Kesultanan Serdang Sumatera Timur/ Utara
Kesultanan Serdang
Kesultanan Serdang berdiri tahun 1723 dan bergabung dengan Republik Indonesia tahun 1946. Kesultanan ini berpisah dari Deli setelah sengketa tahta kerajaan pada tahun 1720. Seperti kerajaan-kerajaan lain di pantai timur Sumatera, Serdang menjadi makmur karena dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit.
Serdang ditaklukkan tentara Hindia Belanda pada tahun 1865. Berdasarkan perjanjian yang ditandatangani tahun 1907, Serdang mengakui kedaulatan Belanda, dan tidak berhak melakukan hubungan luar negeri dengan negara lain. Dalam peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur tahun 1946, Sultan Serdang saat itu menyerahkan kekuasaannya pada aparat Republik.
Bendera dan Lambang Kesultanan Serdang
Wilayah Kekuasaan
Wilayah kekuasaan Kesultanan Serdang meliputi Batang Kuis, Padang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Kemudian wilayah Perbaungan juga masuk dalam Kesultanan Serdang karena adanya ikatan perkawinan.
Sejarah
Pendirian Kesultanan Deli
Menurut riwayat, seorang Laksamana dari Sultan Iskandar Muda Aceh bernama Sri Paduka Gocah Pahlawan, bergelar Laksamana Khoja Bintan, menikah dengan adik Raja Urung (negeri) Sunggal, sebuah daerah Suku Karo yang sudah sudah memeluk agama Islam. Kemudian, oleh 4 Raja-Raja Urung Suku Karo yang sudah Islam tersebut, Laksamana ini diangkat menjadi raja di Deli pada tahun 1630. Dengan peristiwa itu, Kerajaan Deli telah resmi berdiri, dan Laksamana menjadi Raja Deli pertama. Dalam proses penobatan Raja Deli tersebut, Raja Urung Sunggal bertugas selaku Ulun Jandi, yaitu mengucapkan taat setia dari Orang-Orang Besar dan rakyat kepada raja. Kemudian, terbentuk pula Lembaga Datuk Berempat, dan Raja Urung Sunggal merupakan salah seorang anggota Lembaga Datuk Berempat tersebut.
Kemelut di tubuh Kesultanan Deli
Dalam perkembangannya, pada tahun 1723 terjadi kemelut ketika Tuanku Panglima Paderap, Raja Deli ke-3 mangkat. Kemelut ini terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan Sampali ke wilayah Serdang.
Menurut adat Melayu, sebenarnya Tuanku Umar yang seharusnya menggantikan ayahnya menjadi Raja Deli, karena ia putera garaha (permaisuri), sementara Tuanku Pasutan hanya dari selir. Tetapi, karena masih di bawah umur, Tuanku Umar akhirnya tersingkir dari Deli. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.
Periode Pemerintahan
Penggabungan dengan Perbaungan
Kesultanan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Alma Shah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Alam Shah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Pada masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kesultanan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kesultanan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.
Putera Ainan Johan Alam Shah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyar Shah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.
Sultan Thaf Sinar Basyar Shah
Ketika Sultan Johan Alam Shah mangkat tahun 1817, adik Tuangku Zainal Abidin, yaitu Tuanku Sultan Thaf Sinar Basar Shah (memerintah 1817-1850) diangkat oleh Dewan Orang Besar menjadi raja menggantikan ayahnya. Ketika itu, sebenarnya Tuanku Zainal Abidin, Tengku Besar yang sudah tewas, memiliki putera, namun puteranya ini tidak berhak menjadi raja, sebab, ketika ayahnya meninggal dunia, statusnya masih sebagai Tengku Besar, bukan raja. Jadi, menurut adat Melayu Serdang, keturunan putera tertua tidak otomatis menjadi raja, karena sebab-sebab tertentu.
Dikuasai Belanda dan bergabung dengan Indonesia
Demikianlah, pemerintahan baru berganti dan keadaan terus berubah. Pada tahun 1865, Serdang ditaklukkan oleh Belanda. Selanjutnya, pada tahun 1907, Serdang menandatangani perjanjian dengan Belandayang melarang Serdang berhubungan dengan negeri luar. Setelah bertahun-tahun dalam pengaruh Belanda, akhirnya, pada tahun 1946, pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamshah, Serdang bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Struktur Pemerintahan
Raja Pertama
Struktur tertinggi di Kesultanan Serdang dipimpin oleh seorang Raja. Pada masa itu, peranan seorang raja adalah: Sebagai Kepala Pemerintahan Kesultanan Serdang.
- Sebagai Kepala Agama Islam (Khalifatullah fi’l ardh)
- Sebagai Kepala Adat Melayu.
Lembaga Orang Besar Berempat
Pada masa pemerintahan raja yang ke-2, Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817), tersusunlah Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang yang berpangkat Wazir Sultan, yaitu:
- Raja Muda (gelar ini kemudian berubah menjadi Bendahara)
- Datok Maha Menteri (wilayahnya di Araskabu)
- Datok Paduka Raja (wilayahnya di Batangkuwis) keturunan Kejeruan Lumu
- Sri Maharaja (wilayahnya di Ramunia).
Pembentukan Lembaga Orang Besar Berempat di Serdang ini, disebabkan Raja Urung Sunggal kembali ke Deli, sementara Raja Urung Senembah dan Raja Urung Tg. Merawa tetap menjadi raja di wilayah taklukan Serdang.
Sultan Ainan Johan Almashah memperkokoh Lembaga Empat Orang Besar di atas berdasarkan fenomena alam dan hewan yang melambangkan kekuatan, seperti 4 penjuru mata angin (barat, timur, selatan, utara), kokohnya 4 kaki binatang dan azas Tungku Sejarangan (4 batu penyangga untuk masak makanan). Lembaga itu juga melambangkan sendi kekeluargaan pada masyarakat Melayu Sumatera Timur yaitu: suami, isteri, anak beru (menantu) dan Puang (mertua). Demikianlah, pembentukan lembaga di atas didasarkan pada akar budaya masyarakat Serdang sendiri. Selanjutnya, lembaga inilah yang berperan dalam upacara perkawinan maupun perhelatan besar.
Jabatan Lainnya
Selain para pejabat istana di atas, Sultan juga dibantu oleh Syahbandar (perdagangan) dan Temenggong (Kepala polisi dan keamanan). Sultan Serdang menjalankan hukum kepada rakyat berdasarkan Hukum Syariah Islam dan Hukum Adat seperti kata pepatah, “Adat bersendikan Hukum Syara, Hukum Syara’ bersendikan Kitabullah”.
Penguasa/Sultan
Penguasa
- 1723-1782 Tuanku Umar Johan Pahlawan Alam Shah bin Tuanku Panglima Paderap (Kejeruan Junjungan), Raja Serdang
- 1782-1822 Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah ibni al-Marhum Tuanku Umar (Al-Marhum Kacapuri), Raja Serdang
Sultan
- 1822-1851 Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ibni al-Marhum Tuanku Ainan Johan Pahlawan Alam Shah (Al-Marhum Besar), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
- 1851-1879 Sultan Basyaruddin Syaiful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Thaf Sinar Bashar Shah (Al-Marhum Kota Batu), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
- 1879-1946 Sultan Sulaiman Syariful Alam Shah ibni al-Marhum Sultan Bashar un-din (Al-Marhum Perbaungan), Sultan dan Yang di-Pertuan Besar Serdang
Kepala Rumah Tangga
- 1946-1960 Tuanku Rajih Anwar ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Tengku Putra Mahkota, Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
Sultan
- 1960-2001 Sri Sultan Tuanku Abu Nawar Sharifullah Alam Shah al-Haj ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang
- 2001-2011 Sri Sultan Tuanku Lukman Sinar Bashar Shah II ibni al-Marhum Sultan Sulaiman Shariful Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.
- 2011 Sri Sultan Tuanku Achmad Thalaa Shariful Alam Shah, Sultan dan Kepala Rumah Tangga Istana Serdang.
Kehidupan Sosial-Budaya
Penulisan sejarah yang terlalu berorientasi politik, dengan titik fokus raja, keluarganya dan para pembesar istana menyebabkan sisi kehidupan sosial masyarakat awam jadi terlupakan. Oleh karena itu, bukanlah pekerjaan yang mudah untuk mendapatkan data mengenai kehidupan sosial-budaya pada suatu kerajaan secara lengkap. Berikut ini, sedikit gambaran mengenai kehidupan sosial budaya di Kerajaan Serdang pada periode pemerintahan Sultan Thaf Sinar Basyar Shah.
Catatan Utusan Kerajaan Inggris
Pada masa pemerintahannya, Serdang menjadi aman tenteram dan makmur karena perdagangan yang ramai. Ketika utusan Kerajaan Inggris dari Penang, Johan Anderson, mengunjungi Serdang tahun 1823, ia mencatat:
- Perdagangan antara Serdang dengan Pulau Pinang sangat ramai (terutama lada dan hasil hutan).
- Sultan Thaf Sinar Basyar Shah (juga bergelar Sultan Besar) memerintah dengan lemah lembut, suka memajukan ilmu pengetahuan dan mempunyai sendiri kapal dagang pribadi.
- Industri rakyat dimajukan dan banyak pedagang dari pantai barat Sumatera (orang Alas) yang melintasi pegunungan Bukit Barisan menjual dagangannya ke luar negeri melalui Serdang.
- Baginda sangat toleran dan suka bermusyawarah dengan negeri-negeri yang tunduk kepada Serdang, termasuk orang-orang Batak dari Pedalaman.
- Cukai di Serdang cukup moderat.
Pepatah Melayu
Semua hal di atas bisa terjadi karena Sultan berpegang teguh pada pepatah adat Melayu. Di antara pepatah dan adat tersebut adalah: secukap menjadi segantang, yang keras dibuat ladang, yang becek dilepaskan itik, air yang dalam diperlihara ikan;
- genggam bara, biar sampai menjadi arang (sabar menderita mencapai kejayaan);
- cencaru makan petang, bagai lebah menghimpun madu (meskipun lambat tetapi kerja keras maka pembangunan terlaksana);
- hati Gajah sama dilapah, hati kuman sama dicecah (melaksanakan kerja pembangunan dengan berhasil baik bersama-sama).
Dalam perkembangannya, karena Sultan Thaf Sinar Basyar Shah ini amat berpegang teguh pada adat Melayu disertai sikap lemah lembut dan sopan, akhirnya banyak rakyat Batak di pedalaman yang masuk Melayu (Islam). Atas dasar jasa-jasanya, maka, ketika Sultan Thaf Sinar Basarshah mangkat pada tahun 1850, para Orang Besar dan rakyat Serdang memberikan penghormatan untuknya dengan gelar Marhom Besar.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Serdang
Istana Darul Arif
Perkembangan Kesultanan Serdang
Sejarah berdiri dan berkembangnya Kesultanan Serdang (1720-1946) tidak bisa dipisahkan dari peranan agama Islam yang turut mempengaruhi dan mewarnai era kegemilangannya. Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang di Kesultanan Serdang meliputi perdagangan, perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Di zaman Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah yang berlangsung cukup lama yakni dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946), Islam semakin berkembang dengan pesat. Selain sebagai kepala pemerintahan, Sultan juga adalah Khalifah Fil Ardi, atau disebut juga dengan Amirul Mukminin dimana Sultan juga mengangkat alim ulama untuk mengurusi seluk-beluk keagamaan dengan melantik Qadhi, membentuk Majelis Syar’i yang berfungsi untuk menjalankan syariat Islam di tengah masyarakat, mendirikan madrasah dan sekolah.
Temuan hasil penelitian ini menyatakan bahwa (i) proses masuk dan berkembangnya Islam di Serdang dapat dilihat melalui jalur perdagangan, dakwah, perkawinan, ajaran tasawuf (tarekat), kesenian, pendidikan dan juga politik. Semua unsur tersebut mendukung proses berkembangnya Islam di Serdang. (ii) Masuknya Islam membawa pengaruh yang besar terhadap budaya Melayu sehingga memberikan ciri keislaman yang kuat. Pandangan hidup orang Melayu menjadi identik dengan pandangan hidup berdasarkan Islam. Oleh karena itu, muncul pemahaman bahwa salah satu syarat untuk menjadi orang Melayu adalah dengan memeluk Islam. Apabila seorang non-Islam melepaskan agamanya kemudian menganut Islam, maka ia diakui sebagai orang Melayu.
(iv) Melayu identik dengan agama Islam, hal ini merupakan fakta sejarah yang tak dapat dipungkiri. Di tengah-tengah masyarakat lazim dikenal dengan istilah masuk Melayu yang berarti masuk Islam. Demikian juga halnya dengan Kesultanan Serdang. Dapat dikatakan hampir seluruh elemen dalam Kesultanan Serdang merupakan elemen Islam. Kesultanan Serdang juga memiliki lambang kerajaan yang berbentuk bulan setengah bulatan sebagaimana lambang kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Ada juga motto kerajaan yang berada di atas pita yang berbunyi Al Watsiqu billah, ditulis dengan aksara Arab. Tulisan itu mempunyai makna berpegang teguh kepada tali Allah. Sesuai dengan maksudnya bahwa Kerajaan Serdang menggunakan syariat Islam.
(v) Nuansa Islam mewarnai kehidupan Melayu dengan berbagai dimensinya. Islam terefleksikan dalam dua aspek budaya Melayu Serdang, yaitu seni dan ritual. Unsur-unsur Islam yang terdapat dalam banyak kesenian Melayu di kawasan Pesisir Timur Sumatera Utara antara lain: Zapin, Zikir, Berzanji, Marhaban, Rodat, Ratib, Hadrah, dan Nasyid, salah satu dari enam jenis klasifikasi kelompok tarian Melayu menurut Shepperd.
Sedangkan untuk pelaksanaan dan pelestarian ritual adat Melayu, sangat terkait antara lain dengan peran raja. Sejak berdirinya Kerajaan Serdang di tahun 1723 M, raja berkuasa atas 3 unsur yaitu (1) Sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan, (2) Sebagai Khalifatullah Fil Ard (Pemimpin Agama Islam), dan (3). Sebagai Kepala Adat. Upacara upacara ritual masyarakat Melayu Serdang sangat banyak ragamnya, mulai dari ritual yang dilakukan bila seseorang melahirkan sampai pada upacara perkawinan. upacara ini disebut juga dengan istilah ritus-ritus peralihan (rites of the passages) yang saat ini masih sebagian besar dipercayai oleh masyarakat Melayu Serdang. Berdasarkan Konvensi Adat Melayu Serdang, ritual adat Melayu Serdang mencakup Ritual adat terkait siklus kehidupan, seperti perkawinan, upacara seputar kelahiran, upacara kematian, dan ritual terkait mata pencaharian seperti Jamu laut, Tolak bala, Tarian lukah, dan Mandi berminyak.
Penelitian menghasilkan dua rekomendasi yang ditujukan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk pemerintah pusat cq Kementerian Agama, diharapkan tetap memberikan perhatian yang serius terhadap penelitian kerajaan-kerajaan Islam yang pernah ada di Nusantara yang telah mewarnai penyebaran agama Islam di negeri ini. Sedangkan untuk pemerintah daerah diharapkan dapat memelihara keberadaan situs-situs sejarah, khususnya yang berkaitan dengan kerajaan Islam, agar generasi mendatang tetap dapat menyaksikan peninggalan sejarah yang ada di daerahnya.
http://lektur.kemenag.go.id/
Masjid Raya Sulaimaniyah
Keraton Serdang yang Lama
Komentar
Posting Komentar