Kesultanan Daya dan Kuntu Aceh
Kesultanan kuntu
== Kesultanan Kuntu Kampar di Minangkabau Timur 1301 – 1339 ==
Penjelasan Daerah
Yang dimaksud dengan daerah “Kuntu Kampar di “Minangkabau Timur”, adalah : Daerah hulu dari daerah aliran Sungai Kampar Kiri dan Kanan. Di daerah itulah sekarang terletak kota dan kampung sebagai berikut : Payakumbuh, Suliki, Bangkinang, Temuan Kampar, Pelalawan, dan Kuntu Daerah itu terletak terbuka ke Selat Malacca, tanpa dirintangi oleh pegunungan. Walaupun berpenduduk Minangkabau, akan tetapi daerah itu seolah-olah tidak mengagagap sebagai bagian dari minangkabau tengah yang berpusat di sekeliling gunung kembar Merapi dan Singgalang yang secara Geopolitic sama seperti daerah Simalungun yang berpenduduk Batak, akan tetapi seolah-olah tidak mengagagap sebagai bagian dari Tanah Batak tengah/induk , yang berpusat di sekeliling Danau Toba. walaupun secara Geopolotic sama dan perkembangan parallel
===
Daerah Penghasilan Merica yang terpenting di seluruh dunia ===
Daerah Penghasilan Merica yang terpenting di seluruh dunia ===
Daerah-daerah produksi merica yang terpenting di seluruh dunia, adalah berturut-turut sebagai berikut : 1. 500 – 1000 : Daerah Sungaidareh Batanghari di Jambi.
2. 1000 – 1400 : Daerah Kuntu Kampar di Minangkabau Timur.
3. 1400 – 1600 : Daerah Minangkabau tengah, di sekitar gunung-kembar Merapi Singgalang.
4. 1600 – 1800 : Daerah Aceh Barat.
5. 1800 – Kini : Daerah Lampung dan Pulau Bangka.
Akibatnya : pasang surutnya kerajaan
Dinasti Iskandar Zulkarnain di Minangkabau
Pada tahun 1921, Resident Westenenk menyelesaikan tulisannya yang tidak untuk umum dan yang bernama : De Hindu Javanen In Midden En Zuid Sumatra. Dia mencapai kesimpulan bahwa : 1. Akhir Abad Ke-XIII : Agama Hindu Jawa datang di Minangkabau. 2. Medio Abad Ke-XIV : Masa jaya dari Kerajaan Pagarruyung Minangkabau dibawah Raja Adityawarman. 3. Permulaan Abad Ke- XVI : Agama Islam masuk di Minangkabau. 4. Sejak Medio Abad Ke- XVI : Yangdipertuan Raja Alam Pagarruyung Minangkabau, semuanya ber-Agama Islam.
Akan tetapi : Di Minangkabau Timur ada kuburan-kuburan Islam, yang bertahun Hijriah, dan yang bertanggal dari sebelum 1300 Masehi. Membenarkan cerita-cerita Sultan (Radja Islam) para keturunan dari Iskandar Zulkarnain, yang katanya memerintah di Alam Minangkabau sebelum Radja Pagarruyung yang ber-Agama Hindu Djawa. Artinya : Sebelum masa jaya dari Keradjaan Modjopahit di Pulau Djawa, yang mendirikan Keradjaan Pagarruyung di Pulau Andalas, sebelum tahun 1350. Sedangkan Iskandar Zulkarnain adalah Alexander The Great, yang memerintah 336 – 323 Sebelum masehi, Raja Yunani macedonia yang merebut Persia, Gandara, Gudjarat. Tidak pernah merebut Alam Minangkabau !! Bikin binggung Resident Westenenk. “Geen touw aan vast te knoopen”, begitulah dia berpendapatan. Resident Westenenk contacted teman sejawatnya Resident Poortman nearby di Djambi, yang sedang asyik melakukan Fieldwork Fact Finding perihal “Pamalayu Expedition”. Tentara Singosari 1275 – 1292 merebut Darmasraya Djambi.
Resident Poortman kebetulan sekali sudah terlebih dahulu menemukan di dalam tulisan-tulisan peninggalan Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty (976 – 1168), bahwa : Di jazirah Gudjarat India, hampir semuanya orang Islam Mazhab Sji’ah claimed to be descendants of Alexander The Great, yang disitu disebutkan “Iskandar Zulkarnain”. Eureka !! Resident Poortman segera mencurigai orang-orang Cambay Gudjarat, yang sebelum 1350 datang berdagang ke Minangkabau dan disitu menjadi origin dari Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty.
Resident Poortman kemudian bertahun-tahun lamanya doggedly melakukan pekerjaan “Detective Sejarah”, scrutinizing tulisan peninggalan Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty, Kesultanan Mesir Mamaluk Dynasty, Kesultanan Aru Barumun, Kesultanan Allahad India (yang menguasai jazirah Gudjarat sesudah Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty dan sebelum Kesultanan Dehli India, Tiongkok Yuang Dynasty, Tiongkok Ming Dynasty, dan entah mana lagi. Disamping itu Resident Poortman berjalan kaki melakukan Fieldwork Fact Finding di daerah hulu dari Sungai Batanghari, Kuantan, dan Kampar, daerah-daerah yang oleh Resident Westenenk disebutkan : “Waarmensch en tijger buren zijn”. Jelasnya : Lebih banyak macam daripada manusia.
Hasilnya sangat mengagumkan, perihal : Sultan Djohan Djani The Sophisticated Buccaneer, dan perihal : Sultan Malik Ul Mansur The History Corruptor. Lebih phantastic daripada fiction !!
====
Sultan Djohan Djani The Spohisticated Buccaneer ==== Sultan Djohan Djani lahir di Combay Gudjarat. Ayahnya orang Persia, ibunya orang Punjabi. Berdua sudah turun temurun ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah. Berdua katanya tentulah keturunan dari Iskandar Zulkarnain !! Sedangkan setiap pengemis pun di jazirah Gudjarat katanya keturunan dari Iskandar Zulkarnain, the sexual King Kong yang 1.500 tahun sebelumnya very active membikin puas, bangga dan pregnant, entah ribuan wanita Persia, Punjabi dan Gudjarat. Di daerah-daerah tersebut itu, berjuta-juta banyaknya orang-orang yang katanya keturunan dari Iskandar Zulkarnain The Prolific.
Sultan Djohan Djani The Spohisticated Buccaneer ==== Sultan Djohan Djani lahir di Combay Gudjarat. Ayahnya orang Persia, ibunya orang Punjabi. Berdua sudah turun temurun ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah. Berdua katanya tentulah keturunan dari Iskandar Zulkarnain !! Sedangkan setiap pengemis pun di jazirah Gudjarat katanya keturunan dari Iskandar Zulkarnain, the sexual King Kong yang 1.500 tahun sebelumnya very active membikin puas, bangga dan pregnant, entah ribuan wanita Persia, Punjabi dan Gudjarat. Di daerah-daerah tersebut itu, berjuta-juta banyaknya orang-orang yang katanya keturunan dari Iskandar Zulkarnain The Prolific.
Djohan Djani menjadi pelaut di Cambay Gudjatat, dengan kapal-kapal dagang turut belajar antara Zanzibar dan Daya Pasai. Djohan Djani naik manjadi Captain Kapal Peran di Kesjahbandaran Daya Pasai. Disitu 1168 – 1204 memerintah Laksamana Kafrawi Al Kamil, lepas dari Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty yang sudah musnah. Captain Djohan Djani mengkhianat terhadap Laksamana Kafrawi Al Kamil yang sudah tua. Captain Djohan Djoni self-made menjadi Laksamana Djohan Djani, buccaneer (bajak laut) di Pulau Weh.
Di muara Sungai Atjeh sudah terlebih dahulu bersarang seorang bekas bawahan dari Laksamana Kafrawi Al Kamil, yang juga sudah menjadi buccaneer, yakni : Laksamana Djohan Ramni. Terjadilah rebut-rebutan kuasa dan war-loot antara dua orang Laksamana yang berdua pula bernama “Djohan”. Very confusing. Laksamana yang berdua pula bernama “Djohan”. Very confusing. Laksamana Djohan Djoni got the luminous idea, bahwa : Dia lebih mudah menyerang growing old Laksamana Kafrawi Al Kamil dan menguasai daerah muara Sungai Pasai daripada : Dia terpaksa terus menerus bertahan terhadap serangan dari Laksamana Djohan Ramni dari muara Sungai Atjeh.
Pada tahun 602 H (1204 M), Laksamana Djohan Djani merebut daerah sekitar muara Sungai Pasai. Laksamana Kafrawi Al Kamil mati dibunuh. Laksamana Djohan Djani self-made menjadi Sultan Daya Pasai Jang Pertama. Disitulah pertama kali seorang yang katanya keturunan dari Iskandar Zulkarnain, menjadi Sultan (Radja yang Islam) di Kepulauan Nusantara.
Pandai Resident Poortman !! Di Tulisan tangan yang ada di perpustakaan “Adjaib Ghur” (museum di Lahore), dia di dalam tulisan peninggalan Kesultanan Allahabad “menemukan” Sultan Daya Pasai Jang Pertama. Resident Westenenk menentang Resident Poortman, membuktikan : Cara bagaimanakah “Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty”, dari Daya Pasai masuk di pedalaman Minangkabau ?? Begitu jauh dari laut. Notabene sebelum Tentara Modjopahit dibawah Adityawarman mendirikan Keradjaan Pagarruyung !! Sambil tackling challenge tersebut itu, Resident Poortman accidentally stumbled upon Kesultanan Kunta Kumpar (1301 – 1339) di Minangkabau Timur !! Sama saja seperti Herr Professor Doctor Sigmund Freud di Wina Austria, yang menyelidiki “The Interpretations Of Dreams” dan accidentally stumbled upon “Psycho Analyse Of Minority Complexes”.
