Kesultanan Pagaruyung (kabupaten tanah datar)
KERAJAAN PAGARUYUNG
Kerajaan Pagaruyung adalah sebuah kerajaan yang pernah berdiri di provinsi Sumatra Barat sekarang dan daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini berasal dari ibukotanya, yang berada di negeri Pagaruyung. Kerajaan ini didirikan oleh seorang pangeran dari Majapahit bernama Adityawarman pada tahun 1347. Kerajaan Pagaruyung menjadi Kesultanan Islam sekitar tahun 1600-an.
Walaupun Adityawarman merupakan pangeran dari Majapahit, ia sebenarnya memiliki darah Melayu. Dalam sejarahnya, pada tahun 1286, Raja Kertanegara menghadiahkan arca Amogapacha untuk Kerajaan Darmasraya di Minangkabau. Sebagai imbalan atas pemberian itu, Raja Darmas Raya memperkenankan dua putrinya, Dara Petak dan Dara Jingga untuk dibawa dan dipersunting oleh bangsawan Singosari. Dari perkawinan Dara Jingga inilah kemudian lahir Aditywarman.
http://ilmusosial.net/perkembangan-kerajaan-islam-di-sumatra.html
Bendera dan Cap Mohor Keraton
Kerajaan Pagaruyung
Pagaruyung adalah kerajaan yang pernah berdiri di Sumatera, wilayahnya terdapat di dalam provinsi Sumatera Barat sekarang. Nama kerajaan ini dirujuk dari nama pohon Nibung atau Ruyung,[1] selain itu juga dapat dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari Pagaruyung,[2] yaitu pada tulisan beraksara Jawidalam lingkaran bagian dalam yang berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalīfatullāh yang mempunyai tahta kerajaan dalam negeri Pagaruyung Dārul Qarār Johan Berdaulat Zillullāh fīl 'Ālam.[3] sayangnya pada cap mohor tersebut tidak tertulis angka tahun masa pemerintahannya. Kerajaan ini runtuh pada masa Perang Padri, setelah ditandatanganinya perjanjian antara Kaum Adat dengan pihak Belanda yang menjadikan kawasan Kerajaan Pagaruyung berada dalam pengawasan Belanda.[4]
Sebelumnya kerajaan ini tergabung dalam Malayapura,[5] sebuah kerajaan yang pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yang mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dalam Malayapura adalah kerajaan Dharmasraya dan beberapa kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
Sejarah
Berdirinya Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tidak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yang diterima oleh masyarakat Minangkabau tidak ada yang memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yang diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tidak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yang ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar.
Makam Para Raja Pagaruyung
Dari manuskrip yang dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa[7] disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupakan putra dari Adwayawarman seperti yang terpahat pada Prasasti Kuburajo dan anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yang disebut dalam Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali dan Palembang,[8] pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi[9] yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamanakan (kemenakan) telah terjadi pada masa tersebut.[10] Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yang beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dalam jumlah yang signifikan pada kawasan tersebut.[9]
Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, dan bertahta sebagai raja bawahan (uparaja) dari Majapahit.[11] Namun dari prasasti-prasasti yang ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yang menyebut sesuatu hal yang berkaitan dengan bhumi jawa dan kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377.[10]
Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.[11] Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawaberhasil dikalahkan.
Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yang merupakan lembaga musyawarah dari berbagai Nagari dan Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupakan semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat (Suku Minang).
Pengaruh Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha di Sumatera bagian tengah telah muncul kira-kira pada abad ke-13,[12] yaitu dimulai pada masa pengiriman Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanagara, dan kemudian pada masa pemerintahan Adityawarman dan putranya Ananggawarman. Kekuasaan dari Adityawarman diperkirakan cukup kuat mendominasi wilayah Sumatera bagian tengah dan sekitarnya.[6] Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar Maharajadiraja yang disandang oleh Adityawarman seperti yang terpahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, yang ditemukan di hulu sungai Batang Hari (sekarang termasuk kawasan Kabupaten Dharmasraya).
Arca Bhirawan
Dari prasasti Batusangkar disebutkan Ananggawarman sebagai yuvaraja melakukan ritual ajaran Tantris dari agama Buddha yang disebut hevajra yaitu upacara peralihan kekuasaan dari Adityawarman kepada putra mahkotanya, hal ini dapat dikaitkan dengan kronik Tiongkok tahun 1377 tentang adanya utusan San-fo-ts'i kepada Kaisar Cina yang meminta permohonan pengakuan sebagai penguasa pada kawasan San-fo-ts'i.
Prasasti Adityawarman
Beberapa kawasan pedalaman Sumatera tengah sampai sekarang masih dijumpai pengaruhi agama Buddha antara lain kawasan percandian Padangroco, kawasan percandian Padanglawas dan kawasan percandian Muara Takus. Kemungkinan kawasan tersebut termasuk kawasan taklukan Adityawarman.[11] Sedangkan tercatat penganut taat ajaran ini selain Adityawarman pada masa sebelumnnya adalah Kubilai Khan dari Mongol dan raja Kertanegara dari Singhasari.[14]
Pengaruh Islam
Perkembangan agama Islam setelah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yang berkaitan dengan sistem patrialineal, dan memberikan fenomena yang relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yang ditulis antara tahun 1513 dan 1515, mencatat dari ketiga raja Minangkabau, hanya satu yang telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya.[15]
Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir dan guru agama yang singgah atau datang dari Aceh dan Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yang terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil (Tengku Syiah Kuala), yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, adalah ulama yang dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yang pertama dalam tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif.[16]
Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan dan hal-hal yang pokok dalam adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yang terkenal: "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah", yang artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Qur'an. Namun dalam beberapa hal masih ada beberapa sistem dan cara-cara adat masih dipertahankan dan inilah yang mendorong pecahnya perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Padri yang pada awalnya antara Kaum Padri (ulama) dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dalam peperangan ini.[17]
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi dan beberapa istilah lain yang berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yang mengandung kata kudus yang berasal dari kata Quduus (suci) sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat dan Limo Kaum yang mengandung kata qaum jelas merupakan pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dalam perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik (Khatib), Bila(Bilal), Malin (Mu'alim) yang merupakan pengganti dari istilah-istilah yang berbau Hindu dan Buddha yang dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito (pendeta).
Hubungan dengan Belanda dan Inggris
"Terdapat keselarasan yang mengagumkan dalam corak penulisan, bukan saja dalam buku prosa dan puisi, tetapi juga dalam perutusan surat, dan pengalaman saya sendiri telah membuktikan kepada saya bahwa tidak ada masalah dalam menterjemahkan surat daripada raja-raja dari kepulauan Maluku, maupun menterjemahkan surat daripada raja Kedah dan Terengganu di Semenanjung Malaya atau dari Minangkabau di Sumatera".— Pendapat dari William Marsden.
