipertuan Muda Riau IX dan kerabat-kerabat Engku Putri yang lain.
Selain makam Engku Putri terdapat juga makam-makam pembesar istana kerajaan yang lain terletak menyebar di Pulau Penyengat seperti makam Raja Jaafar, makam Raja Abdurrahman, bekas istana Sultan Abdurahman Muazzamsyah, istana Raja Ali Marhum Kantor, dan sebagainya.
Kompleks makam Raja Jaafar adalah komplek makam yang baik diantara makam lainnya. Dinding-dindingnya dilapisi dengan pilar dan kubah kecil di sampingnya terdapat kolam tempat berwudhu. Raja Jaafar adalah anak Raja Haji Fisabilillah merupakan Yang Dipertuan Muda VI.
Dalam kompleks makam Raja Jaafar juga terdapat makam Raja Ali Yang Dipertuan Muda VIII. Merupakan figur yang taat beribadah. Pada masa pemerintahannya, ia mewajibkan kaum laki-laki melaksanakan shalat Jumat dan mewajibkan kaum wanita menggunakan busana muslim.
Raja Abdurrahman
Raja Abdurrahman adalah Yang Dipertuan  Muda ke VII  Kerajaan Riau Lingga, ia yang membangun mesjid. Pada masa pemerintahannya terjadi pengacauan oleh bajak laut dan campur tangan pihak Inggris yang mempersulit kedudukan Raja Abdurrahman.
Beliau wafat pada 1843 dengan gelar Post Humous adalah Marhum Kampung Bulang. Makamnya terletak di atas sebuah bukit yang memaparkan pemandangan  pada mesjid yang dibangunnya.
Bangunan bekas istana Sultan Abdurrahman Muazamsyah yang terakhir ini hanya berupa puing-puing belaka, istana ini disebut Kedaton dengan lapangan luas disekitarnya. Istana ini mulai rusak sejak Sultan Abdurrahman (1833-1911).
Meninggalkan penyengat karena dimusuhi Belanda akibat sikap beliau menentang pemerintahan Belanda tahun 1911. Beliau pindah ke Daik, kemudian meninggalkan Daik, selanjutnya bermukim di Singapura. Sejak itulah istana ini terlantar dan akhirnya runtuh.  
Istana Kantor adalah istana Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau VIII (1844-1857) disebut juga Marhum Kantor. Istana ini berada di bagian tengah Pulau Penyengat, sekitar 150 m sebelah barat daya Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat.
Istana ini sebagian sudah hancur yang tersisa hanya bangunan induknya. Bangunan utama merupakan bangunan bertingkat dua yang pada mulanya merupakan kantor Raja Ali Haji. Seluruh area bangunan dibatasi dengan tembok keliling yang mempunyai tiga buah pintu masuk dari afrah barat, utara, dan timur. Pintu gapura berupa gapura yang sekaligus berfungsi sebagai penjagaan dan pengintaian.
Pintu gerbang utara merupakan pintu gerbang untuk menuju tempat pemandian. Sedangkan pintu gerbang timur -berupa pintu gerbang biasa yang seolah-olah hanya merupakan pintu darurat. Di halaman bagian dalam tembok keliling masih terdapat bekas sisa-sisa pantai bangunan.
http://www.haluankepri.com/tanjungpinang/63098-jejak-sejarah-kerajaan-riau-lingga-di-pulau-penyengat.html

SEJARAH KERAJAAN RIAU-LINGGA KEPULAUAN RIAU

Hasil gambar untuk istana damnah kesultanan lingga riau
Kerajaan Riau Lingga adalah sebuah kerajaan Islam di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1828 M hingga 1911 M. Kerajaan ini mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, memerintah dari tahun 1857 hingga 1883 M.Wilayahnya meliputi Provinsi Kepulauan Riau sekarang, tetapi tidak termasuk Provinsi Riau yang didominasi oleh Kerajaan Siak yang sebelumnya telah memisahkan diri dari Kerajaan Johor-Riau.