====
Daerah Muara Sungai Pasai Diperebutkan ==== Daerah muara Sungai Pasai, terletak di tepi Selat Malacca di muara sungai yang terbesar di Pantai Utara Atjeh, geopolitic sangat penting menguasai single exit entrance dari spices producing Kepulauan Nusantara. Terutama menguasi Flow Of Goods aliran dagang Meritja antara pepper producing Pulau Andalas dan pepper upgrading Semenandjung Gudjarat India. Seperti kini Singapore terhadap rubber.
Daerah Muara Sungai Pasai Diperebutkan ==== Daerah muara Sungai Pasai, terletak di tepi Selat Malacca di muara sungai yang terbesar di Pantai Utara Atjeh, geopolitic sangat penting menguasai single exit entrance dari spices producing Kepulauan Nusantara. Terutama menguasi Flow Of Goods aliran dagang Meritja antara pepper producing Pulau Andalas dan pepper upgrading Semenandjung Gudjarat India. Seperti kini Singapore terhadap rubber.
1. 500 – 1100 : Keradjaan Poli.
Ber-Agama Buddha Hinayana, seperti the contemporary Keradjaan Sri Widjaja Djambi. Sangat banyak disinggahi oleh Chinese pilgrims yang pergi ziarah ke Nalanda India.
2. 1128 – 1204 : Kesjahbandaran Daya Pasai
Sesuatu Satelite State bawahan Kesultanan Mesir Fathimyah Dynasty. Ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah. Kesultanan Mesir Fathimyah Dynasty menjadi kaya raya, karena di Daya Pasai dan di Cambay Gudjarat menguasai Flow Of Goods Dagang Meritja, yang berasal dari daerah Kuntu Kampar di Minangkabau Timur.
3. 1204 – 1285 : Kesultanan Daya Pasai
Itulah Kesultanan (Keradjaan Islam) yang pertama sangat kuat di bidang maritim di Kepulauan Nusantara. Tidak bersifat Nasional Indonesia, karena didirikan oleh orang-orang Cambay Gudjarat. Walaupun ber-Agama Islam (Mazhab Sji’ah), akan tetapi : merupakan Penjajahan asing yang menindas penduduk asli Indonesia. Kesultanan Daya Pasai tidak pula merupakan sesuatu Hereditary Monarchy yang teratur. Akan tetapi : Bersifat Feodal Maritim Oligarchy, seperti : Athena, Venezia, Zanzibar dan entah ada lagi di dalam sejarah dunia. Sultan Daya Pasai satu kali pun tidak pernah digantikan oleh Putranya. Akan tetapi : Senantiasa Laksamana serta Sjahbandar di dalam Daya Pasai Realm, rebutan menjadi Sultan. Terutama Laksamana yang berkedudukan Sjahbandar di Perlak Tamiang, Bandar Kalipah, Aru Barumun dan Bandar Atjeh. The short-lived Daya Pasai Sultanate tetap in turmoil succession wars.
4. 1285 : Berakhirnya Kesultanan Daya Pasai
Sultan Daya Pasai Jang Kelima (Sultan Ibrahim Djani), adalah Cucu dari Sultan Daya Pasai Jang Pertama (Sultan Djohan Djani). Sultan Daya Pasai Jang Keenam dan yang terakhir (Sultan Bahaudin Al Kamil, bekas Sjahbandar di Bandar Kalipah), adalah Cucu dari Sultan Daya Pasai Jang Ketiga (Sultan Alwi Al Kamil.
Laksamana Muhammad Amin (Sjahbandar Perlak) serta Laksamana Jusuf Kayamudin (Sjahbandar Tamiang, yang kedua sangat bermusuhan, masing-masing pula menyerang Sultan Bahaudin Al Kamil di Daya Pasai karena, berdua mereka ingin menjadi Sultan Daya Pasai Jang Ketudjuh. Very complicated.
Lebih complicated lagi, karena : Islamised orang-orang Batak Gajo dari Nagur di pedalaman Atjeh, dibawah pimpinan Marah Silu alias Iskandar Malik dari darat menyerang pula ke Daya Pasai. Menyerang sarang dari penjajahan asing oleh orang-orang Cambay Gudjarat di muara Sungai Pasai
menjadi orang Babilonia memang kompleks karena perdagangan merica merupakan bisnis besar di masa itu yanag berasa di Muara Sungai Pasai . Ada dua armada asing yang turut campur bermain saat itu depan muara Sungai Pasai, yakni :
A. Armada Kesultanan Mesir Dinasati Mamaluk
Kesultanan Mesir Mamaluk Dynasty (yang ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i) menganggap Kesultanan Daya Pasai selaku sesuatu unwanted continuation dari Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty, yang ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah pula. Armada Mesir Mamaluk Dynasty dibawah commando Laksamana Ismail As Siddik, diperintahkan : Menghancurkan Kesultanan yang ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah yang di muara Sungai Pasai, dan : Disitu mendirikan sesuatu Kesultanan yang baru yang ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i. Tegasnya : Kesultanan Mesir Mamaluk Dynasty ingin merebut Monopoly Dagang Meritja, yang sebelumnya membuat Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty menjadi begitu luar biasa kaya raya
B. Armada Dinasti Yuang dari Tiongkok
Sebelum pihak Islam menguasai Flow Of Goods Dagang Meritja di muara Sungai Pasai, Tiongkok Yuang Dynasty menguasai Monopoly Dagang Meritja lewat jalan darat (The Famous Silk Road). Mulai dari Canton Tiongkok, dan berakhir di Pepper Distributing Centres di pihak Kristen di Consantinopel dan di Venezia.
1284 Kesultanan Daya Pasai diserang serentak dari 2 jurusan. Dari diserang oleh Islamised Orang-orang Batak Gajo dibawah pimpinan Marah Silu alias Iskandar Malik. Dari laut diserang oleh Armada Mesir Mamaluk Dynasty dibawah commando Laksamana Ismail As Siddik. Kesultanan Daya Pasai hancur lebur !! Armada Tamiang dibawah commando Laksamana Jusuf Kayamudin bekerja sama dengan Armada Tiongkok Yuang Dynasty, dan menyerang Armada Mesir Mamaluk Dynasty dari belakang. Armada Perlak dibawah commando Laksamana Muhammad Amin, menyerang sipenyerang dari belakang, dan berhasil menghancurkan Armada Tamiang serta Armada Tiongkok Yuang Dynasty. Very complicated !! Marah Silu alias Iskandar Malik adalah Son In Law dari Laksamana Muhammad Amin. Being Husband dari Putri Ganggang Sari Putri Perlak. Dengan persetujuan dari Laksamana Muhammad Amin, Marah Silu alias Iskandar Malik ditahtakan oleh Laksamana Ismail As Siddik menjadi Sultan di daerah muara Sungai Pasai. Marah Silu alias Iskandar Malik menjadi Sultan Malik Us Saleh Sultan Samudera Pasai Jang Pertama.
1285 – 1522 : Kesultanan Sumadera Pasai
Didirikan oleh orang-orang Batak Gajo. Ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i. Itulah yang pertama Kesultanan (Keradjaan Islam) yang asli dan yang Nasional Indonesia. Teratur berupa Hereditary Monarchy. Sangat besar berjasa, mengembangkan Agama Islam Mazhab Sjafi’i. Sehingga kini Indonesia dan Malaya ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i, dan ber-Agama Islam Mzhab Sji’ah seperti Pakistan.
Kesultanan Samudera Pasai serta Kesultanan Aru Barumun
Sultan Malik Us Saleh lahir Pagan di Nagur di Tanah Batak Gajo. Sebelum masuk Islam selaku prajurit Kesultanan Daya Pasai, Iskandar Malik bernama Marah Silu. Artinya : Meurah (Clan Chief) dari orang-orang Batak Gajo dari Marga Silu. Sial sekali bahwa Iskandar Malik alias Malik Silu terpaksa tattooned on his face, dengan tanda-tanda dari Putra Radja Marga Silu. Life-time tidak terhapus.
Iskandar Malik alias Marah Silu sangat suka pula makan cacing. No wonder, bahwa Laksamana Ismail As Siddik semula sangat ragu-ragu didekati oleh Iskandar Malik alias Marah Silu, sambil anak-anak buahnya enak saja consuming jenazah dari Sultan Bahaudin Al Kamil. Akan tetapi : Iskandar Malik alias Marah Silu selaku bekas prajurit Kesultanan Daya Pasai, pandai luar kepala 30 Djuz mengaji Qur’an. Memang Bangsa Batak bangsa aneh. Tersiar kabar di kalangan orang-orang Mesir Mamaluk Dynasty, bahwa : Iskandar Malik alias Marah Silu, the tattlooned and cannibalistic worm connoisseur, mendadak pandai mengaji Qur’an, karena lidahnya diludahi oleh Tuhan, Allah Ta’ala SWA. Marah Silu alias Iskandar Malik di dalam waktu sehari semalam saja, sudah pula paham Figh Sjafi’I, belajar dari Laksamana Ismail As Siddik. Memang orang Batak kepala batu.