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh,[18] dan mengakui para gubernur Aceh yang ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit dan memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yang menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, dan VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan
monopoli Aceh atas emas dan lada.[19] Selanjutnya VOC melalui seorang regentnya di Padang, Jacob Pits yang daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yang kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai.[20] Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674[21] dan digantikan oleh anaknya yang bernama Sultan Indermasyah.[22]
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666,[2] melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau dan pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupakan salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda dan Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.[23]
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tidak menyukai keberadaan VOC di Padang dan pernah berusaha membujuk Inggris yang berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tidak ditanggapi oleh pihak Inggris.[24] Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu,[25] dan waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang.[26] Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, dan waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso dan raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yang sama.[26] Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak dan pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas.[27] Walaupun kemudian setelah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yang signifikan dari kawasan tersebut.[28]
Sebagai akibat konflik antara Inggris dan Perancis dalam Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda dan kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yang sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri dan kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibu kota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yang terjadi.[29] Setelah terjadi perdamaian antara Inggris dan Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera dan Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
"Dari reruntuhan kota (Pagaruyung) ini menjadi bukti bahwa di sini pernah berdiri sebuah peradaban Melayu yang luar biasa, menyaingi Jawa, situs dari banyak bangunan kini tidak ada lagi, hancur karena perang yang masih berlangsung".— Pendapat dari Thomas Stamford Raffles.
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dalam pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Perang Paderi 1900
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara Kaum Padri dan Kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan puncaknya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibu kota kerajaan ke Lubuk Jambi.[30][31]
Karena terdesak oleh Kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, dan sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka.[2] Pada tanggal 10 Februari 1821[4] Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yang berada di Padang,[21] beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerja sama dalam melawan Kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tidak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung.[2] Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda.[17] Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari Kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah, raja terakhir di Minangkabau ini, wafat dan kemudian dimakamkan di Pagaruyung.[21]
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagarsyah pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya dan hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar.[21] Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.[2]
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan Kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis dan Ambon.[32] Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat dan Kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka dan bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia (Jakarta sekarang) sampai akhir hayatnya, dan dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.[33]
Setelah kejatuhannya, pengaruh dan prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yang berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan.[34] Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yang berada di Negeri Sembilan, dan Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yang dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris.[2] Sementara setelah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia Belanda untuk memberikan kedudukan yang lebih tinggi daripada sekadar Regent Tanah Datar yang dipegangnya setelah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda,[35] hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.[21]
Wilayah kekuasaan
Menurut Tomé Pires dalam Suma Oriental,[15] tanah Minangkabau selain dataran tinggi pedalaman Sumatera tempat di mana rajanya tinggal, juga termasuk wilayah pantai timur Arcat (antara Aru dan Rokan) ke Jambi dan kota-kota pelabuhan pantai barat Panchur (Barus), Tiku dan Pariaman. Dari catatan tersebut juga dinyatakan tanah Indragiri, Siak dan Arcat merupakan bagian dari tanah Minangkabau, dengan Teluk Kuantan sebagai pelabuhan utama raja Minangkabau tersebut. Namun belakangan daerah-daerah rantau seperti Siak, Kampar dan Indragiri kemudian lepas dan ditaklukkan oleh Kesultanan Malaka dan Kesultanan Aceh.[36]
Wilayah pengaruh politik Kerajaan Pagaruyung adalah wilayah tempat hidup, tumbuh, dan berkembangnya kebudayaan Minangkabau. Wilayah ini dapat dilacak dari pernyataan Tambo (legenda adat) berbahasa Minang ini:[37]
- Dari Sikilang Aia Bangih
- Hingga Taratak Aia Hitam
- Dari Durian Ditakuak Rajo
- Hingga Sialang Balantak Basi
Sikilang Aia Bangih adalah batas utara, sekarang di daerah Pasaman Barat, berbatasan dengan Natal, Sumatera Utara. Taratak Aia Hitam adalah daerah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah wilayah di Kabupaten Bungo, Jambi. Yang terakhir, Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau sekarang. Secara lengkapnya, di dalam tambo dinyatakan bahwa Alam Minangkabau(wilayah Kerajaan Pagaruyung) adalah sebagai berikut:
|
|
Pengaruh
Pengaruh kerajaan Pagaruyung melingkupi hampir seluruh pulau Sumatera seperti yang ditulis William Marsden dalam bukunya The history of Sumatra (1784).[26] Beberapa kerajaan lainnya di luar Sumatera juga mengakui kedaulatan Pagaruyung, walaupun bukan dalam hubungan pemberian upeti. Ada sebanyak 62 hingga 75 kerajaan kecil di Nusantara yang menginduk pada Pagaruyung, yang tersebar di Filipina, Brunei, Thailand, dan Malaysia, serta di Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat di Indonesia. Hubungan tersebut dibedakan berdasarkan gradasi hubungan, yakni sapiah balahan (garis keturunan perempuan), kuduang karatan (garis keturunan laki-laki), kapak radai, serta timbang pacahan yang merupakan keturunan kerajaan.[38]
Sistem pemerintahan
Aparat pemerintahan
Adityawarman pada awalnya menyusun sistem pemerintahannya mirip dengan sistem pemerintahan yang ada di Majapahit[16] masa itu, meskipun kemudian menyesuaikannya dengan karakter dan struktur kekuasaan kerajaan sebelumnya (Dharmasraya dan Sriwijaya) yang pernah ada pada masyarakat setempat. Ibukota diperintah secara langsung oleh raja, sementara daerah pendukung tetap diperintah oleh Datuk setempat.[39]
Setelah masuknya Islam, Raja Alam yang berkedudukan di Pagaruyung melaksanakan tugas pemerintahannya dengan bantuan dua orang pembantu utamanya (wakil raja), yaitu Raja Adat yang berkedudukan di Buo, dan Raja Ibadat yang berkedudukan di Sumpur Kudus. Bersama-sama mereka bertiga disebut Rajo Tigo Selo, artinya tiga orang raja yang "bersila" atau bertahta. Raja Adat memutuskan masalah-masalah adat, sedangkan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah agama. Bila ada masalah yang tidak selesai barulah dibawa ke Raja Pagaruyung. Istilah lainnya yang digunakan untuk mereka dalam bahasa Minang adalah tigo tungku sajarangan. Untuk sistem pergantian raja di Minangkabau menggunakan sistem patrilineal[40] berbeda dengan sistem waris dan kekerabatan suku yang masih tetap pada sistem matrilineal.[16]
Selain kedua raja tadi, Raja Alam juga dibantu oleh para pembesar yang disebut Basa Ampek Balai, artinya "empat menteri utama". Mereka adalah:
- Bandaro yang berkedudukan di Sungai Tarab.
- Makhudum yang berkedudukan di Sumanik.
- Indomo yang berkedudukan di Suruaso.
- Tuan Gadang yang berkedudukan di Batipuh.
Belakangan, pengaruh Islam menempatkan Tuan Kadi yang berkedudukan di Padang Ganting masuk menjadi Basa Ampek Balai. Ia mengeser kedudukan Tuan Gadang di Batipuh, dan bertugas menjaga syariah agama.
Sebagai aparat pemerintahan, masing-masing Basa Ampek Balai punya daerah-daerah tertentu tempat mereka berhak menagih upeti sekadarnya, yang disebut rantau masing-masing pembesar tersebut. Bandaro memiliki rantau di Bandar X, rantau Tuan Kadi adalah di VII Koto dekat Sijunjung, Indomo punya rantau di bagian utara Padang sedangkan Makhudum punya rantau di Semenanjung Melayu, di daerah permukiman orang Minangkabau di sana.
Selain itu dalam menjalankan roda pemerintahan, kerajaan juga mengenal aparat pemerintah yang menjalankan kebijakan dari kerajaan sesuai dengan fungsi masing-masing, yang sebut Langgam nan Tujuah. Mereka terdiri dari:
- Pamuncak Koto Piliang
- Perdamaian Koto Piliang
- Pasak Kungkuang Koto Piliang
- Harimau Campo Koto Piliang
- Camin Taruih Koto Piliang
- Cumati Koto Piliang
- Gajah Tongga Koto Piliang
Pemerintahan Darek dan Rantau
Dalam laporannya, Tomé Pires telah memformulasikan struktur wilayah dari tanah Minangkabau dalam darek (land) dan rantau (sea/coast),[15] walaupun untuk beberapa daerah pantai timur Sumatera seperti Jambi dan Palembang disebutkan telah dipimpin oleh seorang patih yang ditunjuk dari Jawa.
Kerajaan Pagaruyung membawahi lebih dari 500 nagari, yang merupakan satuan wilayah otonom pemerintahan. Nagari-nagari ini merupakan dasar kerajaan, dan mempunyai kewenangan yang luas dalam memerintah. Suatu nagari mempunyai kekayaannya sendiri dan memiliki pengadilan adatnya sendiri. Beberapa buah nagari kadang-kadang membentuk persekutuan. Misalnya Bandar X adalah persekutuan sepuluh nagari di selatan Padang. Kepala persekutuan ini diambil dari kaum penghulu, dan sering diberi gelar raja. Raja kecil ini bertindak sebagai wakil Raja Pagaruyung.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.[16]
Darek
Luhak nan Tigo | ||
---|---|---|
Luhak Tanah Data | Luhak Agam | Luhak Limopuluah |
Alam Surambi Sungai Pagu | Ampek-Ampek Angkek | Hulu |
Batipuah Sapuluah Koto | Lawang nan Tigo Balai | Lareh |
Kubuang Tigobaleh | Nagari-nagari Danau Maninjau | Luhak |
Langgam nan Tujuah | Ranah | |
Limokaum Duobaleh Koto | Sandi | |
Lintau Sambilan Koto | ||
Lubuak nan Tigo | ||
Nilam Payuang Sakaki | ||
Pariangan Padangpanjang | ||
Sungai Tarab Salapan Batua | ||
Talawi Tigo Tumpuak | ||
Tanjuang nan Tigo | ||
Sapuluah Koto di Ateh |
Di daerah Darek atau daerah inti Kerajaan Pagaruyung terbagi atas 3 luhak (Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tak nan Data, belakangan menjadi Luhak Tanah Data, Luhak Agam dan Luhak Limopuluah). Sementara pada setiap nagari pada kawasan luhak ini diperintah oleh para penghulu, yang mengepalai masing-masing suku yang berdiam dalam nagari tersebut. Penghulu dipilih oleh anggota suku, dan warga nagari untuk memimpin dan mengendalikan pemerintahan nagari tersebut. Keputusan pemerintahan diambil melalui kesepakatan para penghulu di Balai Adat, setelah dimusyawarahkan terlebih dahulu. Di daerah inti Kerajaan Pagaruyung, Raja Pagaruyung tetap dihormati walau hanya bertindak sebagai penengah dan penentu batas wilayah.
Rantau
Raja Pagaruyung mengendalikan secara langsung daerah Rantau. Iaboleh membuat peraturan dan memungut pajak di sana. Rantau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau. Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau nan duo terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).
Masing-masing luhak memiliki wilayah rantaunya sendiri. Penduduk Tanah Datar merantau ke arah barat dan tenggara, penduduk Agam merantau ke arah utara dan barat, sedangkan penduduk Limopuluah merantau ke daerah Riau daratan sekarang, yaitu Rantau Kampar, Rokan dan Kuantan. Selain itu, terdapat daerah perbatasan wilayah luhak dan rantau yang disebut sebagai Ujuang Darek Kapalo Rantau. Di daerah rantau seperti di Pasaman, kekuasaan penghulu ini sering berpindah kepada raja-raja kecil, yang memerintah turun temurun. Di Inderapura, raja mengambil gelar sultan. Sementara di kawasan lain mengambil gelar Yang Dipertuan Besar.
Pembagian daerah rantau adalah sebagai berikut:
Rantau Luhak Tanah Data
Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah atau daerah Kabupaten Kuantan Singingi
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
|
Rantau Luhak Agam
Ujuang Darek Kapalo Rantaunya
|
Rantau Luhak Limopuluah
|
Sementara kawasan Rantau Pasisia Panjang atau Banda Sapuluah Bandar Sepuluh) dipimpin oleh Rajo nan Ampek (4 orang yang bergelar raja; Raja Airhaji, Raja Bungo Pasang, Raja Kambang, Raja Palangai). Kawasan ini merupakan semacam konfederasi dari 10 daerah atau nagari (negeri), yang masing-masing dipimpin oleh 10 orang penghulu. Nagari-nagari tersebut adalah
- Airhaji
- Bungo Pasang atau Painan Banda Salido
- Kambang
- Palangai
- Lakitan
- Tapan
- Tarusan
- Batang Kapeh
- Ampek Baleh Koto Kabupaten Mukomuko
- Limo Koto Kabupaten Mukomuko
Nagari-nagari ini kemudian dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Inderapura, termasuk daerah Anak Sungai, yang mencakup lembah Manjuto dan Airdikit (disebut sebagai nagari Ampek Baleh Koto), dan Muko-muko (Limo Koto).
Selain ketiga daerah-daerah rantau tadi, terdapat suatu daerah rantau yang terletak di wilayah Semenanjung Malaya (Malaysia sekarang). Beberapa kawasan rantau tersebut menjadi nagari, kemudian masyarakatnya membentuk konfederasi (semacam Luhak), dan pada masa awal meminta dikirimkan raja sebagai pemimpin atau pemersatu mereka kepada Yang Dipertuan Pagaruyung, kawasan tersebut dikenal sebagai Negeri Sembilan, nagari-nagari tersebut adalah
- Jelai
- Jelebu
- Johol
- Klang
- Naning
- Pasir Besar
- Rembau
- Segamat
- Sungai Ujong
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Pagaruyung
Menurut Tambo
Tambo Alam Minangkabau secara spesifik menyebutkan beberapa orang yang diyakini sebagai penguasa Minangkabau,[2] meskipun keberadaan para penguasa ini belum pernah diverifikasi secara faktual.
- Puti Panjang Rambut II, ratu Minangkabau yang juga dikenal sebagai Bundo Kanduang, putri dari dari Yang Dipatuan Rajo Nan Sati;
- Dang Tuanku Sutan Rumandung, putra Puti Panjang Rambut II;
- Cindur Mato (Bujang Kacinduan) bergelar Rajo Mudo, putra dari Dayang Utama Istana yaitu Puti Kambang Bandahari;
- Sutan Lembak Tuah (Sutan Aminullah), putra Cindur Mato dengan Puti Reno Bulan, adik perempuan Puti Bungsu.
Bundo Kandung bersama Dang Tuanku dan Puti Bungsu, menurut legenda pergi menyelamatkan diri ke Nagari Lunang, sebuah nagari yang terletak dalam wilayah Kesultanan Inderapura. Mereka hijrah ke barat daya Minangkabau itu adalah demi menghindari ancaman Kerajaan Sungai Ngiang di Minangkabau Timur. Mande Rubiah dipercaya merupakan salah satu keturunan mereka di sana.
Zaman Hindu-Buddha
Berdasarkan manuskrip yang dipahatkan pada bagian belakang Arca Amoghapasa yang bertarikh 1347, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja di Malayapura dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[4]. Adityawarman memerintah dari tahun 1347 [5]dan pernah mengirim utusan ke Cina sebelum meninggal dunia pada tahun 1375. Berikutnya sebagai penganti adalah anaknya yang bernama Ananggawarman yang diketahui dari Prasasti Batusangkar. Dari Prasasti Suruaso yang beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yang senantiasa kaya akan padi yang sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yang menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak (paman) kepada kamananakan (keponakan) telah terjadi pada masa tersebut.[1]
Serangan Kerajaan Majapahit pada tahun 1409 dan 1411, melemahkan pengaruh Kerajaan Pagaruyung terhadap daerah jajahan atau (Rantau dalam Bahasa Minang). Sejak serangan terakhir Majapahit tidak diketahui siapa yang menjadi penganti dari Ananggawarman, sehingga tidak diketahui siapa yang menjadi raja di Pagaruyung.
Masuknya Islam
Yang Dipertuan Pagaruyung (atau Raja Alam) merupakan gelar yang dinobatkan kepada raja-raja Pagaruyung terutama semenjak periode Islam, dan merupakan salah seorang dari tiga raja Minangkabau atau dalam Bahasa Minang dikenal dengan sebutan Rajo Tigo Selo.
Maharajadiraja (1347-1417)
Raja-raja pada masa ini berasal dari dinasti Mauli yang sebelumnya memerintah kerajaan Malayapura di Dharmasraya.
Foto | Nama | Dari | Sampai | Keterangan | Gelar |
---|---|---|---|---|---|
Adityawarman | 1347 | 1375 | • Pendiri kerajaan | Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa | |
Ananggawarman | 1375 | 1417 | • Putra Adityawarman dan Putri Reno Jalito | Maharajadiraja Pagaruyung dan Malayapura |
Yang Dipertuan Pagaruyung
Nama | Dari | Sampai | Keterangan | Gelar |
---|---|---|---|---|
Ahmadsyah | 1668 | 1674 | • Tidak diketahui, muncul berdasarkan dari korespondensi surat-menyurat antara seorang regent VOC di Padang, Jacob Pits dengan raja Minangkabau, salah satunya surat tertanggal 9 Oktober 1668. | Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, penguasa Minangkabau yang kaya akan emas |
Indermasyah | 1674 | 1730 | • Putra dari Ahmadsyah, diketahui berdasarkan surat yang diterima regent VOC di Padang dan gubernur Belanda di Melaka, dimulai sejak tahun 1670. | Raja Suruaso, Yang Dipertuan Inderma |
Muningsyah | 1780 | 1821 | • Tidak diketahui secara pasti. | Sultan Arifin Muningsyah, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah |
Bagagarsyah | 1821 | 1833 | • Sultan terakhir Pagaruyung. Kemenakan Sultan Arifin Muningsyah, ia diangkat oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai regent Tanah Datar pada 1821. Wafat dalam tahanan Belanda di Batavia. | Sultan Tunggal Alam Bagagar, Sultan Alam Bagagar Syah |
Kudeta Di Pagaruyung (1514- 1524), Peristiwa Tragis Yang Terlupakan
Penyerbuan Dewang Parakrama
Dari pihak dalam negeri, ketidaksenangan terhadap pemerintahan Maharaja Dewana dan Raja Bagewang, ditimbulkan oleh Dewang Palokamo Pamowano (Dewang Parakrama Parmawana) atau Dewang Parakrama. Pangeran ini seorang dari Wangsa Malayupura yang tinggal di Darmasyraya. Jika di Pagaruyung para Pangeran (Puto-Puto) dan raja-raja dari Wangsa Melayupura telah menjadi pemeluk agama Islam yang taat sejak Daulat Yang Dipertuan Maharaja Sakti I, maka Dewang Parakrama masih menganut agama Budha Mahayana dari Tarikat Tantrayana. Sebagian keterangan tradisi mengatakan bahwa sebenarnya Pangeran ini tidak memeluk agama alias Pagan. Pangeran ini dari pihak kakek dan neneknya (dari belahan ayah maupun belahan ibu) sudah berada di kawasan sekitar Ulu Tebo. Kakeknya (ayah dari ayahandanya) menjadi Raja Ulu Tebo yang kemudian diganti ayahandanya. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama menggantikan.
Dewang Parakrama tidak pernah bersetia kepada Raja Ranah Sekelawi sebagai atasan yang ditunjuk Pagaruyung. Sebaliknya raja ini juga tidak menyatakan diri di bawah Raja Tebo yang merupakan wilayah bawahan Raja Jambi. Raja ini menyatakan dirinya sebagai raja merdeka, dan berdaulat sendiri. Untuk menunjukkan kemerdekaan dan kedaulatannya, raja ini memaklumkan dirinya sebagai Maharaja Swarnabhumi yang sah dengan menduduki Siguntur di Darmasyraya. Hal itu di mungkinkan karena sebelumnya dengan diam-diam Raja Pamowano (Dewang Parakarma) mengadakan perjanjian persaudaraan dengan Portugis, orang Rupik Sipa tokah dari Tanah Alang Buwana. Portugis berhasil merebut Malaka 1511 M, dan ini dijadikan sebagai batu loncatan untuk kemudian dengan memperalat kaki tangannya (Raja Pamowano) menguasai Sumatera, dengan mencoba merebut Pagaruyung. Emas berbungkal diserahkan/dijual raja ini kepada orang Rupik sebagai imbalannya.
Dengan demikian semua kawasan Darmasyraya (Tiga Laras) dapat ditundukkannya. Dari Darmasyraya, Dewang Parakrama memasuki kawasan Jambi. Pasukan Jambi memeberikan perlawanan. Pertempuran dahsyat dengan pasukan Jambi berlangsung dengan hebatnya di Tebo. Pasukan Jambi kewalahan, kemudian mundur dan kawasan kuala sungai Tembesi yang direbut oleh Dewang Parakrama. Tetapi kemudian kembali balik menyerang Tebo. Pasukan Dewang Parakrama dapat di pukul mundur ke hulu sungai Tembesi. Namun kawasan hulu Tembesi bahkan bebe rapa kawasan di Kerinci dapat direbutnya. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama kembali ke Darmasyraya, dan dari sini sebuah pasukan besar disiapkan. Dengan pasukan besar ini Dewang Parakrama memasuki Luak Tanah Datar.
Pada tahun kl. 1514, melalui sebuah pertempuran besar, Pagaruyung khususnya dan Luhak Tanah Datar umumnya jatuh ke tangan Dewang Parakrama. Maharaja De wana dan keluarga istana lainnya cerai berai akibat penyerbuan Dewang Parakrama yang dengan tiba-tiba sudah sampai saja ke istana. Maharaja Dewana sempat lolos dan menyingkir dengan dikawal sepasukan bersenjata ke Lipat Kain dan di Kampar Kiri Sedangkan permaisuri yakni Dewi Ranggowani, bersama Puti Reno Bulian (putri baginda), sudah diselamatkan terlebih dahulu ke Koto Anau Kubuang Tigo baleh. Untuk selanjutnya Dewang Parakrama menjadi raja di Pagaruyung dan dike nal dengan nama Maharajo Palokamo atau Maharaja Parakrama.
Pemerintahan Maharaja Parakrama (1514- 1524)
Maharaja Parakrama, hanya menguasai Luak Tanah Datar bagian utara dan ti mur, disamping kawasan Darmasyraya. Maharaja ini dengan segera membuka hu bungan resmi dengan Portugis di Melaka. Sebuah delegasi dipimpin oleh tiga orang pemuka kerajaan dikirim ke Melaka. Ketiganya adalah pemimpin-pemimpin penga nut Sekte Tantrayana agama Budha Mahayana. Karena Sekte Tantrayana merupakan sekte yang mengandalkan diri lewat mantra-mantra, karena itu dianggap penganutnya pemeluk kepercayaan animisme (Pagan) oleh Portugis. Sehingga pihak Portugis mencatat Minangkabau penduduknya pada saat itu tidak beragama, karena ketiga utusan yang datang ke Malaka menemui pimpinan Portugis itu penganut keperca yaan yang masih pagan (animisme). Tambo mengisyaratkan tentang raja ini , bahwa “agama orang Makah tak disukainya, agama lamapun malas memakai.”
Sebuah berita Portugis berasal dari penulis Jorge de Brito pada pertengahan abad ke-16 menceritakan: bahwa utusan yang dipertuan Minangkabau yang berkun jung keBandar Malaka masih “pagan”. Berita itu kiranya dapat dijadikan petunjuk, bahwa hingga pertengahan abad ke-16 agama Islam belum lagi berkembang di Alam Minangkabau, sekurang-kurangnya yang dipertuan Minangkabau dan anggota keluarga terdekatnya belum lagi menganut agama itu. (INI CERITA PORTUGIS).
Dari berita ini banyak pakar, penulis sejarah kita ikut menerima begitu saja bah wa Minangkabau pada abad ke 16 belum Islam. Pada hal Islam telah masuk ke Minangkabau dalam beberapa tahap perkembangannya sejak dari abad ke 7-8 M dengan masuknya komunitas Arab di Pesisir Barat Sumatera Barat (baca Hamka) kemudian pada abad ke 12 -13 M (naik dari Indrapura ke Pariangan) dan di awal abad ke 15 M sejak Yang Dipertuan Raja Nan Sakti I di Bukit Batu Patah murid Syaikh Maghribi, dan ayah kandung Daulat Yang Dipertuan Puteri Panjang Rambut II (Bundo Kandung-Mande Rubiah). Sampai kepada puncak kesempurnaan dan meratanya Islam di Minangkabau di zaman Syaikh Burhanuddin Ulakan Pariaman.
Hal ini juga terlihat dari sikap dan tindakan Maharaja Parakrama yang bertindak keras terhadap peniaga-peniaga beragama Islam. Ialah dengan cara melarang dari kalangan peniaga itu berdagang ke wilayah kerajaan .Yang dibenarkan hanyalah peniaga-peniaga beragama Budha Mahayana ataupun Hindu. Begitu juga peniaga-peniaga Minangkabau yang berada di luar negeri tetapi sudah memeluk Islam, dila rang datang berkunjung ke kampung halaman, apa lagi untuk berniaga. Sementara itu peniaga-peniaga dari kalangan bangsa Portugis pergi ke pelabuhan-pelabuhan utama wilayah timur untuk membeli emas dan membawanya ke Melaka. Penduduk yang beragama Islam ditindas, dan agama Budha Mahayana dari tarikat Tantrayana disebar luaskan kembali. Pendeta-pendeta utama berada di sekeliling baginda di Istana Pagaruyung.
Sementara itu kawasan pantai barat dicoba untuk direbut. Tetapi pada mulanya gagal. Barulah setelah mengerahkan jumlah pasukan yang cukup besar, beberapa kawasan di sepanjang pantai barat Minangkabau akhirnya jatuh ke tangan kekuasaan Maharaja Parakrama. Namun tak lama, kemudian lepas lagi. Berlainan dengan raja-raja sebelumnya, perniagaan emas dilakukan oleh orang-orang kerajaan dan men jualnya langsung ke tangan peniaga-peniaga asing yang datang ke pelabuhan pelabuhan dan pasar pasar pengekspor di wilayah timur. Semua keuntungan dan cukai diserahkan kepada Maharaja Parakrama untuk kepentingan kerajaan.
Luhak Limapuluh yang berhubungan rapat dengan kawasan timur, sejauh ini menjadi penghalang dari perniagaan yang diatur baginda. Maka Maharaja Parakrama mengerahkan tentaranya ke Luhak Limapuluh. Setelah bertempur mati-matian akhirnya Luhak Limapuluh pun jatuh ke tangan Pagaruyung. Suatu pertempuran di Mungka terjadi, dan pasukan Pagaruyung (pasukan Maharaja Parakrama) mencapai kemenangan. Mulai saat itu, kawasan rantau timur (termasuk Darmasyraya), Luhak Limapuluh dan bagian timur serta utara Luak Tanah Datar berada dibawah kekuasaan Maharaja Parakrama yang berkedudukan di Pagaruyung. Sedangkan kawasan Luhak Agam, kawasan Kubuang Tigobaleh (bagian selatan Luak Tanah Datar) dan wilayah rantau barat tidak berhasil direbut Pagaruyung (Maharaja Parakrama). Wilayah yang tak dapat dikuasai itu, tetap mengakui Maharaja Dewana sebagai Maharaja Suwarnabhumi – Minangkabau yang waktu itu mengungsi ke Koto Anau.
Perang Melawan Maharaja Parakrama
Untuk beberapa lama, seperti terjadi penghentian permusuhan Maharaja Parakrama berdaulat di wilayah kekuasaannya sedangkan Maharaja Dewana diakui untuk wilayah-wilayah yang masih setia kepadanya. Yang menunjukkan permusuhan di antara kedua belah pihak, ialah para pemimpin utama kerajaan ada yang pindah ke Luak Agam dan ada yang pindah ke Kubung Tigabelas. Datuk Nan Baranam di Istana Gudam beserta keluarga kerajaan dan Datuak Nan Batujuah di Istana Balai Janggo meninggalkan Pagaruyung. Yang mendampingi Maharaja Parakrama, di istana Balai Gudam benar-benar orang yang ditunjuk oleh Maharaja Parakrama. Seterusnya tidak diperkenankan siapapun dari Luak Agam, Rantau Mudik (Rantau Barat) dan Kubung Tigabelas memasuki wilayah yang dikuasai Maharaja Parakrama. Keadaan seperti api di dalam sekam.
Suatu gejolak timbul, dikarenakan pasukan bawahan Maharaja Parakrama me masuki wilayah Kubung Tigabelas. Ialah pasukan dari Maharaja itu yang ditempatkan di Saningbakar. Maka para pemuka Kubung Tigabelas melakukan perundingan di Supayang. Kemudian menghubungi Luak Agam. Akhirnya datanglah pihak Luak Agam. Kesepakatan kedua belah pihak ialah melakukan pembebasan Pagaruyung. Dengan segera baik di Luak Agam maupun di Kubung Tiga belas disusun pasukan yang kuat, untuk membebaskan Pagaruyung. Kedua pasukan dengan segera melaku kan penyerangan ke bagian utara Luak Tanah Datar.
Pertempuran yang berkobar tahun kl. 1524 ialah tahun ke-10 (sepuluh) pemerintahan Maharaja Parakrama, berkecamuk di Tanah Datar. Dalam pertempuran dah syat yang memakan waktu berhari-hari, akhirnya pasukan Maharaja Parakrama mun dur ke Darmasyraya. Tetapi pasukan inipun dapat diusir dari kawasan ini dan dikejar ke hilir Batang Hari. Setelah dihubungi Kerajaan Jambi, pasukan Jambi pun memu diki sungai sehingga pasukan Maharaja Parakrama terjepit.
Maharaja Parakrama sendiri menyingkir ke Jambi, tetapi dikejar oleh pasukan Jambi yang dipimpin oleh Panglima Kilangan Besi. Maharaja Parakrama membawa pasukannya ke Kerinci. Tetapi di Kerinci, baginda ini tertangkap dan dibawa ke Jambi. Di Jambi, Maharaja Parakrama diadili sebagai penjahat dan dijatuhi hukuman mati. Maharaja Parakrama dihukum mati atas titah Raja Jambi Rangkayo Hitam, sekaligus hukuman mati itu menandai mulainya kedamaian, baik bagi masyarakat Jambi sendiri maupun bagi masyarakat Kemaharajaan Swarnabhumi Pagaruyung.
Maharaja Dewana Kembali Bertakhta dan Portugis Menyerbu.
Pada tahun kl. 1525 Maharaja Dewana kembali bertakhta. Permaisuri dan putra-putra baginda dijemput ke Koto Anau, dan kembali berdiam di istana Melayu Kampung Dalam di Gudam Pagaruyung. Namun begitu baginda kembali bertakhta, Portugis mengirim ekpedisi militernya untuk merebut tambang emas di kawasan wilayah barat. Pasukan Portugis mendarat di Pasaman, di Pariaman, di Muara Pesisir (Rantau Empat Lurah), di Carocok Gaduang Intan, Sungai Nyalo, Salido dan di Indrapura. Pertempuran-pertempuran dahsyat terjadi. Portugis mengerahkan bajak laut berbangsa Cina dan India (Sipahi) untuk membantunya. Beberapa kerajaan kecil seperti Taluak Sinyalai Tambang Papan, Sungai Nyalo, Taluak Lelo Jati, Palinggam Jati di sepanjang pantai barat tenggelam karena aksi bumi hangus dan bumi angkat Portugis. Walaupun beberapa kerajaan kecil itu mulanya berupaya melawan namun sia-sia belaka.
Pemerintahan Pagaruyung mengirim pasukan tempur ke pesisir barat dan berhasil menghalau Portugis dari wilayah Pasaman. Berbarengan dengan itu, pihak Portugis juga satu demi satu meninggalkan pos-pos mereka di sepanjang pantai barat. Maharaja Dewana berusaha untuk membangun kembali kemaharajaan Suwarnabhumi. Namun pada waktu itu Aceh muncul di ujung utara pulau Sumatera. Atau tepatnya di ujung barat laut dari pulau yang memanjang ke tenggara. Maharaja Dewana tidak memandang kehadiran Aceh sebagai saingan, apalagi musuh, tetapi diterima sebagai negara sahabat. Banyak dari kalangan warga Kemaharajaan Swarnabhumi Pagaruyung (orang Minangkabau) yang pergi ke Aceh dalam rangka memperdalam ilmu agama Islam, disamping berniaga. Seperti diketahui juga, Aceh pada zaman itu merupakan serambi Mekah untuk tujuan melanjutkan perjalanan ke tanah suci. Walaupun sebagian ada yang mengambil jalan darat lewat Malaysia, Birma, India dan seterusnya menuju Jazirah Arab. Hubungan itu semakin erat dengan diambilnya adinda Sultan Aceh yang dikenal dengan nama Putri Keumala sebagai permaisuri Maharaja Dewana.
Perkawinan berlangsung dan pesta besar dilangsungkan di Aceh dan Pagaruyung. Di Aceh, Maharaja Dewana membagi-bagikan emas kepada para pembesar dan pemuka Aceh, mulai dari tingkat pusat sampai ke tingkat yang paling bawah sepanjang yang hadir pada pesta perkawinan. Karena emas yang cukup banyak dibawa dari Pagaruyung habis, maka Maharaja Dewana meminjam kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh, dengan janji begitu sampai di Pagaruyung, akan dikirim petugas khusus untuk mengantarkannya. Tetapi sesampai di Pagaruyung, bagindapun mengadakan pesta perkawinan yang lebih besar dan setiap pembesar yang hadir ditambah dengan tamu-tamu kerajaan diberi hadiah emas. Pengeluaran baginda baik ketika di Aceh maupun ketika di Pagaruyung menimbulkan kebangkrutan kerajaan.
Putri Keumala langsung ke Pagaruyung setelah pesta pernikahan di Aceh. Sebelum sampai baginda dan sang putri ke Pagaruyung, terlebih dahulu Dewi Ranggowani sang permaisuri, (istri I) meninggalkan Pagaruyung dan kembali ke Koto Anau. Juga ikut serta Putri Reno Bulian, yakni putri baginda dan sang Dewi. Maharaja Dewana menjadi marah, bahkan mengumumkan bahwa mulai saat kedatangan baginda dari Aceh, Dewi Ranggowani hanyalah seorang istri biasa bagi baginda. Sedangkan sebagai raja puteri (permaisuri) digantikan oleh Putri Keumala dengan nama Putri Reno Kumalo (Putri Ratna Kumala). Baginda juga membuat keputusan-keputusan tanpa bersidang dulu dengan Besar Empat Balai. Akibatnya, Besar Empat Balai menyatakan non-aktif dan tidak akan turut campur soal kerajaan. Sejak itu Maharaja Dewana mengendalikan kerajaan sendirian. Bersamaan dengan itu Kubung Tigabelas kembali kepada kehadirannya semula untuk tidak tunduk kepada pemerintahan kerajaan. Tindakan Kubung Tigabelas itu disusul oleh Tanjung Sungayang.
Putri Keumala langsung ke Pagaruyung setelah pesta pernikahan di Aceh. Sebelum sampai baginda dan sang putri ke Pagaruyung, terlebih dahulu Dewi Ranggowani sang permaisuri, (istri I) meninggalkan Pagaruyung dan kembali ke Koto Anau. Juga ikut serta Putri Reno Bulian, yakni putri baginda dan sang Dewi. Maharaja Dewana menjadi marah, bahkan mengumumkan bahwa mulai saat kedatangan baginda dari Aceh, Dewi Ranggowani hanyalah seorang istri biasa bagi baginda. Sedangkan sebagai raja puteri (permaisuri) digantikan oleh Putri Keumala dengan nama Putri Reno Kumalo (Putri Ratna Kumala). Baginda juga membuat keputusan-keputusan tanpa bersidang dulu dengan Besar Empat Balai. Akibatnya, Besar Empat Balai menyatakan non-aktif dan tidak akan turut campur soal kerajaan. Sejak itu Maharaja Dewana mengendalikan kerajaan sendirian. Bersamaan dengan itu Kubung Tigabelas kembali kepada kehadirannya semula untuk tidak tunduk kepada pemerintahan kerajaan. Tindakan Kubung Tigabelas itu disusul oleh Tanjung Sungayang.
Penyerbuan Aceh
Hutang Maharaja Dewana kepada Baitul Mal Kesultanan Aceh ditagih oleh Bendahara yang memegang kepemimpinan Baitul Mal itu kepada baginda. Tagihan itu melalui surat yang ditujukan kepada Putri Ratna Kemala. Tagihan pertama setelah baginda setahun selepas pernikahan. Namun baginda menjanjikan akan membawa kepada sidang Besar Empat Balai untuk dapat ditanggulangi atau dicarikan jalan keluarnya sehingga hutang terbayar. Besar Empat Balai tidak satupun memenuhi panggilan bersidang dari baginda. Tiga bulan berselang hutang itu tidak ditagih lagi.
Namun setelah tiga bulan itu, datang kembali tagihan untuk kedua kalinya. Maharaja amat gusar, karena harta benda yang ada di Pagaruyung tidak ada yang berarti untuk pembayarnya. Namun baginda membalas langsung ke Aceh dengan janji agar pengurus Baitul Mal bersabar. Dan baginda akan membayar dengan segera, begitu pungutan yang dilakukan dari pelabuhan-pelabuhan yang ada terlaksana. Baitul Mal kemudian masih memberi kesempatan kepada baginda dan tiga bulan lagi pun berlalu.
Kali ini Baitul Mal kembali mengirim surat tagihan yang juga dialamatkan ke pada Putri Kemala. Sang Putri merasa malu dan mengutarakan langsung kepada baginda. Tetapi Maharaja Dewana marah, dan menganggap sang putri terlalu membesar-besarkan persoalan. Pertengkaran mencapai puncaknya, ketika Maharaja mengusir sang putri. Putri Kemala bersedia berangkat meninggalkan Pagaruyung jika diceraikan langsung oleh baginda. Karena marahnya, maka bagindapun menceraikan sang permaisuri. Putri Kemala setelah bermalam di rumah seorang teman sejawat, dengan beberapa pengiring yakni dayang-dayang yang dibawa dari Aceh, meninggalkan Pagaruyung dan sampai di Koto Gadang Luak Agam. Di Koto Gadang, sang putri berdiam untuk sementara dan mengajar para gadis bertenun, menerawang dan menyulam.
Utusan yang dikirim Maharaja Dewana yang membawa pesan baginda agar sang putri kembali datang berkali-kali, namun ditolak. Sementara itu sang putri mengirim utusan khusus ke Aceh untuk menemui Sultan Aceh, mengabarkan nasib yang menimpa dirinya. Sultan Aceh bukan main marahnya. Pada tahun kl. 1528, tiga tahun setelah pernikahannya diusirnya sang putri dari Pagaruyung, dengan segera memanggil para mentrinya yang dipimpin oleh Wazir, atau Perdana Mentri Kesultanan Aceh. Dikirimlah suatu pasukan khusus untuk menjeput sang putri ke Koto Gadang Agam. Namun ketika sampai di Koto Gadang, sang putri telah berangkat terlebih dahulu dan sampai di Natal. Di Natal sang putri diterima oleh Raja Natal. Nantinya dengan restu Sultan Aceh, sang putri atau Putri Kemala menjadi permaisuri dari Raja Natal.
Seterusnya pasukan Aceh dikirim keBandar Muar (Tiku), dan seorang Khalifah yakni wakil dari Sultan Aceh ditempatkan di sana . Bandar Muar dirobah nama nya menjadi Bandar Khalifah. Kemudian tentara Aceh juga ditempatkan di Pariaman, di Padang, di Bayang, Painan dan Indrapura. Pasukan Aceh dalam waktu cepat menguasai bagian barat dari Kemaharajaan Suwarnabhumi Pagaruyung. Pada tahun kl. 1539 hampir seluruh pantai barat Minangkabau dari Bandar Khalifah sampai Indrapura jatuh ke tangan Aceh. Awal tahun 1539 itu pula Aceh menundukkan kerajaan–kerajan nagari. Mulai saat itu di wilayah kekuasaan Aceh di pantai barat Minangkabau, tidak lagi memiliki rumah bergonjong seperti di pedalaman dan kawasan lain, tetapi menggantinya dengan “rumah berlangkan” yang disebut rumah gadang “Surambi Aceh”.
Kedudukan Aceh di pesisir barat disahkan oleh Pagaruyung setelah berlangsung perundingan antara Kesultanan Aceh dengan Pagaruyung atas inisiatif Raja Bagewang yang mengambil alih permasalahan dari pihak Pagaruyung. Ditetapkan kawasan pesisir barat (Rantau Mudik) terkecuali Pasaman, dikuasai oleh Aceh. Untuk itu pihak Aceh tidak akan mencampuri pemerintahan kerajaan dan nagari yang telah ada. Di wilayah kekuasaan ini, Aceh memiliki hak monopoli perniagaan, dan setiap hasil dari pesisir barat yang dikuasai Aceh dikirim ke luar negeri melalui Aceh. Sebagai imbalannya, Pagaruyung dibebaskan dari segala hutang piutang.
Maharaja Dewana Turun Takhta
Kehilangan wilayah pesisir barat Minangkabau, dianggap karena “ulah” Maharaja Dewana yang dikenal dengan gelar Daulat Tuanku Maharaja Sakti seperti kakek moyangnya. Gelar ini diwarisi dari kakek moyangnya Daulat Yang Dipertuan Raja Nan Sakti (I) ayah kandung Putri Panjang Rambut II yang kemudian mewarisi takhta kerajaan sebagai Daulat Yang Dipertuan Putri Raja Alam Minangkabau.
Selepas perundingan dengan Aceh, para pemuka kerajaan menolak untuk bekerjasama dengan Maharaja Dewana. Tetapi tidak satupun yang mengingini Maharaja Dewana untuk turun takhta. Namun Maharaja Dewana tidak mampu untuk mengendalikan kerajaan, karena setiap titah yang dikeluarkan baginda tak satupun dari masyarakat yang mematuhinya. Setiap nagari mengurus diri mereka sendiri.
Akhirnya Maharaja Dewana menyatakan pengunduran dirinya. Maharaja Dewana turun takhta sekitar tahun 1539 M. Baginda setelah turun takhta sebentar menjenguk keluarga ke Koto Anau. Untuk selanjutnya berangkat meninggalkan segala kemegahan dan keluarga yang ada. Baginda berangkat ke Pagar Dewang Tanah Kahyangan dan berkhalwat di sana.
Kenapa berkhalwat harus ke Pagar Dewang … ? Kenapa tidak di Pagaruyung Gunung Marapi saja ….? Apa hubungan khalwat dengan Pagar Dewang…yang terletak jauh di ujung Pesisir Barat bagian Selatan yang dikenal juga dengan wilayah Kerajaan Kesultanan Indrapura ? Apakah seorang raja Pagaruyung ini sajakah yang pernah pergi berkhalwat ke Pagar Dewang … ? Banyak pertanyaan muncul dari kalangan pemerhati yang menyimak misteri ini.
Baginda digantikan oleh putra baginda yakni Dewang Sari Megowano dari keturunan Istano Gudam yang naik takhta dengan gelar Daulat Yang Dipertuan Rajo Maharajo, atau Raja Maharaja. Sri Baginda Maharaja Dewana dengan Putri Kemala tidak mempunyai keturunan. Dengan Dewi Ranggowani mempunyai putra putri yakni Dewang Sari Megowano, Puti Reno Bulian (permaisuri Raja Koto Anau), Puti Reno Kayangan Pagadewi (Permaisuri Raja Sungai Nyalo di Koto XI Tarusan), dan Puti Reno Mahligai Cimpago Dewi (permaisuri Raja Sungai Tarab Dewang Patualo Sanggowano Rajowano Datuk Bandaharo Putiah (VI). Dan secara khusus disebut juga oleh anak kemenakan beliau sebagai “Datuk Gudam” (Datuk dari Balai Gudam).
Dari hubungan kekeluargaan ini jelas pula terkait erat hubungan kerajaan Koto Anau, kerajaan Sungai Nyalo di Koto XI Tarusan dengan Datuk Bandaro Putih VI yang kemudian menjadi Raja Alam Minangkabau. Ketiga kerajaan ini menjadi kekuatan utama dalam melumpuhkan Portugis di Pesisir Barat Sumatera, dan ini tidak terlepas dari kordinasi kekuatan dan diplomasi intelektual yang dilakukan Raja / Sultan Kerajaan Kesultanan Indrapura zaman itu. Dibalik hubungan kerajaan, sebenarnya mereka memiliki hubungan kekerabatan yang amat dekat.
Kenapa sejarah ini dihilangkan? Lalu muncul di abad 16 Maharaja Alif yang dibesar-besarkan … ? Inilah pertanyaan besar, seakan akan sejarah Minangkabau Pagaruyung hanya dimulai dari Maharaja Alif dan menganggap pula bahwa Islam baru berkembang di zaman raja ini … sebelumnya bagaimana … ? Inilah sejarah Minangkabau Pagaruyung yang terputus (sekira 2 abad) sejak Ananggawarman (putra Adityawarman) abad 14 sampai munculnya Maharaja Alif (abad 16). Ada bagian sejarah “Minangkabau Pagaruyung” yang sengaja atau tidak sengaja hilang dalam perjalanan kemelut sejarahnya …. Semoga kita mendapatkan titik palito kembali.
https://mozaikminang.wordpress.com/kudeta-di-pagaruyung-1514-1524-peristiwa-tragis-yang-terlupakan/
Istano Basa Batu Sangkar (direnovasi setelah kebakaran sebelumnya)
Komentar
Posting Komentar