Kerajaan Riau Lingga memiliki peran penting dalam perkembangan bahasa Melayu hingga menjadi bentuknya sekarang sebagai bahasa Indonesia. Pada masa Kerajaan Riau Lingga, bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain di dunia, yang kaya dengan sastra dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis. Sebelumnya Riau Lingga merupakan wilayah dari Kerajaan Johor-Riau atau juga dikenal Kerajaan Johor-Pahang-Riau-Lingga yang berdiri sekitar tahun 1528-1824 M yang merupakan penerusan dari Kerajaan Malaka, terbentuknya Kerajaan Riau Lingga diakibatkan perebutan kekuasaan antara kedua putra Raja Johor-Riau dan pengaruh Belanda-Inggris, pada tahun 1824 Belanda dan Inggris menyetujui Perjanjian Traktat London, yang isinya bahwa semenanjung Malaya merupakan dalam pengaruh Inggris dan Sumatra serta pulau-pulau disekitarnya merupakan dalam pengaruh Belanda. Hal ini memperparah situasi Kerajaan Johor-Riau, dan akhirnya pada tahun 1824 Kerajaan Johor-Riau terbagi menjadi 2 Kerajaan, Kerajaan Johor dengan raja pertamanya Tengku Hussain bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) putra tertua Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl (1761-1812), sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan besar Johor Pahang Riau Lingga ke XVll yang merupakan adik Tengku Hussain, menjadi Sultan pertama Kerajaan Riau Lingga bergelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke l (1812-1832).
Sesudah Malaka sebagai ibu kota kerajaan Malaka diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada tanggal 10 Agustus 1511 dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511, Sultan Mahmud Syah (Sultan terakhir Malaka dan Sultan pertama Johor-Riau) beserta pengikutnya melarikan diri ke Johor, kemudian ke Bintan dan mendirikan ibukota baru. Tetapi pada tahun 1526 Portugis berhasil membumihanguskan Bintan, dan Sultan Mahmud Syah kemudian mundur ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian dan digelar Marhum Kampar, kemudian digantikan oleh putranya bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II sebagai Sultan Johor-Riau ke ll. Putra Sultan Mahmud Syah yang lainnya Muzaffar Syah, kemudian menjadi Sultan Perak.
Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi. Kerajaan Johor-Riau mulai mengalami kemunduran pada tahun 1812 setelah wafatnya Sultan Mahmud Syah lll Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVl, hal ini disebabkan oleh perebutan kekuasaan antara dua putra sultan, Yaitu Tengku Hussain/ Tengku Long dan Tengku Abdul Rahman. Ketika putra tertua Sultan Mahmud Syah lll yaitu Tengku Hussain/Tengku Long sedang berada di Pahang, dengan tidak diduga pada tanggal 12 januari 1812 Sultan Mahmud Syah lll mangkat. Menurut adat istiadat di Istana, seseorang pangeran Raja hanya bisa menjadi Sultan sekiranya dia berada di samping Sultan ketika mangkat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Johor-Pahang-Riau-Lingga ke XVll meneruskan Sultan Mahmud Syah lll menggantikan saudara tertuanya Tengku Hussain/Tengku Long yang ketika Sultan Mahmud Syah mangkat dan dimakamkan di Daik Lingga, Tengku Hussain masih berada di Pahang. Sekembalinya Tengku Hussain dari Pahang menuntut haknya sebagai putra tertua untuk menjadi Sultan menggantikan Sultan Mahmud Syah lll. Tengku Hussain merasa lebih berhak menjadi Sultan, daripada adiknya Tengku Abdul Rahman. Sebelum meninggal Sultan Mahmud Syah lll pernah berwasiat, yaitu menunjuk Tengku Hussain/Tengku Long sebagai Sultan Johor-Riau dan Tengku Abdul Rahman, agar berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji.
Berdasarkan wasiat Sultan mahmud Syah lll, Tengku Hussain tetap menuntut haknya. Sedangkan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah tetap mengikuti adat dan istiadat Pelantikan Sultan. Pengganti Sultan, yaitu Tengku Hussain harus hadir ketika upacara pemakaman dijalankan, lagipula tidak boleh ditangguhkan lebih lama lagi, namun Tengku Hussain masih tidak ada di tempat, oleh karena itu Tengku Abdul Rahman dilantik menjadi pengganti Sultan Mahmud Syah lll.