Laksamana Ismail As Siddik membutuhkan seorang Penduduk Asli untuk dijadikan Sultan yang Ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i, yang pasti akan membasmi orang-orang Gudjarat India yang ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah dan yang masih memegang Monopoly Dagang meritja. Atas nama Sjarif Mekkah (Chalifatullah Abbassiah Dynasty yang mendapat asylum di Kesultanan Mesir Mamaluk Dynasty, sejak Tentara Holako Khan merebut Baghdad, 1258 , Marah Silu alias Iskandar Malik dilantik oleh Laksamana Ismail As Siddik menjadi Sultan Malik Us Saleh Sultan Sumadera Pasai Jang Pertama.
Sultan Malik Us Saleh benar membasmi Agama Islam Mazhab Sji’ah serta menanamkan Agama Islam Mazhab Sjafi’i di sekitar Selat Malacca. Disitulah mulai Agama Islam Mazhab Sjafi’I menjadi Symbol terhadap penjajahan asing di Kepulauan Nusantara. Bertahan terhadap orang-orang Gudjarat India yang ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah terhadap orang-orang Portugis yang ber-Agama Kristen Katholiek, dan terhadap orang-orang Belanda yang ber-Agama Kristen Protestan.
Sultan Malik Us Saleh (1285 – 1296) digantikan oleh Putranya Sultan Malik Ut Tahir (1296 – 1327). Seorang lagi Putra dari Sultan Malik Us Saleh yakni Prince Malik Ul Mansur, sejak tahun 1295 sudah de-facto berkuasa di daerah sekitar muara Sungai Barumun. Dia nikah dengan seorang cucu dari Sultan Bahaudin Al Kamil, yakni : Putri Nur Alam Kumalasari. Prince Malik Ul Mansur membangkang di dalam Agama Islam Mazhab Sji’ah, dan dia mendirikan Kesultanan Aru Barumun pada tahun 1299.
Perang saudara antara Kesultanan Sumadera Pasai contra Kesultanan Aru Barumun sangat berbahaya, karena : Masih sangat banyak orang-orang Gudjarat India yang ingin menjadi Sultan Daya Pasai Jang Ketudjuh. Sultan Malik Ut Tahir berdamai dengan his Brother Sultan Malik Ul Mansur. Sultan Tamiang menjadi Sungai Perbatasan antara dua Kesultanan yang berkerabat akan tetapi berlainan Mazhab itu.
Kesultanan Sumadera Pasai (1285 – 1522) terkenal karena kunjungan Ibn Batutah (seorang Tunisia yang menjadi Roving Ambassador Kesultanan Dehli India), pada tahun 1345 dan pada tahun 1346 di dalam perjalanan pulang pergi ke Tiongkok.
Kesultanan Aru Barumun (1299 – 1512) terkenal karena kunjungan Laksamana Hadji Sam Po Bo dengan Armada Tiongkok Ming Dynasty, di dalam periode 1405 – 1425.
Pihak Islam Contra Pihak Hindu Djawa, 1275 – 1409
1. Monopoly Dagang Meritja di tangan pihak Islam, 1128 – 1289
Pihak Islam muara di Sungai Pasai, menguasai Monopoly Dagang Meritja dari daerah pengaliran Sungai Kampar Kiri Kanan, sejak Angkatan Bersendjata Kesultanan Mesir Fathimiyah Dynasty pada tahun 1128 menduduki daerah sekitar muara Sungai Pasai dan merebut pepper producing daerah Kuntu Kampar di Minangkabau Timur. Pada tahun 1168, Tentara Mesir Fathimiyah Dynasty yang ketinggalan di Minangkabau Timur oleh Tentara Darmasraya Djambi yang ber-Agama Buddha terpukul mundur dari Sungaidareh dan dari kampung Minangkabau Asli. Pepper dari daerah Sungaidareh Batanghari selanjutnya dikuasai oleh Keradjaan Darmasraya Djambi.
2. Monopoly Dagang Meritja di Tangan pihak Hindu Djawa, 1289 – 1301 Di dalam Pamalayu Expedition 1275 – 1289. Keradjaan Singosari Djawa Timur berturut-turut merebut : Keradjaan Darmasraya Djambi, serta pepper producing daerah-daerah Sungaidareh Batanghari dan Kuntu Kampar. Monopoly Dagang Meritja sekuruhnya lepas dari tangan pihak Islam, dan jatuh kedalam tangan pihak Hindu Djawa. Itulah hasil dari Pamalayu Expedition !! Bukannya cuma gula kaki dua berupa Princess Doro Petak (Keumbang Putih) dan Princes Doro Djinggo (Keumbang Beureum), sebagaimana masih saja diajarkan di SMP.
3. Monopoly Dagang Meritja kembali kedalam tangan fihak Islam, 1301 – 1339 Pada tahun 1292, terjadi huru hara di Djawa Timur. Keradjaan Singosari musnah. Keradjaan Kediri timbul. Keradjaan Kediri musnah pula. Keradjaan Modjopahit timbul. Akibatnya di daerah Kuntu Kampar di Minangkabau Timur, ketinggalan sesuatu Tentara Singosari tanpa Mother Country. Seperti Tentara Xenophon di Mesopotamia. Tidak pula mau tunduk kepada Keradjaan Modjopahit. Pada tahun 1301, Tentara Kesultanan Aru Barumun merebut daerah Kuntu Kampar dari tangan Tentara Singosari, yang ketinggalan disitu. Tanpa izin akan tetapi juga tanpa gangguan dari Kesultanan Samudera Pasai karena : Pada tahun 1297 Keradjaan Modjopahit sudah merebut dan menduduki Kesultanan Perlak. Risiko : Keradjaan Modjopahit pasti mesti datang membanting Kesultanan Aru Barumun, dan merebut daerah Kuntu Kampar. Look out !! Kesultanan Aru Barumun mendirikan Kesultanan Kuntu Kampar, berupa Vassal Sultanate bawahan Kesultanan Aru Barumun. (Seperti Kesultanan Atjeh mendirikan Kesultanan Indrapura, berupa Vassal Sultanate bawahan Kesultanan Atjeh). Lihat nanti : Titik VIII.
4. Monopoly Dagang Meritja kedua Kalinya direbut oleh pihak Hindu Djawa, 1339. Keradjaan Modjopahit menjadi maritim sangat kuat, dibawah Perdana Menteri Gadjah Mada (1331 – 1364). Untuk Keradjaan Modjopahit, Monopoly Dagang Meritja sama pentingnya seperti untuk its predessessor Keradjaan Singosari. Akan tetapi : Untuk Keradjaan Modjopahit, perkembangan Agama Islam di Kepulauan Nusantara, merupakan latent yang jauh lebih besar daripada untuk Keradjaan Singosari. Perdana Menteri Gadjah Mada bersumpah, sebagai berikut : Sekaligus, merebut Monopoly Dagang Meritja, dan memusnahkan semuanya pemerintahan Islam di Kepulauan Nusantara !!
Pada tahun 1339 Armed Forces Mojopahit dibawah commando Prince Adityawarman, merebut dan memusnahkan Kesultanan kuntu Kampar. Monopoly Dagang Meritja untuk kedua kalinya direbut oleh pihak Hindu Djawa. Lepas dari tangan pihak Islam, hingga mereka sesudah tahun 1500 timbul Kesultanan Atjeh dan Kesultanan Banten.
Tahun itu juga, Armed Forces Modjopahit menyerang Kesultanan Aru Barumun. Yakni : Pada tahun 738 H (1339 M). Gagal !!
5. Extra perihal : Keradjaan Pagarruyung, 1339 – 1804. Lihat : Bagian 10 titik, perihal : Pagarruyung Massacre, 1804. Keradjaan Pagarruyung sangat cherished di dalam dongeng-dongeng Minangkabau. Dan juga di dalam dongeng-dongeng Mandailing. Indah permai dihias dengan aneka warna mythologic nonsense !!
Pada tahun 1339, Keradjaan Modjopahit benar cukup kuat untuk memusnahkan Kesultanan Kuntu Kampar dan Keradjaan Silo. (Lihat : Lampiran XVI). Akan tetapi : Keradjaan Modjopahit gagal memusnahkan Kesultanan Aru Barumun dan Kesultanan Sumadera Pasai. Akibatnya : Prince Adityawarman berani mengkhianati terhadap Keradjaan Modjopahit, terhadap King Hayam Wuruk dan Perdana Menteri Gadjah Mada. Prince Adityawarman self-made menjadi King Adityawarman, King Of Pagarruyung. 1339 – 1376. Itulah asal mulanya Keradjaan Pagarruyung Minangkabau yang ber-Agama Hindu Djawa.
Setelah wafat Perdana Menteri Gadjah Mada, maka : Weakened and degenerated Keradjaan Modjopahit sekali lagi mati-matian hendak merebut Monopoly Dagang Meritja di daerah Kuntu Kampar. Akan tetapi : Tentara Modjopahit dimusnahkan oleh Tentara Pagarruyung di dalam Pertempuran Padang Sibusuk 1409.
Akibatnya sebagai berikut :
1339 - 1409 : Centralised Power di Alam Minangkabau ada di dalam tangan Radja-radja Pagarruyung, yang adalah Javanese Foreigners tanpa Adat Matriachy, dan ber-Agama Hindu Djawa.
