Kesultanan Linge Aceh
Kerajaan Linge adalah sebuah kerajaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empuberu, Sibayak Linge, Merah Johan, Merah Linge.
Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.
Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari Sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud Syah (1012-1038 M). Pusaka ini diberikan saat Adi Genali membangun Negeri Linge pertama di Buntul Linge bersama dengan seorang perdana menteri yang bernama Syekh Sirajuddin yang bergelar Cik Serule.
Silsilah keturunan Kerajaan Linge dari Suku Gayo
Kute Reje sekarang namanya Provinsi Aceh.
Kute Reje sekarang namanya Provinsi Aceh.
1. Reje Linge Ke I Ahmad Syarief
2. Raja Linge Ke II Meurah Ishaqsyah
3. Raja Linge Ke III Meurah Jernang
4. Raja Linge Ke IV Adi Genali
5. Reje Linge Ke V Johansyah
6. Raja Linge Ke VI Bujang Lano
7. Raja Linge Ke VII Kejurun Jagong
8. Raja Linge Ke VIII Uyub
9. Raja Linge Ke IX Hud
10.Raja Linge Ke X Mahmud
11.Raja Linge Ke XI M.Saleh
12.Raja Linge Ke XII Lhut
13.Raja Linge Ke XIII Bukit
14.Raja Linge Ke XIV Alisyah
15.Raja Linge Ke XV Aman Nyak
16.Raja Linge Ke XVI Cut
17.Raja Linge Ke XVII Sasa
18.Raja Linge Ke XVIII Abdul Muthalib
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/sultan-of-linge/
2. Raja Linge Ke II Meurah Ishaqsyah
3. Raja Linge Ke III Meurah Jernang
4. Raja Linge Ke IV Adi Genali
5. Reje Linge Ke V Johansyah
6. Raja Linge Ke VI Bujang Lano
7. Raja Linge Ke VII Kejurun Jagong
8. Raja Linge Ke VIII Uyub
9. Raja Linge Ke IX Hud
10.Raja Linge Ke X Mahmud
11.Raja Linge Ke XI M.Saleh
12.Raja Linge Ke XII Lhut
13.Raja Linge Ke XIII Bukit
14.Raja Linge Ke XIV Alisyah
15.Raja Linge Ke XV Aman Nyak
16.Raja Linge Ke XVI Cut
17.Raja Linge Ke XVII Sasa
18.Raja Linge Ke XVIII Abdul Muthalib
https://sultansinindonesieblog.wordpress.com/sumatera/sultan-of-linge/
Kerajaan Linge didirikan pada tahun 986 M ?
Sering kali saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana asal muasal kerajaan Linge, sejak kapan sebenarnya kerajaan Linge berdiri? Kenapa sedikit sekali literatur yang membahas masalah keraan Linge? Adakah bukti-bukti untuk itu?.
Salah satu literatur yang saya jadikan acuan adalah sejarah Kerajaan Syiah di nusantara. Syiah hadir sejak awal Islam masuk ke Nusantara. Bahkan, menurut beberapa sejarawan, kerajaan Islam pertama di Nusantara didirikan oleh Syiah: Kerajaan Perlak. Bukti arkeologisnya makam Raja Perlak pertama, Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah, di Peureulak, Aceh Timur.
Pada tahun 800 Masehi, sebuah kapal dagang berlabuh di Bandar Perlak. Armada itu mengangkut seratus saudagar Muslim Arab Quraisy, Persia, dan India, yang dipimpin nakhoda Khalifah. Mereka membarter kain, minyak atar, dan perhiasan dengan rempah-rempah. “Rombongan misi Islam yang dipimpin Nakhoda Khalifah semuanya orang-orang Syiah,” tulis sejarawan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan Ahlussunnah.
Sejak itu, mereka kerap datang ke Bandar Perlak sehingga banyak orang Perlak masuk Islam, termasuk Meurah (Maharaja) Perlak dan keluarganya. Sebagai penghargaan kepada Nakhoda Khalifah, pada tahun 840 Masehi diproklamasikan kerajaan Perlak yang beribukota Bandar Khalifah, saat ini letaknya sekira enam kilometer dari kota Peureulak. “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Indonesia yaitu Perlak, boleh dinamakan Daulah Syi’iyah (Kerajaan Syi’ah),” simpul Hasjmy.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Aziz Shah, yang beraliran Syiah dan merupakan keturunan Arab dan menikah dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.(Siti Rahmah.Perempuanku Sayang, Perempuanku Malang)
Pergolakan Sunni – Syiah berlangsung beberapa tahun, sampai pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
– Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
– Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
– Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
– Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Dibawah kepemimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, kaum sunni membuka kawasan baru sebagai basis kerajannya di sekitar daerah Lokop Serba Jadi. Inilah cikal bakal kerjaan Linge. Pada saat terbentuknya kerajaan Suni ini, Kerajaan Perlak diserang oleh kerjaan Sriwijaya. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan kembali ke Perlak untuk merebut kerajaan Perlak yang telah dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Beliau memimpin perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006.
Selama 20 tahun lamanya pertempuran melawan kerajaan Sriwijaya, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan memerintahkan sebagian kaum suni yang masih tingal di kawasan Lokop Serbe Jadi untuk bertahan di pegunungan. Kaum Sunni ini bergerak sekitar 34 km masuk kepedalaman untuk membuka kawasan baru.
Menurut Tgk. Ilyas Leube dalam kekeberen Gayo yang sempat direkam pada tahun 1976, beliau mengkisahkan bahwa bentuk bendera kerajaan Linge, pada bagian atas tertulis kaliamat Syahadat dan bagian bahwah bertuliskan nama para sahabat nabi yang 4 ; Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali.
Salah satu bukti hubungan Kerajaan Linge dengan kerajaan Perlak adalah setempel Reje Linge yang antara lain bertuliskan “…. Lingga Negara Perlak Aceh” yang diterjemahkan oleh Masykur A. Badal.
http://lintasgayo.co/kerajaan-linge-didirikan-pada-tahun-986-m
Sejarah Kerajaan Linge
Kerajaan Lingga atau Linge (dalam bahasa gayo) di tanah Gayo, menurut M. Junus Djamil dalam
bukunya "Gajah Putih" yang diterbitkan oleh Lembaga Kebudayaan Atjeh
pada tahun 1959, Kutaraja, mengatakan bahwa sekitar pada abad ke-11
(Penahunan ini mungkin sangat relatif karena kerajaan Lamuri telah eksis
sebelum abad ini, penahunan yang lebih tepat adalah antara abad ke 2-9
M), Kerajaan Lingga didirikan oleh orang-orang Gayo pada era
pemerintahan Sultan Machudum Johan Berdaulat Mahmud Syah dari Kerajaan
Perlak. Informasi ini diketahui dari keterangan Raja Uyem dan anaknya
Raja Ranta yaitu Raja Cik Bebesan dan dari Zainuddin yaitu dari
raja-raja Kejurun Bukit yang kedua-duanya pernah berkuasa sebagai raja
di era kolonial Belanda.
Raja Lingga I, disebutkan mempunyai 4 orang anak. Yang tertua seorang
wanita bernama Empu Beru atau Datu Beru, yang lain Sebayak Lingga (Ali
Syah), Meurah Johan (Djohan Syah) dan Meurah Lingga(Malamsyah).
Sebayak Lingga kemudian merantau ke tanah Karo dan
membuka negeri di sana dia dikenal dengan Raja Lingga Sibayak. Meurah
Johan mengembara ke Aceh Besar dan mendirikan kerajaannya yang bernama
Lamkrak atau Lam Oeii atau yang dikenal dengan Lamoeri dan Lamuri atau
Kesultanan Lamuri atau Lambri. Ini berarti kesultanan Lamuri di atas
didirikan oleh Meurah Johan sedangkan Meurah Lingga tinggal di Linge, Gayo,
yang selanjutnya menjadi raja Linge turun termurun. Meurah Silu
bermigrasi ke daerah Pasai dan menjadi pegawai Kesultanan Daya di Pasai.
Kesultanan Daya merupakan kesultanan syiah yang dipimpin orang-orang
Persia dan Arab.
Meurah Mege sendiri dikuburkan di Wihni Rayang di Lereng Keramil Paluh di daerah Linge, Aceh Tengah. Sampai sekarang masih terpelihara dan dihormati oleh penduduk.
Penyebab migrasi tidak diketahui. Akan tetapi menurut riwayat dikisahkan
bahwa Raja Lingga lebih menyayangi bungsunya Meurah Mege. Sehingga
membuat anak-anaknya yang lain lebih memilih untuk mengembara.
http://emanrejeguru.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-linge.html
Lubang Sejarah Kerajaan Linge
Sebuah papan penunjuk arah menjadi penanda masuk ke
sebuah makam kuno. “18 kilometer meuju Makam Raja Linge”. Di atasnya
tertulis, “bangsa yang besar, bangsa yang menghargai sejarahnya”. Papan
petunjuk itu saya jumpai setelah melalui perjalanan di atas aspal mulus
jalan negara dari Kota Takengon, Aceh Tengah, sekira 60 kilometer,
menuju Kota Blangkejeren, Gayolues.
Perubahan drastis langsung terasa. Kijang Inova yang tadinya meluncur mulus, kini harus membatasi kecepatan kalau tak mau seluruh penumpang terguncang keras. Fauzan, sopir yang setia mengantarkan kami dari Bandaaceh, harus ekstracermat memilih “lubang” yang bakal dilalui, karena memang tak ada ruas jalan yang rata. Tubuhnya mencondong ke depan. Tangannya mencengkram setir. Hampir tak ada senyum di wajahnya membayangkan 18 kilometer perjalanan yang sungguh tak mengenakkan. “Harusnya kita naik double cabin atau jeep,” ujarnya menggerutu dengan suara yang hampir tak terdengar.
Kondisi ruas jalan menuju makam Raja Linge belum teraspal. Para peziarah yang menggunakan kenderaan roda dua dan empat harus berjalan merayap. Debu dan kerikil yang bertebaran di sepanjang jalan membuat Fauzan meminta seluruh penumpang menutup rapat-rapat seluruh kaca jendela. Jarum speedometer tak bergerak dari angka 20 kilometer per jam.
Ini adalah hari kedua perjalanan saya dan teman-teman di Tanah Gayo –dan perjalanan pertama saya ke daerah Aceh Tengah. Kami berangkat dari Bandaaceh Jumat dua pekan lalu, seusai salat Jumat. Adli Abdullah, seorang pemerhati sejarah Aceh, duduk di kursi depan. Dalam perjalanan ini, ia bertugas sebagai “navigator”, menemani Fauzan. Saya dan dua dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Enzus dan Indra duduk di barisan tengah. dan dan di belakang duduk teman saya, Sulaiman Tripa, yang juga mengajar di fakultas tersebut. Dalam perjalanan ini, ia membawa serta istrinya.
Tidak banyak kenderaan yang memasuki kawasan itu. Hanya dua kendaraan berplat merah yang sempat berselisih dengan kendaraan kami. Saya juga tak melihat rumah-rumah penduduk di sepanjang perjalanan. Daerah itu sama sekali tak menunjukkan jejak sebuah kerajaan besar yang pernah berdiri di Aceh. Deretan pinus menambah kesunyian di jalan, beberapa hanya tinggal tunggul karena ditebang. Butuh waktu sekitar satu jam untuk bisa memasuki Dusun Buntul, Kampung Linge, Kecamatan Linge, tempat jenazah Raja Adi Genali, Raja Linge pertama dimakamkan.
“Mungkin kalau hujan, kita bakal tak bisa lewat,” ujar saya yang diiyakan oleh kawan-kawan yang lain. Tak hanya jalan berlubang dan berdebu, untuk sampai di sana, kami juga harus melitasi sungai kecil. Tak ada jembatan. Fauzan hati-hati mengemudikan kendaraan. Ia tak mengurangi kecepatan saat mobil satu gerdang itu melintasi sungai. Ia takut mobil terjebak lubang di sungai itu.
Akhirnya kami tiba juga di Buntul. Pinggang terasa pegal. Perjalanan 18 kilometer ini memang menguras energi dan emosi. Di sana, kami menyingahi sebuah gubuk kecil tempat keluarga Mat Amin. Mat Amin adalah penjaga Istana Linge dan makan Raja Adi Genali. Istana yang dijaga Mat Amin berbentuk rumah Aceh berukuran 50x10 meter. Seluruh tiang dan dinding terbuat dari kayu damar, beratap rumbia. Beberapa bagian dinding terlihat lapuk. Mat Amin mengoleskan oli bekas ke bagian-bagian yang lapuk agar tak terus dimakan rayap. Di bagian depan, tertulis Umah Pintu Ruang.
Di samping rumah itu terdapat sebuah bangunan kecil. Di dalam bangunan ini, terdapat dua kuburan. Salah satunya adalah makam anak Raja Adi Genali dan sebuah sumur, yang konon, kata Mat Amin, airnya tak pernah kering. “Itu kuburan keramat, dulu pernah mengeluarkan cahaya. Kami menyebutnya makam cahaya,” kata Keucik Linge Karimansyah, yang berjanji menemani kami selama menziarahi situs itu.
Menurut Adli Abdullah, Kerajaan Linge merupakan sebuah kerajaan awal dan berpengaruh di Aceh. Kerajaan Linge terbentuk sekitar 1025 Masehi (416 Hijriah) yang dipimpin oleh Adi Genali—Kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam berlangsung pada 1590-1636.Bersamaan dengan itu ia diberi gelar Cik Serule (Paman Serule) karena membangun kerajaan di Linge. Serule merupakan sebuah perkampungan di kecamatan itu.
Dalam sebuah litelatur yang memuat perbincangan Tengku Hadji Ilyas Leube (Allahuyarham) disuatu malam pada 26 Oktober 1976, ditulis Raja Genali adalah seorang raja Islam berasal dari Turki. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Kawe Tepat atau Tengku Kik Betul. Kerajaan ini berlangsung hingga keturunan ke-17.
Kerajaan ini lebih dulu mengenal Islam ketimbang kerajaan lain di Aceh. Bahkan raja-raja yang memerintah di Aceh merupakan keturunan Raja Linge. Seperti Meurah Silu adalah Sultan Malikussaleh. Dia merupakan Orang Gayo yang menyatukan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peureulak, yang akhirnya menjadi Sultan Pertama di Kerajaan Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara. Dan Meurah Johan atau Johansyah yang kemudian menjadi Sultan Aceh Pertama yang memimpin Kesultanan Kute Reje.
Setelah puas memperhatikan istana, kami pun bergerak naik ke bukit, sekira 600 meter dari istana itu. Tujuan berikutnya adalah makam Raja Linge. Kami bersemangat kembali. Dorongan rasa ingin tahu membuat kami menyisihkan sejenak rasa penat. Perjalanan menuju malam tak bisa dilakukan di atas kendaraan beroda empat. Untuk sampai di makam itu, kami melintasi hutan lebat yang dibelah jalan setapak. Lagi, kami harus melewati sebuah alur sungai. Setelah melintasi sungai itu, di hadapan kami, tersusun ratusan anak tangga purba. “Ayo, sikit lagi,” kata Sulaiman setelah melihat saya ngos-ngosan.
Saya seakan tak mempercayai penglihatan saya. Nama besar Raja Linge seolah tak berbekas di makam itu. Kondisinya sangat memprihatinkan. Tak lebih baik dari kandang ayam. Sebagian ornamen, di bagian atas dan bawah, copot. Keramik yang membatasi deretan tujuh kuburan dibuat asal-asal. Di sinilah raja pertama di Aceh di semayamkan. Namun, tak ada kekhasan di makam itu. Hanya deretan nisan yang sebagian sudah miring sebagai petunjuk makam sang raja. Kompleks makam itu sendiri tersuruk di dalam hutan.
Keucik Karimansyah menyayangkan minimnya perhatian pemerintah setempat. Padahal, katanya, di sini, bersemayam jenazah seorang raja yang memiliki peran besar di Aceh. “Banyak orang menziarahi makam raja ini, dari Jakarta, Surabaya, dan Purbalingga. Tapi pemerintah setempat tak peduli. Kami juga tak mempunyai uang untuk memperbaiki kuburan ini,” katanya.
Praktis, untuk biaya perawatan, penjaga kubur dan warga setempat mengandalkan pemberian para peziarah. Seorang peziarah asal Purbalingga, kata Karimansyah, mengaku menyayangkan buruknya kondisi makam Raja Linge dan Istana Tujuh Kamar. “Di sana, makam raja-raja diurus agar orang mau mendatangi dan mengenal asal dan cerita tentang kerajaan itu,” ujar Karimansyah menirukan perkataan peziarah tersebut.
Pikiran saya berbalik ke petunjuk arah ke Istana Raja Linge. Tulisan “bangsa yang besar, bangsa yang menghargai sejarahnya” seolah menohok. “Apakah kami memang tak menghargai sejarah, sehingga kami tak pernah menjadi bangsa yang besar?” Pikiran itu terus berkecamuk sepanjang perjalanan meninggalkan makam Raja Linge dan Istananya yang tak terurus.
http://www.kompasiana.com/teukuaceh.blogspot.com/lubang-sejarah-kerajaan-linge
Perubahan drastis langsung terasa. Kijang Inova yang tadinya meluncur mulus, kini harus membatasi kecepatan kalau tak mau seluruh penumpang terguncang keras. Fauzan, sopir yang setia mengantarkan kami dari Bandaaceh, harus ekstracermat memilih “lubang” yang bakal dilalui, karena memang tak ada ruas jalan yang rata. Tubuhnya mencondong ke depan. Tangannya mencengkram setir. Hampir tak ada senyum di wajahnya membayangkan 18 kilometer perjalanan yang sungguh tak mengenakkan. “Harusnya kita naik double cabin atau jeep,” ujarnya menggerutu dengan suara yang hampir tak terdengar.
Kondisi ruas jalan menuju makam Raja Linge belum teraspal. Para peziarah yang menggunakan kenderaan roda dua dan empat harus berjalan merayap. Debu dan kerikil yang bertebaran di sepanjang jalan membuat Fauzan meminta seluruh penumpang menutup rapat-rapat seluruh kaca jendela. Jarum speedometer tak bergerak dari angka 20 kilometer per jam.
Ini adalah hari kedua perjalanan saya dan teman-teman di Tanah Gayo –dan perjalanan pertama saya ke daerah Aceh Tengah. Kami berangkat dari Bandaaceh Jumat dua pekan lalu, seusai salat Jumat. Adli Abdullah, seorang pemerhati sejarah Aceh, duduk di kursi depan. Dalam perjalanan ini, ia bertugas sebagai “navigator”, menemani Fauzan. Saya dan dua dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Enzus dan Indra duduk di barisan tengah. dan dan di belakang duduk teman saya, Sulaiman Tripa, yang juga mengajar di fakultas tersebut. Dalam perjalanan ini, ia membawa serta istrinya.
Tidak banyak kenderaan yang memasuki kawasan itu. Hanya dua kendaraan berplat merah yang sempat berselisih dengan kendaraan kami. Saya juga tak melihat rumah-rumah penduduk di sepanjang perjalanan. Daerah itu sama sekali tak menunjukkan jejak sebuah kerajaan besar yang pernah berdiri di Aceh. Deretan pinus menambah kesunyian di jalan, beberapa hanya tinggal tunggul karena ditebang. Butuh waktu sekitar satu jam untuk bisa memasuki Dusun Buntul, Kampung Linge, Kecamatan Linge, tempat jenazah Raja Adi Genali, Raja Linge pertama dimakamkan.
“Mungkin kalau hujan, kita bakal tak bisa lewat,” ujar saya yang diiyakan oleh kawan-kawan yang lain. Tak hanya jalan berlubang dan berdebu, untuk sampai di sana, kami juga harus melitasi sungai kecil. Tak ada jembatan. Fauzan hati-hati mengemudikan kendaraan. Ia tak mengurangi kecepatan saat mobil satu gerdang itu melintasi sungai. Ia takut mobil terjebak lubang di sungai itu.
Akhirnya kami tiba juga di Buntul. Pinggang terasa pegal. Perjalanan 18 kilometer ini memang menguras energi dan emosi. Di sana, kami menyingahi sebuah gubuk kecil tempat keluarga Mat Amin. Mat Amin adalah penjaga Istana Linge dan makan Raja Adi Genali. Istana yang dijaga Mat Amin berbentuk rumah Aceh berukuran 50x10 meter. Seluruh tiang dan dinding terbuat dari kayu damar, beratap rumbia. Beberapa bagian dinding terlihat lapuk. Mat Amin mengoleskan oli bekas ke bagian-bagian yang lapuk agar tak terus dimakan rayap. Di bagian depan, tertulis Umah Pintu Ruang.
Di samping rumah itu terdapat sebuah bangunan kecil. Di dalam bangunan ini, terdapat dua kuburan. Salah satunya adalah makam anak Raja Adi Genali dan sebuah sumur, yang konon, kata Mat Amin, airnya tak pernah kering. “Itu kuburan keramat, dulu pernah mengeluarkan cahaya. Kami menyebutnya makam cahaya,” kata Keucik Linge Karimansyah, yang berjanji menemani kami selama menziarahi situs itu.
Menurut Adli Abdullah, Kerajaan Linge merupakan sebuah kerajaan awal dan berpengaruh di Aceh. Kerajaan Linge terbentuk sekitar 1025 Masehi (416 Hijriah) yang dipimpin oleh Adi Genali—Kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam di masa Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam berlangsung pada 1590-1636.Bersamaan dengan itu ia diberi gelar Cik Serule (Paman Serule) karena membangun kerajaan di Linge. Serule merupakan sebuah perkampungan di kecamatan itu.
Dalam sebuah litelatur yang memuat perbincangan Tengku Hadji Ilyas Leube (Allahuyarham) disuatu malam pada 26 Oktober 1976, ditulis Raja Genali adalah seorang raja Islam berasal dari Turki. Beliau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Kawe Tepat atau Tengku Kik Betul. Kerajaan ini berlangsung hingga keturunan ke-17.
Kerajaan ini lebih dulu mengenal Islam ketimbang kerajaan lain di Aceh. Bahkan raja-raja yang memerintah di Aceh merupakan keturunan Raja Linge. Seperti Meurah Silu adalah Sultan Malikussaleh. Dia merupakan Orang Gayo yang menyatukan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peureulak, yang akhirnya menjadi Sultan Pertama di Kerajaan Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara. Dan Meurah Johan atau Johansyah yang kemudian menjadi Sultan Aceh Pertama yang memimpin Kesultanan Kute Reje.
Setelah puas memperhatikan istana, kami pun bergerak naik ke bukit, sekira 600 meter dari istana itu. Tujuan berikutnya adalah makam Raja Linge. Kami bersemangat kembali. Dorongan rasa ingin tahu membuat kami menyisihkan sejenak rasa penat. Perjalanan menuju malam tak bisa dilakukan di atas kendaraan beroda empat. Untuk sampai di makam itu, kami melintasi hutan lebat yang dibelah jalan setapak. Lagi, kami harus melewati sebuah alur sungai. Setelah melintasi sungai itu, di hadapan kami, tersusun ratusan anak tangga purba. “Ayo, sikit lagi,” kata Sulaiman setelah melihat saya ngos-ngosan.
Saya seakan tak mempercayai penglihatan saya. Nama besar Raja Linge seolah tak berbekas di makam itu. Kondisinya sangat memprihatinkan. Tak lebih baik dari kandang ayam. Sebagian ornamen, di bagian atas dan bawah, copot. Keramik yang membatasi deretan tujuh kuburan dibuat asal-asal. Di sinilah raja pertama di Aceh di semayamkan. Namun, tak ada kekhasan di makam itu. Hanya deretan nisan yang sebagian sudah miring sebagai petunjuk makam sang raja. Kompleks makam itu sendiri tersuruk di dalam hutan.
Keucik Karimansyah menyayangkan minimnya perhatian pemerintah setempat. Padahal, katanya, di sini, bersemayam jenazah seorang raja yang memiliki peran besar di Aceh. “Banyak orang menziarahi makam raja ini, dari Jakarta, Surabaya, dan Purbalingga. Tapi pemerintah setempat tak peduli. Kami juga tak mempunyai uang untuk memperbaiki kuburan ini,” katanya.
Praktis, untuk biaya perawatan, penjaga kubur dan warga setempat mengandalkan pemberian para peziarah. Seorang peziarah asal Purbalingga, kata Karimansyah, mengaku menyayangkan buruknya kondisi makam Raja Linge dan Istana Tujuh Kamar. “Di sana, makam raja-raja diurus agar orang mau mendatangi dan mengenal asal dan cerita tentang kerajaan itu,” ujar Karimansyah menirukan perkataan peziarah tersebut.
Pikiran saya berbalik ke petunjuk arah ke Istana Raja Linge. Tulisan “bangsa yang besar, bangsa yang menghargai sejarahnya” seolah menohok. “Apakah kami memang tak menghargai sejarah, sehingga kami tak pernah menjadi bangsa yang besar?” Pikiran itu terus berkecamuk sepanjang perjalanan meninggalkan makam Raja Linge dan Istananya yang tak terurus.
http://www.kompasiana.com/teukuaceh.blogspot.com/lubang-sejarah-kerajaan-linge
Komentar
Posting Komentar