Kesultanan Lamuri Aceh
Kesultanan Lamuri
Kesultanan Lamuri adalah nama sebuah kerajaan yang terletak di daerah kabupaten Aceh Besar dengan pusatnya di Lam Reh, kecamatan Mesjid Raya. Kerajaan ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, dan merupakan cikal bakal kesultanan tersebut.
Sumber asing menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh yaitu "Lamuri", "Ramni", "Lambri", "Lan-li", "Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225) misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke "San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri" di antara daerah yang oleh Majapahit diaku sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires mencatat bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.
Raja-raja
Dari lebih kurang 84 batu nisan yang tersebar di 17 komplek pemakaman, terdapat 28 batu nisan yang memiliki inskripsi. Dari ke-28 batu nisan tersebut diperoleh sebanyak 10 raja yang memerintah Lamuri, 8 orang bergelar malik dan 2 orang bergelar sultan.
- Malik Syamsuddin (wafat 822 H/1419 M)
- Malik 'Alawuddin (wafat 822 H/1419 M)
- Muzhhiruddin. Diperkirakan seorang raja, tanggal wafat tidak diketahui.
- Sultan Muhammad bin 'Alawuddin (wafat 834 H/1431 M)
- Malik Nizar bin Zaid (wafat 837 H/1434 M)
- Malik Zaid (bin Nizar?) (wafat 844 H/1441 M)
- Malik Jawwaduddin (wafat 842 H/1439 M)
- Malik Zainal 'Abidin (wafat 845 H/1442 M)
- Malik Muhammad Syah (wafat 848 H/1444 M)
- Sultan Muhammad Syah (wafat 908 H/1503 M)
Di Lam Reh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat 1211), penguasa pertama di Indonesia yang diketahui menyandang gelar "sultan". Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1007 M. Pada inskripsinya terbaca: Hazal qobri [...] tarikh yaumul Juma`ah atsani wa isryina mia Shofar tis`a wa tsalatsun wa tsamah […] minal Hijri. Namun menurut pembacaan oleh peneliti sejarah Samudra Pasai, Teungku Taqiyuddin Muhammad, nisan tersebut berangka tahun 839 H/1437 M.
Situs
Situs Kerajaan Lamuri di kampung Lam Reh kecamatan Mesjid Raya saat ini terancam musnah dikarenakan adanya rencana pembangunan lapangan golf oleh investor.
Galeri
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Lamuri
KERAJAAN LAMURI ATJEH: KERAJAAN YANG TERLUPAKAN (3 VERSI SEJARAH)
Kesultanan Lamuri
1.
Sejarah
Data
tentang sejarah berdirinya Kesultanan Lamuri masih simpang siur. Data yang
pernah dikemukakan sejumlah orang tentang kesultanan ini masih bersifat
spekulatif dan tentatif. Tulisan ini masih sangat sederhana dan bersifat
sementara karena keterbatasan data yang diperoleh.
Secara
umum, data tentang kesultanan ini didasarkan pada berita-berita dari luar,
seperti yang dikemukakan oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut asing (Arab,
India, dan Cina) sebelum tahun 1500 M. Di samping itu, ada beberapa sumber lokal,
seperti Hikayat Melayu dan Hikayat Atjeh, yang dapat dijadikan
rujukan tentang keberadaan kesultanan ini.
Data
tentang lokasi kesultanan ini juga masih menjadi perdebatan. W. P. Groeneveldt,
seorang ahli sejarah Belanda, menyebut bahwa kesultanan ini terletak di sudut
sebelah barat laut Pulau Sumatera, kini tepatnya berada di Kabupaten Aceh
Besar. Ahli sejarah lainnya, H. Ylue menyebut bahwa Lambri atau Lamuri
merupakan suatu tempat yang pernah disinggahi pertama kali oleh para pedagang
dan pelaut dari Arab dan India. Menurut pandangan seorang pengembara dan
penulis asing, Tome Pires, letak Kesultanan Lamuri adalah di antara Kesultanan
Aceh Darusalam dan wilayah Biheue. Artinya, wilayah Kesultanan Lamuri meluas
dari pantai hingga ke daerah pedalaman.
Menurut
T. Iskandar dalam disertasinya De Hikayat Atjeh (1958), diperkirakan
bahwa kesultanan ini berada di tepi laut (pantai), tepatnya berada di dekat
Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. H. M.
Zainuddin, salah seorang peminat sejarah Aceh, menyebutkan bahwa kesultanan ini
terletak di Aceh Besar dekat dengan Indrapatra, yang kini berada di Kampung
Lamnga. Peminat sejarah Aceh lainnya, M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa
kesultanan ini terletak di dekat Kampung Lam Krak di Kecamatan Suka Makmur,
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Berdasarkan
sejumlah data di atas, sejarah berdirinya dan letak kesultanan ini masih
menjadi perdebatan di kalangan pakar dan pemerhati sejarah Aceh. Namun
demikian, dapat diprediksikan bahwa letak Kesultanan Lamuri berdekatan dengan
laut atau pantai dan kemudian meluas ke daerah pedalaman. Persisnya, letak
kesultanan ini berada di sebuah teluk di sekitar daerah Krueng Raya. Teluk itu
bernama Bandar Lamuri. Kata “Lamuri” sebenarnya merujuk pada “Lamreh” di
Pelabuhan Malahayati (Krueng Raya). Istana Lamuri sendiri berada di tepi Kuala
Naga (kemudian menjadi Krueng Aceh) di Kampung Pande sekarang ini dengan nama
Kandang Aceh.
Berdasarkan
sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri telah ada sejak
pertengahan abad ke-IX M. Artinya, kesultanan ini telah berdiri sejak sekitar
tahun 900-an Masehi. Pada awal abad ini, Kerajaan Sriwijaya telah menjadi
sebuah kerajaan yang menguasai dan memiliki banyak daerah taklukan. Pada tahun
943 M, Kesultanan Lamuri tunduk di bawah kekuasaan Sriwijaya. Meski di bawah
kekuasaan Sriwijaya, Kesultanan Lamuri tetap mendapatkan haknya sebagai
kerajaan Islam yang berdaulat. Hanya saja, kesultanan ini memiliki kewajiban
untuk mempersembahkan upeti, memberikan bantuan jika diperlukan, dan juga
datang melapor ke Sriwijaya jika memang diperlukan.
Menurut
Prasasti Tanjore di India, pada tahun 1030 M, Kesultanan Lamuri pernah diserang
oleh Kerajaan Chola di bawah kepemimpinan Raja Rayendracoladewa I. Pada
akhirnya, Kesultanan Lamuri dapat dikalahkan oleh Kerajaan Chola, meskipun
telah memberikan perlawanan yang sangat hebat. Bukti perlawanan tersebut
mengindikasikan bahwa Kesultanan Lamuri bukan kerajaan kecil karena terbukti
sanggup memberikan perlawanan yang tangguh terhadap kerajaan besar, seperti
Kerajaan Chola.