1409 – 1804 : Centralised Power no existent di Alam Minangkabau. Kepala Adat Matriarchy and infinitum dan ad ridiculum mempertentangkan pemerintahan local, sekampung dan seluhak. Bikin jengkel Tuanku Nan Rentjeh.
1339 – 1581 : Yangdipertuan Radja Alam Pagarruyung Minangkabau ber-Agama Hindu Djawa.
1581 – 1804 : Yangdipertuan Radja Alam Pagarruyung Minangkabau ber-Agama Islam Mazhab Sji’ah. Akan tetapi : Tidak cukup kuat untuk merebut Centralised Power, lepas dari tangan Kepala Adat Matriarchy di Alam Minangkabau.
Conclusion : Walaupun ada seorang Yangdipertuan Radja Alam Minangkabau yang memakai gelar “Sultan Alif” akan tetapi Kesultanan Pagarruyung Minangkabau never been dengan Centralised Power di dalam tangan Sultan, di dalam tangan satu orang saja.
1409 – 1804 : Keradjaan Pagarruyung Minangkabau hanyalah ornamental. Lihat : bagian 10. Terutama dimaksud berupa symbol dari Kesatuan Minangkabau, untuk daerah Rantau seperti Daerah Negerisembilan.
Nama-nama Sultan Kuntu Kampar
Di kampung Kuntu. Resident Poortman berhasil menemukan nama-nama dari 4 orang Sultan Kuntu Kampar, sebagai berikut :
1. Sultan Said Amanullah Perkasa Alam.
2. Sultan Rasjid Karim Perkasa Alam.
3. Sultan Ibrahim Saleh Perkasa Alam.
4. Sultan Djohan Alim Perkasa Alam.
Mereka bukanlah keturunan-keturunan Sultan, akan tetapi : Titulery Sultans yang non hereditary bawahan Kesultanan Aru Barumun. (Seperti para Yang dipertuan Raja Negeri sembilan, sebelum tahun 1804 adalah bukan gubernur jenderal bawahan Keradjaan Pagaruyung).
Merekalah yang bertempat kemudian samar-samar masuk kedalam “Tambo Minangkabau”. Disangka Sultan dari “Iskandar Zulkarnain Dynasty”. Pandai Resident Poortman !! Benar bahwa ada Sultan-sultan di Minangkabau, sebelum Keradjaan Pagarruyung !!
Phantasy Dari Sultan Mali Ul Mansur Corruptor Sejarah
1. Sultan Djohan Djoni (Sultan Daya Pasai Jang Pertama) claimed to be descendant of Alexander The Great.
2. Sultan Alwi Al Kamil dan Sultan Bahaudin Al Kamil (Sultan Daya Pasai Jang Ketiga dan Jang Keenam) adalah keturunan dari Nabi Muhammad SAW lewat Imam Sji’ah VII
3. Sultan Malik Us Saleh (Sultan Samudera Pasai Jang Pertama adalah seorang cannibalistic and tattooed Batak Gajo dari Nagur yang lahir pagan. Terkenal pula suka makan cacing !!
4. Sultan Malik Ul Mansur (Sultan Aru Barumun Jang Pertana, lahir Islam, walaupun Ayahnya (Sultan Malik Us Saleh lahir pagan. Lagi pula : Ibunya adalah Putri Ganggang Sari seorang Putri Persia dari Kesultanan Perlak, dan : Isterinya adalah Putri Nur Alam Kumalasari seorang Putri dari Al Kamil Dynasty.
Sultan Malik Ul Mansur tentulah malu, mengaku keturunan dari Batak Gajo cannibals dari Nagur. Itulah sebabnya maka Sultan Malik Ul Mansur mengadakan history corruption (pemalsuan sejarah), yang di dalam Sejarah Indonesia, cuma ada taranya di dalam. Babad Djawi. Yakni perihal keturunan dari Kiai Gede Pamanahan.
1. Iskandar Malik katanya adalah Putra dari Sultan Ibrahim Djani (Sultan Daya Pasai Jang Kelima). Iskandar Malik masih anak kecil, katanya kidnapped oleh tattooed and pagan-pagan orang Batak Gajo dan dibawa ke Nagur. Disitu dia tidak eaten-up, akan tetapi : Dia tattooed dengan tanda-tanda dari Putra Radja Marga Silu. Namanya diganti dengan “Marah Silu” (Chief dari Marga Silu).
2. Sangat pandai Sultan Malik Ul Mansur menjungkir balikkan sejarah !! Katanya lagi : Sultan Malik Us Saleh The Tattooed Sultan (Iskandar Malik=Marah Silu) sebenarnya adalah Putra dari Sultan Ibrahim Djohan Djani (Sultan Daya Pasai Jang Pertama). Lewat Sultan Djohan Djani, Sultan Malik Ul Mansur katanya adalah keturunan dari Iskandar Zulkarnain !! Puas.
Sultan Said Amanullah Perkasa Alam (Titulery Sultan Kuntu Kampar Jang Pertama) adalah seorang Putra dari Sultan Malik Ul Mansur. Dia sangat sombong, dan sangat parah menindas penduduk asli Minangkabau. Lebih parah lagi daripada Ayahnya, dia tidak mau mengaku keturunan dari cannibalistic and tattooed orang Batak Gajo. Akibatnya : Sultan Said Amanullah Perkasa Alam introduced “Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty” di Alam Minangkabau !! QED Pandai Resident Poortman. Puas Resident Westenenk.
Mythos tetap mythos, dimana hanyalah ada 2% fakta sejarah yang terbenam di dalam 98 % mythologic ornamentations. Di dalam hal “Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty”, benar bahwa 1301 – 1339, ada Sultan (Radja Islam di Minangkabau Timur, sebelum Keradjaan Pagarruyung Jang ber-Agama Hindu Djawa, 1339 – 1581. Thar’s all to it. No more.
Kuburan-kuburan Sultan di Kampung Kuntu
Pada tahun 1927, Resident Poortman mengadakan Survey (Fieldwork Fact Finding), perihal kuburan Islam bertanggal dari sebelum tahun 1339, yang di waktu itu masih sangat banyak di rimba-raya Minangkabau Timur. Di sekitar Bangkinang di tepi Sungai Kampar Kanan, Resident Poortman menemukan Kuburan Islam yang tertua di Minangkabau. Yakni bertanggal 521 H (1128 M)
Di dekat kampung kuntu di tepi Sungai Kampar Kiri, Resident Poortman menemukan 90 kuburan Islam. 12 diantaranya, masih dapat dibaca oleh Resident Poortman. Termasuk 4 kuburan Sultan-sultan. Di kampung Kuntu, Resident Poortman menemukan pula runtuhan Mesjid yang terbuat dari bahan yang sangat kuat yaitu batu pualan.
Oleh penduduk asli setempat treruntuhan Mesjid dan kuburan Sultan yang di Kuntu Kampar itu, sedikitpun tidak dihiraukan. Malahan disebut “Kuburan Keling”. Rupa-rupanya masih ada pertentangan, dari penjajahan asing oleh orang-orang Cambay Gudjarat, yang ber-Agama Islam Mazhab Syi’ah. Sedangkan orang-orang Minangkabau Timur, kini adalah ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i.
Karena Conjuncture Tinggi Dagang Karet sebelum tahun 1930, maka : Rimba raya di Minangkabau Timur diubah menjadi kebun-kebun Karet Rakyat. Bukannya orderly rubber plantations, akan tetapi : Wild and dense rubber jungles. Penuh harimau-harimau karena harimau suka memakan biji-biji karet dan Harimau suka memakan babi. “Kuburan Keling” di Minangkabau dalam bahaya kepunahan karena dibongkar oleh akar-akar pohon karet.
Lebih parah lagi, Para penyadap pohon-pohon karet sering mengambil batu-batu dari “Kuburan Keling”, untuk digunakan membanting rubber slans, Batu-batu itu adalah batu pualam (marmar putih) : bekas impor dari Gudjarat India. Di sebelah atas ada kaligrapifi berbahasa arab yang sangat indah. Akan tetapi di sebelah bawah masih ada ukiran-ukiran Hindu Shiwa. dengan demikian jelas bahwa batu-batu Pualam tersebut berasal dari candi Hindu di Gudjarat India. Kuburan-kuburan Islam Mazhab Syi’ah di Minangkabau Timur, yang bertanggal 1128 – 1339M Perlu diselidiki oleh para Ahli-ahli Sejarah serta para Ahli Islamologi Indonesia. Walaupun mereka itu ber-Agama Islam Mazhab Sjafi’i dan kira-kira dianggap “Kafir”. Haraplah dia itu tidak seperti pendudukasli Minangkabau Timur, menggunakan istilah “Kuburan Keling”.
Agar supaya : Mudah-mudahan dilanjutkan usaha dari Resident Poortman 1927 – 1931, menyelidiki Kuburan Islam yang sudah ada di Minangkabau Timur sebelum Kerajaan Pagaruyung Minangkabau yang ber-Agama Hindu Jawa. Insya Allah terlaksanalah kiranya.
Sejarah / History kerajaan Meureuhom Daya
Berdirinya Kerajaan Daya:
Kerajaan Negeri Daya didirikan pada tahun 1480 M dengan raja pertama “Sultan Salathin Alaidin Syah”, atau lebih dikenal dengan julukan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang”, yang membawahi empat kerajaan yang di persatukannya, yaitu:
* Kerajaan Negeri Keuluang.
