Kesultanan Panei Riau & Kerajaan Pannai (Budha) Sumatera Utara

Sejarah kesultanan Panai

Kerajaan Panai pada masa kolonial merupakan daerah yang termasuk dalam Residensi Sumatera Timur (menurut strukturnya, mulai terbentang dariTamiang hingga daerah Riau).

Pada masa kolonial, daerah Panai / Labuhanbilik merupakan pelabuhan ketiga terbesar setelah pelabuhan Belawan dan Tanjung Balai. Begitu pesatnya, akhirnya terdapat perwakilan dagang asing di daerah ini seperti : Guntzel Schumacher ( Jerman ), Herrison ( Inggris ), Vanni dan Deli Aceh ( Belanda ). Selain itu terdapat juga sarana angkutan antar pulau / pelayaran asing seperti kapal “SS Ayutia” milik Jerman, K.P.M ( Belanda ).

Kapal pelayaran ini bergerak menuju Singapura, Malaysia, bahkan menuju Eropa. Saat pecah perang dunia pertama (1914-1918), kapal “SS Ayutia” berlabuh selama 4 tahun di Labuhanbilik.

Labuhanbilik atau Panai didirikan oleh Sutan Kaharuddin ( Marhum Kaharuddin ), Raja Kerajaan Panai ke 4, disekitar tahun 1815. Sebelumnya pusat kerajaan masih berada di hulu sungai. Sementara itu, Kerajaan Panai dibentuk oleh Raja Murai Perkasa Alam.

Asal nama Panai hingga saat ini belum ada yang pasti. Ada yang mengatakan nama Panai berasal dari bahasa Minangkabau (Paneh) yang artinya Panas. Hal ini ada juga benarnya mengingat daerah Panai merupakan daerah yang agak panas udaranya. Juga adanya petunjuk dari barang-barang peti kemas yang dibawa oleh kapal pengangkutan yang menujukan ke Paneh Labuhanbilik.
Sepuluh abad yang lalu, sebelum Kerajaan Panai berdiri, nama Panai atauPannai telah ada. Nama ini ditemukan pada tahun 1030 masehi dalam sebuah prasasti. Oleh Prof. Nilakanta Sastri, seorang sarjana India, mahaguruUniversitas Madras, pada tahun 1940 menterjemahkan isi prasasti tersebut ke dalam bahasa Inggris. Prasasti ini merupakan peninggalan Raja Rayendra Cola IKerajaan Tanjore (India Selatan), yang mana pernah melakukan penyerangan ke beberapa wilayah, termasuk wilayah Pulau Sumatera. Daerah yang menjadi tempat penyerangan di Pulau Sumatera antara lain Kerajaan Lamuri (Aceh), Pannai (Sumatera Timur),  dan Sriwijaya (Sumatera Selatan).
Salah satu isi atau nukilan dari prasasti tersebut adalah : "Pannai with water in its bathing ghats".
Pannai yang dimaksud disini terletak di daerah sungai Barumun (Panai), wilayah Sumatera Timur. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya berupa patung-patung tembaga di Padang Lawas oleh Prof. Schnitger, sarjana Belanda, pada tahun 1936. Salah satu diantaranya yaitu Candi Bahal I, merupakan bukti peninggalan Raja Rayendra Cola I yang pernah memasuki wilayah Sumatera Timur (Panai).