Berdasarkan
sumber-sumber berita dari pedagang Arab, Kesultanan Lamuri merupakan tempat pertama
kali yang disinggahi oleh pedagang-pedagang dan pelaut-pelaut yang datang dari
India dan Arab. Ajaran Islam telah dibawa sekaligus oleh para pendatang
tersebut. Berdasarkan analisis W. P. Groeneveldt, pada tahun 1416 M semua
rakyat di Kesultanan Lamuri telah memeluk Islam. Menurut sebuah historiografi Hikayat
Melayu, Kesultanan Lamiri (maksudnya adalah Lamuri) merupakan daerah kedua di
Pulau Sumatera yang di islamkan oleh Syaikh Ismail sebelum ia mengislamkan
Kesultanan Samudera Pasai. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Kesultanan
Lamuri jelas merupakan salah satu kerajaan Islam di Aceh.
Menurut Hikayat
Atjeh, salah seorang sultan yang cukup terkenal di Kesultanan Lamuri adalah
Sultan Munawwar Syah. Konon, ia adalah moyang dari salah seorang sultan di Aceh
yang sangat terkenal, yaitu Sultan Iskandar Muda. Pada akhir abad ke-15, pusat
pemerintahan Kesultanan Lamuri dipindahkan ke Makota Alam (kini dinamakan Kuta
Alam, Banda Aceh) yang terletak di sisi utara Krueng Aceh. Pemindahan tersebut
dikarenakan adanya serangan dari Kerajaan Pidie dan adanya pendangkalan muara
sungai. Sejak saat itu, nama Kesultanan Lamuri dikenal dengan nama Kesultanan
Makota Alam.
Dalam
perkembangan selanjutnya, tepatnya pada tahun 1513 M, Kesultanan Lamuri beserta
denganKerajaan Pase, Daya, Lingga, Pedir (Pidie), Perlak, Benua Tamian, dan
Samudera Pasai bersatu menjadi Kesultanan Aceh Darussalam di bawah
kekuasaan Sultan Ali Mughayat Syah (1496-1528 M). Jadi, bisa dikatakan
bahwa Kesultanan Lamuri merupakan bagian dari cikal bakal berdirinya Kesultanan
Aceh Darussalam. Nama kesultanan ini berasal dari salah satu desa di Kabupaten
Aceh Besar, yang pusat pemerintahannya berada di Kampung Lamreh.
Versi
Lain
Awal mula perkembangan kerajaan Lamuri dan letak
Geografisnya.Kerajaan Lamuri juga dikenal dengan banyak nama, antara lain
adalah sebagai berikut:
1.
Indra Purba
2.
Poli
3.
Lamuri ( seperti yang
disebutkan oleh Marcopolo)
4.
Ramini/Ramni atau
Rami ( seperti yang disebutkan oleh pedagang atau ulama Arab yaitu Abu Zayd
Hasan,Sulayman ataupun Ibnu Batuthah )
5.
Lan-li, Lan-wuli dan
Nanpoli ( seperti yang disebut oleh orang Tionghoa).
Berita tentang kerajaan Lamuri
diperoleh dari suatu prasasti, yang di tulis pada masa raja Rajendra Cola I
pada tahun 1030 di Tanjore ( India Selatan ) serangan Rajendra Cola I,
mengakibatkan beberapa kerajaan di Sumatera dan semenanjung Melayu menjadi
lemah (1023/1024) dan disebutkan bahwa Rajendra Cola I mengalahkan Ilmauridacam
( Lamuri ) yang telah memberikan perlawanan yang hebat dan dapat dikalahkan
dalam suatu pertempuran habis-habisan. Penyerangan terhadap Lamuri di ujung
pulau Sumatera dilakukan karena kerajaan Lamuri merupakan bagian dari kerajaan
Sriwijaya yang sebelumnya juga mendapatkan serangan dari kerajaan Cola pada
tahun 1017 M dan tahun 1023/1024M. maka dapat disimpulkan bahwa kerajaan ini
diperkirakan sudah mulai berdiri pada abad ke IX dan sudah mempunyai angkatan
perang yang kuat dan hebat, dibuktikan ketika dengan susah payah diserang oleh
kerajaan Cola barulah dapat dikalah kan oleh prajurit kerajaan Cola. Ini
membuktikan bahwa kerajaan Lamuri adalah suatu kerajaan yang mempunyai
pemerintahan yang teratur dan kuat pada zamannya. Tentu saja untuk mengatur
pemerintahan yang teratur dan kuat angkatan perangnya Lamuri memerlukan
sumber-sumber kekayaan yang dihasilkan dari kegiatan perekonomian,pertanian dan
lain-lain.Tentang nama Lamuri diperoleh banyak versi, ada Lamuri seperti yang
disebutkan oleh Marcopolo, ada Ramini atau Ramni sebagaimana yang disebutkan
oleh orang-orang Arab, sejarah Melayu pun menyebut Lamuri dan orang-orang
Tionghoa menyebut Lan-li,Lan-wuli dan Nanpoli. Seorang saudagar Arab yang
bernama Ibnu Khurdadbah (885) menyebutkan bahwa Ramni mempunyai hasil alam
berupa kemenyan,bambu,kelapa,gula,beras,kayu cendana. Sedangkan saudagar
Sulaiman (851) ketika setelah melewati lautan India bahwa daerah yang
dikunjungi nya adalah Ramni. Abu Zayd Hasan (916) menyebut Rami,juga
menceritakan tentang hasil alam dari Rami/Lamuri yaitu kapur barus dan
kemenyan, demikian juga dengan Mas’udi (945) dia menyebut Al-Ramin, dimana
didapati tambang emas dan letaknya dekat dengan daerah Fansur/Barus yang
termasyur dengan kapurnya. Seorang muslim Parsi yang bernama Buzurg ( 955).
Tatkala menunjuk Sriwijaya menyebutkan letaknya di Selatan Lamuri. Dan menurut
Buzurg, dari pantai Barus dapat dilakukan perjalanan darat ke Lamuri.Dr.
Solomon Muller menulis berita tertentu tentang suatu kerajaan di ujung pulau
Sumatera, bersumber dari abad ke-9. dia mengutip Renaudot dalam “ Anciannes
relations des Indes et de la Chine” Paris 1718. Dalam buku ini diperkenalkan
nama dua pulau yaitu Ramni dan Fantsoer, dan diceritakan letaknya antara laut
Harkand (India) dengan laut Sjalahath ( selat Malaka) di daerah Ramni juga
terdapat binatang gajah, dan di perintah oleh berbagai kekuasaan. Sedangkan
Fansur disebut kaya dengan kapurnya dan tambang emas. Telah diceritakan tentang
Lamuri atau Lamri atau nama lain yang mirip,terletak di ujung Sumatera utara
yaitu di Aceh Besar sekarang. Dan telah diceritakan bahwa Lamuri pun ikut
terpukul oleh serangan dari Rajendra Cola I, walaupun tidak sampai runtuh pada
tahun 1023 dan 1024.
Dan kira-kira 75 tahun kemudian kerajaan Majapahit
melakukan serangan ke Sumatera, diantara yang diserang termasuk kerajaan
Samudera Pasai dan Lamuri. Sesudah serangan Majapahit, Lamuri juga pernah
didatangi oleh Laksamana Cheng Ho (1414 )Dari akibat peristiwa yang berlangsung
dalam lebih kurang tiga abad ( serangan Cola,serangan Majapahit dan akhirnya
Cheng Ho ) tentunya Lamuri pada akhirnya menjadi lemah. Timbullah di bekasnya
beberapa kampong yang akhirnya bersatu atau disatukan kembali dibawah kekuasaan
seorang raja, dan kemudian terdengarlah berbagai nama disamping akan lenyapnya
Lamuri, diantaranya Darul Kamal, Meukuta Alam, Aceh Darussalam dan juga disebut
nama Darud Dunia.Dan disekitar masa itu juga terdengar adanya kerajaan Pedir (
di Pidie ). Menurut Veltman sumber Portugis mengatakan bahwa sultan Ma’ruf Syah
Raja Pedir Syir Duli. Itu pernah menaklukkan Aceh Besar pada tahun 1497, dan
diangkatnya dua orang wakil satu di Aceh Besar dan satu lagi di Daya.Seorang
Sejarahwan yang bernama Husein Djajadiningrat mengeluarkan pendapat yang
berasal dari dua naskah hikayat tentang asal mula raja Lamuri dan raja kerajaan
Aceh Darussalam. Pertama (122) Hikayat yang dimulai asal raja Aceh ( Lamuri )
yang bernama Indra Syah ( mungkin yang dimaksud adalah Maharaja Indra Sakti ).
Dan dikatakan bahwa raja Indra Syah pernah berkunjung ke Cina. Kemudian
hikayatnya berhenti sampai disitu, dan tiba-tiba hikayat itu menceritakan Syah
Muhammad dan Syah Mahmud, dua bersaudara putera dari raja, Syah Sulaiman
kemudian mempunyai dua orang anak yaitu raja Ibrahim dan puteri Safiah.
Sedangkan Syah Mahmud setelah menikah dengan bidadari Madinai Cendara juga
mempunyai dua orang anak yaitu, raja Sulaiman dan puteri Arkiah, dan kemudian
dikisahkan juga kalau Sulaiman di nikah kan dengan sepupunya Safiah dan Ibrahim
dinikahkan dengan sepupunya yang bernama Arkiah, pernikahan ini merupakan
usulan dari kakek mereka yang bernama raja Munawar Syah.Dikatakan pula raja
Munawar Syah yang dimaksudkan memerintah di kerajaan Lamuri. Hikayat ini juga melanjutkan
cerita tentang lahirnya dua orang putera yang bernama Musaffar Syah yang
memerintah di Mekuta Alam dan Inayat Syah yang memerintah di Darul Kamal. Kedua
raja ini tidak henti-hentinya salaing berperang, peperangan tersebut kemudian
dimenangkan oleh raja Musaffar Syah yang kemudian menyatukan dinasti Meukuta
Alam dengan dinasti Darul Kamal. Dan dikatakan juga bahwa Inayat Syah berputera
Firman Syah Paduka Almarhum, kemudian Firman Syah berputera Said Al-Mukammil
yang kemudian beberapa orang anak diantara nya Paduka Syah Alam Puteri Indra
Bangsa bunda Sri Sultan perkasa Alam Johan Berdaulat ( Sultan Iskandar Muda
Meukuta Alam ). Jadi Said Al-Mukammil merupakan kakek sultan Iskandar Muda dari
sebelah ibu. Selain itu Sultan Alaidin Al-Mukammil mempunyai beberapa orang
putera, salah satunya adalah sultan Muda Ali Ri’ayat Syah (1604-1607 ), yang
merupakan paman dari Sultan Iskandar Muda.Naskah kedua (124) yang dimaksud
dalam pembicaraan Husein Djajadiningrat mengenai hikayat raja-raja Lamuri (
Aceh ), dimana hikayat ini yang dibuat silsilah berpangkal pada Sultan Johan
Syah ( mungkin maksudnya Meurah Johan atau Sultan Alauddin Johan Syah yang
merupakan putera raja Lingge, Adi Genali. Dan kemudian menikah dengan Puteri
Blieng Indra Kusuma). Berbeda dengan hikayat yang pertama,hikayat ini
menentukan hari,tanggal dan bulan tahunnya. Pada permulaan disebutkan bahwa
Johan Syah memerintah dimulai pada tahun Hijrah 601 ( atau tahun 1205 M ),
lamanya 30 tahun. Dia digantikan oleh anaknya yang tidak disebutkan namanya,
sultan kedua meninggal dan digantikan oleh anakanya yang bernama Ahmad Syah
yang memerintah selama 34 tahun 2 bulan 10 hari, hingga mangkat nya pada ( 885
Hijrah ). Kemudian kekuasaan diserahkan kepada anaknya yang bernama sultan
Muhammad Syah yang memerintah selama 43 tahun. Pada masa itu sultan Muhammad
Syah menceritakan pemindahan kota dan pembangunan kota baru yang diberi nama
Darud Dunia, sultan ini meninggal pada tahun 708 Hijrah. Berpegang pada tahun
ini maka pembangunan Darud Dunia adalah sekitar tahun 700 Hijrah atau kira-kira
tahun 1260 Masehi.Sesudah sultan Muhammad Syah meninggal, maka yang naik tahta
menjadi raja adalah Mansur Syah yang memerintah selama 56 tahun 1 bulan 23
hari. Ia kemudian digantikan oleh anakanya yang bernama raja Muhammad pada
tahun 811 Hijrah yang memerintah selama 59 tahun 4 bulan 12 hari dan meninggal
pada tahun 870 Hijrah. Raja Muhammad kemudian digantikan oleh Husein Syah
selama 31 tahun 4 bulan 2 hari untuk kemudian digantikan oleh anaknya yang
bernama sultan Ali Ri’ayat Syah yang memerintah selama 15 tahun 2 bulan 3 hari,
meninggal pada tanggal 12 Ra’jab 917 Hijrah ( atau tahun 1511 Masehi ).Atas
dasar hikayat-hikayat yang di telitinya itu, Husein Djajadiningrat telah
membuat rentetan nama raja-raja Aceh ( Lamuri ). Yang memerintah semenjak Johan
Syah (1205 Masehi ) sebagai berikut;
1.
Sultan Johan Syah
Hijrah -601-631
2.
Sultan Ahmad
-631-662
3.
Sri Sultan Muhammad
Syah, anak Sultan ke-2, berumur setahun ketikaMulai naik tahta pergi dari
Kandang Dan membangun kota Darud Dunia Hijrah -665-708
4.
Firman Syah, anak
Sultan ke-3 -708-755
5.
Mansur Syah -755-811
6.
Alauddin Johan Syah,
anak sultan ke-5,Mulanya bernama Mahmud -811-870
7.
Sultan Husin Syah
-870-901
8.
Ri’ayat Syah (
Mughayat Syah?-MS) -901-907
9.
Salahuddin,
digantikan oleh no.10 (adiknya) -917-946
10. Alau’ddin ( Alkahar?-MS) adik no.9. -946-975.
Sebagai yang dapat diperhatikan dari
ke 10 nama raja-raja diatas, tidak ada didapati nama sultan yang bernama
Musaffar Syah, tidak pula ada nama Inayat Syah dan Syamsu Syah. Padahal
nama-nama itu dapat dibuktikan adanya dari nukilan pada makam mereka yang
dijumpai kemudian.
Nama Musaffar Syah terdapat dalam naskah yang tersebut lebih dulu, sementara nama Mahmud Syah sebagai pembangun kota Darud Dunia terdapat pada naskah yang tersebut ke-2. Suatu penemuan penting adalah makam sultan Musaffar Syah, didapati tidak di Meukuta Alam, ditempat dimana dia pernah bertahta,akan tetapi disuatu kampung bernama Biluy,IX mukim,termasuk wilayah Aceh Besar juga. Pada batu nisannya ternukil tahun meninggalnya yaitu 902 Hijrah atau 1497 Masehi.
Nama Musaffar Syah terdapat dalam naskah yang tersebut lebih dulu, sementara nama Mahmud Syah sebagai pembangun kota Darud Dunia terdapat pada naskah yang tersebut ke-2. Suatu penemuan penting adalah makam sultan Musaffar Syah, didapati tidak di Meukuta Alam, ditempat dimana dia pernah bertahta,akan tetapi disuatu kampung bernama Biluy,IX mukim,termasuk wilayah Aceh Besar juga. Pada batu nisannya ternukil tahun meninggalnya yaitu 902 Hijrah atau 1497 Masehi.
Lamuri
Hingga ke Aceh Darussalam Sekitar tahun 1059-1069 Masehi, kerajaan Tiongkok
yang berada di Cina menyerang kerajaan Lamuri ( Indra Purba ), yang pada masa
itu diperintah oleh maharaja Indra Sakti yang waktu itu masih memeluk agama
Hindu. Tetapi tentara Tiongkok dapat dikalahkan oleh sebanyak 300 orang dibawah
pimpinan Syaikh Abdullah Kan’an ( bergelar Syiah Hudan,turunan Arab dari Kan’an
) dari kerajaan Peurlak. Maharaja Indra Sakti dan seluruh rakyatnya akhirnya
masuk agama Islam. Maharaja Indra Sakti mengawinkan puterinya, Puteri Blieng
Indra Kusuma dengan Meurah Johan yang ikut menyerang tentara Tiongkok, yang
merupakan putera Adi Genali atau Teungku Kawee Teupat yang menjadi raja Lingge.
Dua puluh lima tahun kemudian,maharaja Indra Sakti meninggal dunia, dan
diangkatlah menantunya Meurah Johan menjadi raja dengan gelar Sultan Alaiddin
Johan Syah, dimana kerajaan Indra Purba atau Lamuri menjadi kerajaan Islam, dan
ibu kota kerajaan dibuat yang baru yaitu di tepi sungai krueng Aceh sekarang
dan dinamai dengan Bandar Darussalam.
Pada masa sultan Alaiddin Ahmad Syah yang memerintah dari tahun 1234-1267 Masehi, baginda berhasil merebut kembali kerajaan Indra Jaya dari kekuasaan tentara Tiongkok. Pada masa Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah yang memerintah dari tahun 1267-1309 Masehi. Beliau berhasil mengislamkan daerah Indrapuri dan Indrapatra. Dan sultan Alauddin Johan Mahmud Syah juga membangun dalem atau keraton ( Istana) yang di namai dengan Darud Dunia ( Rumah dunia ). Dan mesjid raya Baiturrahman di Kutaraja ( Banda Aceh ) pada tahun 1292 Masehi. Istana adalah lambang rumah dunia,sementara mesjid adalah lambang rumah akhirat. Keseimbangan atau harmoni inilah yang menandai system nilai sosial budaya masyarakat Aceh yang terkenal sangat religius. Pada masa sultan Alaiddin Husain Syah yang memerintah dari tahun 1465-1480 Masehi, beberapa kerajaan kecil dan Pidie bersatu dengan kerajaan Lamuri yang sudah berganti nama menjadi kerajaan Darussalam, dan dalam sebuah federasi yang kemudian diberi nama kerajaan Aceh, sedangkan ibu kota kerajaan dirubah menjadi Bandar Aceh Darussalam. Pada masa sultan Alaiddin Syamsu Syah yang memerintah dari tahun 1497-1511,ia membangun istana baru yang dilengkapi dengan sebuah mesjid yang diberi nama mesjid Baiturrahman.
Pada permulaan abad ke-16,sebagian besar kerajaan Islam telah berada dibawah genggaman kekuasaan imperialisme dan kolonialisme Barat. Daratan Aceh,yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam, juga tidak terlepas dari pendudukan dan pengaruh Barat. Kekuasaan imperialisme kolonialis Barat ini bisa bertahan karena kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam di Aceh terpencar dengan sejumblah kerajaan-kerajaan kecil, diantara nya adalah sebagai berikut:
Pada masa sultan Alaiddin Ahmad Syah yang memerintah dari tahun 1234-1267 Masehi, baginda berhasil merebut kembali kerajaan Indra Jaya dari kekuasaan tentara Tiongkok. Pada masa Sultan Alauddin Johan Mahmud Syah yang memerintah dari tahun 1267-1309 Masehi. Beliau berhasil mengislamkan daerah Indrapuri dan Indrapatra. Dan sultan Alauddin Johan Mahmud Syah juga membangun dalem atau keraton ( Istana) yang di namai dengan Darud Dunia ( Rumah dunia ). Dan mesjid raya Baiturrahman di Kutaraja ( Banda Aceh ) pada tahun 1292 Masehi. Istana adalah lambang rumah dunia,sementara mesjid adalah lambang rumah akhirat. Keseimbangan atau harmoni inilah yang menandai system nilai sosial budaya masyarakat Aceh yang terkenal sangat religius. Pada masa sultan Alaiddin Husain Syah yang memerintah dari tahun 1465-1480 Masehi, beberapa kerajaan kecil dan Pidie bersatu dengan kerajaan Lamuri yang sudah berganti nama menjadi kerajaan Darussalam, dan dalam sebuah federasi yang kemudian diberi nama kerajaan Aceh, sedangkan ibu kota kerajaan dirubah menjadi Bandar Aceh Darussalam. Pada masa sultan Alaiddin Syamsu Syah yang memerintah dari tahun 1497-1511,ia membangun istana baru yang dilengkapi dengan sebuah mesjid yang diberi nama mesjid Baiturrahman.
Pada permulaan abad ke-16,sebagian besar kerajaan Islam telah berada dibawah genggaman kekuasaan imperialisme dan kolonialisme Barat. Daratan Aceh,yang terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam, juga tidak terlepas dari pendudukan dan pengaruh Barat. Kekuasaan imperialisme kolonialis Barat ini bisa bertahan karena kekuasaan yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam di Aceh terpencar dengan sejumblah kerajaan-kerajaan kecil, diantara nya adalah sebagai berikut:
ü
Kerajaan Aceh (
gabungan dari Lamuri, Meukuta Alam dan Darul Kamal ) di Aceh Besar sekarang.
ü
Kerajaan Peurlak di
Aceh Timur
ü
Kerajaan Samudera
Pasai di Aceh Utara.
ü
Kerajaan Pedir di
Pidie
ü
Kerajaan Lingge di
Aceh Tengah
ü
Kerajaan Meuruhom
Daya di Aceh Barat ( sekarang masuk wilayah Aceh Jaya)
ü
Kerajaan Benua
Teumiang di Aceh Tamiang.
Pemikiran untuk bersatu, menjadi
besar dan disegani lawan, baru muncul dari panglima angkatan perang kerajaan
Aceh pada waktu itu. Yaitu Ali Mughayat Syah (1511-1530), mengingat semakin
besarnya peran Portugis di wilayah sekitar selat Malaka. Sebagai panglima
angkatan perang kerajaan Aceh, yang juga adalah seorang putera mahkota dan anak
dari Sultan Alaiddin Syamsu Syah yang memerintah dari tahun 1497-1511 Masehi.
Ali Mughayat Syah meminta kepada ayahnya untuk meletakkan jabatan dan
menyerahkan pimpinan kerajaan kepadanya. Pada saat itu sultan Alaiddin Syamsu
Syah memang sudah cukup tua untuk memimpin perlawanan melawan Portugis, Ali
Mughayat syah menyadari untuk melawan Portugis diperlukan kekuatan yang besar,
selama kerajaan-kerajaan kecil masih tetap berdiri sendiri dan tidak bergabung
didalam suatu kekuatan kerajaan besar yang kuat dan bersatu maka tetap saja
perlawanan pun tidak memiliki banyak arti. Selain menyusun kekuatan dengan
menyatukan kerajaan-kerajaan kecil dibawah payung kerajaan Aceh, Ali Mughayat
Syah juga berpikir bahwa kerajaan juga harus memiliki angkatan darat dan laut.
Maka kemudian sultan Ali Mughayat pun mendeklarasikan berdirinya kerajaan Aceh
Darussalam hingga pada masa pemerintahan sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (
1607-1636 M). yang merupakan raja terkenal dari kerajaan Aceh Darussalam.
Semenjak itu berdirilah kerajaan Aceh Darussalam sebagai kerajaan Islam
terhebat dan terkuat di Asia Tenggara yang berdiri sejajar dengan kerajaan
Islam lainnya di dunia seperti kerajaan Turki Usmani di Turki, kerjaan Safawi
atau Ishafan di Persia dan kerajaan Mughal di India.
Versi yang lain
I.
KEBERADAAN LAMURI
Nama
Ramni (Abu Zaid Hasan), Lamuri (Prapanca), Lanpoli (Ma-Huan) dan Lambry (Tome
Pires) telah dikenal pada awal-awal penyebaran Islam dan telah tersebar sampai
ke manca negara yang disebutkan dalam catatan perjalanan bangsa-bangsa asing.
Pada masa itu keberadaan Lamuri, Ramni ataupun Lambri telah cukup
diperhitungkan mengingat hasil alamnya yang sangat penting dan menjadi mata
dagangan yang cukup laku di perdagangan internasional. Letak kerajaan seperti
tersebut di atas cukup penting yaitu berada di perairan Selat Malaka yang
merupakan pintu gerbang, penghubung dua pusat kebudayaan besar di Asia.
Mengingat peran pentingnya, sangat menarik perhatian petualang-petualang asing
yang diabadikan dalam catatan perjalanannya. Keberadaan Lamuri, Lambri, atau
yang disebut Ramni pada masa itu dapat disejajarkan dengan bandar-bandar
perdagangan terkenal lainnya di Asia Tenggara seperti Barus, Kota Cina, Kampei
di Sumatera Utara, Pasai, Singkil di NAD, Tumasik (Singapura), Malaka, dan lain
sebagainya.
Informasi
awal tentang keberadaan Lamuri dapat dijumpai pada catatan Cina, oleh seorang
perantau Muslim, Ma-Huan dalam bukunya Ying-yai
Sheng-lan disebutkan
terdapat nama Lam-Poli. De Casparis menyatakan nama Poli dapat disamakan dengan Puri,
lengkapnya Lam-Poli atau Lam-puri—Dalam-Puri
— Lamri, namun sampai sejauh mana persamaan Poli dengan Lamuri belum dapat
dipastikan. Dalam catatan lain yang berasal dari tahun 960 M, tersebut nama
Lanli sebagai sebuah tempat persinggahan utusan-utusan dari Parsi saat kembali
dari Cina setelah menempuh perjalanan selama 40 hari menunggu musim yang baik
untuk melanjutkan perjalanan pulang ke negerinya (Montana, 1996/1997:84).
Dari masa yang lebih muda keberadaan
Lamuri disebutkan dalam Negarakertagama. Disebutkan bahwa Lamuri, merupakan
sebuah negeri yang takluk kepada kerajaan Majapahit. Muhammad Said dalam
bukunya yang berjudul Aceh Sepanjang Abad menyebutkan tentang Lamuri dalam
prasasti Tanjore (1030). Dalam prasasti tersebut disebutkan berita tentang ekspedisi
Rajendracola I dari India; Ilamuridecam
merupakan daerah taklukan Sriwijaya yang berhasil ditaklukkan Rajendracola pada
tahun 1024 M (Nilakantasastri,1940).
Edwards Mc. Kinnon menulis tentang
kepopuleran Lambri, yang terletak di ujung utara Aceh. Mengutip dari berbagai
tulisan tentang Lambri, ia menyebutkan bahwa pada tahun 916 M Lambri telah
disebut oleh Abu Zaid Hasan sebagai Rami/Ramni. Kepopuleran Ramni banyak
diperbincangkan oleh para ahli, termasuk Tome Pires dalam bukunya “The Suma
Oriental of Tome Pires”. Berdasarkan temuan arkeolgis berupa keramik Cina dan
studi geologi, Mc. Kinnon berkesimpulan bahwa Lambri terletak di Lambaro, di
daratan Kuala Pancu, berdekatan dengan Lhok Lambaro. Dari Lambaro inilah Mc.
Kinnon menduga terjadi pergeseran ucapan menjadi Lambri (Kinnon,1998:102-121).
Codier yang mengutip pandangan
Groeneveldt, berpendapat bahwa Lambry dekat dengan Aceh. Selanjutnya Codier
memperkirakan Lambry terletak di suatu tempat yang bernama Lamreh dekat dengan
Tungkup. Pendapat Codier ini kemungkinan lebih tepat, mengingat dalam
bahasa-bahasa nusantara, vokal i dan e lebih mungkin mengalami pergeseran
artikulasi, demikian juga dengan vokal u dan o,
sehinggga ucapan Lamreh lebih mungkin bergeser menjadi Lamri, Lamuri ataupun
Lambri (Montana,1996/1997:85).
II.
Beberapa tinggalan arkeologis di Lamreh
Dari catatan lain disebutkan, bahwa
“penduduk Nan-wu-li sebagian berdiam di bukit-bukit dan jumlah mereka sedikit”.
Hal ini menunjukkan bahwa Lamri tidaklah terletak di lembah Aceh, tetapi pada
sejalur pantai kecil yang diperkirakan berada di daerah sekitar Krueng Raya.
Meskipun pusat kerajaannya sempit namun wilayah kekuasaannya meluas sampai ke
sebagian lembah Aceh (Iskandar,1973: 28-30). Beberapa tinggalan arkeologis
sampai saat ini masih dapat kita temukan di sekitar Krueng Raya.
Tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut tampak cukup megah di sepanjang daratan
sempit di daerah yang saat ini disebut Lamreh. Tinggalan-tinggalan tersebut di
antaranya adalah beberapa buah bangunan benteng, kompleks pemakaman dan adanya
jejak bekas hunian, yang ditandai dengan adanya sebaran keramik. Beberapa
tinggalan arkeologis tersebut di antaranya adalah;
1.
Benteng Indrapatra
Benteng ini diperkirakan telah
beralih fungsi. Beberapa ahli berpendapat bahwa bangunan tersebut mengalami
perubahan fungsi hingga menjadi seperti yang ada sekarang ini. Pendapat
tersebut didasarkan pada analisis data bangunan. Di beberapa bagian bangunan
masih dijumpai motif-motif bangunan bercirikan pra-Islam. Menurut beberapa
sumber bangunan ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Hindu di Aceh
yang dibangun oleh Putera Raja Harsya (keluarga raja Hindu di India) yang
melarikan diri akibat serangan Bangsa Huna pada tahun 604 M. Latar belakang
sejarah mengenai Benteng Indrapatra masih harus ditelusuri lebih jauh.
Selanjutnya, pada masa pemerintahan
Sultan Ali Riayat Syah IV (1604 M -1607 M) Kerajaan Aceh sedang mengalami
ketidakstabilan. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Portugis untuk menyusun kekuatan
di Benteng Kuta Lubuk. Pada masa itu muncullah Perkasa Alam (Iskandar Muda)
keponakan dari Sultan Ali Riayat Syah IV. Penyerangan Iskandar Muda,
mendatangkan kemenangan bagi Kerajaan Aceh dan orang-orang Portugis berhasil
diusir dari Benteng Kuta Lubuk.
Saat Sultan Ali Riayat Syah mangkat,
Iskandar Muda naik takhta. Di masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, kerajaan
Aceh diperkuat dengan mendirikan benteng-benteng pertahanan di sepanjang pantai
Selat Malaka, kemungkinan salah satunya adalah dibangunnya Benteng Iskandar
Muda.
Sejarah penemuan benteng Kuta Lubuk
disebutkan oleh Frederick de
Houtman. Dijelaskan bahwa benteng tersebut dibangun oleh orang Portugis
yang datang tanggal 15 November 1600 M, sebagai markas orang-orang Portugis
untuk berdagang di Aceh disaat hubungan Kerajaan Aceh dengan Portugis terjalin
dengan baik (Said,1961:257-330 ).
Dalam buku Tarich Aceh dan Nusantara, terdapat catatan
mengenai Sultan Ala Addin Muhammad Syah yang memerintah tahun 1787-1795 M.
Dalam suasana damai itu orang-orang Portugis yang mendapat izin berdagang, juga
sekaligus mendapat izin dari sultan untuk membangun benteng di Kuta Lubuk.
2. Benteng Inong Balee
Benteng ini sering juga disebut sebagai
Benteng Malahayati, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah
Almukammil (1589-1604 M). Bangunan ini merupakan benteng pertahanan sekaligus
asrama penampungan janda-janda yang suaminya gugur dalam pertempuran. Selain
itu juga digunakan sebagai sarana pemenuhan konsumsi laskar angkatan perang
pimpinan Laksamana Malahayati.
3. Nisan Plakpling
Desa Lamreh terletak di Kecamatan
Mesjid Raya, Kabupatan Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Di desa
ini, tepatnya berada ketinggian bukit antara Benteng Kuta Lubuk, dengan Benteng
Inong Balee terdapat beberapa buah nisan yang memiliki bentuk unik. Batu nisan
tersebut secara umum berbentuk batu tegak atau tugu persegi empat yang makin
keatas makin meruncing, membentuk piramida. Berdasarkan informasi penduduk,
batu nisan tersebut dinamakan nisan Plakpling.
Batu-batu nisan tersebut kemungkinan merupakan bentuk peralihan dari masa pra
Islam ke Islam. Beberapa peneliti sependapat bahwa nisan-nisan tersebut
digunakan pada makam orang-orang ternama atau ulama Aceh yang berasal dari abad
ke-16 atau lebih awal dari itu (Montana,1996/1997:90).
Bentuk nisan ini cukup unik karena menyerupai lingga ataupun menhir. Nisan-nisan tersebut
memiliki bentuk yang bersumber pada tradisi sebelumnya, prasejarah dan klasik.
Nisan tersebut dilengkapi dengan pola hias, berupa pahatan flora, geometris
atau kaligrafi. Nisan-nisan tersebut meniru/menyerupai bentuk menhir atau
lingga yang sangat umum dipakai pada masa prasejarah dan masa
klasik/Hindu-Buddha.
Nisan 1
Terletak di dalam Benteng Kuta Lubuk.
Nisan berukuran tinggi sekitar 80 cm. Berbentuk persegi empat berukuran lebar
20 cm, semakin ke atas semakin mengecil (piramid). Tiap sisi terdapat panil
yang berisi hiasan berupa kaligrafi maupun motif sulur.
Nisan 2
Di bagian atas terdapat panil berukir
motif flora. Bagian atap/kepala
berbentuk oval, horisontal.
berbentuk oval, horisontal.
Nisan 3
Terbuat dari jenis batuan andesit
(batu Kali), dengan motif sangat menarik. Tinggi keseluruhan nisan diperkirakan
sekitar 85 cm. Bagian dasar berukuran lebar sekitar 20 cm. pada tiap-tiap sisi
terdapat panil-panil dengan kaligrafi. Bagian atas dihiasi dengan ukiran
dengan motif bunga kerawang (tembus). Kepala berbentuk bawang.
Nisan 4
Berbahan dasar batuan andesit (batu kali). Sisi-sisinya berukuran
lebar 20 cm. Terdapat panil di tiap sisi, dengan ukiran bermotif tanjung/lotus
atau bunga teratai yang sedang mekar, dua sisi lainnya dihiasi dengan motif
lotus yang sedang kuncup.
Nisan 5
Berbahan batuan kapur, berwarna putih kekuningan. Terdapat
panil di keempat sisinya yang berisi kaligrafi dalam kondisi aus. Bagian atas
terdapat panil yang berhiaskan sulur-suluran sampai ke bagian atas. Bagian atas
berbentuk bawang, semakin ke atas makin mengecil.
III.
Pembahasan
Kebesaran Lamuri (kini disebut Lamreh) ditandai dengan
keberadaan bangunan-bangunan benteng diperkirakan merupakan perkembangan
selanjutnya atau bahkan bersamaan dengan keberadaan makam-makam tersebut.
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa bangunan-bangunan pertahanan yang ada
merupakan peralihan fungsi dari bentuk yang ada sebelumnya, sehingga dapat
disimpulkan bahwa jauh sebelumnya, setidaknya telah ada suatu pemukiman yang
cukup maju. Pembangunan bangunan-bangunan pertahanan tidak berhenti sampai
disitu. Pada masa belakangan, disaat kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat
Syah pada sekitar tahun 1604 M terdapat pembangunan benteng yang dilakukan oleh
Portugis di Kuta Lubuk, hal ini sangat kontradiktif dengan kenyataan bahwa di
dalam benteng tersebut di temukan makam dengan nisan bertipe plakpling yang dibaca oleh Suwedi Montana, yang
menunjukkan angka tahun yang jauh lebih tua daripada pembangunan pembangunan
benteng tersebut. Pembacaan yang dilakukan oleh Suwedi Montana terhadap salah
satu nisan adalah sebagai berikut:
assulthan Sulaiman bin Abdullah bin
al Basyir Tsamaniata wa sita mi’ah 680 H
( 1211 M) Suwedi Montana menyebutkan,
apabila kematian Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al Basyir adalah pada tahun
680 H (1211 M), berarti jauh sebelum itu di Lamreh, lokasi benteng Kutha Lubuk,
sudah berkembang Agama Islam. Hal ini diketahui dari nama ayah dan kakek Sultan
Sulaiman (Abdullah bin Basyir) yang berbau Islam (Montana,1997:87).
Pertanggalan tersebut menunjukkan umur yang lebih tua dibandingkan dengan nisan
Sultan Malik as-Shaleh di Samudera Pasai -yang berangka tahun 696 H (1297 M)-
yang dikenal sebagai daerah asal mula penyebaran Islam. Yang menjadi pertanyaan
adalah, apabila bangunan benteng tersebut dibangun pada masa belakangan oleh
Portugis, untuk apa keberadaan makam tersebut terawetkan di dalam lokasi
benteng ?, yang notabene merupakan makam-makam Sultan yang merupakan lawan
politiknya. Namun seperti kita ketahui bahwa bangunan benteng tersebut sangat
kental dengan unsur barat yaitu dengan adanya bastion di sudutnya. Saat
kekuasaan dipegang oleh Sultan Iskandar Muda, pembangunan benteng-benteng pertahanan
digalakkan kembali untuk menjaga stabilitas dalam negeri dari ancaman bangsa
lain. Hal itu ditandai dengan pembangunan Benteng Iskandar Muda dan Benteng
Inong Bale.
Nisan bertipe plakpling, di Lamreh
menunjukkan bahwa di daerah tersebut terdapat komunitas yang telah memeluk
Islam sebelum Samudera Pasai, yang ditandai dengan keberadaan nisan atasnama
Sultan Sulaiman, yaitu di dalam Benteng Kuta Lubuk. Tipe-tipe nisan sejenis
terdapat di atas bukit berdekatan dengan Benteng Inong Bale. Pembacaan sekilas
menunjukkan nisan tersebut juga cukup tua. Beberapa bangunan pertahanan
kemungkinan melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya, yaitu melengkapi
pemukimannya dengan bangunan-bangunan pertahanan. Sayang sekali tidak ada
penelitian yang secara khusus mengungkap keberadaan bangunan-bangunan benteng
di daerah tersebut.
Nisan tipe plakpling merupakan nisan-nisan tipe peralihan,
pra-Islam ke Islam. Batu nisan tipe ini berbentuk sederhana, sebelum dipakainya
batu nisan yang disebut “Batu Aceh”, (nisan tipe Aceh). Batu-batu ini umumnya
memiliki gaya sederhana namun diberi hiasan berupa relief dan/atau inskripsi
(kaligrafi). Nisan tipe ini merupakan awal perkembangan, melanjutkan tradisi
yang telah ada sebelumnya. Bentuk nisan ini mengadopsi bentuk-bentuk phallus/lingga, meru danmenhir dengan hiasan-hiasan yang disesuaikan.
Tipe nisan seperti ini memiliki persamaan dengan tinggalan arkeologis lain yang
berasal dari masa yang lebih tua, megalithik, yang dikenal sebagai menhir
(Ambary,1991:1–21). Tipe-tipe nisan tersebut di atas, menunjukkan pengaruh yang
sangat kental dari tradisi-tradisi megalithis dan Hinduistis. Adapun
bentuk-bentuk motif hiasan yang dipakai kemungkinan merupakan perpaduan dari
budaya tersebut.
Ambary menyebutkan, salah satu penyebab munculnya nisan
tipe-tipe lokal (plakpling) adalah
karena latar belakang sejarah budaya nusantara yang permisive terhadap anasir yang datang dari luar.
Kreativitas mengubah dan menggubah anasir asing menjadi anasir nusantara
merupakan strategi adaptasi. Corak lokal merupakan wujud dari kebebasan seniman
ataupun model yang berkembang dalam mengekspresikan cita rasa keseniannya.
Perkembangan bentuk dari yang sederhana sampai pada yang rumit adalah sebagai
respon dari pengetahuan, teknologi yang mereka peroleh (Ambary,1991:1–21).
Nisan plakpling terdapat hampir diseluruh wilayah
Aceh, dengan populasi terbanyak di Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Menilik
bentuk dari nisan-nisan tipe ini, kemungkinan nisan ini merupakan tipe nisan
yang dipakai berkelanjutan, mulai dari masa-masa awal kedatangan Islam sampai
pada beberapa abad sesudahnya. Nisan tipe ini masih digunakan berdampingan
dengan periode sesudahnya, walaupun pada masa itu telah terjadi perubahan trend tipe nisan, yaitu nisan tipe
Gujarat atau tipe-tipe “Batu Aceh” lainnya.
https://azharnasri.blogspot.co.id/kerajaan-lamuri-atjeh-kerajaan-yang.html
Jejak Kerajaan Lamuri di Lamreh Aceh Besar, Lintas Peradaban dari Prasejarah, Hindu, Hingga Islam
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Terletak di atas ketinggian 40 meter dari permukaan laut, area seluas hampir 200 hektare itu ditumbuhi pepohonan liar.
Butuh tenaga ekstra untuk menjangkaunya. Kontur tanahnya berbukit
bercampur bebatuan karst. Di beberapa titik, untuk mencapai puncak
harus menyusuri dinding tebing yang curam dan terjal.
Dari atas ketinggian bukit inilah mata bebas memandang hamparan
biru Selat Malaka. Bila menghadap ke utara, kapal-kapal nelayan terlihat
melintas dari kejauhan.
“Strategis dan taktis. Setiap musuh yang datang dapat terdeteksi
sebelum mereka sampai ke darat,” kata Arkeolog dari Universitas Syiah
Kuala, Dr Husaini Ibrahim MA kepada Serambinews.com.
Pada pertengahan abad 13 Masehi, kawasan ini menjadi pusat kerajaan
terbesar di Aceh. Berbagai catatan sejarah menyebutnya dengan nama
Kerajaan Lamuri.
Lamuri merupakan cikal-bakal lahirnya Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan salah satu dari kerajaan terbesar di dunia.
Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M).
Saat itu Aceh menjadi pusat perdagangan Asia Tenggara dan memiliki
hubungan diplomatik dengan Dinasti Usmani di Turki, Inggris, dan
Belanda.
Jauh sebelumnya, sekitar abad 13 Masehi, Kerajaan Lamuri sudah
eksis menunjukkan perannya sebagai sebuah kerajaan besar. Lamuri pada
masanya merupakan satu Kota Bandar (pelabuhan) yang maju.
Dari catatan sejarah dan artefak yang ditemukan, berupa nisan dan
keramik yang bertebaran di lokasi, makin menguatkan Lamuri sebagai pusat
penyebaran agama Islam dan perdagangan segi tiga emas bersama dua
kerajaan lainnya; Kerajaan Barus dan Samudra Pase.
Peninggalan arkeologis Situs Lamuri, Bukit Lamreh, Aceh Besar yang ditemukan di kawasan itu tampak memprihatinkan.
Di antaranya terlihat di benteng Indrapatra, Benteng Inong Balee,
dan Benteng Kuta Luboek. Khusus Benteng Kuta Luboek, yang berada dalam
kompleks Kerajaan Lamuri, kondisinya sungguh miris.
Sebagian besar batu pondasi bekas dinding benteng ditemukan runtuh
berserakan. Sampai kini, Benteng Kuta Luboek diketahui tidak termasuk
dalam situs cagar budaya yang dilindungi.
Para peneliti menyebutkan, batu nisan yang ditemukan di bekas
Kerajaan Lamuri berjenis plak pling, terbuat dari batuan pasir (sand
stone) dan andesit (batu kali).
Batu nisan ini berbentuk tegak persegi empat, makin ke atas
bentuknya makin runcing. Pada beberapa sisinya, terdapat ukiran bermotif
bunga kerawang dan kaligrafi.
Nisan plak pling merupakan nisan peralihan dari zaman prasejarah ke
Islam. Nisan ini digunakan pada makam penguasa atau ulama sekitar abad
12 Masehi.
Di atasnya tertulis mutiara hikmah berisi pesan kepada yang masih hidup.
“Batu nisan plak pling ini juga ditemukan di Gampong
Pande, Banda Aceh. Ini menunjukkan hubungan kuat antara Lamuri dengan
Kesultanan Aceh Darussalam. Pada saat ibu kota kerajaan Lamuri
dipindahkan dari Lamreh ke Gampong Pande setelah mendapat banyak
serangan musuh. Saat itu Sultan Johansyah dilantik di Gampong Pande
sebagai Sultan pada tahun 1205 Masehi,” ujar Husaini yang juga Kepala
Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala
(PPISB-Unsyiah).
Menurut Husaini, Kerajaan Lamuri memiliki kandungan sejarah penting
karena berada dalam tiga peradaban mulai prasejarah, Hindu/Budha dan
masuknya pengaruh Islam.
Berbagai peninggalan arkeologis dari tiga zaman ini diperkirakan
masih terkubur dan tersimpan dalam area situs seluas 200 hektare itu.
Menuju lokasi
Terletak di Bukit Lamreh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, 30 km dari Banda Aceh, nama Lamuri menjadi topik hangat media massa sejak 2014 lalu.
Pemkab Aceh Besar berencana menjual situs bersejarah ini kepada investor Cina untuk pembangunan lapangan golf.
Namun aktivis LSM pemerhati sejarah menentangnya kala itu.
Wilayah kekuasaan Kerajaan Lamuri dilihat dari penampakan peta
menyerupai paruh burung, di mana bagian tengah berada di atas perbukitan
menjorok ke laut, sehingga membentuk tanjung diapit dua teluk; Teluk
Krueng Raya dan Teluk Lamreh.
Jika berangkat dari Kota Banda Aceh memakan sekitar 1,5 jam
berkendara. Mengambil arah ke Darussalam, setiba di Simpang Mesra
berbelok ke arah Krueng Raya, lurus saja hingga melewati Pelabuhan
Malahayati.
Letaknya mudah ditandai dengan keberadaan bebukitan yang mengapit kedua sisi jalan.
Bebukitan gersang dengan pohon cendana yang tumbuh di kaki bukit
dan menjulang satu-satu di puncaknya. Selat Malaka yang membiru
membentang menjilati sepanjang kaki Bukit Lamreh.
Berkunjung kemari anda akan merasakan pengalaman berwisata sejarah sekaligus suguhan panorama yang menakjubkan.
http://aceh.tribunnews.com/jejak-kerajaan-lamuri-di-lamreh-aceh-besar-lintas-peradaban-dari-prasejarah-hindu-hingga-islam
Komentar
Posting Komentar