* Kerajaan Negeri Lamno.
* Kerajaan Negeri Kuala Unga, dan
* Kerajaan Negeri Kuala Daya.
Kerajaan Negeri Daya didirikan pada tahun 1480 M dengan raja pertama “Sultan Salathin Alaidin Syah”, atau lebih dikenal dengan julukan “Po Teumeureuhom”, atau “Cik Po Kandang”, yang membawahi empat kerajaan yang di persatukannya, yaitu:
* Kerajaan Negeri Keuluang.
* Kerajaan Negeri Lamno.
* Kerajaan Negeri Kuala Unga, dan
* Kerajaan Negeri Kuala Daya.
Kerajaan Daya didirikan para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu). Alasan mereka mengungsi ialah untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka. Raja Indra Jaya turut mengungsi ke suatu tanah datar yang subur di sebelah Gunung Geurutee. Melihat lokasi tersebut, Raja Indra Jaya beserta rombongan menetap di daerah tersebut sehingga dinamai Indra Jaya.
Kemudian serombongan mubaligh pimpinan Meurah Pupok (Teungku Sagop) datang ke Kerajaan Indra Jaya. Mereka berhasil mengembangkan Islam dan rajanya pun ikut menganut agama Islam. Akhirnya, Meurah Pupok diangkat menjadi raja dan kerajaannya bernama Kerajaan Daya.
Diantara raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhom Onga (Almarhum Onga). Setelah Onga mangkat, Kerajaan Daya mengalami kemunduran dan kekacauan. Akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja Kerajaan Daya dengan gelar Sultan Salathin Riayat Syah, sedangkan ayahnya, Sultan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, 1480-1490 M.
Ketika Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Syamsu Syah, 1497-1511 M terjadi sengketa dengan Kerajaan Daya, bahwa Kerajaan Daya telah terpengaruh oleh hasutan Portugis. Akhirnya mereka kembali berdamai setelah Sultan Syamsu Syah (Raja Muda Ali Mughayat Syah) mengawini Puteri Raja Daya (Puteri Hur). Pada 12 November 1508, Sultan Salathin Riayat Syah mangkat. Kerajaan ini, kemudian terkenal dengan Meureuhom Daya.
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/sultan-of-daya/
Kemudian serombongan mubaligh pimpinan Meurah Pupok (Teungku Sagop) datang ke Kerajaan Indra Jaya. Mereka berhasil mengembangkan Islam dan rajanya pun ikut menganut agama Islam. Akhirnya, Meurah Pupok diangkat menjadi raja dan kerajaannya bernama Kerajaan Daya.
Diantara raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhom Onga (Almarhum Onga). Setelah Onga mangkat, Kerajaan Daya mengalami kemunduran dan kekacauan. Akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja Kerajaan Daya dengan gelar Sultan Salathin Riayat Syah, sedangkan ayahnya, Sultan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, 1480-1490 M.
Ketika Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Syamsu Syah, 1497-1511 M terjadi sengketa dengan Kerajaan Daya, bahwa Kerajaan Daya telah terpengaruh oleh hasutan Portugis. Akhirnya mereka kembali berdamai setelah Sultan Syamsu Syah (Raja Muda Ali Mughayat Syah) mengawini Puteri Raja Daya (Puteri Hur). Pada 12 November 1508, Sultan Salathin Riayat Syah mangkat. Kerajaan ini, kemudian terkenal dengan Meureuhom Daya.
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/sultan-of-daya/
MEUREUHOM DAYA: Negeri Daya dalam Catatan Sejarah Lokal
Dalam filsafat sejarah yang ingin ditelusuri adalah jawaban atas pertanyaan mengenai makna dari proses sejarah. Tradisi manusia yang tidak pernah puas dengan pengetahuan sejarah sehingga berusaha mencari makna di balik peristiwa sejarah. Di samping itu juga berusaha dicari simpul-simpul dari suatu fakta sejarah untuk sampai kepada asal dan tujuannya.
Suatu peristiwa sejarah baru akan memiliki makna apabila ditinjau dengan pandangan jauh ke depan atau dengan ekspektasi terwujudnya masa depan. Pengungkapan sejarah seperti ini adalah pengungkapan sejarah dalam konteks sejarah sebagai tradisi lisan dan tulisan (naskah). Dengan demikian peran penting yang dimiliki oleh kedua tradisi dalam masyarakat ini dapat menjadi dasar dalam pengungkapan aspek kesejarahan maupun pengungkapan dari suatu fakta sejarah.
H.P.R Finberg, seorang sejarawan dan dikenal sebagai pendiri Mazhab Leicester mengatakan, tujuan sejarah lokal adalah pengungkapan asal-usul, pertumbuhan, kemunduran, dan kejatuhan dari suatu kelompok masyarakat lokal. Berangkat dari pemahaman ilmu sejarah sebagai ilmu dari suatu “kemungkinan-kemungkinan”, seperti yang dikatakan oleh sejarawan Vansina. Maka belum ada suatu finalisasi mengenai pengungkapan negeri Daya selama masih diperoleh sumber-sumber baru yang dapat diungkapkan dan dipertanggungjawabkan secara akademik. Namun sejauh ini baru diperoleh sumber yang tercatat, seperti tulisan Arab Jawi yang terpahat pada prasasti batu nisan Putri Hur dan catatan-catatan lokal sejarawan lokal yang dapat membantu trek penelusuran ini.
Penelusuran ini dilakukan untuk pengungkapan fakta-fakta mengenai negeri Daya yang merujuk kepada sumber-sumber yang tersedia, antara lain; Hikayat Aceh, Bustanussalatin, Nagara Kertagama, Meureuhom Daya, dan inskripsi pada nisan Siti Hur yang sedikit tidak dapat menjelaskan “Daya”.
Gle Kandang dan Kandang Poteumeureuhom
Menelusuri jejak sejarah lokal negeri Daya, seperti belum lengkap rasanya jika tidak menjejakkan kaki terlebih dulu di Kompleks Makam Poteumereuhom yang disebut Gle Kandang. Gle Kandang terletak di atas sebuah bukit berundak dengan tatakan 99 anak tangga di Gampong Gle Jong, Kemukiman Kuala Daya, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. Kompleks makam ini juga disebut juga oleh masyarakat dengan nama Kandang Poteumeureuhom. “Kandang” di dalam konteks keacehan merupakan suatu kompleks pemakaman, seperti juga yang dikenal di kerajaan Aceh Darussalam yaitu “Kandang Aceh”, “Kandang Meuh”, “Kandang Duabelas”, ataupun “Kandang Pirak” di kompleks pemakaman raja-raja di Aceh.
Jika diamati di Kompleks Makam Raja Negeri Daya di Gle Kandang, selain makam Poteumeureuhom juga terdapat beberapa batu nisan dengan Batee Aceh yang kemungkinannya terdiri dari raja, permaisuri, anak, serta kerabat Dalam. Di antaranya Sultan Alaidin Riayatsyah, Uzir, Siti Hur serta beberapa makam lainnya. Di Batu Aceh di kompleks pemakaman Poteumeureuhom Daya, terdapat prasasti pada nisan Siti Hur yang paling indah dan masih dapat dibaca karena berhuruf arab jawi. Dari sana diketahui bahwa Siti Hur adalah anak perempuan dari raja Daya Sultan Alaiddin Riayatsyah. Ia adalah permaisuri dari Sultan Ali Mughayatsyah penguasa pertama yang menyatukan Kesultanan Aceh Darussalam
Di Gle Kandang saat ini, selain nisan Batu Aceh dan sebuah guci tempat air wudhuk juga terdapat dua buah tempat peristirahatan para penzirah. Di tatakan tangganya terdapat dua buah “jambo peuniyoh” sebagai tempat istirahat para penziarah yang sudah berusia lanjut. Selain itu, di pelataran bawah terdapat sebuah bangunan balairung berbentuk rangkang. Selain itu tidak banyak lagi tersisa tinggalan arkeologis lainnya. Hal itu terjadi setelah daerah ini diluluhlantakkan gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004.
Panorama bekas negeri Daya dari atas bukit Gle Kandang sangat indah. Terlihat hamparan luas menghijau persawahan dengan bukit-bukit kecil dan pegunungan di Utara negeri ini. Sedangkan di bagian Baratnya, menghampar biru Samudera Indonesia dengan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Tempat ini sepertinya benar-benar merepresentasikan “persinggahan terakhir” sang raja yang luar biasa. Sekitar 500 meter dari kompleks Gle Kandang terdapat suatu daerah secara toponim bernama Kuta Dalam. Kuta Dalam identik dengan kompleks istana Kerajaan Daya. “Kuta” identik dengan “Benteng” atau “Perkampungan”, sedangkan “Dalam” adalah “Istana”,“Kompleks Kerajaan” ataupun “Keraton”. Namun tidak ada sedikit pun tinggalan arkeologis yang dapat menjelaskan secara faktual tentang hal tersebut. Bukti lain yang bersifat intangible sebagai tinggalan budaya masa lalu yang bertahan dan sangat unik dalam masyarakat Daya adalah upacara Peumeunap dan Seumuleueng.
Bentangan Geografis Negeri Daya
Secara geografis wilayah bekas kerajaan Daya terletak di suatu teluk yang dilindungi oleh beberapa pulau kecil di suatu dataran sempit yang dikelilingi oleh pegunungan. Pegunungan di daerah ini memiliki beberapa puncak, antara lain di bagian Utara terdapat Gle Geurute, Gle Manyang, Gle Teungoh, Gle Meuseugit, Gle Cuplek, Gle Cot Eumpee. Sedangkan di bagian Timur terdapat Gle Peulanteng, Gle Tului, Gle Macan dan di bagian Selatan terdapat Gle Seumadom, Gle Pangah, dan Gle Gunong Sa.
Bekas wilayah Kerajaan Daya temasuk lembah yang sangat subur karena merupakan hilir dari daerah aliran beberapa sungai, antara lain Krueng Lambeuso, Krueng Keuluang dan Krueng Unga. Daerah bagian Utara berbatasan dengan Kecamatan Lhoong dan Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan di bagian Timur dan Selatannya berbatasan dengan Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya. Sedangkan di bagian Barat merupakan Samudera Indonesia dengan beberapa pulau kecil di mana sepertiga wilayahnya merupakan perbukitan.
Daerah ini merupakan dataran sempit dan berawa-rawa. Di mana sebagian besar daerahnya merupakan pegunungan. Mayoritas penduduknya bermatapencaharian di bidang pertanian, selebihnya mengusahakan perdagangan, sedangkan sisanya bergerak di bidang perikanan laut dan rawa (tambak). Sampai saat ini, mereka secara kultural terintegrasi ke dalam empat wilayah Kerajaan Daya, yaitu; Lamno, Kuala Daya, Kuala Unga dan Keuluang.
Daya Dari Catatan Lokal
Tezet Abidin membagi dua periodisasi di negeri Daya; pertama masa pra-Islam, dan kedua masa Islam. Masa pra-Islam dimulai sekitar abad ke-5. Menurut beliau, pada masa itu di sana telah dikenal suatu negeri yang bernama Indra Jaya. Beliau mengatakan asal-usul Indra Jaya adalah migrasi dari keturunan raja di Aceh Besar yang menyingkir ke sana akibat serbuan armada laut Cina ke Panton Bie di negeri Seudu. Letak pusat negeri Indra Jaya diprediksi di antara Kuala Unga dan Pante Ceureumen sekarang. Daerah tersebut kini termasuk ke dalam Kemukiman di Kecamatan Jaya.
Marco Polo menyebutkan nama beberapa negeri yang ditemuinya ketika perjalanan kembali dari negeri Cina, di antaranya Lamuri, Pedir, Dagroian, Pasai, dan lain-lain. Ia berasumsi bahwa Dagroian identik sebagai Indra Jaya berdasarkan konteks pelafalan linguistik. Namun sepertinya ia agak menyangsikan karena setelah itu tidak ditemukan kontinuitas apalagi referensi tentang negeri tersebut pada periode selanjutnya hingga abad ke-7. Negeri ini seakan tenggelam dan tidak diketahui lagi dinamika pasang surutnya.
Di dalam urutan nama-nama negeri yang takluk kepada Majapahit seperti Nagarakertagama (1365) disebutkan toponim Tamiang, Perlak, Lamuri, dan Barat. Daerah-daerah tersebut terletak di provinsi Aceh sekarang. Barat disebutkan terletak di sebelah pesisir Barat Aceh yang dikenal dengan kerajaan Daya. Pada periode selanjutnya, Snouck Hurgronje menyebutkan batas Aceh Inti atau Aceh Lhee Sago menurut anggapan “ureung Aceh” bahwa adalah batas di pesisir Barat yang terletak di Keuluang. Sedangkan di Utara terletak di Krueng Raya. Daerah-daerah tersebut yang jika dihubungkan dengan garis imajiner akan bertemu di suatu titik segitiga di antara Rueng-Rueng (Grong-Grong), Panca dan Jantho. Keuluang adalah salah satu negeri yang saat ini berada dalam bekas Kerajaan Daya. Jika merunut anggapan Snouck, maka dengan begitu Daya kemudian juga merupakan bagian dari integritas “inti Aceh” di tapal batas paling Barat wilayahnya.
Kawom Paghu Sebagai Penguasa Baru Indra Jaya
Menurut riwayat pada sekitar abad ke-15, di bekas negeri Indra Jaya bermigrasi kawom (trah) keluarga bangsawan dari Samudera Pasai. Mereka merupakan keturunan langsung dari Maharaja Bakoy Ahmad Permala Syah yang memerintah di Samudera Pasai pada tahun 1400-1428 M. Merekalah yang pertama membuka daerah ini dari hutan belantara. Salah seorang dari keturunan tersebut bergelar Datu Paghu yang memiliki tiga orang putera.
Ketika ketiga puteranya telah berusia dewasa, dia memerintah dan membagikan wilayah kepada masing-masing anaknya, yaitu; Pertama negeri Lamno langsung diperintahnya bersama putera bungsunya yang bernama Muda Perkasa. Kedua, negeri Kuala Daya termasuk Lambeuso diperintah oleh puteranya yang tertua Johan Pahlawan atau Syeh Johan. Ketiga, negeri Keuluang diberikan kepada Datu Pahlawan Syah. Datu Pahlawan Syah memiliki keberanian luar biasa dibandingkan ketiga anaknya yang lain. Di bawah kendali mereka, negeri-negeri ini berkembang dan menjadi terkenal setelah dua dasawarsa kepemerintahan mereka di sana. Negeri-negeri tersebut kemudian terkenal sebagai penghasil hutan, padi, dan Keuluang terkenal dengan hasil ladanya.
Pada masa pertengahan abad ke-15, negeri Keuluang telah mengadakan hubungan dengan Portugis, sehingga produk lada hitamnya dimonopoli oleh negeri Peringgi tersebut. Namun Portugis juga mulai menanamkan pengaruh dalam bidang politik di negeri tersebut, sehingga Datu Pahlawan Syah sendiri dianggap mengikuti kebudayaan mereka.
Siapa Sultan Shalatin Alaiddin Riayat Syah?
Meureuhom Daya merupakan gelaran lain yang diberikan oleh masyarakat lokal kepada Sultan Shalatin Alaiddin Riayat Syah. Selain itu, adapula yang menyebutkan dengan gelaran Chik Po Kandang. Asal-usul dari keturunannya yang dirunut pada prasasti batu nisan seorang putri. Prasasti itu berukir indah dan bertuliskan, “Siti Hur binti Sultan Alaiddin Riayatsyah ibni Raja Madat ibni Abdullah al Malik al Mubin”.
Berdasarkan prasasti batu nisan ini menjelaskan bahwa Sultan Alaidin Riayat Syah atau Meureuhom Daya adalah putera Raja Madat atau yang dikenal sebagai Sultan Inayat Syah. Sultan Inayat Syah adalah putera dari raja Malikul Mubin. Menurut sejarah, Sultan Inayat Syah pernah menjabat raja di Pidie dan kemudian menaklukkan Darul Kamal dan Kuta Alam. Kedua negeri ini terletak di Aceh Besar dan Banda Aceh sekarang. Sultan Inayat Syah disebutkan memiliki tiga orang putera, yaitu Sultan Muzaffar Syah yang mewarisi Darul Kamal. Selanjutnya Sultan Munawarsyah yang mewarisi Kuta Alam dan Sultan Alaiddin Riayatsyah yang menjadi raja di negeri Daya. Sedangkan nama dari dua orang puterinya tidak disebutkan. Ketiga raja tersebut tidak dijelaskan tahun kelahirannya dan siapa yang tertua di antara mereka. Hikayat Aceh menyebutkan bahwa Sultan Alaiddin Riayat Syah juga pernah menjadi raja di Kuta Madat, yang termasuk ke dalam teritorial negeri Pidie.
Raja Abdullah bin Malikul Mubin yang bergelar Sultan Inayat Syah yang mengetahui bahwa Portugis telah mulai menanamkan pengaruhnya di pantai Barat Aceh, khususnya di Daya merasa kuatir akan eksistensi hegemoninya. Pada masa raja inilah dilakukan ekspansi hegemoni ke negeri Daya yang kala itu masih bernama Indra Jaya untuk ditaklukkan. Setelah ditaklukkan oleh Sultan Abdullah bin Malikul Mubin, ia meninggalkan bekas negeri Indra Jaya kembali ke pusat pemerintahan. Selain itu ia juga mengkuatirkan Pidie dari pengaruh Portugis di bagian Utara Aceh di selat Malaka sehingga untuk menggantikan posisinya di sana, ditugaskan puteranya Sultan Alaiddin Riayatsyah yang saat itu sedang berada di Kuta Madat, Pidie. Ekspedisi kontrol hegemoni ke pesisir Barat Aceh tersebut untuk menjalankan misi; Pertama, mengintegrasikan kembali raja-raja kecil di bekas Indra Jaya yang sedang berseteru akibat adanya agitasi dari Portugis, dan mengusir bangsa Peringgi itu dari sana. Kedua, memperkuat kerajaan di pesisir Barat yang dinilai sudah melemah karena pengaruh dari kebudayaan asing sekaligus memperkuat kembali pengaruh Islam di sana.
Ekspedisi Sultan Alaidin Riayatsyah Ke Bekas Negeri Indra Jaya
Ekspedisi sebagai kontrol hegemoni dilakukan oleh Sultan Inayatsyah untuk menjalankan misi penaklukan kembali pesisir Barat Aceh khususnya ke bekas negeri Indra Jaya yang dikuasai keluarga Datu Paghu. Ia menugaskan langsung putranya Sultan Alaiddin Raiyat Syah ke sana. Ekspedisi tersebut tidak menggunakan jalur laut dikarenakan beberapa hal, antara lain untuk menghindari Portugis yang sudah menanamkan pengaruhnya di Keuluang. Akibatnya, rombongan Sultan Alaiddin Riayatsyah memutuskan untuk memotong kompas melalui jalur darat dengan cara merintis jalan menerobos hutan belantara dengan kekuatan sekitar 300 orang pasukan. Sebelumnya diutus dahulu 30 orang untuk merintis jalan dan membuat perlengkapan persenjataan di sana.
Menurut Hado Marjoni, ekspedisi rombongan ini dimulai dari Pasai terus melewati Pidie hingga sampai ke daerah yang bernama Kuta Madat. Setelah beranjak dari Kuta Madat, rombongan Sultan bertemu dengan beberapa orang penjual lada dari bekas negeri Indra Jaya. Mereka sedang memperhitungkan untung-rugi dari hasil perdagangan lada. Ketika ditanya oleh Sultan mereka menjawab sedang “keumire” (menghitung laba-rugi), sehingga tempat itu sekarang bernama Keumire di kabupaten Aceh Besar sekarang. Selanjutnya rombongan melewati gunung yang tinggi yang bernama Cot Eumpee, di sana Sultan meminum air dari dalam ruas bambu (pacouk) karena kehausan. Akhirnya Sultan sampai di pedalaman Indra Jaya di Krueng Inong daerah hulu Beureuha di Gampong Pante Ceureumen sekarang. Ketika sampai di Beureuha mereka berhadapan dengan pemimpin lokal yang bernama Tuan Po Katong. Ia dapat ditaklukkan oleh pasukan Sultan, namun tetap dijadikan sebagai pemimpin lokal di sana. Sultan bersama pasukannya mendiami daerah ini selama tiga kali musim panen untuk konsolidasi dan persiapan pasukan untuk menaklukkan daerah bekas Indra Jaya lainnya.
Setelah kekuatan mereka dianggap cukup, maka ekspedisi ke pesisir negeri Daya dilanjutkan. Mereka menggunakan rakit-rakit bambu menyusuri arus sungai Krueng Lambeuso hingga sampai ke negeri Lamno. Sesampainya di negeri Lamno, rombongan Sultan Alaiddin Riayatsyah sempat berseteru dengan pemimpin lokal yang bernama Datu Paghu dan puteranya Muda Perkasa. Perseturuan ini segera dapat diselesaikan dengan diplomasi yang baik sehingga Datu Paghu berhasil ditaklukkan. Kemudian misi dilanjutkan ke hilir ke muara sungai, di mana rombongan Sultan Alaiddin Riayatsyah akhirnya mendaratkan rakit-rakit bambu di suatu perkampungan yang sampai saat ini dinamakan Gampong Darat di Kuala Daya. Raja Johan Pahlawan atau Syeh Johan sebagai penguasa negeri segera dikonfirmasi oleh rombongan. Lagi-lagi dengan diplomasi yang baik dari Sultan, rombongan ini tidak mengalami kesulitan di dalam penaklukannya.
Misi terakhir dari ekspdesi Sultan Alaiddin Riayat Syah adalah penaklukan negeri Keuluang. Keuluang yang diperintah oleh Datu Pahlawan Syah ternyata telah terikat perjanjian dengan Portugis. Mereka mengetahui adanya ekspedisi ini sehingga terlebih dulu menyiapkan diri menghadapi pasukan Sultan Alaiddin Riayat Syah, dengan dukungan persenjataan dan pasukan Portugis. Setelah diplomasi gagal, akhirnya pasukan Sultan terpaksa menyerang Keuluang. Akibat kehebatan dari serangan pasukan Sultan, akhirnya pasukan Portugis yang membantu pertahanan Keuluang terpaksa mundur ke Kuala Keuluang dan akhirnya angkat jangkar dari sana kembali ke Goa di India. Namun, setelah peristiwa itu Datu Pahlawan Syah masih tetap memberikan perlawanan dan akhirnya negeri ini dapat ditaklukan tanpa syarat oleh rombongan Sultan.
Setelah berhasil menaklukkan seluruh kekuasaan kawom Paghu, bekas negeri Indra Jaya dapat diintegrasikan oleh pasukan Sultan Alaiddin Riayat Syah ke dalam persekutuan baru yang disebut dengan Daya. Sejak saat itu Sultan membentuk Kesultanan Islam dan beliau menjadi raja pertama di kesultanan Daya.
Tinggalan Sultan Alaidin Riayat Syah di Daya
Dalam Hikayat Aceh disebutkan bahwa di penghujung abad ke-15, di lembah Aceh terdapat dua kerajaan, yaitu Meukuta Alam dan Darul Kamal yang kedua kerajaan ini dipisahkan olah Krueng Aceh. Kedua kerajaan ini selalu bermusuhan, namun tidak dapat menaklukkan lawannya. Untuk memperkuat armadanya Kerajaan Meukuta Alam terus memasok persenjataan melalui teluk Lamri. Dalam Hikayat Aceh disebutkan bahwa dengan kelicikan Sultan Syamsu Syah bin Sultan Munawarsyah dari Meukuta Alam meminang putri Kerajaan Darul Kamal untuk dikawinkan dengan Ali Mughayat Syah dan diterima oleh Sultan Muzaffar Syah, putra Inayat Syah yang memerintah Darul Kamal saat itu. Dalam arak-arakan peminangan disisipi persenjataan dan dilakukan serangan dadakan terhadap Darul Kamal sehingga banyak pembesar-pembesar Darul Kamal terbunuh, termasuk Sultan Muzaffar Syah yang merupakan saudara dari Sultan Alaiddin Riayat Syah. Sejak saat itu Sultan Syamsu Syah memerintah kedua kerajaan tersebut. Peristiwa ini terjadi ketika Sultan Alaidin Riayat Syah yang sedang merintis ekspedisi ke Daya tidak kembali lagi ke pusat kerajaan Darul Kamal yang sudah dikuasai oleh Sultan Syamsu Syah dari Meukuta Alam. Sejak saat itu Sultan Alaiddin Riayat Syah menjadi raja di Kerajaan Daya, sedangkan Darul Kamal sudah direbut oleh Sultan Syamsu Syah.
Sultan Alaiddin Riayatsyah diprediksi memerintah di negeri Daya antara tahun 1480-1492 Masehi. Selama pemerintahannya di sana, beliau berhaasil mengintegrasikan empat negeri, yaitu; Keuluang, Kuala Daya, Lamno dan Unga (bekas Negeri Indra Jaya). Pusat pemerintahannya di pusatkan di Kuta Dalam, Lam Kuta Gampong Gle Jong, Kemukiman Kuala Daya sekarang. Dalam menjalankan roda pemerintahannya sultan dibantu oleh seorang Wazir merangkap Katibul Muluk, seorang Hakim Tinggi, seorang Mufti Besar, seorang Panglima, dan beberapa orang Menteri, serta keempat raja dari negeri Daya yang merangkap sebagai staf sultan dalam setiap sidang perkara yang dianggap urgen.
Sultan Alaiddin Riayat Syah meninggal dunia pada 913 H atau 1492 Masehi dan dimakamkan di bukit yang dinamakan Gle Kandang. Sultan meninggalkan dua orang putera, yaitu Uzir dan Siti Hur. Setelah kemangkatan ayahandanya, Sultan Uzir diceritakan hanya memerintah beberapa tahun saja. Sedangkan putrinya yang bernama Siti Hur diriwayatkan menjadi permaisuri Sultan Ali Mughayat Syah, putra Sultan Syamsu Syah dan kembali lagi ke Daya sampai mangkat di sana.
Beberapa tinggalan lain dari masa Sultan Alaiddin Riayatsyah adalah; Pertama, pembangunan di bidang pertanian dengan intensivikasi, seperti pembuatan sarana dan prasarana seperti pembuatan irigasi (neulop) dengan saluran-saluran air (drainase), dan melakukan ekstensivikasi dengan mencetak persawahan baru. Kedua, menumbuhkembangkan solidaritas dan memperkokoh jatidiri dalam beragama pada masyarakat Daya. Ketiga, melakukan pengkaderisasian angkatan muda untuk memperkuat angkatan perang. Keempat, ekstensivikasi perkebunan lada dengan pemberian insentif secukupnya kepada para petani dan pengusaha.
Tinggalan makam keluarga Sultan Alaiddin Riayat Syah masih ramai dikunjungi masyarakat bekas negeri Daya untuk melepaskan nazar atau sekedar mengambil air di dalam guci yang dipercayai dapat menjadi obat yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Puncak kedatangan masyarakat Daya tersebut terjadi pada 10, 11, dan 12 Dzulhijjah, bersamaan dengan pelaksanaan upacara Peumeunap dan Seumeuleung. Upacara Peumeunap dan Seumuleueng ini pada awalnya diselenggarakan pada setiap Hari Raya Idul Adha bertepatan tanggal 10 Dulhijjah untuk memperingati pengukuhan Sultan Alaidin Riayatsyah sebagai Sultan di Daya. Tradisi ini sempat stagnan setelah Poteumeureuhom mangkat, namun dilanjutkan kembali pada masa Sultan Jamalul Alam Badrul Munir yang memerintah kerajaan Aceh tahun 1711-1735 M. Pada saat itu, ia sering melakukan kontrol hegemoni di wilayah-wilayahnya untuk memperoleh dukungan karena di Bandar Aceh Darussalam kedudukannya mulai terancam secara internal. Ia membenahi dan menghidupkan kembali tradisi kerajaan Daya sambil mengintegrasikan kembali daerah-daerah tersebut dari konflik internal yang sering terjadi di antara keempat raja di sana. Selama 24 tahun ia berkuasa, tradisi ini masih diselenggarakan. Setelah Kabupaten Aceh Barat lahir, bekas negeri Daya terintegrasi ke dalam beberapa kecamatan dalam kabupaten tersebut.
Pada masa ini pelaksanaan tradisi Peumeunap dan Seumeuleung diundur dari 10 Dzulhijjah menjadi 11 Dzulhijjah, mengingat pusat pemerintahan jauh dari lokasi pelaksanaan acara ini. Hal ini dilakukan sebagai wujud sinergis antara pemangku di bekas Kerajaan di Daya dengan petinggi di pusat pemerintahan di Meulaboh pada saat itu. Saat ini, bekas daerah negeri Daya telah berintegrasi ke Kabupaten Aceh Jaya, sehingga ada wacana untuk mengembalikan orisinalitas sesuai aslinya mengingat jarak antara ibukota pemerintahan Aceh Jaya tidak terlalu jauh dengan Kecamatan Jaya.
Selain upacara Peumeunap dan Seumeuleung, antusiasme masyarakat di bekas negeri Daya terhadap Poteumeureuhom sampai saat ini sangat tinggi. Hal ini nampak dari keramaian pengunjung berziarah ke Makam ini untuk melepas nazar atau sekedar mengambil air dari dalam “guci kermat” yang ada di kompleks Makam Gle Kandang, pada tanggal 10, 11, dan 12 Dulhijjah, bahkan pada hari-hari biasa pun masih ada saja masyarakat yang datang ke sana untuk berziarah atau melepas nazar. Selain itu masih banyak tinggalan di sekitar negeri Daya lainnya seperti: Makam Tuan Gle Pande seorang ahli persenjataan dan peralatan perang di gampong Pante Ceureumen, Makam Tuan Beureuha ahli pertanian sawah dan pengairan di Beureuha. Makam Tuan Meuntee asisten pertanian dan pengairan Tuan Beureuha dekat irigasi Beureuha. Makam Tuan Po Katong ahli peperangan di hulu Krueng Gapa. Makam Tuan Pante Ceureumen seorang ahli pemerintahan permukiman, sanitasi, dan kesehatan masyarakat di Pante Ceureumen. Makam Tuan Mareu ahli astronomi pertanian, pembuka kampung Mareu di Gampong Sabet. Makam Tuan Paloih ahli kebijakan pertanian, mulai sejak pembibitan sampai ke penanaman serentak. Makam Tuan Seulatan ahli penjinak binatang buas, ilmu kebal, juga ilmu besi di selatan Pantee Ceureumen. Makam Tuan Bak Awe, seorang pengajar karakter masyarakat di Pante Ceureumen. Makam Tuan Rhang, merupakan anak Tuan Po Katong di hulu Krueng Gapa.
Penutup
Menulis sejarah adalah mementaskan masa lalu ke masa kini dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan dalam historiografi. Bukti sejarah lokal negeri Daya, khususnya mengenai kerajaan Daya mengalami keterbatasan sumber referensi, baik lisan maupun tulisan. Namun masih sedikit kejelasan dengan adanya inskripsi pada makam seorang putri dari Sultan Alaidin Riayatsyah, yang bernama Siti Hur. Berdasarkan dari keterangan inilah asal-usul dari negeri Daya sedikit terungkap.
Namun, mementaskan masa lalu memang bukanlah perkara yang mudah seperti membalikkan telapak tangan. Merekontruksi kejadian-kejadian dalam rentang masa yang telah sangat lama dan periodisasi yang panjang untuk menuangkan dalam bentuk penulisan sejarah apa adanya dan sedetail-detailnya. Namun upaya menghadirkan masa lalu ke masa kini untuk mementaskannya dengan benar ke atas panggung sejarah sangat-sangat penting dilakukan paling tidak untuk menggali asal-usul, kebangkitan, kemunduran, bahkan kehancuran dari sebuah kerajaan lokal seperti Kerajaan Daya sehingga dapat diambil pelajaran yang berguna di masa yang akan datang untuk mengenali karakteristik dan jatidiri masyarakat di daerah ini.
Menelusuri kesejarahan Daya dengan berpijak pada petuah Von Ranke, “no document no history” agaknya sedikit terpenuhi dengan ditemukan beberapa sumber yang dapat dipercaya, di antaranya tulisan pada batu nisan dari Siti Hur dan tradisi kerajaan yang masih tersisa yaitu; Peumeunap dan Seumeuleung serta berbagai cerita rakyat yang berhubungan dengan Poteumereuhom Daya serta makam orang-orang yang berkarya di sekitar pemerintahan dan masyarakat di negeri Daya pada masa lalu. Selain itu, di dalam Hikayat Aceh, Bustanussalatin dan Nagarakertagama juga menyinggung sedikit tentang negeri Daya dengan berbagai sebutan. Bukti lain adalah letak geografis negeri Daya yang juga tidak dapat dipisahkan dari matarantai seasystem pada masa lalu, sebagai daerah yang berada tepat pada jalur “kapur barus” dan kemudian “lada hitam” di pesisir Barat Aceh. Letaknya yang sangat strategis di antara sentra produksi di Timur dan pasar dunia di India, Asia Barat dan Eropa di Barat tentunya menjadikan negeri ini sebagai salah satu rendezvous yang penting di masa lalu.
http://bulahguhang.blogspot.co.id/negeri-daya-dalam-catatan-sejarah-lokal.html
Kerajaan Daya
Kerajaan Daya didirikan para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu). Alasan mereka mengungsi ialah untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka. Raja Indra Jaya turut mengungsi ke suatu tanah datar yang subur di sebelah Gunung Geurutee. Melihat lokasi tersebut, Raja Indra Jaya beserta rombongan menetap di daerah tersebut sehingga dinamai Indra Jaya.
Kemudian serombongan mubaligh pimpinan Meurah Pupok (Teungku Sagop) datang ke Kerajaan Indra Jaya. Mereka berhasil mengembangkan Islam dan rajanya pun ikut menganut agama Islam. Akhirnya, Meurah Pupok diangkat menjadi raja dan kerajaannya bernama Kerajaan Daya.
Diantara raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhom Onga (Almarhum Onga). Setelah Onga mangkat, Kerajaan Daya mengalami kemunduran dan kekacauan. Akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja Kerajaan Daya dengan gelar Sultan Salathin Riayat Syah, sedangkan ayahnya, Sultan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, 885-895 H (1480-1490 M).
Ketika Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Syamsu Syah, 902-916 H (1497-1511 M) terjadi sengketa dengan Kerajaan Daya, bahwa Kerajaan Daya telah terpengaruh oleh hasutan Portugis. Akhirnya mereka kembali berdamai setelah Sultan Syamsu Syah (Raja Muda Ali Mughayat Syah) mengawini Puteri Raja Daya (Puteri Hur). Pada 7 Rajab 913 H (12 November 1508), Sultan Salathin Riayat Syah mangkat. Kerajaan ini, kemudian terkenal dengan Meureuhom Daya.
Kerajaan Daya didirikan para pengungsi dari Kerajaan Indra Jaya, sebuah Kerajaan yang berpusat di Bandar Panton Bie (Seudu). Alasan mereka mengungsi ialah untuk menghindari serangan tentara angkatan laut Negeri China yang menyerang negeri mereka. Raja Indra Jaya turut mengungsi ke suatu tanah datar yang subur di sebelah Gunung Geurutee. Melihat lokasi tersebut, Raja Indra Jaya beserta rombongan menetap di daerah tersebut sehingga dinamai Indra Jaya.
Kemudian serombongan mubaligh pimpinan Meurah Pupok (Teungku Sagop) datang ke Kerajaan Indra Jaya. Mereka berhasil mengembangkan Islam dan rajanya pun ikut menganut agama Islam. Akhirnya, Meurah Pupok diangkat menjadi raja dan kerajaannya bernama Kerajaan Daya.
Diantara raja yang terkenal namanya dari keturunan Meurah Pupok adalah Meureuhom Onga (Almarhum Onga). Setelah Onga mangkat, Kerajaan Daya mengalami kemunduran dan kekacauan. Akhirnya datanglah Raja Inayat Syah dan puteranya Riayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Putera mahkota Riayat Syah diangkat menjadi Raja Kerajaan Daya dengan gelar Sultan Salathin Riayat Syah, sedangkan ayahnya, Sultan Inayat Syah tetap memerintah Kerajaan Aceh Darussalam, 885-895 H (1480-1490 M).
Ketika Kerajaan Aceh Darussalam diperintah oleh Syamsu Syah, 902-916 H (1497-1511 M) terjadi sengketa dengan Kerajaan Daya, bahwa Kerajaan Daya telah terpengaruh oleh hasutan Portugis. Akhirnya mereka kembali berdamai setelah Sultan Syamsu Syah (Raja Muda Ali Mughayat Syah) mengawini Puteri Raja Daya (Puteri Hur). Pada 7 Rajab 913 H (12 November 1508), Sultan Salathin Riayat Syah mangkat. Kerajaan ini, kemudian terkenal dengan Meureuhom Daya.
facebook.com
Komentar
Posting Komentar