Namun, ada yang sangat berbeda dari isi prasasti tersebut (yang menyebut nama Pannai). Isi prasati yang menyebut nama Pannai terlalu sangat sederhana, sangat berbeda dengan isi prasasti yang menyebutkan nama daerah lain yang menunjukkan kedahsyatan penyerangan (pertempuran) yang dilakukan olehRaja Rayendra Cola I. Sebagai contoh yaitu :
"(Rayendra) having despatched many ships in the midst of the rolling sea and having caught Sanrama Vijayattunggavarman, the King of Kadaram, together with the elephants in his glorious army, (took) the large heap of treasures which (that king) has rightfully accumulated".
Dari nukilan prasasti tersebut dapat diketahui betapa dahsyatnya penyerangan yang dilakukan oleh Raja Rayendra Cola I hingga akhirnya Raja Kadaram(Sang Rama Wijayatunggawarman) dapat ditawan. Hal ini sangat berbeda dengan nama Pannai, sepertinya tidak terjadi pertempuran.
Dapat ditarik kesimpulan yaitu, masuknya Raja Rayendra Cola I ke wilayah Pannai sepuluh abad yang lalu, mereka hanya menemukan daerah itu (Padang Lawas) masih sedikit penghuninya, belum ada kesatuan hukum,  ataupun belum ada ikatan kelompok yang dapat dikatakan sebagai sebuah Kerajaan.
Dari keterangan diatas, adanya nama Panai tentu setidaknya melibatkan nama sungai Panai (Barumun) ataupun sungai Batang Pane, anak cabang sungaiBarumun. Diduga, nama sungai-sungai ini telah ada sebelum datangnya Raja Rayendra Cola I, kemudian dengan nama sungai inilah mereka gunakan untuk dituliskan dalam prasati.
Raja Murai Perkasa Alam juga ada kemungkinan menamakan daerah kerajaannya (Kerajaan Panai) bersumber dari nama sungai.


Demikianlah uraian singkat asal nama Kerajaan Panai. Walaupun demikian, data-data yang dituliskan diatas bukanlah menjadi data-data mutlak, namun jika ingin lebih dalam mengetahuinya lagi tentu akan sangat sulit ditelusuri. Yang pastinya, nama Panai atau Pannai telah ada 10 abad yang lalu.

http://sejarah-labuhanbatu.blogspot.co.id/kerajaan-panai.html
http://fsknsu.blogspot.co.id/p/sejarah-kesultanan-panai.html 

Kerajaan Pannai

Kerajaan PannaiPanai atau Pane merupakan kerajaan Buddhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di pesisir timur Sumatera Utara. Lokasi kerajaan ini tepatnya di lembah sungai Panai dan Barumun yang mengalir di Kabupaten Labuhanbatu dan Kabupaten Tapanuli Selatan sekarang. Kerajaan ini kurang dikenal akibat minimnya sumber sejarah dan sedikitnya prasasti yang menyebutkan kerajaan ini. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan kerajaan Pannai merupakan kerajaan bawahan dari Kerajaan Sriwijaya kemudian Dharmasraya. Meskipun kurang dikenal, kerajaan Buddha beraliran Tantrayana ini meninggalkan peninggalan belasan candi-candi Buddha yang tersebar di kawasan Percandian Padanglawas, yakni sebanyak 16 bangunan, salah satunya Candi Bahal.
Candi Bahal I, Padang Lawas, Sumatera Utara 

Catatan sejarah

Keberadaan kerajaan ini pertama kali diketahui dari Prasasti Tanjore yang berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I, di India Selatan, yang menyebutkan tentang penyerangannya ke Sriwijaya. Prasasti ini menyebutkan bahwa kerajaan Pannai dengan kolam airnya merupakan salah satu taklukan Rajendra Cola I dari Colamandala India.[1] Selain Pannai, penyerbuan Chola ini juga disebutkan telah menaklukkan MalaiyurIlangasogamMadamalingamIlamuri-Desam, dan Kadaram. Disebutkannya kerajaan Pannai sebagai salah satu negeri taklukan dalam penyerbuan ke Sriwijaya ini menimbulkan dugaan bahwa kerajaan Pannai adalah salah satu negeri anggota mandala Sriwijaya.
Tiga abad kemudian nama kerajaan ini kembali disebutkan dalam kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca berangka tahun 1365 Saka. Dalam pupuh ke-13 disebutkan Pane sebagai bagian dari negeri-negeri di Sumatera yang dibawah pengaruh mandala Majapahit. Singhasari melalui Ekspedisi Pamalayu berhasil menarik kerajaan Malayu Dharmasraya masuk dalam pengaruh Singhasari, maka segenap negeri bawahan Dharmasraya seperti Palembang, Teba, Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar, Pane, Kampe, Haru, Mandailing, Tamiyang, Perlak, Padang Lawas, Samudra, Lamuri, Batan, Lampung, dan Barus pun masuk dalam lingkungan pengaruh Jawa Singhasari dan kemudian diwarisi oleh Majapahit.

Peninggalan bersejarah

Para arkeolog dan sejarahwan berusaha mencari lokasi kerajaan ini, dan karena kesamaan nama tempat maka merujuk pada daerah di sekitar muara sungai Panai dan sungai Barumun, pantai timur Sumatera Utara yang menghadap perairan Selat Melaka, kini terletak di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara. Pada tahun 1846 Franz Junghuhn, seorang ahli geologi dan Komisaris Hindia Timur melaporkan temuan kompleks biaro di Padanglawas di daerah hulu sungai Barumun. Daerah luas yang sunyi dengan runtuhan biaronya, dahulu kala pernah menjadi pusat keagamaan Kerajaan Pannai.[2] Sebuah kerajaan yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah kuno Indonesia.
Daerah Padanglawas merupakan dataran rendah yang kering, pada masa lampau mungkin tidak pernah menjadi pusat pemukiman, dan hanya berfungsi sebagai pusat upacara keagamaan. Meskipun daerah ini dapat dicapai melalui jalan sungai dan jalan darat, yang dapat berarti tidak terisolir, tetapi lingkungan Padanglawas yang sering bertiup angin panas tidak memungkinkan untuk bercocok tanam. Oleh karena itulah, diduga bahwa pemukiman masyarakat pendukung budaya biaro Padanglawas seharusnya bermukim di daerah muara Sungai Panai dan Barumun, tidak di sekitar kompleks percandian.[2] Maka diduga pusat kerajaan Pannai terletak di daerah yang lebih subur dan lebih dekat ke jalur perdagangan Selat Melaka, yaitu di sekitar muara sungai Panai dan Barumun.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pannai
Kesultanan Panai terletak di Sumatera, Kab.Labuhan Batu, Prov. Sumatera Utara.
Sejarah / History kesultanan Panai
Penjajah Belanda memasuki wilayah Labuhan Batu berkisar tahun 1825.Sebelum penjajahan Belanda memasuki daerah Labuhanbatu, sistem pemerintahan Labuhanbatu bersifat monarkhi yang Kepala Pemerintahan disebut Sultan atau Raja yang dibantu oleh seorang bergelar Bendahara Paduka Sri Maharaja yang bertugas sebagai Kepala Pemerintahan sehari-hari (semacam Perdana Menteri).
Kesultanan yang terdapat di wilayah Kabupaten Labuhanbatu pada waktu itu terdiri dari empat kesultanan, yaitu:
  1. Kesultanan Kota Pinang berkedudukan di Kota Pinang
  2. Kesultanan Kualuh berkedudukan di Tanjung Pasir
  3. Kesultanan Panai berkedudukan di Labuhan Bilik
  4. Kesultanan Bilah berkedudukan di Negeri Lama.
  5. Ditambah satu Half-Bestuur Kerajaan Kampung Raja berkedudukan di Tanjung Medan
Labuhanbilik atau Panai didirikan oleh Sutan Kaharuddin ( Marhum Kaharuddin ), Raja Kerajaan Panai ke 4, disekitar tahun 1815.
Sebelumnya pusat kerajaan masih berada di hulu sungai. Sementara itu, Kerajaan Panai dibentuk oleh Raja Murai Perkasa Alam.
Sepuluh abad yang lalu, sebelum Kerajaan Panai berdiri, nama Panai atau Pannai telah ada. Nama ini ditemukan pada tahun 1030 masehi dalam sebuah prasasti.
Pannai yang dimaksud disini terletak di daerah sungai Barumun (Panai), wilayah Sumatera Timur.

Kerajaan Panai (PANE)

Keberadaan Kerajaan Panai sampai sekarang masih sedikit orang yang membicarakannya. Minimnya sumber yang menyebutkan tentang Kerajaan Panai membuat nama kerajaan ini asing. Prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Raja Rajendra I (Rajendracoladewa) dari Kerajaan Cola di India Selatan pada 1030 M merupakan sumber yang paling awal menyebutkan tentang Kerajaan Panai. Rajendra I, diperkirakan raja yang berasal dari India. Dalam prasasti itu disebutkan tentang penyerangan yang dilakukan oleh Rajendra terhadap raja Sailendra Sangramawijayayotunggawarman dari Kerajaan Kadaram. Diperkirakan bawa Kerajaan Sailendra di sini adalah Kerajaan Sriwijaya. Lebih lanjut disebutkan bahwa setelah menyerang Sriwijaya serta menghancurkan rajanya, maka yang menjadi target penyerangan Rajendra berikutnya adalah Kerajaan Panai.
Prasasti Tanjore selnjutnya menyebutkan kerajaan-kerajaan yang berhasil ditaklukkan oleh Raja Rajendra I dari Kerajaan Cola, yakni: Kerajaan Kadaram (Kataha – Kedah), Pannai, Malayur, Ilamuridesa (Lamuri), Ilanggasokam (Langkasuka), Madalinggam (Tambralingga), dan sebagainya. Diduga nama-nama kerajan tersebut merupakan kerajaan kecil yang pada masa itu merupakan sekutu Kerajaan Siriwijaya. Penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya tidak berarti membuat Kerajaan Sriwijaya runtuh. Berita Cina pada 1028 M masih menyebutkan adanya utusan dari Sumatra yang membawa upeti raja Se-li-tieh-hwa. Diduga raja tersebut merupakan keturunan dari Sanggramawijayatunggawarman.
Nagarakretagama menyebutkan bahwa Kerajaan Pane (Panai) termasuk salah satu negara Melayu yang telah tunduk dan berada di bawah Majapahit. Berikut petikan terjemahan Nagarakretagama:
Kemudian akan diperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu Melayu: Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya. Pun ikut juga disebut daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang Lawas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus. Itulah terutama negara-negara Melayu yang telah tunduk.
Sumber lain yang lebih muda yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Panai adalah surat dari Sultan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda pernah mengirim surat kepada Jacques I yang isinya menyatakan bahwa Panai merupakan jajahan Aceh di pantai timur Sumatra.
Prasasti Rajendra I di Tanjavur mencatat bahwa “Pannai terletak di tepi sungai” di antara daerah atau kota yang diserang tentara Cola pada 1025 Masehi. Lokasi ini diduga di Kuala Panai. Menurut Wheatley nama Panai berasal dari bahasa Tamil yang berarti “ladang” atau “tanah pertanian”, karena itu Pannai dalam prasati Cola diterjemahkan sebagai “well-watered fields (of) Sriwijaya (Lobu Tua Sejarah Awal Barus, 2001: 71 dan Poesponegoro, 2008: 110). Nama Panai juga terdapat di tempat lain: sebuah kota dan sebuah daerah di sebelah timur Danau Toba dan daerah pedalaman Kota Tanjungbalai. Pane juga merupakan nama marga orang Batak di pantai barat; dan karena Padang Lawas lebih dekat dengan pantai ini, maka R. Mulia mengusulkan bahwa pelabuhan Sibolga dan Barus merupakan pintu masuk Kerajaan Panai yang berpusat di daerah-daerah candi. Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda pengaruh Jawa, candi-candi tersebut diduga berasal dari abad ke-10 hingga 14 Masehi dan merupakan peninggalan dari sebuah kerajaan besar beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman.
Pada zaman dahulu Padang Lawas diperkirakan berhubungan dengan pantai barat, mungkin daerah Toba di selatan Danau Toba, dan tercatat dalam Nagarakretagama yang berperan juga dalam hubungan ini. Pelabuhan Panai dahulu diperkirakan dekat dengan Sungai Panai dan kemungkinan terletak di daerah Panai sekarang. Hipotesis ini diperkuat oleh keadaan sebuah anak Sungai Barumun di bagian hulu; Sungai Barumun dan kualanya dinamakan Panai atau Pane. Padang Lawas berada dalam wilayah Kerajaan Panai yang berpusat di pantai atau, sebaliknya, berpusat di pedalaman namun pintu masuknya di pantai.
Tampaknya sumber-sumber yang berasal dari Cina belum membawa informasi tambahan tentang Kerajaan Panai. Kronik Cina menyebutkan tentang adanya P’o-lo, P’u-lo, dan Pu-lo, yang mungkin mengacu kepada Peureulak, walau pun Wheatley berpendapat bahwa nama-nama tersebut mungkin mengacu kepada Panai. P’ni, yang diduga Panai oleh Gerini, sebenarnya Brunei. Dalam daftar perjalanan I tsing, yang memulai perjalanannya dari arah barat, P’o-li disebut pada posisi kelima, jauh sesudah Malayu, “yang merupakan Kerajaan Sriwijaya sekarang”. Hsu-Yu-t’siao, merujuk kepada Schnitger dan diikuti oleh Mulia, berpendapat bahwa tempat ini sama dengan Panai. Namun menurut kebanyakan peneliti P’o-li, misalnya Pelliot dan Wheatley berpendapat bahwa Po’o-li adalah Bali, sedangkan menurut Wolters, P’o-li terletak di bagian timur Nusantara, di sekitar Chin-li-p’i-shih (Vijayapura) yang kemungkinan besar terletak di Borneo.
Peureulak dan Lambri diperkirakan merupakan pelabuhan di mana terdapat banyak barang berharga, namun khusus untuk kamper terdapat dua pelabuhan saja: Pant’chour, yaitu Fansur atau Barus, di pantai barat, dan Panes atau Panis, yaitu Panai, di pantai timur. Kedua pelabuhan tersebut saling membelakangi dan terletak di satu garis yang memisahkan sumbu Sumatra secara tegak lurus. Daerah-daerah yang paling kaya dengan kamper terletak di antara keduanya, di Bukit Barisan. Keberadaan pelabuhan Panai dan Barus sebagai sebuah pelabuhan yang saling membelakangi menjadikan keuntungan tersendiri dalam jalur perdagangan, karena memiliki jalur perdagangan masing-masing. Panai memiliki jalur perdagangan di sekitar Selat Malaka dan Barus sendiri memiliki jalur perdagangan di Samudra Hindia. Namun untuk mengekspor “kamper dalam jumlah besar” pada abad ke-12 Masehi, Kerajaan Panai semestinya berhubungan dengan daerah-daerah yang terletak di perbatasan bagian hulu Sungai Barumun dan kalau sungai ini juga dinamakan Sungai Panai, maka sungai inilah yang dari dahulu merupakan jalan utama untuk kamper dan bahan-bahan dari pedalaman ke pantai timur. Ini mungkin merupakan konfirmasi bahwa Kerajaan Panai meliputi seluruh daerah aliran Sungai Barumun, termasuk Padang Lawas (kini nama kabupaten di Sumatra Utara, hasil pemekaran Kab. Tapanuli Selatan).