Dalam sengketa yang timbul, Inggris mendukung putra tertua Tengku Hussain, sedangkan Belanda mendukung Sultan Abdul Rahman. Traktat London yang telah disepakati Belanda-Inggris pada tahun 1824, yang menyatakan bahwa Semenanjung Malaya dibawah pengaruh Inggris dan Sumatera dibawah pengaruh Belanda, hal ini mengakibatkan Kerajaan Johor-Riau terpecah menjadi dua, yaitu Johor berada di bawah pengaruh Inggris dan Tengku Hussain sebagai Sultan pertama Kerajaan Johor bergelar Sultan Hussain Syah (1819-1835) dan berkedudukan di Singapura, sedangkan Riau Lingga berada di dalam pengaruh Belanda, dan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ditabalkan menjadi Sultan Kerajaan Riau Lingga dengan gelar Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke I, dan berkedudukan di Daik Lingga.
Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah ll adalah putra almarhum Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah dengan permaisurinya Cek Nora (keturunan Belanda). Memerintah di Daik Lingga pada tahun 1857 hingga 1883. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Riau Lingga mencapai puncak kejayaannya, Yang Dipertuan Muda saat itu adalah Yamtuan lX Raja Haji Abdullah (1857-1858). Memerintah di pulau Penyengat. Dilantik oleh Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll /Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke lV, dan Yamtuan X Raja Muhammad Yusuf Al-Ahmadi (1858-1899) juga Memerintah di pulau Penyengat, digelar Marhum Damnah, mangkat di Daik Lingga dan pada masa pemerintahan Tengku Embung Fatimah (1883-1885) menggantikan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah ll, Daik Lingga semakin berkembang pesat menjadi pusat perdagangan dan pemerintahan dengan banyaknya pendatang-pendatang dari Sulawesi, Kalimantan, Siak, Pahang, Bangka, Belitung, Cina, Padang dan sebagainya ke Daik. Keadaan ini menyebabkan Belanda kuatir jika Kerajaan Riau Lingga menyusun kekuatan baru untuk menantang Belanda, oleh karena itu Belanda menetapkan Asisten Residen di Tanjung Buton (sebuah pelabuhan berhadapan dengan pulau Mepar, sekitar 6 Km dari pusat Kerajaan Riau Lingga).
Pada tanggal 18 Mei 1905 Belanda membuat perjanjian baru yang antara lain berisikan bahwa Belanda membatasi kekuasaan Kerajaan Riau Lingga dan mewajibkan Bendera Belanda harus dipasangkan lebih tinggi daripada Bendera Kerajaan Riau Lingga. Perjanjian ini dibuat Karena Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll Yang Dipertuan Besar Riau Lingga ke Vl (1885-1911) saat itu terang-terangan menantang Belanda.
Belanda memaksa Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll untuk menandatangani perjanjian tersebut, tetapi atas mufakat pembesar-pembesar Kerajaan seperti Engku Kelana, Raja Ali, Raja Hitam dan beberapa kerabat Sultan, maka Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll menolak menandatangani perjanjian tersebut. Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll membuat persiapan dengan membentuk Pasukan dibawah pimpinan Putra Mahkota, yaitu Tengku Umar/Tengku Besar. Sikap tegas Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll dan pembesar Kerajaan menantang Belanda menimbulkan amarah Belanda, maka pada bulan Febuari 1911, kapal-kapal Belanda mendekati pulau Penyengat pada pagi hari dan menurunkan ratusan orang serdadu untuk mengepung Istana dan datang Kontlir H.N Voematra dari Tanjung Pinang mengumumkan pemakzulan Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah ll. Atas pertimbangan agar tidak terbunuhnya rakyat di pulau Penyengat, maka Sultan Abdul Rahman Syah ll beserta pembesar-pembesar Kerajaan Riau Lingga tidak melakukan perlawanan. Dengan demikian berakhirlah Kerajaan Riau Lingga dan dimulailah kekuasaan Belanda di Riau Lingga. Pada tahun 1913 Belanda resmi memerintah langsung di Riau Lingga.
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri//sejarah-kerajaan-riau-lingga-kepulauan-riau/

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer