Kesultanan Tayan Kalimantan Barat
Kerajaan Tayan
Kerajaan Tayan adalah sebuah kerajaan yang berpusat di Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Pendiri kerajaan Tayan adalah putra Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang bernama Gusti Likar/Lekar. Bersama dengan saudara-saudaranya, Gusti Likar meninggalkan kerajaan Tanjungpurayang sering terlibat peperangan. Pemerintahan kerajaan Tayan kemudian dipegang oleh Gusti Ramal bergelar Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma, putra Pangeran Mancarpendiri kerajaan Meliau yang adalah kemenakan Gusti Likar. Mula-mula ibukota kerajaan berlokasi di Teluk Kemilun.
Keraton Ksl.Tayan
Asal–usul nama Tayan
Terdapat berbagai versi penamaan Tayan, antara lain:
- Asal kata TA artinya TANAH dan YAN artinya TAJAM (TANAH TAJAM). Apakah ini dimaksudkan dengan kondisi tanah ujung Tanjung, disitu tempat mulai dibuka atau didirikan kota Tayan;
- Asal kata TAI artinya BESAR dan AN artinya KOTA (KOTA BESAR). Sebuah tempayan yang ditenggelamkan di muara Sungai Tayan sebagai tanda mulai berdirinya Kota Tayan.
Lambang Ksl.Tayan
Sejarah
Kerajaan Tayan di dirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). sedangkan anaknya yang pertama bernama Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertama yang memeluk agama islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari raja mekah sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah. Kedatangan Gusti Lekar di Tayan semulanya untuk mengamankan upeti dari rakyat daerah itu kepada kerajaan matan, sebelumnya pembawa upeti tersebut selalu mendapat gangguan oleh seseorang yang mengatakan dirinya raja di kuala lebai. untuk semuanya itu Gusti Lekar bersama seorang suku dayak bernama Kia Jaga dari Tebang berhasil mengamankan upeti tersebut sampai ke kerajaan Matan.
Gusti Lekar wafat di makamkan di sebuah bukit dekat Kota Meliau, karena tempat atau bukit tersebut masih termasuk wilayah Kerajaan Tayan. Dengan wafatnya Gusti Lekar ini, maka sebagai penggantinya menjadi raja di Tayan diangkatlah Gusti Gagok dengan gelar Pangeran Manca Ningrat, beristrikan Utin Halijah dan memperoleh seorang anak yang diberi nama Gusti Ramal. sedangkan saudaranya yang lain, yaitu Gusti Manggar menjadi Raja di Meliau, Gusti Togok menjadi Raja di Sanggau dan Utin Peruan kawin dengan abang sebatang hari seorang pangeran di Embau Hulu Kapuas.
Sejak itu ibu kota Kerajaan Tayan dipindahkan ke suatu tempat bernama Rayang. Ditempat ini masih terdapat peninggalan berupa Makam Raja-raja dan sebuah meriam, yang konon atau menurut cerita meriam ini tidak mau dipindahkan ketempat lain dan pada saat-saat tertentu posisinya dapat berubah sendiri. Dengan berakhirnya masa Kerajaan Tayan ini, status keraton dijadikan monumen peninggalan sejarah yang dilindungi (Monumen Ordonansi No. 238 tahun 1931) dan mendapat bantuan biaya pemeliharaan dari Pemerintahan Daerah TK I Kalimantan Barat. Peninggalan sejarah lainnya yaitu sebuah Masjid Jami' yang letaknya kurang lebih 100 meter kearah Barat Keraton dan Makam Raja-raja serta puluhan meriam peninggalan VOC.
Kerajaan Tayan pertama kali ditempatkan di daerah Tayan, setelah Gusti Lekar wafat dimakamkan disebuah bukit yang tidak jauh keberadaannya dari Kota Meliau, Kecamatan Meliau, Kabupaten Sanggau. Gusti Lekar wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Gusti Gagok yang bergelar Manca Diningrat. Kemudian Gusti Gagok memindahkan Ibukota Kerajaan Tayan ke suatu tempat bernama Rayang. Hingga saat ini kawasan Rayang masih didapati peninggalan Kerajaan Tayan berupa makam Raja-Raja beserta kerabat kerajaan di mana dikawasan tersebut ditandai keberadaan sebuah meriam. Setelah Pangeran Mancadiningrat (Gusti Gagok) wafat, Raja Tayan diganti oleh anak pertamanya bernama Gusti Ramal yang bergelar Pangeran Marta Jaya Kusuma.
Sejak pemerintahan Gusti Kamaruddin yang bergelar Pangeran Suma Yuda yang menggantikan ayahnya Gusti Ramal menjadi Raja tayan. Dalam masa pemerinthannya itu, terjadi peperangan antara Kerajaan Tayan dengan Kerajaan Pontianak. Kerajaan Sanggau dan orang-orang China dari wilayah Mentrado Bengkayang. Setelah wafatnya Pangeran Suma Yuda (Panembahan Tua), diangkatlah anaknya yang bernama Gusti Mekkah yang kemudian bergelar Panembahan Natakusuma (Panembahan Muda). Pada masa pemerintahan Natakusuma inilah tercatat bahwa dia yang mula-mula mengikat perjanjian dengan Nederland Indie Gouverment pada bulan November tahun 1822.
Panembahan Natakusuma mangkat pada tahun 1825 dengan tidak meninggalkan seorang putra. Maka yang menggantikan menjadi Raja Tayan adalah saudaranya Panembahan Tua yaitu Utin Belondo yang bergelar Ratu Utin Belondo (Ratu Tua) sedangkan yang menjalankan pemerintahan kerajaan adalah suaminya Gusti Hasan Pangeran Ratu kusuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma. Pada tahun 1855 Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Gusti Inding yang bergelar sama dengan ayahnya.
Dalam tahun 1858 oleh pemerintahan Belanda (Gouverment Hindia Belanda) gelar dia diganti menjadi Panembahan Anom Pakunegara Surya Kusuma. Pada masa itu terjadi peperangan antara kerajaan Tayan dengan Kerajaan Landak (Ngabang). Oleh karena dia sudah sangat tua, maka roda pemerintahannya diserahkan kepada adiknya yang bernama Gusti Karma. Dia meninggal dunia pada tanggal 23 November 1873 (1290 H) di Batang Tarang. Gusti Karma kemudian diangkat menjadi Raja Tayan dan diberi gelar Panembahan Adi Ningrat Kusuma Negara dan dia memerintah hingga tahun 1880 yang kemudian digantikan anaknya bernama Gusti Muhammad Ali disebut pula dengan nama Gusti Indung bergelar Panembahan Pakunegara Kusuma dinobatkan menjadi Raja tayan di Rayang. Dia beristrikan Utin fatimah dan memperoleh 12 anak.
Dalam masa pemerintahan dia, mengikat kontrak baru dengan pemerintahan belanda yaitu Akta Van Verband en Bekrachting di Rayang, 2 April 1880, Goedgekeurd 23 April 1883 Nomor 12. Dalam masa pemerintahannya Ibukota tempat kedudukan Raja dipindahkan dari Istana Rayang ke Tayan (berawal di kawasan Teluk Kemilun dan kemudian berpindah ke Desa Pedalaman hingga saat ini) dan sekaligus membangun istana/keraton baru yang dibangun oleh rakyat Tayan untuk Raja Tayan. Keraton ini hingga pada saat ini masih berdiri dan ditempati oleh para ahli warisnya. Pada tanggal 26 Februari 1890 oleh Gouverment Hindia Nederland, Kerajaan Meliau dimasukkan kedalam wilayah/daerah Kerajaan Tayan. Panembahan Gusti Muhammad Ali memegang jabatan selama 15 tahun (1890 s/d 1905), dia wafat dan dimakamkan dikompleks Makam Raja-Raja Tayan di desa kawat.
Sejak dipindahkan pusat kerajaan dari Rayang ke tempat yang baru, dan bertempat tinggal diistana/keraton tersebut telah sempat memerintah 4 orang Panembahan, yaitu :
- Gusti Muhammad Ali (Panembahan Pakunegara Kusuma) 1875 – 1905 M;
- Gusti Tamdjid (Panembahan Anom Pakunegara) 1905 – 1929 M;
- Gusti Djafar (Panembahan Anom Adi Negara) 1929 – 1943 M;
- Gusti Ismail (Panembahan Anom Pakunegara) 1946 – 1967.
Zaman pemerintahan Gusti Ismail tetap menjadi Raja Tayan sampai pada masa pemerintahan Swapraja diserahkan pada tahun 1960. Tetapi dia masih bekerja terus sebagai Wedana Tayan. Dalam kedudukan sebagai Wedana Tayan, Gusti Ismail dipindahkan dan diperbantukan dikantor Bupati Kepala daerah Kabupaten Sanggau. Sekarang bekas ibukota Kerajaan Tayan menjadi Ibukota Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau. Raja-raja tersebut dimakamkan di kompleks makam Raja-Raja Tayan, serta makam Utin Belondo atau Ratu Utin Belondo di desa Kawat.
Daftar Panembahan Tayan
- 1780-1809: Suma Juda
- 1809-1825; regen: 1809-1822: Natu Kusuma
- 1823-1945: Protektorat belanda
- 1825-1828: Ratu Kusuma Surjanegara
- 1828-1854: Marta Surjakusuma (panembahan)
- 1854-1873: Anom Pakunegara Surjakusuma
- 1873-1880: Ratu Kusumanegara
- 1880-1905: Pakunegara Surjakusuma
- 1905-1929: Anom Pakunegara
- 1929-1944: Anom Adinegara (Gusti Dżapar)
- 1945-1960: Pakunegara (Gusti Ismail)
- 2012: Pada 26 Mei 2012 penobatan Raja XIV setelah vakum sejak tahun 1967 saat Raja XIII mangkat. Kevakuman Kerajaan Tayan akibat dari kekejaman Jepang.
Raja Tayan yang Terlahir Kembali
Raja Tayan XIV Gusti Yusri bersama istri Haryani.
Lama mengalami kekosongan kepemimpinan, kini Keraton Tayan telah memiliki figur seorang raja yang terlahir dari keturunan ke-14. Raja baru itu anak bungsu dari Raja XIII, Gusti Ismail bergelar Panembahan Pakunegara yang mangkat 23 November 1967.
Kepemimpinan di Keraton Pakunegara Tayan sempat mengalami kekosongan selama 45 tahun. Itu karena ketika Raja XIII mangkat tidak meninggalkan wasiat menunjuk siapa penggantinya kelak di kemudian hari, ketika ia menutup usia. Otomatis setelah itu, sosok Ratu Tayan, Utin Nursinah Ismail yang tidak lain adalah istri sang raja, menjadi simbol selama hampir setengah abad lamanya.
Kini ketika usia sang Ratu telah mencapai 90 tahun, maka ditunjuk lah pemimpin baru. Dia adalah anak ke 16 atau bungsu dari keturunan Gusti Ismail dan Utin Nursinah. Nama raja baru tersebut Gusti Yusri. Dia lahir di Tayan pada 18 Agustus 1964, atau tiga tahun sebelum ayahnya mangkat.
Acara penobatan pun digelar di Keraton Pakunegara Tayan, pada Sabtu 26 Mei lalu. Ribuan warga setempat tumpah ruah menyambut raja yang terlahir kembali itu. Warga terlihat penuh suka cita. Bagi yang berusia tua tentu tahu sejarah keraton itu. Tetapi bagi yang muda-muda, tentu masih menjadi pertanyaan. Apakah benar di kota penghasil tambang bauksit itu, pernah dipimpin 13 raja sejak 1683 Masehi?
Pertanyaan itu terjawab ketika penobatan Raja XIV digelar. Anak ketujuh dari Gusti Ismail bergelar Panembahan Pakunegara, Gusti Ahmadi Abidin yang juga ketua panitia penobatan tersebut, mengisahkan perjalanan sejarah Keraton Pakunegara.
Dia menyebut, di Kota Kecamatan Tayan, pernah berdiri sebuah kerajaan besar dengan kekuasaan meliputi wilayah Tayan, Meliau, Toba, Sosok dan Batang Tarang, antara kurun waktu 1683 hingga 1967 Masehi.
Kerajaan Tayan merupakan perluasan dari Kerajaan Majapahit yang salah satu keturunan dan raja yang memerintah kerajaan, bernama Damar Wulan. Kemudian salah satu keturunan Damar Wulan bernama Brawijaya, datang ke Matan (Ketapang). Selanjutnya keturunan dari Brawijaya datang ke Tayan.
Kepemimpinan keraton ketika itu, secara turun temurun diwarisi anak dan cucu dari pendiri Kerajaan Pakunegara Tayan, Gusti Lekar bin Gusti Dikiri Kusuma yang berkuasa pada 1683 - 1718 Masehi.
Menurut catatan sejarah, Gusti Lekar adalah anak kedua dari Panembahan Dikiri Kusuma dari Kerajaan Matan. Gusti Lekar datang ke Tayan pada tahun 1683 dan mendirikan Kerajaan Tayan yang meliputi wilayah Tayan, Meliau, Toba, Sosok dan Batang Tarang. Maka sekaligus pula Gusti Lekar menjadi raja pertama di Tayan.
Panembahan Gusti Lekar beristrikan seorang anak kepala suku Dayak Tebang bernama Incik Periuk.
Menurut Gusti Ahmadi, raja di kerajaan Tayan merupakan keturunan dari anak cucu Panembahan Gusti Lekar dengan silsilah raja terdiri dari Gusti Lekar bin Gusti Dikiri Kusuma (1683-1718 Masehi), Gusti Gagok bin Gusti Lekar (1718 -1751), Gusti Ramal bin Gusti Gagok (1751 - 1780), Gusti Kamarudin bin Gusti Ramal (1780 - 1812), Gusti Mekah bin Gusti Kamarudin (1812 -1825), Gusti Repa bin Gusti Kamarudin (1825 - 1828), Utin Blondo binti Gusti Repa (1828 - 1855), Gusti Inding binti Ratu Utin Blondo (1855 - 1873), Gusti Karma binti Ratu Utin Blondo (1873 - 1880), Gusti Muhammad Ali bin Gusti Karma (1880 - 1905), Gusti Tamdjid bin Gusti Muhammad Ali (1905 - 1929), Gusti Dja'far bin Gusti Tamdjid (1929-1944), Gusti Ismail bin Gusti Tamdjid (1944 - 1967).
Masih menurut Gusti Ahmadi, pada zaman penjajahan Jepang tahun 1929-1944, Panembahan Gusti Dja'far yakni Raja XII Tayan dan para petinggi kerajaan Tayan tewas karena mempertahankan kedaulatan dan berjuang melawan Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.
Saat itu daerah Tayan khususnya dan Kalbar umumnya kehilangan sejumlah tokoh. Maka sebagai pewaris tahta kerajaan dinobatkan Gusti Ismail adik dari Gusti Dja'far, sebagai Raja Tayan XII dengan gelar Panembahan Pakunegara. Baik Gusti Dja'far maupun Gusti Ismail merupakan anak dari Raja Tayan XI Gusti Tamdjid yang berkuasa pada 1905- 1929.
Pada masa Panembahan Gusti Ismail menjadi Raja Tayan, memasuki zaman kemerdekaan.
"Beliau mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan swapraja, juga mengemban tugas dari pemerintah pusat sebagai Wedana Tayan yang meliputi wilayah kecamatan Tayan Hilir, Meliau, Toba, Balai dan Tayan Hulu," kata Gusti Ahmadi Abidin.
Dengan wafatnya Gusti Ismail pada 23 November 1967, praktis terjadi kekosongan kepemimpinan di Keraton Pakunegara Tayan. "Sehingga baru saat inilah kita melakukan penobatan raja berikutnya," katanya.
Restu ibunda
Gusti Yusri yang merupakan anak bungsu Gusti Ismail, dipilih oleh ibunda Ratu Utin Nursinah Ismail untuk melanjutkan kepemimpinan dari sisa-sisa peninggalan sejarah Keraton Pakunegara. Ia dinilai ibunya layak menggantikan posisi almarhum ayahnya, meski masih ada 15 anak dari Panembahan Pakunegara lainnya.
Gusti Yusri sehari-hari bekerja dan menetap di Pontianak. Ia General Manager pada Harian Kapuas Post, dari grup Pontianak Post. Koran daerah yang berjaringan dengan Jawa Post Grup. Sebelum menjadi GM, Gusti Yusri adalah Pemimpin Redaksi pada Harian Kapuas Post. Ia juga berlatar belakang seorang wartawan tulis pada Harian Pontianak Post.
Sehingga ketika dinobatkan sebagai Raja Tayan, di antara ratusan tamu dan undangan yang hadir, berderet rekan kerja, kolega, kenalan dan handai taulan yang mengenal cukup dekat sosok Gusti Yusri yang berperawakan sedang itu.
Gusti Yusri menikahi seorang perempuan dari Kota Pontianak bernama Haryani. Pasangan itu dikaruniai lima anak yang kesemuanya putri. Kelima anaknya itu, juga tinggal bersama dengannya di Pontianak.
Prosesi penobatannya sebagai Raja XIV Tayan sekaligus pemberian gelar sebagai Panembahan Anom Paku Negara dilakukan langsung ibunda Ratu Utin Nursinah Ismail.
Ribuan orang duduk dan berdiri di bawah tenda-tenda yang dipasang mengelilingi halanan keraton. Mereka tampak antusias menyaksikan langsung penobatan tersebut.
Penobatan itu juga disaksikan sejumlah raja dan sultan dari perhimpunan kerajaan/keraton nusantara. Di antara mereka ada Ketua Umum Yayasan Raja Sultan Nusantara, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dari Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, Ketua Majelis Perhimpunan Kerajaan/Keraton Nusantara Kalbar, Gusti Suryansyah, para raja, sultan, dan pangeran ratu dari 11 keraton di Kalbar, para bupati dan wali kota se-Kalbar, Sultan Bonabulu Tapanuli, Ratu Anis dari Negeri Kelantan.
Juga tampak hadir Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalbar, Yusri Zainuddin, Wakil Kepala Polda Kalbar Kombes Pol Safaruddin, wakil Pangdam XII Tanjungpura, beberapa anggota DPR RI dan DPRD Kalbar, para pengusaha pertambangan yang beroperasi di kota Tayan dan lain sebagainya.
Sebagai raja baru, Gusti Yusri telah meminta restu ibundanya. Ia meminta restu Ratu Tayan, Hj Utin Nursinah Ismail untuk melestarikan budaya tradisi keraton Pakunegara Tayan setelah selama 45 tahun kepemimpinan di keraton tersebut kevakuman.
Ungkapan permohonan restu tersebut disampaikan Gusti Yusri Panembahan Anom Paku Negara seusai penobatannya.
Gusti Yusri menyatakan bahwa Keraton Tayan mengemban amanah mengembangkan dan melestarikan tradisi di keraton itu.
Menurut Raja yang sehari-hari disapa Yusri tersebut, penobatannya sebagai Raja Tayan XIV merupakan kehormatan sekaligus sebagai amanah. Dia menganggap penobatan itu sebagai anugerah yang tiada terhingga.
Namun dia mengakui, penobatan itu bukan berarti menghidupKan tradisi pemerintahan lokal. Tetapi sebagai revitalisasi budaya dan kearifan lokal di Tayan. Karena itu, dia meminta restu ibunda yang sudah menobatkannya sebagai Raja Tayan XIV, untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai luruh dari keraton tersebut.
Menurut Yusri, Raja Tayan XIII mangkat pada 23 November 1967, maka praktis sejak itu tidak ada kekuasaan lokal ke kerajaan Tayan.
"Bekas Kerajaan Tayan kini hadir di nusantara, mengemban amanah mengembangkan tradisi," katanya. Keratonnya pun masih berdiri megah dengan tiang-tiang kayu belian yang kokoh menancap di tanah negeri kaya bauksit itu.
Menurut dia, dalam sejarahnya Negeri Tayan menghadapi pasang dan surut kebudayaan. Meski dalam catatan sejarah, Tayan bukanlah negeri yang kecil, tapi pada masa lampau sangat besar.
Ia menyatakan kerajaan Tayan penuh dengan nuansa gender, karena salah satu pemimpinnya adanya seorang Ratu, pada 1828 - 1855 Masehi, yakni Ratu Utin Blondo Binti Gusti Repa. Dan dalam masa kekosongan kepemimpinan selama 45 tahun, bekas Kerajaan Tayan masih memiliki simbol pemimpin seorang perempuan.
Simbol itu yakni Ratu Utin Nursinah. Dia sosok yang telah melahirkan dan merawat seorang Gusti Yusri hingga besar. Kini di usia senja, sang Ratu mengangkat Gusti Yusri menjadi raja baru bagi Keraton Pakunegara. Raja yang terlahir kembali.
Kepemimpinan di Keraton Pakunegara Tayan sempat mengalami kekosongan selama 45 tahun. Itu karena ketika Raja XIII mangkat tidak meninggalkan wasiat menunjuk siapa penggantinya kelak di kemudian hari, ketika ia menutup usia. Otomatis setelah itu, sosok Ratu Tayan, Utin Nursinah Ismail yang tidak lain adalah istri sang raja, menjadi simbol selama hampir setengah abad lamanya.
Kini ketika usia sang Ratu telah mencapai 90 tahun, maka ditunjuk lah pemimpin baru. Dia adalah anak ke 16 atau bungsu dari keturunan Gusti Ismail dan Utin Nursinah. Nama raja baru tersebut Gusti Yusri. Dia lahir di Tayan pada 18 Agustus 1964, atau tiga tahun sebelum ayahnya mangkat.
Acara penobatan pun digelar di Keraton Pakunegara Tayan, pada Sabtu 26 Mei lalu. Ribuan warga setempat tumpah ruah menyambut raja yang terlahir kembali itu. Warga terlihat penuh suka cita. Bagi yang berusia tua tentu tahu sejarah keraton itu. Tetapi bagi yang muda-muda, tentu masih menjadi pertanyaan. Apakah benar di kota penghasil tambang bauksit itu, pernah dipimpin 13 raja sejak 1683 Masehi?
Pertanyaan itu terjawab ketika penobatan Raja XIV digelar. Anak ketujuh dari Gusti Ismail bergelar Panembahan Pakunegara, Gusti Ahmadi Abidin yang juga ketua panitia penobatan tersebut, mengisahkan perjalanan sejarah Keraton Pakunegara.
Dia menyebut, di Kota Kecamatan Tayan, pernah berdiri sebuah kerajaan besar dengan kekuasaan meliputi wilayah Tayan, Meliau, Toba, Sosok dan Batang Tarang, antara kurun waktu 1683 hingga 1967 Masehi.
Kerajaan Tayan merupakan perluasan dari Kerajaan Majapahit yang salah satu keturunan dan raja yang memerintah kerajaan, bernama Damar Wulan. Kemudian salah satu keturunan Damar Wulan bernama Brawijaya, datang ke Matan (Ketapang). Selanjutnya keturunan dari Brawijaya datang ke Tayan.
Kepemimpinan keraton ketika itu, secara turun temurun diwarisi anak dan cucu dari pendiri Kerajaan Pakunegara Tayan, Gusti Lekar bin Gusti Dikiri Kusuma yang berkuasa pada 1683 - 1718 Masehi.
Menurut catatan sejarah, Gusti Lekar adalah anak kedua dari Panembahan Dikiri Kusuma dari Kerajaan Matan. Gusti Lekar datang ke Tayan pada tahun 1683 dan mendirikan Kerajaan Tayan yang meliputi wilayah Tayan, Meliau, Toba, Sosok dan Batang Tarang. Maka sekaligus pula Gusti Lekar menjadi raja pertama di Tayan.
Panembahan Gusti Lekar beristrikan seorang anak kepala suku Dayak Tebang bernama Incik Periuk.
Menurut Gusti Ahmadi, raja di kerajaan Tayan merupakan keturunan dari anak cucu Panembahan Gusti Lekar dengan silsilah raja terdiri dari Gusti Lekar bin Gusti Dikiri Kusuma (1683-1718 Masehi), Gusti Gagok bin Gusti Lekar (1718 -1751), Gusti Ramal bin Gusti Gagok (1751 - 1780), Gusti Kamarudin bin Gusti Ramal (1780 - 1812), Gusti Mekah bin Gusti Kamarudin (1812 -1825), Gusti Repa bin Gusti Kamarudin (1825 - 1828), Utin Blondo binti Gusti Repa (1828 - 1855), Gusti Inding binti Ratu Utin Blondo (1855 - 1873), Gusti Karma binti Ratu Utin Blondo (1873 - 1880), Gusti Muhammad Ali bin Gusti Karma (1880 - 1905), Gusti Tamdjid bin Gusti Muhammad Ali (1905 - 1929), Gusti Dja'far bin Gusti Tamdjid (1929-1944), Gusti Ismail bin Gusti Tamdjid (1944 - 1967).
Masih menurut Gusti Ahmadi, pada zaman penjajahan Jepang tahun 1929-1944, Panembahan Gusti Dja'far yakni Raja XII Tayan dan para petinggi kerajaan Tayan tewas karena mempertahankan kedaulatan dan berjuang melawan Jepang. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor.
Saat itu daerah Tayan khususnya dan Kalbar umumnya kehilangan sejumlah tokoh. Maka sebagai pewaris tahta kerajaan dinobatkan Gusti Ismail adik dari Gusti Dja'far, sebagai Raja Tayan XII dengan gelar Panembahan Pakunegara. Baik Gusti Dja'far maupun Gusti Ismail merupakan anak dari Raja Tayan XI Gusti Tamdjid yang berkuasa pada 1905- 1929.
Pada masa Panembahan Gusti Ismail menjadi Raja Tayan, memasuki zaman kemerdekaan.
"Beliau mengemban tugas sebagai kepala pemerintahan swapraja, juga mengemban tugas dari pemerintah pusat sebagai Wedana Tayan yang meliputi wilayah kecamatan Tayan Hilir, Meliau, Toba, Balai dan Tayan Hulu," kata Gusti Ahmadi Abidin.
Dengan wafatnya Gusti Ismail pada 23 November 1967, praktis terjadi kekosongan kepemimpinan di Keraton Pakunegara Tayan. "Sehingga baru saat inilah kita melakukan penobatan raja berikutnya," katanya.
Restu ibunda
Gusti Yusri yang merupakan anak bungsu Gusti Ismail, dipilih oleh ibunda Ratu Utin Nursinah Ismail untuk melanjutkan kepemimpinan dari sisa-sisa peninggalan sejarah Keraton Pakunegara. Ia dinilai ibunya layak menggantikan posisi almarhum ayahnya, meski masih ada 15 anak dari Panembahan Pakunegara lainnya.
Gusti Yusri sehari-hari bekerja dan menetap di Pontianak. Ia General Manager pada Harian Kapuas Post, dari grup Pontianak Post. Koran daerah yang berjaringan dengan Jawa Post Grup. Sebelum menjadi GM, Gusti Yusri adalah Pemimpin Redaksi pada Harian Kapuas Post. Ia juga berlatar belakang seorang wartawan tulis pada Harian Pontianak Post.
Sehingga ketika dinobatkan sebagai Raja Tayan, di antara ratusan tamu dan undangan yang hadir, berderet rekan kerja, kolega, kenalan dan handai taulan yang mengenal cukup dekat sosok Gusti Yusri yang berperawakan sedang itu.
Gusti Yusri menikahi seorang perempuan dari Kota Pontianak bernama Haryani. Pasangan itu dikaruniai lima anak yang kesemuanya putri. Kelima anaknya itu, juga tinggal bersama dengannya di Pontianak.
Prosesi penobatannya sebagai Raja XIV Tayan sekaligus pemberian gelar sebagai Panembahan Anom Paku Negara dilakukan langsung ibunda Ratu Utin Nursinah Ismail.
Ribuan orang duduk dan berdiri di bawah tenda-tenda yang dipasang mengelilingi halanan keraton. Mereka tampak antusias menyaksikan langsung penobatan tersebut.
Penobatan itu juga disaksikan sejumlah raja dan sultan dari perhimpunan kerajaan/keraton nusantara. Di antara mereka ada Ketua Umum Yayasan Raja Sultan Nusantara, Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin dari Keraton Kesultanan Palembang Darussalam, Ketua Majelis Perhimpunan Kerajaan/Keraton Nusantara Kalbar, Gusti Suryansyah, para raja, sultan, dan pangeran ratu dari 11 keraton di Kalbar, para bupati dan wali kota se-Kalbar, Sultan Bonabulu Tapanuli, Ratu Anis dari Negeri Kelantan.
Juga tampak hadir Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalbar, Yusri Zainuddin, Wakil Kepala Polda Kalbar Kombes Pol Safaruddin, wakil Pangdam XII Tanjungpura, beberapa anggota DPR RI dan DPRD Kalbar, para pengusaha pertambangan yang beroperasi di kota Tayan dan lain sebagainya.
Sebagai raja baru, Gusti Yusri telah meminta restu ibundanya. Ia meminta restu Ratu Tayan, Hj Utin Nursinah Ismail untuk melestarikan budaya tradisi keraton Pakunegara Tayan setelah selama 45 tahun kepemimpinan di keraton tersebut kevakuman.
Ungkapan permohonan restu tersebut disampaikan Gusti Yusri Panembahan Anom Paku Negara seusai penobatannya.
Gusti Yusri menyatakan bahwa Keraton Tayan mengemban amanah mengembangkan dan melestarikan tradisi di keraton itu.
Menurut Raja yang sehari-hari disapa Yusri tersebut, penobatannya sebagai Raja Tayan XIV merupakan kehormatan sekaligus sebagai amanah. Dia menganggap penobatan itu sebagai anugerah yang tiada terhingga.
Namun dia mengakui, penobatan itu bukan berarti menghidupKan tradisi pemerintahan lokal. Tetapi sebagai revitalisasi budaya dan kearifan lokal di Tayan. Karena itu, dia meminta restu ibunda yang sudah menobatkannya sebagai Raja Tayan XIV, untuk melestarikan budaya dan nilai-nilai luruh dari keraton tersebut.
Menurut Yusri, Raja Tayan XIII mangkat pada 23 November 1967, maka praktis sejak itu tidak ada kekuasaan lokal ke kerajaan Tayan.
"Bekas Kerajaan Tayan kini hadir di nusantara, mengemban amanah mengembangkan tradisi," katanya. Keratonnya pun masih berdiri megah dengan tiang-tiang kayu belian yang kokoh menancap di tanah negeri kaya bauksit itu.
Menurut dia, dalam sejarahnya Negeri Tayan menghadapi pasang dan surut kebudayaan. Meski dalam catatan sejarah, Tayan bukanlah negeri yang kecil, tapi pada masa lampau sangat besar.
Ia menyatakan kerajaan Tayan penuh dengan nuansa gender, karena salah satu pemimpinnya adanya seorang Ratu, pada 1828 - 1855 Masehi, yakni Ratu Utin Blondo Binti Gusti Repa. Dan dalam masa kekosongan kepemimpinan selama 45 tahun, bekas Kerajaan Tayan masih memiliki simbol pemimpin seorang perempuan.
Simbol itu yakni Ratu Utin Nursinah. Dia sosok yang telah melahirkan dan merawat seorang Gusti Yusri hingga besar. Kini di usia senja, sang Ratu mengangkat Gusti Yusri menjadi raja baru bagi Keraton Pakunegara. Raja yang terlahir kembali.
http://www.antarakalbar.com/berita/raja-tayan-yang-terlahir-kembali
| |
Pendiri kerajaan Tayan adalah putra Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang bernama Gusti Likar/Lekar. Bersama dengan saudara-saudaranya, Gusti Likar meninggalkan kerajaan Tanjungpura yang sering terlibat peperangan. Pemerintahan kerajaan Tayan kemudian dipegang oleh Gusti Ramal bergelar Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma, putra Pangeran Mancar pendiri kerajaan Meliau yang adalah kemenakan Gusti Likar. Mula-mula ibukota kerajaan berlokasi di Teluk Kemilun. Setelah Pangeran Marta Jaya Yuda Kesuma wafat, putranya yang tertua, Suma Yuda, naik tahta dengan gelar Panembahan Tua. Panembahan berikutnya adalah putra Panembahan Tua, bernama Gusti Mekah dengan gelar Panembahan Nata Kesuma yang disebut juga Panembahan Muda. Pada waktu pemerintahan Nata Kesuma itulah kerajaan Tayan mula-mula menandatangani kontrak (korte verklaring) dengan pemerintahan Hindia Belanda pada 12 November 1822. Pangeran Nata Kesuma mangkat pada 1825 dengan tidak meninggalkan keturunan. Tahta kerajaan kemudian diduduki oleh saudaranya yang bernama Gusti Repa dengan gelar Pangeran Ratu Kesuma. Beliau hanya memerintah selama 3 tahun hingga 1828 karena wafat. Penggantinya adalah saudara Panembahan Tua, Utin Belondo dengan gelar Ratu Utin Belondo yang juga digelar Ratu Tua. Pemerintahan dilaksanakan oleh suaminya, Gusti Hassan Pangeran Ratu Kesuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya Kesuma. Tahun 1855 Panembahan Mangku Negara Surya Kesuma digantikan oleh putranya yang bernama Gusti Inding dengan gelar sama dengan ayahnya. Tahun 1858, Belanda mengganti gelar Mangku dengan Anum Paku, sehingga Gusti Inding kemudian bergelar Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma. Karena Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma tidak mampu memimpin pemerintahan dan tidak berputra, pemerintahan kemudian diserahkan kepada saudaranya, Gusti Kerma Pangeran Ratu Paku Negara dengan gelar Panembahan Adiningrat Kesuma Negara. Panembahan Anum Paku Negara Surya Kesuma mangkat pada 23 November 1873 di Batang Tarang. Panembahan Adiningrat Kesuma Negara memerintah sampai tahun 1880 dan digantikan oleh putra tertuanya, Gusti Mohamad Ali alias Gusti Inding dengan gelar Panembahan Paku Negara Surya Kesuma. Ibukota kerajaan kemudian dipindahkan dari Rayang ke Tayan. Pada 26 Februari 1890, kerajaan Meliaudigabungkan ke dalam kerajaan Tayan. Paku Negara Surya Kesuma, mangkat pada tahun 1905 dan dimakamkan di Tayan. Beliau diganti oleh Gusti Tamzid Pangeran Ratu bergelar Panembahan Anum Paku Negara. Pada masa pemerintahan Panembahan Anum Paku Negara, Meliau kembali diserahkan kembali atas permintaan Belanda sendiri menjadi Gouvernement Gebied. Mangkatnya Panembahan Anum Paku Negara, putra mahkota yang tertua, Gusti Jafar dinobatkan naik tahta kerajaan dengan gelar Panembahan Anum Adi Negara. Pada tahun 1944, Gusti Jafar dan Gusti Makhmud sebagai ahli waris kerajaan jatuh menjadi korban Jepang. Setelah Jepang kalah pada Perang Dunia II, Gusti Ismail dinobatkan menjadi Panembahan kerajaan Tayan dengan gelar Panembahan Paku Negara. Tahun 1960, beliau masih memerintah dan pemerintahan swaparja berakhir. Gusti Ismail kemudian menjabat Wedana di Tayan. Ibukota kewedanaan kemudian dipindahkan ke Sanggau, sedangkan bekas kerajaan Tayan menjadi ibu kota kecamatan Tayan Hilir. http://www.pontianakonline.com/sanggau/ equatopedia/sejarah/tayan.htm Sejarah Kesultanan Tayan Kalimantan Barat
Pertumbuhan dan Perkembangan Kota Putussibau pada masa sekarang merupakan Ibukota Kabupaten Kapuas Hulu yang berada di wilayah propinsi Kalimantan Barat. Keberadaan Kota Putussibau tidak terlepas dari adanya pemerintahan tradisional zaman dahulu hingga pemerintah modern sesudah masuknya Bangsa Belanda dalam bentuk pemerintahan Koloni Belanda.
Putussibau sendiri merupakan satu nama daerah atau tempat di antara beberapa nama daerah yang ada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu.Di antara nama daerah di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, selain Kota Putussibau yang sejak zaman dahulu adalah Embaloh, Kalis, Suhaid, Selimbau, Silat, Bunut dan lain-lain. Nama-nama daerah itu zaman dahulu adalah nama-nama kerajaan yang ada di wilayah Kapuas Hulu. Namun sekarang daerah tersebut telah menyatu mejadi bagian yang integral dari NKRI, khususnya sejak terbentuknya Pemerintahan Administrati pada tahun 1953 berdasarkan UU Darurat No 3 Tahun 1953. Pada perkambangannya daerah-daerah tersebut menjadi wilayah-wilayah kecamatan sebagai bagian dari Kabupaten Kapuas Hulu. 1.Asal Mula Kata Putussibau
Nama Putussibau menurut cerita rakyat yang berkembang di Kota Putussibau berasal dari gabungan kata “putus” (memutus atau memotong) dan ‘Sibau” (nama sungai yang membelah kota Putussibau). Sungai Sibau dinamakan demikia karena daerah di kiri kanan yang dilalui sungai Subau banyak terdapat pohon/kayu Sibau yang buahnya seperti buah rambutan. Selain Sungai Sibau, Kota Putusibau juga dialiri Sungai Kapuas yang merupaan sungai terpanjang di Indonesia.Wilayah Kabupaten Kapuas Hulu sendiri dinamakan demikian karena di kabupaten inilah yang menjadi hulu Sungai Kapuas.
Sungai Kapuas yang melewati Kota Putussibau telah memutus aliran Sungai Sibau yang membelah Kota Putussibau sehingga dikatakan Putussibau.Menurut versi cerita rakyat lainnya, bahwa munculnya nama Putussibau berasal dari kata “Sibau” yang merupakan jenis pohon/kayu Sibau yang buahnya seperti buah rambutan. Daun pohon ini dapat digunakan sebagai bahan pewarna pada tikar. Diceritakan dahulu kala ada pohon Sibau yang tumbuh besar ditepi sungai. Pohon Sibau tersebut tumbang menghalangi aliran sungai, dan dari peristiwa itulah masyarakat menamakan daerah itu dengan nama putussibau. 2.Asal Mula Penduduk Putussibau
Pada mulanya penduduk yang mendiami Kota Putussibau adalah orang Dayak Kantu’ dan Dayak Taman. Daya Kantu’ berasal dari daerah Sanggau yang berimigrasi ke timur. Orang-orang Dayak Kantu’ tinggal di sebelah selatan Kota Putussibau.
Sedangkan orang Dayak Taman tinggal di daerah hilir di kampong Teluk Barat. Setelah berimigrasi ke Putussibau, banyak dayak Taman yang memeluk agama Islam. Selain dua suku tersebut, ada pula Suku Kayan yang menetap di daerah Kedamin. Suku Kayan ini juga banyak yang memeluk Islam. Sebelum kedatangan Bangsa Belanda, suu-suku Dayak ini membentuk pemerintahan tradisional sendiri yang mengatur wilayahnya masing-masing. Pada abad ke-19 Masehi mereka termasuk dalam wilayah Kerajaan Selimbau. MasaPenjajahan 1.KondisiSosial Politik Zaman Belanda
Belanda datang pertama kali ke wilayah Kapuas Hulu di Kerajaan Selimbau pada tahun 1847, dengan pemerintahan Abbas Surya Negara.
Orang Belanda yang dating ke kerajaan Selimbau tersebut adalah Asisten Residen Sintang bernama Cettersia. Dia dating dengan maksud meminta izin kepada Raja Selimbau untuk menebang kayu di daerah Kenerak. Kayu tersebut oleh Belanda untuk mendirikan benteng di daerah Sintang. Permohonan tersebut dikabulkan oleh raja Selimbau dengan perjanjiannya adalah bahwa seandainya jumlah kayu yang dibutuhan banyak maka mereka diperbolehkan bekerja lebihlama di Kenerak. Setelah perjanjian disetujui oleh kedua belah pihak, Cettersia kemudian menyuruh tukang kayu Cina dan satu orang Melayu Bugis bernama Wak Cindarok. Kayu-kayu hasil tebangan tersebut diangkut melalui sungai Kenera, Kendali, Raya, Kenepai, Gebong, Rigi, Riau, Lemeda, Marsida, Kemelian, Subang, dan Kemayung.
Pada tanggal 15 November 1823 (11 Rabiul Awal 1239 H), pada masa pemerintahan Pangeran Soema, pemerintahan koloni Hindia Belanda mengakui kedaulatan Kerajaan Selimbau yang menguasai tanah negeri Silat.
Kemudian Kerajaan Selimbau mendirikan negeri baru yang diberi nama Nanga Bunut dan mengangkat Abang Berita sebagai rajanya dengan gelar RadenSuta. Sejak pangeran Muhammad Abbas Negara berkuasa, terjadi konflik antara Kerajaan Selimbau dengan Kerajaan Sintang. Pada tahun 1838 M, Kerajaan Sintang melakukan penyerangan terhadap Kerajaan Selimbau. Kerajaan Sintang dipimpin oleh Pangeran Adipati Moh Jamaluddin meyerang Kerajaan Selimbau pada tanggal 7 Ramadhan 1259 H. Kerajaan Selimbau meminta bantuan kepada Kerajaan Pontianak yang dipimpin oleh Sultan Syarif Usman bin Sultan Syarif Abdulrahman Al Kadri. Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda juga turut campur dalam peperangan itu karena pihak Belanda mempunyai perjanjian dengan Kerajaan Pontianak dalam masalah keamanan dan peperangan.Selain berkonflik dengan Kerajaan Sintang, Kerajaan Selimbau juga sempat berperang dengan Kerajaan Sekadau di daerah Sungai Ketungau. Pada tanggal 15 Desember 1847, Pangeran Muh Abbas Surya Negara mendapat pengakuan dari pemerintah kolonia Hindia Belanda untuk memimpin tanah Kapuas Hulu yang wilayahnya sampai ke hulu negeri Silat. Pada pemerintahan Pangeran Abbas inilah Kerajaan Selimbau mengalami zaman keemasan dan mempunyai daerah kekuasaan yang sangat luas sampai ke daerah Batang Aik Serawak Malaysia. Panembahan Haji Muda Muh Saleh Pakunegara mendapat pengakuan kedaulatan oleh pemerintahan colonial Belanda di Batavia sebagai penguasaKerajaan Selimbau. Ia diangkat menjadi raja ke-23 pada tanggal 28 Februari 1882 M. panembahan H. Gusti Muh Usman menjadi raja terakhir Kerajaan Selimbau yang ke 25, beliau dinobatkan oleh pemerintahan Belanda pada tahun 1912 M. Pada masanya ini Kerajaan Selimbau mengalami penderitaan karena harus membayar pajak tinggi. Beliau meninggal tahun 1923 M.Selama kedudukan Gusti Muhammad Usman, pemerintahan Belanda melakukaanbeberapaperjanjian: 1) Tanggal 15 November 1823 M dengan Pangeran Soama. Isi perjanjian adalah pengakuan pemerintahan Belanda atas kedaulatan Kerajaan Selimbau yang menguasai tanah negeri Kapuas Hulu dan negeri Silat. 2) Tanggal 5 Desember 1847 M, dengan Pangeran Muh Abbas Surya Negara. Isi perjanjiannya adalah pengauan pemerintah Belanda atas kedaulatan Kerajaan Selimbau di tanah Kapuas hulu yang kekuasaannya sampai ke Hulu NegeriSilat.3) Tanggal 27 Maret 1855 M, dengan Pangeran Muh Abbas Surya Negara. Isi perjanjiannya adalah pengauan pemerintahan Belanda atas kedaulatan Kerjaan Selimbau di Tanah Kapuas Hulu. Daerah yang telah ditaklukkan oleh Pangran Muh Abbas meliputi: Dayak Batang Lumpur yang tinggal di Suriyang, Tangit, Sumpak, Semenuk, dan Lanja. 4) Tanggal 28 Februari 1880 M, dengan Pangeran Haji Muda Agung Muh Saleh Pakunegara.2. Perlawanan Terhadap Bangsa BelandaPerlawanan yang dilakukan oleh rayat Putussibau terhadap pemerintahan Belanda di antaranya dilaukan oleh Djarading Abdurrahman yang berasal dariSuku Dayak Iban yang memeluk Islam. Pada masa mudanya Ajarading pernah sekolah sampai kelas V SD. Melalui pendidian tersebut beliau mulai mengerti akan kondisi bangsanya yang sedang di jajah Belanda. Djarading mulai terjun dalam pergeraan setelah bertemu dengan Gusti Sulung Lelanang, bersamanya Djalading terjun dalam organisasi Serikat Rakyat. Dalam organisasi ini djarading mengadakan propaganda di kalangan Suku Dayak dan membantu menerbitkan Surat Kabar Halilintar di Pontianak pada tahun 1925. Djaranding kemudian dibuang oleh pemerintah Belanda ke Bevon Digul Papua Barat pada tahun 1927 karena ativitasnya dianggap menentangpemerintahanBelanda. Kondisi Sosial Ekonomi Zaman Jepang
Jepang masuk ke Kapuas Hulu pada tahun 1942 dengan membuka pertambangan Batu Bara di bagian hulu Sungai Tebaung dan Sungai Mentebah. Dengan mempeerjakan orang pribumi, dengan jam kerja 8 jam/hari. Pada masa pendudukan Jepang di Kalimantan Barat antara tahun 1942-1945 wilayah Kapuas Hulu dipimpin oleh; Abang Oesman (1942-1943), K. Kastuki (1943-1944), dan Honggo (1944-1945)
Perlawanan Terhadap Bangsa Jepang
Pada masa Jepang berkuasa di Kalbar antara tahun 1942-1945, wilayah Kapuas Hulu juga termasuk dikuasainya. Pada awalnya kedatangan Jepang mendatangkan harapan akan membebasan rakyat dari penjajahan Belanda. Namun kenyataannya Jepang malah tidak lebih baik dari Belanda. Banyak sumber daya alam dan manusia dimanfaatkan oleh Jpang untuk kepentingan Jepang sendiri.
Rakyat Putussibau benar-benar dieksploitasi guna kepentingan bangsa Jepang dengan tanoa diberi imbalan yang memadai.Melihat ketimpangan ini, maka banyak rakyat yang melakukan perlawanan terhadap Jepang. Demi mempertahankan kedudukannya di Kalbar khususnya Putussibau, Jepang melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orangyang dianggap membahayakan kedudukan Jepang. MasaKemerdekaan 1. Situasi Setelah Kemerdekaan
Pada masa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, wilayah Kapuas Hulu dipimpin oleh: Abang A. Gani (1945-1947), A. V. Dahler (1947-1949), Pd Abubakar Ariadiningrat (1949-1949), J.A. Schoohiem (1949-1950), Oesman Yahya (1950-1951), dan A, Salam (1951-1951).Wilayah Kapuas Hulu kemudian bergabung ke dalam Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) yang dipimpin oleh Sultan Hamid II.
2.Pembentukan Kabupaten Kapuas Hulu
Pada zaman Jepang seluruh daerah Kalimantan berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang Borneo Menseibu Coka yang berpusat di Banjar MAsin.
Sedangkan untuk Kalimantan Barat berstatus “Minseibu Syuu”. Berdasaran keputusan gabungan kerajaan-kerajaan Borneo Barat pada tanggal 22 Oktober 1946 Nomor 20L, wilayah Kalimantan Barat terbagi ke dalam 12 Swapraja dan 3 Neo-Swapraja: Swapraja Sambas, Pontianak, Mempawah, Landak, Kubu, Matan, Sukadana, Simpang, Sanggau, Sekadau, Tayan, dan Sintang. SedangkanNeoSwapraja: Meliau, Nanga Pinoh, dan Kapuas Hulu. Presiden Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Nomor 161 tanggal 10 Mei 1948 membentuk suatu ikatn federasi dengan nama daerah Kelimantan Barat. Untuk mendukung federasi ini, Belanda mengeluarkan Besluit Luitenant Gouverneur Kenderal Nomor 8 tanggal 2 Maret 1948 yang isinya adalah pengakuan status Kalimantan Barat sebagai daerah Istimewa dengan pemerintahan sendiri beserta sebuah Dewan Kalimantan Barat. Pada masa republic Indonesia Serikat (RIS), daerah Kalimantan berstatus sebagai daerah bagian yang terdiri dari satuan-satuankenegaraan seperti Daya Besar, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Banjar. Dengan adanya tuntutan rakyat, maka DIKB yang dipandang sebagai peninggalan pemerintah Belanda, berdasarkan keputusan Dewan Kalimantan Barat tanggal 7 Mei 1950, dengan masing-masing No 235/R dan 235/R menyatakan bahwa baik baddan pemerintah harian DIKB maupun pejabat kepala pusat PIS yang diwakili oleh seorang pejabat berpangkat presiden.
http://kesultanankadriah.blogspot.co.id/sejarah-kesultanan-tayan-kalimantan.html
Sejarah Kerajaan Tayan
Kerajaan Tayan di dirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). sedangkan anaknya yang pertama bernama Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin, menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertamayang memeluk agama islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari raja mekah sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah. Kedatangan Gusti Lekar di Tayan semulanya untuk mengamankan upeti dari rakyat daerah itu kepada kerajaan matan, sebelumnya pembawa upeti tersebut selalu mendapat gangguan oleh seseorang yang mengatakan dirinya raja di kuala lebai. untuk semuanya itu Gusti Lekar bersama seorang suku dayak bernama Kia Jaga dari Tebang berhasil mengamankan upeti tersebut sampai ke kerajaan Matan.
Berdirinya Kerajaan Tayan ini pada awal abad ke-15 mengenai asal – usul nama Tayan ini masih terdapat berbagai versi, antara lain:
Gusti Lekar wafat di makamkan di sebuah bukit dekat Kota Meliau, karena tempat atau bukit tersebut masih termasuk wilayah Kerajaan Tayan. Dengan wafatnya Gusti Lekar ini, maka sebagai penggantinya menjadi raja di Tayan di angkatlah Gusti Gagok dengan gelar Pangeran Manca Ningrat, beristrikan Utin Halijah dan memperoleh seorang anak yang di beri nama Gusti Ramal. sedangkan saudaranya yang lain, yaitu Gusti Manggar menjadi Raja di Meliau, Gusti Togok menjadi Raja di Sanggau dan Utin Peruan kawin dengan abang sebatang hari seorang pangeran di Embau Hulu Kapuas (Kapuas Hulu).
Sejak itu ibu kota Kerajaan Tayan di pindahkan ke suatu tempat bernama Rayang. Ditempat ini masih terdapat peninggalan berupa Makam Raja-raja dan sebuah meriam, yang konon atau menurut cerita meriam ini tidak mau dipindahkan ketempat lain dan pada saat-saat tertentu posisinya dapat berubah sendiri. Dengan berakhirnya masa Kerajaan Tayan ini, status keraton di jadikan monumen peninggalan sejarah yang dilindungi (Monumen Ordonansi No. 238 tahun 1931) dan mendapat bantuan biaya pemeliharaan dari Pemerintahan Daerah TK I Kalimantan Barat. Peninggalan sejarah lainnya yaitu sebuah Mesjid Jami’ yang letaknya kurng lebih 100 mater kearah Barat Keraton dan Makam Raja-raja serta puluhan meriam peninggalan VOC.
Kerajaan Tayan pertama kali ditempatkan di daerah Tayan, setelah Gusti Lekar wafat dimakamkan disebuah bukit yang tidak jauh keberadaannya dari Kota Meliau Kecamatan Meliau Kabupaten Sanggau. Gusti Lekar wafat dan digantikan oleh putranya yang bernama Gusti Gagok yang bergelar Manca Diningrat. Kemudian Gusti Gagok memindahkan Ibukota Kerajaan Tayan ke suatu tempat bernama Rayang. Hingga saat ini kawasan Rayang masih didapati peninggalan Kerajaan Tayan berupa makam Raja-Raja beserta kerabat kerajaan dimana dikawasan tersebut ditandai keberadaan sebuah meriam. Setelah Pangeran Mancadiningrat (Gusti Gagok) wafat, Raja Tayan diganti oleh anak pertamanya bernama Gusti Ramal yang bergelar Pangeran Marta Jaya Kusuma.
Sejak pemerintahan Gusti Kamaruddin yang bergelar Pangeran Suma Yuda yang menggantikan ayahnya Gusti Ramal menjadi Raja tayan. Dalam masa pemerinthannya itu, terjadi peperangan antara Kerajaan Tayan dengan Kerajaan Pontianak. Kerajaan Sanggau dan orang-orang China dari wilayah Mentrado Bengkayang. Setelah wafatnya Pangeran Suma Yuda (Panembahan Tua), diangkatlah anaknya yang bernama Gusti Mekkah yang kemudian bergelar Panembahan Natakusuma (Panembahan Muda).
Panembahan Natakusuma mangkat pada tahun 1825 dengan tidak meninggalkan seorang putra. Maka yang menggantikan menjadi Raja Tayan adalah saudaranya Panembahan Tua yaitu Utin Belondo yang bergelar Ratu Utin Belondo (Ratu Tua) sedangkan yang menjalankan pemerintahan kerajaan adalah suaminya Gusti Hasan Pangeran Ratu kusuma dengan gelar Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma. Pada tahun 1855 Panembahan Mangku Negara Surya Kusuma wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Gusti Inding yang bergelar sama dengan ayahnya. Juga bergelar Panembahan Haji.
Dalam tahun 1858 oleh pemerintahan Belanda (Gouverment Hindia Belanda) gelar beliau diganti menjadi Panembahan Anom Pakunegara Surya Kusuma. Pada masa itu terjadi peperangan antara kerajaan Tayan dengan Kerajaan Landak (Ngabang). Oleh karena beliau sudah sangat tua, maka roda pemerintahannya diserahkan kepada adiknya yang bernama Gusti Karma. Beliau meninggal dunia pada tanggal 23 November 1873 (1290 H) di Batang Tarang. Gusti Karma kemudian diangkat menjadi Raja Tayan dan diberi gelar Panembahan Adi Ningrat Kusuma Negara dan beliau memerintah hingga tahun 1880 yang kemudian digantikan anaknya bernama Gusti Muhammad Ali disebut pula dengan nama Gusti Indung bergelar Panembahan Pakunegara Kusuma dinobatkan menjadi Raja tayan di Rayang. Beliau beristrikan Utin fatimah dan memperoleh 12 anak.
Dalam masa pemerintahan beliau, mengikat kontrak baru dengan pemerintahan belanda yaitu Akte Van Verband en Bekrachting di Rayang, 2 April 1880, Goedgekeurd 23 April 1883 Nomor 12. Dalam masa pemerintahannya Ibukota tempat kedudukan Raja dipindahkan dari Istana Rayang ke Tayan (berawal di kawasan Teluk Kemilun dan kemudian berpindah ke Desa Pedalaman hingga saat ini) dan sekaligus membangun istana/keraton baru yang dibangun oleh rakyat Tayan untuk Raja Tayan. Keraton ini hingga pada saat ini masih berdiri dan ditempati oleh para ahli warisnya. Pada tanggal 26 Februari 1890 oleh Gouverment Hindia Nederland, Kerajaan Meliau dimasukkan kedalam wilayah/daerah Kerajaan Tayan. Panembahan Gusti Muhammad Ali memegang jabatan selama 15 tahun (1890 s/d 1905), beliau wafat dan dimakamkan dikompleks Makam Raja-Raja Tayan didesa kawat sekarang (jaraknya 0,5 km dari Keraton).
Sejak dipindahkan pusat kerajaan dari Rayang ke tempat yang baru, dan bertempat tinggal diistana/keraton tersebut telah sempat memerintah 4 orang Panembahan, yaitu :
Zaman pemerintahan Gusti Ismail tetap menjadi Raja Tayan sampai pada masa pemerintahan Swapraja diserahkan pada tahun 1960. Tetapi beliau masih bekerja terus sebagai Wedana Tayan. Dalam kedudukan sebagai Wedana Tayan, Gusti Ismail dipindahkan dan diperbantukan dikantor Bupati Kepala daerah Kabupaten Sanggau. Sekarang bekas ibukota Kerajaan Tayan menjadi Ibukota Kecamatan Tayan Hilir, Kabupaten Sanggau. Raja-raja tersebut dimakamkan di atas dimakamkan dikompleks makam Raja-Raja Tayan, serta makam Utin Belondo atau Ratu Utin Belondo didesa Kawat sekarang.
Urban Heritage adalah objek-objek dan kegiatan di perkotaan yang memberi karakter budaya yang khas bagi kota yang bersangkutan. Keberadaan bangunan kuno dan aktivitas masyarakat yang memiliki nilai sejarah, estetika, dan kelangkaan biasanya sangat dikenal dan diakrabi oleh masyarakat dan secara langsung menunjuk pada suatu lokasi dan karakter kebudayaan suatu kota, salah satunya adalah keberadaan Keraton Pakunegara Tayan yang menunjuk pada sebuah lokasi dan karakter kebudayaan dari Kota Tayan.
Keraton Pakunegara Tayan adalah salah satu bentuk peninggalan sejarah Bangsa Indonesia dan merupakan hasil karya budaya yang sangat tinggi nilainya, khususnya berkaitan dengan perkembangan kebudayaan keraton-keraton Melayu di Kalimantan Barat. Kenyataannya, perkembangan Kawasan Keraton Pakunegara Tayan kini baik dari segi guna lahan dan bangunannya, kurang diperhatikan keberadaannya sebagai kawasan bersejarah dimana kondisi fisik bangunan perlu ditangani khusus. Selain itu, terdapat kendala dalam kegiatan pelestarian keraton, terkait dengan kendala dana dan kurangnya dukungan serta keterlibatan masyarakat
|
Komentar
Posting Komentar