Situs Padang Lawas
Sebagaimana umur manusia ada batasnya, demikian pula halnya dengan peradaban di Padang Lawas. Goncangan pertama yang dialami oleh peradaban ini adalah pada 1030 Masehi ketika penguasa Kerajaan Cola, Rajendra I, menyerang Panai yang diperkirakan merupakan kerajaan yang membangun kepurbakalaan di Padang Lawas. Namun, tampaknya kerajaan ini masih eksis hingga abad ke-14 M, yang dibuktikan dengan disebutkannya nama Panai sebagai salah satu wilayah Majapahit yang berada di bumi Malayu. Setelah masa itu, tidak diketahui dengan pasti apakah Kerajaan Panai masih eksis dan biaro – biaronya dimanfaatkan sebagaimana fungsinya sebagai tempat persembahyangan, hingga pada pertengahan abad ke-19 (tahun 1837) saat Belanda dapat menaklukkan wilayah Padang Lawas, sebagai bagian dari upaya Belanda mereduksi wilayah pengaruh kaum Padri di Tanah Tapanuli.
Keberadaan Kerajaan Panai tidak disebut kemudian dalam sumber Cina, termasuk Ma Huan, sekretaris Cheng Ho. Hal tersebut bukan berarti bahwa Kerajan Panai telah hilang, seperti yang dituliskan oleh Mills, Ma Huan juga tidak mencatat Kerajaan Lampung dan Kampar. Ma Huan tidak memberikan deskripsi Peureulak karena tempat ini termasuk dalam Kerajaan Samudra yang berbatasan dengan Aru pada zaman itu. Selain itu, Panai merupakan salah satu dari dua kerajaan yang tidak tercatat oleh Marco Polo, mungkin karena Panai terletak di satu daerah yang tidak dikunjunginya. Kemerosotan Sriwijaya sejak abad ke-13 M akibat serangan Siam dan Jawa serta kehilangan kekuasaan atas kawasan Selat Malaka, memperlemahkan kekuatan pelabuhan Padang Lawas – Panai.
Berdasarkan prasasti abad ke-14 yang ditemukan di bagian hulu daerah aliran sungai di Rokan, yang dipercayai diperuntukkan bagi seorang tuan tanah yang tunduk kepada Raja Adityawarman dari Minangkabau, diduga bahwa pada zaman itu di Padang Lawas masih terdapat sebuah pusat kekuasaan. Pada abad ke-16, sewaktu Malaka dan Aceh berkembang, Sulayman al-Mahri mengenal sebuah pelabuhan saja untuk kamper di seluruh pelabuhan Sumatera, yaitu Fansur dan tidak mencatat Panai di antara Aru dan Rokan yang dideskripsikan sebagai dua pelabuhan kecil. Pires meletakkan Kerajaan Acat, yang tunduk pada Aru, di daerah yang diduga bernama Panai pada zaman sebelumnya. Selain itu, Pires menambahkan bahwa Aru menyediakan sejenis kamper yang kualitasnya lumayan dan berbagai jenis barang. Sebagian dari barang dagangan itu beredar di Minangkabau, sedangkan sebagian lainnya dibawa ke Panchur, seperti zaman dahulu.
Pada abad ke-10 Kerajaan Panai diperkirakan telah berkembang dan menjadi kerajaan yang penting di Sumatra. Oleh karenanya tidak mengherankan apabila Rajendra I dari Kerajaan Cola melakukan penyerangan pada 1025 M. Namun, serangan tersebut tidak berhasil menghancurkan Panai karena terbukti pada abad-abad berikutnya justru kerajaan tersebut berhasil berkembang, dan bahkan berhasil membangun komplek percandian Padang Lawas yang monumental. Sangat disayangkan. meski bangunan-bangunan di Padang Lawas cukup banyak, tidak ada satu pun yang menyebutkan tentang sebuah kerajaan dan raja-rajanya. Tulisan-tulisan singkat yang dipahat dalam lembaran emas lebih mengenai mantra ajaran-ajaran Tantris yang berkembang pada saat itu. Sebagai informasi tambahan, Raja Kertanagara dari Singhasari, Adityawarman dari Kerajaan Malayapura (Pagaruyung), dan Kubilai Khan dari Mongol adalah penganut setia dari ajaran tersebut (Poesponegoro, 2008: 111).
Melihat bangunan di situs Padang Lawas, dapat ditafsirkan bahwa masyarakat pendukung situs tersebut dulunya merupakan pemeluk Buddha. Hal tersebut bisa di identifikasi berdasarkan bangunan-bangunan peninggalan yang masih dapat kita temukan sampai sekarang, walapun mungkin bangunan tersebut tidak bagus seperti pada zamannya dulu “kurang terawat”.
http://trendmagtheme.blogspot.co.id/kerajaan-panai-pane_21.html



Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer