Kesultanan Pelalawan Riau
Kesultanan Pelalawan
Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M - 1946 M) yang sekarang terletak di Kabupaten Pelalawan, adalah satu dari beberapa kerajaan yang pernah berkuasa di Bumi Melayu yang turut serta berpengaruh dalam mewarisi budaya Melayu dan Islam di Riau. Sedangkan gelar atau sebutan bagi Raja Pelalawan adalah Tengku Besar (Tengkoe Besar).
Bendera dan Lambang Kesultanan Pelalawan
Kronologi Sejarah
Penguasa Negeri Pelalawan | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
|
Asal Usul Kerajaan Pelalawan
Berasal dari kata dasar "Lalau", yang berarti "Cadang", disebutlah daerah Pe-lalau-an atau daerah Pen-cadang-an (tempat yang pernah dicadangkan). Kerajaan ini merupakan sebuah Negeri yang sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung Negeri, dibawah pimpinan Maharaja Dinda II sebagai Rajanya (1720 - 1750 M), dan berdiri dibawah kekuasaan Sultan Johor sebagai Yang Dipertuan Tinggi.
Diawali sekitar tahun 1725 M, Maharaja Dinda II memindahkan Pusat Kerajaan Tanjung Negeri dari Sungai Nilo ke Hulu Sungai Rasau. Hal ini terjadi dikarenakan wabah penyakit yang menyerang rakyat Tanjung Negeri sejak masa kekuasaan leluhurnya Maharaja Wangsa Jaya (1686 - 1691 M). Seiring perpindahan tersebutlah Maharaja Dinda II mengubah nama Kerajaan Tanjung Negeri menjadi Kerajaan Pelalawan.
Pertikaian Siak Sri Indrapura dan Pelalawan
Pada Masa Pemerintahan Maharaja Lela II (1775 M - 1798 M), banyak kemelut yang terjadi di Kesultanan Johor, yaitu sisa-sisa pertikaian takhta antara Raja Kecil dan Bendahara Padang Saujana Abdul Jalil pada tahun 1722. Bendahara Padang Saujana dan anaknya Tengku Sulaiman (kemudian menjadi Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah Johor) berpakat dengan Bugis 5 bersaudara (Daeng Parani, Daeng Merewah, Daeng Menambun, Daeng Kemasi dan Daeng Chelak) untuk mengusir Raja Kecil dari takhta Johor. Raja Kecil dikalahkan dan lari ke Siak menubuhkan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang kekuasaannya mengambil tanah bekas jajahan Johor di pulau Sumatra. Karena tidak bersedia tunduk dan mengakui kekuasaan Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah akan takhta Johor yang direbutnya, karena masalah itulah Maharaja Lela II memisahkan diri dari Kekuasaan Johor. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa penguasa Kesultanan Johor bukan lagi dari keturunan leluhurnya Sultan Alauddin Riayat Syah II (Malaka) tapi dari wangsa Bendahara yang merampas takhta.
Sehubungan dengan hal itu, Sultan Syarif Ali Raja Siak Sri Indrapura (1784-1811) menuntut agar Kerajaan Pelalawan mengakui Kesultanan Siak sebagai Yang Dipertuannya, mengingat dia adalah pewaris sah Raja Kecil, putra Sultan Mahmud Shah II (Sultan Johor terdahulu). Namun Maharaja Lela II menolaknya sehingga memicu pertikaian antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan.
Serangan Siak Sri Indrapura ke Pelalawan
Dalam catatan sejarah, terdapat dua kali serangan Pasukan Besar Siak Sri Indrapura ke Pelalawan melalui air dan darat. Peristiwa ini terjadi antara tahun 1797 - 1810 M. Pada perang inilah beberapa Tokoh terkenal muncul, seperti Said Osman Syahabuddin, Datuk Maharaja Sinda, Panglima Kudin dan gurunya Panglima Katan, Panglima Hitam, Hulubalang Engkok, Cik Jeboh, Panglima Garang dan sebagainya.
Pada masa itu, Kerajaan Siak Sri Indrapura melalui penasehat istana mereka yang bernama Said Osman Syahabuddin (Ayah dari Sultan Syarif Ali penguasa Siak kala itu), berencana melakukan penyerangan ke Pelalawan melalui jalur air Sungai Kampar, hal itu dilakukan mengingat benteng pertahanan Pelalawan yang terletak di kuala Sungai Mempusun. Demi mempersiapkan penyerangannya, Said Osman Syahabuddin beserta pengikutnya menyiapkan sebuah kapal perang yang bernama "Kapal Baheram", kapal besar Siak dengan rancangan militer yang kokoh.
Diperkirakan pada awal tahun 1797 M, Said Osman Syahabuddin beserta pasukannya melancarkan serangan ke Pelalawan menggunakan Kapal Baheram. Setibanya mereka di kuala mempusun, terjadilah peperangan antara pasukan Said Osman Syahabuddin yang disambut oleh Pasukan Pelalawan dibawah pimpinan Hulubalang Engkok, perang sengitpun terjadi. Pada pekan pertama, Kapal Baheram Said Osman Syahabuddin terkena hantaman Meriam dari pasukan Hulubalang Engkok, Kapal Baheram mengalami kerusakan, dan memaksa Said Osman Syahabuddin memundurkan sementara pasukannya. Setelah berhasil mundur, Said Osman Syahabuddin beserta awak kapalnya mendiami suatu teluk, yang sekarang dinamakan "Teluk Mundur" di sebelah hilir Kuala Mempusun. Di Teluk Mundur ia kembali mengatur serangan, lalu dengan segera melakukan serangan ke duanya ke Benteng Mempusun. Setelah perang terjadi beberapa hari, Kapal Baheram mendapat kerusakan yang semakin parah, dan tidak dapat melanjutkan peperangan lagi. Lalu pada sorenya Said Osman Syahabuddin memutuskan mundur dan kembali ke Siak Sri Indrapura menggunakan Kapal Baheram yang dalam keadaan rusak parah. Sesampainya mereka di seberang kampung Ransang, Kapal Baherampun tenggelam. Dan sejak saat itu, wilayah tersebut dinamakan "Rasau Baheram", namun Said Osman Syahabuddin dan pasukannya berhasil kembali ke Siak Sri Indrapura dengan selamat melalui jalan darat.
Setelah Pasukan Said Osman Syahabuddin mundur, keluar satu pantun terkenal di masyarakat Pelalawan saat itu, yang berbunyi sebagai berikut :
- Empak-empak diujung Galah
- Anak Toman disambar Elang
- Pelalawan dirompak, haram tak kalah
- Baheram Osman berlayar pulang.
Perebutan Kekuasaan Pelalawan
Sekembalinya pasukan Sayyed Osman Syahabuddin ke Siak Sri Indrapura, kebencian Pelalawan semakin dalam meskipun tidak ada konflik langsung yang terjadi antara Siak Sri Indrapura dan Pelalawan dalam beberapa tahun. Pada masa itu, Datuk Maharaja Sinda dan Pembesar Kerajaan Pelalawan, mengambil sikap “menentang Siak”. Sikap penentangan ini dibuktikan dengan seluruh rumpun pisang yang berjantung ke arah Siak dipancung dan ayam yang berkokok menghadap ke Siak dibunuh. Bukti penentangan terhadap Siakpun masih ada hingga saat ini, yaitu batu nisan Datuk Maharaja Sinda yang makamnya terletak di Desa Kuala Tolam, Kecamatan Pelalawan tetap condong ke Selatan, tidak ke Barat (ke arah Siak).
Sampai pada tahun 1798 M, Pasukan Siak Sri Indrapura yang dipimpin oleh Panglima Besar Syarif Abdurrahman (adik Sultan Syarif Ali Siak), kembali melakukan penyerangan terhadap Pelalawan. Serangan kedua tersebut dilakukan melalui dua arah, yaitu pasukan angkatan darat menyerang melalui hulu Sungai Rasau dan pasukan angkatan laut menyerang melalui muara Sungai Kampar. Pada pertempuran itu Panglima Besar Kerajaan Pelalawan satu persatu gugur, termasuk Panglima Kudin dan tunangannya Zubaidah yang gugur di benteng pertahanan Tanjung Pembunuhan. Kali ini Pelalawan takhluk dibawah tangan Syarif Abdurrahman. Lalu, Syarif Abdurrahman berdiri sebagai Raja Pelalawan yang diakui oleh Kakaknya Sultan Syarif Ali dari Kerajaan Siak Sri Indrapura dan Pemerintah Hindia Belanda dengan gelar Sultan Assyaidis Syarif Abdurrahman Fakhruddin. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman mangkat. Takhta Kerajaan Pelalawan diwariskan secara turun temurun kepada anak cucu dari Sultan Syarif Abdurrahman sendiri.
Pada beberapa sumber menyebutkan, sebab kekalahan Pelalawan ialah dikarenakan adanya mata-mata dari Siak Sri Indrapura yang bernama "Kasim", menyirami seluruh mesiu di Benteng Pertahanan Mempusun dengan air sehingga tidak dapat digunakan lagi.
Akhir Kekuasaan
Pada masa Pemerintahan Sultan Syarif Harun (1940-1946), adalah masa pemerintahan yang paling sulit di Kerajaan Pelalawan. pada masa itu Indonesia sengsara di bawah penjajahan Jepang, rakyat menderita lahir batin. Penderitaan itu dirasakan pula oleh rakyat Pelalawan. Padi rakyat dicabut untuk kepentingan Jepang, orang-orang diburu untuk dijadikan romusha, dimana-mana terjadi kesewenang-wenangan.
Demi menjaga kemakmuran rakyat Pelalawan, pada tahun 1946 Sultan Syarif Harun mendarma baktikan Pelalawan kepada Pemerintah Indonesia Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan Syarif Harun bersama Orang-orang Besar bersepakat menyatakan diri dan seluruh Rakyat Pelalawan ikut ke dalam Pemerintahan Republik Indonesia, dan siap sedia membantu perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada tanggal 7 Agustus 2008, Lembaga Kerapatan Adat Melayu Kabupaten Pelalawan mengangkat Tengku Kamaruddin Haroen bin Sultan Syarif Harun sebagai Sultan Pelalawan ke-10, dengan Gelar Sultan Assyaidis Syarif Kamaruddin Haroen.
Peninggalan Sejarah
Istana Sayap
Istana Sayap merupakan sebutan bagi Istana Kesultanan Pelalawan, Istana ini awalnya dibangun oleh Sultan ke-7 Pelalawan Baru yang bernama Tengkoe Besaar Sontol Said Ali (1886 – 1892 M). namun dia wafat disaat bangunan Istana belum selesai. Selanjutnya pembangunan Istana ini diselesaikan oleh penerusnya Tengkoe Besaar Syarif Hasyim II (1892 – 1930 M).
Istana ini sebelumnya dinamakan “ISTANA UJUNG PANTAI”. Namun ketika Sultan Syarif Hasyim II melanjutkan pembangunan istana, ia membangun dua sayap disamping kanan dan kiri istana, yang dijadikan Balai. Maka istana inipun dinamakan “ISTANA SAYAP”. Bangunan di sebelah kanan istana (sebelah hulu) disebut “Balai Sayap Hulu” yang berfungsi menjadi kantor Sultan”, dan bangunan di sebelah kiri Istana (sebelah hilir) dinamanakan “Balai Hilir” yang berfungsi sebagai “Balai Penghadapan” bagi seluruh rakyat Pelalawan.
Banyak sekali filosofi yang terkandung pada bangunan Istana ini, namun sangat disayangkan bangunan Istana bersejarah ini sudah tidak dapat dilihat lagi, yang terisa saat ini hanyalah bangunan Istana Kanan atau Istana Sayap Kanan. karena dua bangunan yang merupakan Istana Tengah dan Istana Kiri sudah habis terbakar pada 19 Februari 2012.
Mesjid Hibbah
Masjid Hibbah Pelalawan dibangun tahun 1936, semasa pemerintahan Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1930 – 1941). Lokasi Masjid di tetapkan di pinggir sungai 'Naga Belingkar', mengingat tempat tersebut tak jauh dari bangunan Istana Pelalawan dan Rumah kediaman Sultan. Lokasi masjid ini berada di tengah-tengah dan mudah ditempuh dari segala pemukiman, baik dengan berjalan kaki maupun dengan menggunakan perahu.
Kata “ Hibbah “ untuk nama masjid tersebut diambil dari makna ‘pemberian (sumbangan). Karena Mesjid ini dibangun dari keikhlasan masyarakat pelalawan waktu itu yang bergotong royong tanpa terkecuali tua dan muda, laki-laki dan perempuan, dan pekerjaan tersebut dilaksanakan siang malam tanpa paksaan. Bahkan pada kegiatan tersebut Sultan dan para pembesar kerajaanpun ikut bekerja bersama rakyatnya.
Sebahagian besar bahan bangunannya terbuat dari ‘teras laut’, kayu pilihan yang sengaja dipesan, sebagian lagi diramu oleh pemuda-pemuda di kawasan hutan. Sedangkan semen untuk tiang, kaca pintu, atap dan timah campuran bahan qubahnya merupakan sumbangan Sultan.
Masjid Hibbah bagaikan mahkota yang amat terpelihara, bahkan menurut penduduk setempat bangunan ini berharga melebihi bangunan Istana Sayap. Karena Mesjid tersebut merupakan wujud dari persaudaraan yang pernah mereka bangun dengan susah payah secara bersama-sama.
Meriam Perang
Tidak jauh dari Istana Sayap, tepatnya di bagian hulu dapat dijumpai tempat dimana sebagian Meriam Peninggalan Kerajaan Pelalawan diletakkan. Sebagian meriam berwarna kuning dan sebagian lagi berwarna hitam, dahulunya meriam ini merupakan fasilitas pertahanan utama yang digunakan Kerajaan Pelalawan saat berperang melawan musuh.
Komplek Pemakaman Raja
Komplek pemakaman ini terdiri dari tiga bagian, yang masing-masing terpisah beberapa puluh meter dan memiliki bangunan pelindung sendiri-sendiri. Yakni makam Raja, makam Dekat dan makam Jauh.
Pemakaman utama disebut makam raja, terletak sekitar 50 meter dari Istana Sayap, tepatnya dibelakang Mesjid yang bernama Mesjid Hibbah. di sini bersemayan 3 (tiga) Raja Pelalawan diantaranya Sultan Syarif Hasyim (1894—1930), Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931—1940), dan Sultan Syarif Haroen (1940—1946).
Selain Komplek pemakaman Raja, terdapat lagi dua pemakaman Raja yang bernama makam Jauh dan makam Dekat. Makam jauh dan makam dekat berisi Raja-raja para, para alim ulama, pembesar kerajaan, orang-orang yang berjasa serta kalangan keluarga dekat Kerajaan.
Peninggalan sejarah lainnya
Masih banyak lagi peninggalan-peninggalan sejarah Kerajaan Pelalawan yang berada di Komplek Kerajaan di desa Pelalawan, diantaranya seperti bangunan Pesenggerahan Panglima Kudin, Rumah kediaman Sultan Syarif Haroen (1940-1946), Rumah kediaman Regent Tengkoe Pangeran Said Osman (1931-1940), benda-benda kecil seperti stempel kerajaan, baju kebesaran Raja, tempat tidur Raja, alat tenun Tuan Putri, alat musik Istana, keris, tombak, perhiasan-perhiasan, gong, piring, dan benda-benda pusaka lainnya.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pelalawan
Sejarah Kerajaan Pelalawan berawal dari kerajaan Pekantua yang didirikan oleh Maharaja Indra
RADARPEKANBARU.COM-Beliau adalah bekas orang besar kerajaan Temasik (sekarang Singapura) mendirikan kerajaan ini setelah Temasik dikalahkan oleh Majapahit di penghujung abad ke XIV.
Sedangkan raja Temasik terakhir ketika itu adalah Permaisura (=Parameswara) yang kemudian mengundurkan diri ke Tanah Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka.
Maharaja Indera (1380 - 1420 M) membangun kerajaan Pekantua di sungai Pekantua- salah satu anak sungai Kampar sekarang termasuk wilayah desa Kuala Tolam kecamatan Pelalawan pada tempat yang bernama Pematang Tuo.
Maharaja Indera juga membangun candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang di desa Lubuk Emas) yang lazim disebut Bukit Hyang, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas sebagai tanda syukurnya dapat mendirikan kerajaan Pekantua .
Setelah Maharaja Indera mangkat, kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Pura (1420- 1445 M) yang terus berusaha mengembangkan kerajaan Pekantua dengan membangun Bandar Tolam di hilir Pekantua untuk meningkatkan perannya dalam pelayaran di perairan selat Melaka.
Ketika Maharaja Pura mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Laka (1445 - 1460 M) yang memperbesar Bandar Tolam sebagai pelabuhan niaga dengan Melaka. Selanjutnya Maharaja Laka digantikan oleh Maharaja Sysya (1460- 1480 M).
Pada masa inilah dibangun Bandar baru di seberang hulu Bandar Pekantua yang diberi nama Bandar Nasi kemudian dikenal dengan nama Bandar Nasi-nasi.
Maharaja Sysya digantikan oleh puteranya Maharaja Jaya (1480- 1505 M). Pekantua semakin berkembang dan mulai dikenal sebagai bandar besar sehingga beritanya sampai ke Melaka yang sudah berkembang sebagai bandar terpenting di perairan selat Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas pada masa itu.
Melaka bermaksud mengusasi kerajaan Pekantua sekaligus mengokohkan kekuasaanya di pantai Timur Sumatera. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459- 1477 M), Melaka menyerang Pekantua yang dipimpin oleh Sri Nara Diraja dan berhasil menguasai Pekantua
Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah menjadi raja Pekantua (1505 - 1511 M). Pada upacara penabalan Munawar Syah menjadi raja Pekantua, diumumkan bahwa kerajaan Pekantua diubah namanya menjadi "Pekantua Kampar". Sejak itu Pekantua Kampar sepenuhnya berada di bawah naungan Melaka.
Setelah Munawar Syah mangkat digantikan oleh puteranya Raja Abdullah menjadi Sultan kerajaan Pekantua Kampar (1511- 1515 M). Sedang di Melaka Sultan Mansyur Syah mangkat dan digantikan oleh puteranya Alauddin Riayat Syah I.
Kemudian setelah baginda mangkat selanjutnya digantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masa inilah Melaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis (1511 M). Sultan Mahmud Syah mengundurkan diri ke Muar (Johor), kemudian ke Bentan dan sekitar tahun 1526 M Sultan Mahmud Syah sampai ke Pekantua Kampar.
Sedangkan Raja Abdullah raja Pekantua Kampar yang merupakan menantu Sultan Mahmud Syah I ketika Melaka diserang Portugis turut membantu Melaka melawan Portugis, tetapi baginda raja Abdullah dapat ditawan Portugis dan di bawa ke Melaka kemudian dihukum gantung.
Itulah sebabnya ketika Sultan Mahmud Syah I sampai ke Pekantua Kampar baginda dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar (1526- 1528 M).
Setelah Sultan Mahmud Syah I mangkat, baginda bergelar "Marhum Kampar" dan digantikan oleh putranya dari istrinya yang bernama Tun Fatimah yang bernama raja Ali bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II.
Tak berapa lama kemudian meninggalkan Pekantua Kampar menuju ke Tanah Semenanjung, mendirikan negeri di Kuala Johor. Sultan Alauddin Riayat Syah II dianggap sebagai pendiri kerajaan Johor.
081. Dikala agama dan adat tiada bermuka
Armada Peringgi menyerang Melaka
Alfonso d'Albuquerque siangkara murka
Tahun lima ratus sebelas jatuhlah Melaka
082. Sultan bersama dengan puteranya
Raja Ahmad demikian namanya
Ke daerah Riau menyingkir akhirnya
Pekantua Kampar jadi tujuannya
083. Baginda dinobat ketika di Kampar
Menjadi Sultan dua tahun berada
Akhirnya mangkat Raja nan Akbar
Nan Hilang digelar Marhum Kampar
084. Baginda digantikan oleh puteranya
Raja Ali sang Putera Mahkotanya
Setelah dinobat menurut adatnya
Sultan Alaiddin Riayat Syah Dua masyhur gelarnya
085. Setelah beberapa lamanya ada
Tun Perkasa diangkat Baginda
Sebagai Mangkubumi pendamping Baginda
Dianugrahi gelar sebagai Raja Muda
086. Untuk pekerjaan nan selanjutnya
Sultan meninggalkan Pekantua
Ke Kuala Johor tempat tujuannya
Mendirikan kerajaan baru disana
087. Setelah tapak kerajaan didirikan
Johor berkembang sangat mengesankan
Sampailah ajal yang ditaqdirkan
Diganti Putera Sultan yang meneruskan
088. Kerajaan Johor penerus kerajaan Melaka
Begitu pula bekas taklukan Melaka
Ke Sultan Johor tak berani durhaka
Termasuklah Siak mnundukkan muka.
(SPN. G.P. Ade Darmawi: Syair Siak Sri Indrapua Dar al-Salam al-Qiyam)
Sebelum Sultan Alauddin Riayat Syah ke Tanah Semenanjung, baginda menunjuk dan mengangkat Tun Perkasa sebagai Mangkubumi Pekantua Kampar dengan gelar Raja Muda Tun Perkasa (1515 - 1526 M).
Sejak itu Pekantua Kampar diperintah oleh keturunan Raja Muda Tun Perkasa, yaitu Tun Hitam kemudian digantikan oleh puteranya Tun Megat.
Sementara di Johor mengalami kemajuan yang sangat pesat ketika dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II). Begitu juga di Pekantua Kampar.
Raja Muda Pekantua Kampar Tun Megat mengirim utusan ke Johor untuk meminta agar salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi raja.
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat dan mengirimkan kan salah satu keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi raja di Pekantua Kampar.
Sekitar tahun 1590 M Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharaja Dinda (1590- 1630 M) walaupun demikian terhadap Johor: kedudukan Raja Abdurrahman tetaplah sebagai Raja Muda Johor yang menjadi raja di Pekantua Kampar.
Sedangkan Tun Megat yang sebelumnya menjadi Raja Muda Pekantua Kampar dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela I yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630- 1650 M) yang membangun pusat pusat pelabuhan dagang: Bandar Telawa Kandis di hilir Tolam, Bandar Petodak di hilir Panduk dan Bandar Teluk Binjai di kuala Kerumutan.
Maharaja Lela Utama digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650- 1675 M),
kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Utama II (1675 - 1686 M).
Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Pekantua Kampar dipindahkan ke Tanjung Negeri di kawasan sungai Nilo (anak sungai Kampar-sekarang termasuk wilayah desa Kuala Terusan kecamatan Pangkalan Kerinci).
Raja inipun tak lama memerintah, beliau mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M). Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri diserang wabah penyakit yang banyak menelan korban jiwa rakyatnya.
Namun para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih baru. Akhirnya baginda pun wafat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), baginda berusaha memindahkan pusat kerajaan karena dianggap "sial" tersebab adanya wabah penyakit menular yang menyebabkan banyak rakyatnya menjadi korban-termasuk ayahandanya sendiri.
Setelah Maharaja Muda Lela mangkat, baginda digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1751 M).
Pada masa pemerintahannya lah diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ke sungai Rasau. Pada tahun 1725 M dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau.
Dalam upacara adat itulah Maharaja Dinda II atau Maharaja Lela Perkasa atau sering juga disebut Maharaja Lela Dipati mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu maka nama kerajaan Pekantua Kampar diganti menjadi kerajaan "Pelalawan".
(Asal nama "pelalawan", berasal dari kata "lalau - dilalaukan" artinya: ditandai, dicadangkan). Sebutan kata "pelalawan" mempunyai hubungan dengan proses pemindahan pusat kerajaan.
Pada masa pemerintahan Maharaja Dinda II diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ke tempat yang oleh moyangnya yakni Maharaja Lela Utama pernah "dilalaukan" (ditandai- dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di sungai Rasau salah satu anak sungai Kampar agak jauh ke hilir sungai Nilo).
Setelah mangkat baginda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750 - 1775 M). Pada masa ini kerajaan Pelalawan berkembang pesat, karena beliau membuka hubungan dagang; selain dengan Indragiri yang terus meningkat dengan Jambi melalui sungai Kerumutan, Nilo dan Panduk.
Hubungan dengan Petapahan melalui hulu sungai Rasau. Hubungan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri melalui sungai Kampar
Pada tahun 1797 M kerajaan Siak menyerang Pelalawan di bawah pimpinan Said Otsman Syahabuddin, namun dapat ditangkis oleh Pelalawan. Tahun 1798 kerajaan Siak kembali menyerang Pelalawan yang dipimpin oleh Said Abdurrahman dan berhasil menguasai Pelalawan.
Sedangkan raja Temasik terakhir ketika itu adalah Permaisura (=Parameswara) yang kemudian mengundurkan diri ke Tanah Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka.
Maharaja Indera (1380 - 1420 M) membangun kerajaan Pekantua di sungai Pekantua- salah satu anak sungai Kampar sekarang termasuk wilayah desa Kuala Tolam kecamatan Pelalawan pada tempat yang bernama Pematang Tuo.
Maharaja Indera juga membangun candi Hyang di Bukit Tuo (sekarang di desa Lubuk Emas) yang lazim disebut Bukit Hyang, kemudian lebih dikenal dengan sebutan Pematang Buluh atau Pematang Lubuk Emas sebagai tanda syukurnya dapat mendirikan kerajaan Pekantua .
Setelah Maharaja Indera mangkat, kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Pura (1420- 1445 M) yang terus berusaha mengembangkan kerajaan Pekantua dengan membangun Bandar Tolam di hilir Pekantua untuk meningkatkan perannya dalam pelayaran di perairan selat Melaka.
Ketika Maharaja Pura mangkat, digantikan oleh puteranya Maharaja Laka (1445 - 1460 M) yang memperbesar Bandar Tolam sebagai pelabuhan niaga dengan Melaka. Selanjutnya Maharaja Laka digantikan oleh Maharaja Sysya (1460- 1480 M).
Pada masa inilah dibangun Bandar baru di seberang hulu Bandar Pekantua yang diberi nama Bandar Nasi kemudian dikenal dengan nama Bandar Nasi-nasi.
Maharaja Sysya digantikan oleh puteranya Maharaja Jaya (1480- 1505 M). Pekantua semakin berkembang dan mulai dikenal sebagai bandar besar sehingga beritanya sampai ke Melaka yang sudah berkembang sebagai bandar terpenting di perairan selat Melaka serta menguasai wilayah yang cukup luas pada masa itu.
Melaka bermaksud mengusasi kerajaan Pekantua sekaligus mengokohkan kekuasaanya di pantai Timur Sumatera. Pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1459- 1477 M), Melaka menyerang Pekantua yang dipimpin oleh Sri Nara Diraja dan berhasil menguasai Pekantua
Sultan Mansyur Syah kemudian mengangkat Munawar Syah menjadi raja Pekantua (1505 - 1511 M). Pada upacara penabalan Munawar Syah menjadi raja Pekantua, diumumkan bahwa kerajaan Pekantua diubah namanya menjadi "Pekantua Kampar". Sejak itu Pekantua Kampar sepenuhnya berada di bawah naungan Melaka.
Setelah Munawar Syah mangkat digantikan oleh puteranya Raja Abdullah menjadi Sultan kerajaan Pekantua Kampar (1511- 1515 M). Sedang di Melaka Sultan Mansyur Syah mangkat dan digantikan oleh puteranya Alauddin Riayat Syah I.
Kemudian setelah baginda mangkat selanjutnya digantikan oleh Sultan Mahmud Syah I. Pada masa inilah Melaka diserang dan dikalahkan oleh Portugis (1511 M). Sultan Mahmud Syah mengundurkan diri ke Muar (Johor), kemudian ke Bentan dan sekitar tahun 1526 M Sultan Mahmud Syah sampai ke Pekantua Kampar.
Sedangkan Raja Abdullah raja Pekantua Kampar yang merupakan menantu Sultan Mahmud Syah I ketika Melaka diserang Portugis turut membantu Melaka melawan Portugis, tetapi baginda raja Abdullah dapat ditawan Portugis dan di bawa ke Melaka kemudian dihukum gantung.
Itulah sebabnya ketika Sultan Mahmud Syah I sampai ke Pekantua Kampar baginda dinobatkan menjadi raja Pekantua Kampar (1526- 1528 M).
Setelah Sultan Mahmud Syah I mangkat, baginda bergelar "Marhum Kampar" dan digantikan oleh putranya dari istrinya yang bernama Tun Fatimah yang bernama raja Ali bergelar Sultan Alauddin Riayat Syah II.
Tak berapa lama kemudian meninggalkan Pekantua Kampar menuju ke Tanah Semenanjung, mendirikan negeri di Kuala Johor. Sultan Alauddin Riayat Syah II dianggap sebagai pendiri kerajaan Johor.
081. Dikala agama dan adat tiada bermuka
Armada Peringgi menyerang Melaka
Alfonso d'Albuquerque siangkara murka
Tahun lima ratus sebelas jatuhlah Melaka
082. Sultan bersama dengan puteranya
Raja Ahmad demikian namanya
Ke daerah Riau menyingkir akhirnya
Pekantua Kampar jadi tujuannya
083. Baginda dinobat ketika di Kampar
Menjadi Sultan dua tahun berada
Akhirnya mangkat Raja nan Akbar
Nan Hilang digelar Marhum Kampar
084. Baginda digantikan oleh puteranya
Raja Ali sang Putera Mahkotanya
Setelah dinobat menurut adatnya
Sultan Alaiddin Riayat Syah Dua masyhur gelarnya
085. Setelah beberapa lamanya ada
Tun Perkasa diangkat Baginda
Sebagai Mangkubumi pendamping Baginda
Dianugrahi gelar sebagai Raja Muda
086. Untuk pekerjaan nan selanjutnya
Sultan meninggalkan Pekantua
Ke Kuala Johor tempat tujuannya
Mendirikan kerajaan baru disana
087. Setelah tapak kerajaan didirikan
Johor berkembang sangat mengesankan
Sampailah ajal yang ditaqdirkan
Diganti Putera Sultan yang meneruskan
088. Kerajaan Johor penerus kerajaan Melaka
Begitu pula bekas taklukan Melaka
Ke Sultan Johor tak berani durhaka
Termasuklah Siak mnundukkan muka.
(SPN. G.P. Ade Darmawi: Syair Siak Sri Indrapua Dar al-Salam al-Qiyam)
Sebelum Sultan Alauddin Riayat Syah ke Tanah Semenanjung, baginda menunjuk dan mengangkat Tun Perkasa sebagai Mangkubumi Pekantua Kampar dengan gelar Raja Muda Tun Perkasa (1515 - 1526 M).
Sejak itu Pekantua Kampar diperintah oleh keturunan Raja Muda Tun Perkasa, yaitu Tun Hitam kemudian digantikan oleh puteranya Tun Megat.
Sementara di Johor mengalami kemajuan yang sangat pesat ketika dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Riayat Syah II). Begitu juga di Pekantua Kampar.
Raja Muda Pekantua Kampar Tun Megat mengirim utusan ke Johor untuk meminta agar salah seorang keturunan Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi raja.
Sultan Abdul Jalil Syah mengabulkan permintaan Tun Megat dan mengirimkan kan salah satu keluarga dekatnya yang bernama Raja Abdurrahman untuk menjadi raja di Pekantua Kampar.
Sekitar tahun 1590 M Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi raja dengan gelar Maharaja Dinda (1590- 1630 M) walaupun demikian terhadap Johor: kedudukan Raja Abdurrahman tetaplah sebagai Raja Muda Johor yang menjadi raja di Pekantua Kampar.
Sedangkan Tun Megat yang sebelumnya menjadi Raja Muda Pekantua Kampar dikukuhkan menjadi Mangkubumi, mewarisi jabatan kakeknya Tun Perkasa.
Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela I yang bergelar Maharaja Lela Utama (1630- 1650 M) yang membangun pusat pusat pelabuhan dagang: Bandar Telawa Kandis di hilir Tolam, Bandar Petodak di hilir Panduk dan Bandar Teluk Binjai di kuala Kerumutan.
Maharaja Lela Utama digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650- 1675 M),
kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Utama II (1675 - 1686 M).
Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan Pekantua Kampar dipindahkan ke Tanjung Negeri di kawasan sungai Nilo (anak sungai Kampar-sekarang termasuk wilayah desa Kuala Terusan kecamatan Pangkalan Kerinci).
Raja inipun tak lama memerintah, beliau mangkat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M). Pada masa pemerintahannya, Tanjung Negeri diserang wabah penyakit yang banyak menelan korban jiwa rakyatnya.
Namun para pembesar kerajaan belum mau memindahkan pusat kerajaan karena masih baru. Akhirnya baginda pun wafat dan digantikan oleh puteranya Maharaja Muda Lela (1691-1720 M), baginda berusaha memindahkan pusat kerajaan karena dianggap "sial" tersebab adanya wabah penyakit menular yang menyebabkan banyak rakyatnya menjadi korban-termasuk ayahandanya sendiri.
Setelah Maharaja Muda Lela mangkat, baginda digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-1751 M).
Pada masa pemerintahannya lah diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ke sungai Rasau. Pada tahun 1725 M dilakukan upacara pemindahan pusat kerajaan dari Tanjung Negeri ke Sungai Rasau.
Dalam upacara adat itulah Maharaja Dinda II atau Maharaja Lela Perkasa atau sering juga disebut Maharaja Lela Dipati mengumumkan bahwa dengan kepindahan itu maka nama kerajaan Pekantua Kampar diganti menjadi kerajaan "Pelalawan".
(Asal nama "pelalawan", berasal dari kata "lalau - dilalaukan" artinya: ditandai, dicadangkan). Sebutan kata "pelalawan" mempunyai hubungan dengan proses pemindahan pusat kerajaan.
Pada masa pemerintahan Maharaja Dinda II diperoleh kesepakatan untuk memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar ke tempat yang oleh moyangnya yakni Maharaja Lela Utama pernah "dilalaukan" (ditandai- dicadangkan) untuk menjadi pusat kerajaan, yaitu di sungai Rasau salah satu anak sungai Kampar agak jauh ke hilir sungai Nilo).
Setelah mangkat baginda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750 - 1775 M). Pada masa ini kerajaan Pelalawan berkembang pesat, karena beliau membuka hubungan dagang; selain dengan Indragiri yang terus meningkat dengan Jambi melalui sungai Kerumutan, Nilo dan Panduk.
Hubungan dengan Petapahan melalui hulu sungai Rasau. Hubungan dengan Kampar Kanan dan Kampar Kiri melalui sungai Kampar
Pada tahun 1797 M kerajaan Siak menyerang Pelalawan di bawah pimpinan Said Otsman Syahabuddin, namun dapat ditangkis oleh Pelalawan. Tahun 1798 kerajaan Siak kembali menyerang Pelalawan yang dipimpin oleh Said Abdurrahman dan berhasil menguasai Pelalawan.
Berikut ini urutan penguasa di Pelalawan, sejak era pra Islam hingga era Islam:
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
Maharaja Indera (1380-1420)
Maharaja Pura (1420-1445)
Maharaja Laka (1445-1460)
Maharaja Sysya (1460-1480)
Maharaja Jaya (1480-1505).
b. Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
Munawar Syah (1505-1511)
Raja Abdullah (1511-1515)
Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
Tun Hitam (1551-1575)
Tun Megat (1575-1590)
Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).
c. Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
Maharaja Lela Utama (1675-1686)
Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
Maharaja Muda Lela (1691-1720)
Maharaja Dinda II (1720-1725).
http://wartasejarah.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-pelalawan.htmlSaid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822 M). Sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh keturunan Said Abdurrahman sampai raja terakhir, yaitu:
Syarif Abdurrahman (1798- 1822 M).
Syarif Hasyim (1822 - 1828 M).
Syarif Ismail (1828- 1844 M).
Syarif Hamid (1844- 1866 M0.
Syarif Ja'far (1866 - 1872 M).
Syarif Abubakar (1872 - 1886 M).
Tengku Sontol Said Ali(1886 - 1892 M).
Syarif Hasyim II (1892- 1930 M).
Tengku Said Otsman (1930 - 1941 M).
Syarif Harun (Tengku Said Harun)(1941- 1946 M).
Walaupun masa pemerintahan Syarif Harun relative singkat, namun di zaman baginda banyak terjadi peristiwa penting, yakni: jatuhnya penjajahan Belanda yang kemudian digantikan oleh Jepang.
Selanjutnya terjadi perang kemerdekaan. Sultan Syarif Harun yang bergelar Assyaidis Syarif Harun Abdul Jalil Fakhruddin dalam tahun 1945 setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menyatakan secara resmi dengan seluruh orang-orang Besar kerajaan Pelalawan pada tanggal 28 Oktober 1945 lebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pernyataan peleburan ini diperkuat lagi dengan seluruh rakyat kerajaan Pelalawan pada tanggal 29 November 1945. Kemudian pada awal tahun 1946 M, baginda secara resmi menanggalkan gelar kesultanannya dan sejak itu berakhirlah keberadaan kerajaan Pelalawan.
Setelah Raja Tengku Said Harun mangkat, atas jasa-jasanya tersebut, beliau diberi gelar 'Marhum Setia Negara'.
a. Kerajaan Pekantua (1380-1505)
Maharaja Indera (1380-1420)
Maharaja Pura (1420-1445)
Maharaja Laka (1445-1460)
Maharaja Sysya (1460-1480)
Maharaja Jaya (1480-1505).
b. Kerajaan Pekantua Kampar (1505-1675)
Munawar Syah (1505-1511)
Raja Abdullah (1511-1515)
Sultan Mahmud Syah I (1526-1528 )
Raja Ali/Sultan Alauddin Riayat Syah II (1528-1530)
Tun Perkasa/ Raja Muda Tun Perkasa (1530-1551)
Tun Hitam (1551-1575)
Tun Megat (1575-1590)
Raja Abdurrahman/Maharaja Dinda (1590-1630)
Maharaja Lela I/Maharaja Lela Utama (1630-1650)
Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 ).
c. Kerajaan Tanjung Negeri (1675-1725)
Maharaja Lela Utama (1675-1686)
Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691)
Maharaja Muda Lela (1691-1720)
Maharaja Dinda II (1720-1725).
http://wartasejarah.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-pelalawan.htmlSaid Abdurrahman kemudian dinobatkan menjadi raja Pelalawan dengan gelar Syarif Abdurrahman Fakhruddin (1798-1822 M). Sejak itu kerajaan Pelalawan diperintah oleh keturunan Said Abdurrahman sampai raja terakhir, yaitu:
Syarif Abdurrahman (1798- 1822 M).
Syarif Hasyim (1822 - 1828 M).
Syarif Ismail (1828- 1844 M).
Syarif Hamid (1844- 1866 M0.
Syarif Ja'far (1866 - 1872 M).
Syarif Abubakar (1872 - 1886 M).
Tengku Sontol Said Ali(1886 - 1892 M).
Syarif Hasyim II (1892- 1930 M).
Tengku Said Otsman (1930 - 1941 M).
Syarif Harun (Tengku Said Harun)(1941- 1946 M).
Walaupun masa pemerintahan Syarif Harun relative singkat, namun di zaman baginda banyak terjadi peristiwa penting, yakni: jatuhnya penjajahan Belanda yang kemudian digantikan oleh Jepang.
Selanjutnya terjadi perang kemerdekaan. Sultan Syarif Harun yang bergelar Assyaidis Syarif Harun Abdul Jalil Fakhruddin dalam tahun 1945 setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia menyatakan secara resmi dengan seluruh orang-orang Besar kerajaan Pelalawan pada tanggal 28 Oktober 1945 lebur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pernyataan peleburan ini diperkuat lagi dengan seluruh rakyat kerajaan Pelalawan pada tanggal 29 November 1945. Kemudian pada awal tahun 1946 M, baginda secara resmi menanggalkan gelar kesultanannya dan sejak itu berakhirlah keberadaan kerajaan Pelalawan.
Setelah Raja Tengku Said Harun mangkat, atas jasa-jasanya tersebut, beliau diberi gelar 'Marhum Setia Negara'.
http://radarpekanbaru.com/news/detail/sejarah-kerajaan-pelalawan-berawal-dari-kerajaan-pekantua-yang-didirikan-oleh-maharaja-indra.html
http://wartasejarah.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-pelalawan.html
Komentar
Posting Komentar