Kesultanan Banjarmasin Kalimantan Selatan (Wangsa Sang Dewa/ Sadewa)
Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri 1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
http://rossyblackmonster.blogspot.co.id/makalah-sejarah-kerajaan-kerajaan-islam.html
Kesultanan Banjar (1526-1905).
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri 1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalahsebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke Martapura dan sekitarnya (kabupaten Banjar). Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
http://anggitwildian.blogspot.co.id/sejarah-kerajan-kerajaan-islam-di.html
Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong. Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang. Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk setempat yang terdiri dari suku Maayan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudain membentuk bahasa Banjar Kalsik.
Di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang saudagar kaya, tetapi buka keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun, dalam praktiknya, ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu Jatmia, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah Arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunai, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebag mereka bukan keturunan raja. Tapi kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu, yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketia Sukarama meninggal, Ia berwasiat agar cucunya Raden Samudra yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil, akhirnya Raden Samudra kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar dari pembunuhan, Raden Samudra kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para kepala suku. Diantara desa-desa tersebut adalah, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkambungan Melayu yang dibentuk oleh liam buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pegeran). Semua anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih. Oleh karena itu, desa Banjar disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari mengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.
Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak di Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudra mengirim duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin,
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran) Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang. Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak itu, agam Islam berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) diIslamkan oleh wakul penghulu demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu Jam 10 pagi, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan Penghulu Demak Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampa ia meninggal dunai, dan dikuburkan di Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telam membuka era baru di Kerajaan Banjar dengam masuk dan berkembangnya agam Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.
Dalam perjalannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan Banjar atau keraton Banjar harus berpindah-pindah dari stua tempat ketempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataannya yang sekarang dapat ditemui di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang sejaman seperti khatib Dayan, serta maka keluarga Sultan Suriansyah sendiri.
Tidak atau belum diktemukan serta diketahui dimana lokas Keraton Banjar dan bagaimana bentuk arsitekturnya hingga saat ini merupakan pertanyaan penelitian atau recearch questions yang menarik untuk dicarikan jawabannya.
Sehubungan dengan hal itulah penelitian ini dilakukan, dengan melakukan kerja kolaborasi antara sejarah, arkeologi dan arsitektur, maka diharapkan dapat mengak tabi yang selama ini belum ada yang mengangkat dan membicarakannya.
Masuk dan berkembangnya Islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar yang strategis, yaitu jalur perdagangan dan pelayaran. Melalui pelabuhan dan transaksi perdagangan yang ada Islam di dakwahkan oleh pedagang-pedagang muslim kepada rakyat.
Masuknya Islam berlangsung dengan damai dikawasan ini melalui tangan pedangang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi pedagang dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barang kepada penduduk yang fakir.
Disamping itu juga terdapat keterangan mengenai salah seorang pe-muka Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur ini Pengeran Samudra mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan Kesultanan Demak. Pangeran Samudra sendiri kemudain masuk Islam dan mengganti namanya menjadi sultan Suriansyah. Sekaligus berdiri pada haru Rabu 24 September 1526. Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Kerator pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemu di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makan Sultan Suriansyah dan para tokoh sejaman seperti khatib Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri.
Kesultanan Banjar (1526-1905).
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri 1520, masuk Islam 24 September 1526, dihapuskan Belanda 11 Juni 1860, pemerintahan darurat/pelarian berakhir 24 Januari 1905) adalah sebuah
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
http://lailameika13.blogspot.co.id/2015/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Kesultanan Banjar
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Banjar
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah Kerajaan Nan Sarunai yang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.[20][21]
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860, yaitu :
a. Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
b. Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
c. Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
d. Keraton III disebut Kesultanan Banjar
e. Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
f. Keraton V disebut Pagustian
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.[4]) Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.
Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
2. Proses Masuknya Islam di Kesultanan Banjar
Awal masuknya pengaruh agama Islam di Banjarmasin pada abad ke XV melalui jalur perdagangan. Pengaruh Islam ini dibawa oleh pedagang- pedagang muslim seperti Raden Paku. Pemeluk agama Islam pertama diperkirakan adalah golongan pedagang dan masyarakat yang tinggal di bandar-bandar pelabuhan yaitu orang-orang Melayu dan orang-orang Ngaju. Agama Islam resmi sebagai agama Kerajaan Banjarmasin pada abad ke XVI, yaitu pada tanggal 24 September 1526 melalui Kerajaan Demak. Penerimaan agama ini terjadi pada masa pemerintahan Pangeran Samudera yang kemudian bergelar Sultan Suriansyah.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Banjar
Islam kemudian berkembang dengan pesat dibawah pemerintahan Sultan Suriansyah, perkembangan ini meliputi struktur organisasi pemerintahan, sosial budaya dan penyebaran pengaruh agama Islam ke wilayah kekuasaan Kerajaan Banjarmasin. Perkembangnya yang sama juga terjadi pada masa Sultan Tahmidullah II dengan berdirinya tempat pendidikan pengajian pertama. Mengenai bukti-bukti berkembangnya Islam di Kerajaan Banjarmasin dapat di lihat dari peninggalan-peninggalan sejarah antara makam raja-raja Banjarmasin, peninggalan seni budaya seperti seni sastra dan seni arsitektur rumah adat Banjar yang dipengaruhi oleh unsur-unsur Islam.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/2016/05/kerajaan-islam-di-kalimantan.html
Kesultanan Banjar
Kesultanan Banjar atau Kesultanan Banjarmasin (berdiri pada Tahun 1520, dihapuskan sepihak oleh Belanda pada 11 Juni 1860. Namun rakyat Banjar tetap mengakui ada pemerintahan darurat/pelarian yang baru berakhir pada 24 Januari 1905. Namun sejak 24 Juli 2010, Kesultanan Banjar hidup kembali dengan dilantiknya Sultan Khairul Saleh.
Kerajaan Banjar adalah sebuah kesultanan wilayahnya saat ini termasuk ke dalam provinsi Kalimantan Selatan, Indonesia. Wilayah Banjar yang lebih luas terbentang dari Tanjung Sambar sampai Tanjung Aru. Kesultanan ini semula beribukota di Banjarmasin kemudian dipindahkan ke beberapa tempat dan terkahir diMartapura. Ketika beribukota di Martapura disebut juga Kerajaan Kayu Tangi. Wilayah terluas kerajaan ini pada masa kejayaannya disebut empire/kekaisaran Banjar membawahi beberapa negeri yang berbentuk kesultanan, kerajaan, kerajamudaan, kepengeranan, keadipatian dan daerah-daerah kecil yang dipimpin kepala-kepala suku Dayak.
Ketika ibukotanya masih di Banjarmasin, maka kesultanan ini disebut Kesultanan Banjarmasin. Kesultanan Banjar merupakan penerus dari Kerajaan Negara Daha yaitu kerajaan Hindu yang beribukota di kota Negara, sekarang merupakan ibukota kecamatan Daha Selatan, Hulu Sungai Selatan.
Bendera Negara Banjar berwarna kuning di atas hitam dalam bicolour horisontal.
Bendera Ksl.Banjarmasin
Lambang Kesultanan (Kiri yg Lama, Kanan yg Baru)
Sejarah
Menurut mitologi suku Maanyan (suku tertua di Kalimantan Selatan), kerajaan pertama di Kalimantan bagian selatan adalah Kerajaan Nan Sarunaiyang diperkirakan wilayah kekuasaannya terbentang luas mulai dari daerah Tabalong hingga ke daerah Pasir. Keberadaan mitologi Maanyan yang menceritakan tentang masa-masa keemasan Kerajaan Nan Sarunai sebuah kerajaan purba yang dulunya mempersatukan etnis Maanyan di daerah ini dan telah melakukan hubungan dengan pulau Madagaskar. Kerajaan ini mendapat serangan dari Majapahit. sehingga sebagian rakyatnya menyingkir ke pedalaman (wilayah suku Lawangan). Salah satu peninggalan arkeologis yang berasal dari zaman ini adalah Candi Agung yang terletak di kota Amuntai. Pada tahun 1996, telah dilakukan pengujian C-14 terhadap sampel arang Candi Agung yang menghasilkan angka tahun dengan kisaran 242-226 SM (Kusmartono dan Widianto, 1998:19-20).
Menilik dari angka tahun dimaksud maka Kerajaan Nan Sarunai/Kerajaan Tabalong/Kerajaan Tanjungpuri usianya lebih tua 600 tahun dibandingkan dengan Kerajaan Kutai Martapura di Kalimantan Timur.
Menurut Hikayat Sang Bima, wangsa yang menurunkan raja-raja Banjar adalah Sang Dewa bersaudara dengan wangsa yang menurunkan raja-raja Bima (Sang Bima), raja-raja Bali (Sang Kuala), raja-raja Dompu(Darmawangsa), raja-raja Gowa (Sang Rajuna) yang merupakan lima bersaudara putera-putera dari Maharaja Pandu Dewata.
Sesuai Tutur Candi (Hikayat Banjar versi II), di Kalimantan telah berdiri suatu pemerintahan dari dinasti kerajaan (keraton) yang terus menerus berlanjut hingga daerah ini digabungkan ke dalam Hindia Belanda pada 11 Juni 1860, yaitu :
- Keraton awal disebut Kerajaan Kuripan
- Keraton I disebut Kerajaan Negara Dipa
- Keraton II disebut Kerajaan Negara Daha
- Keraton III disebut Kesultanan Banjar
- Keraton IV disebut Kerajaan Martapura/Kayu Tangi
- Keraton V disebut Pagustian
Maharaja Sukarama, Raja Negara Daha telah berwasiat agar penggantinya adalah cucunya Raden Samudera, anak dari putrinya Puteri Galuh Intan Sari. Ayah dari Raden Samudera adalah Raden Manteri Jaya, putra dari Raden Begawan, saudara Maharaja Sukarama. Wasiat tersebut menyebabkan Raden Samudera terancam keselamatannya karena para putra Maharaja Sukarama juga berambisi sebagai raja yaitu Pangeran Bagalung, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Tumenggung.
Dibantu oleh Arya Taranggana, Pangeran Samudra melarikan diri dengan sampan ke hilir sungai Barito. Sepeninggal Sukarama, Pangeran Mangkubumi menjadi Raja Negara Daha, selanjutnya digantikan Pangeran Tumenggung yang juga putra Sukarama. Pangeran Samudra yang menyamar menjadi nelayan di daerah Balandean dan Kuin, ditampung oleh Patih Masih di rumahnya. Oleh Patih Masih bersama Patih Muhur, Patih Balitung diangkat menjadi raja yang berkedudukan di Bandarmasih.
Pangeran Tumenggung melakukan penyerangan ke Bandarmasih. Pangeran Samudra dibantu Kerajaan Demak dengan kekuatan 40.000 prajurit dengan armada sebanyak 1.000 perahu yang masing-masing memuat 400 prajurit mampu menahan serangan tersebut.) Akhirnya Pangeran Tumenggung bersedia menyerahkan kekuasaan Kerajaan Negara Daha kepada Pangeran Samudra. Kerajaan Negara Daha kemudian dilebur menjadi Kesultanan Banjar yang beristana di Bandarmasih. Sedangkan Pangeran Tumenggung diberi wilayah di Batang Alai.
Pangeran Samudra menjadi raja pertama Kerajaan banjar dengan gelar Sultan Suriansyah. Ia pun menjadi raja pertama yang masuk islam dibimbing oleh Khatib Dayan.
Masa kejayaan
Kesultanan Banjar mulai mengalami masa kejayaan pada dekade pertama abad ke-17 dengan lada sebagai komoditas dagang, secara praktis barat daya, tenggara dan timur pulau Kalimantan membayar upeti pada kerajaan Banjarmasin. Sebelumnya Kesultanan Banjar membayar upeti kepada Kesultanan Demak, tetapi pada masa Kesultanan Pajang penerus Kesultanan Demak, Kesultanan Banjar tidak lagi mengirim upeti ke Jawa.
Supremasi Jawa terhadap Banjarmasin, dilakukan lagi oleh Tuban pada tahun 1615 untuk menaklukkan Banjarmasin dengan bantuan Madura (Arosbaya) dan Surabaya, tetapi gagal karena mendapat perlawanan yang sengit.
Sultan Agung dari Mataram (1613–1646), mengembangkan kekuasaannya atas pulau Jawa dengan mengalahkan pelabuhan-pelabuhan pantai utara Jawa seperti Jepara dan Gresik (1610), Tuban (1619), Madura (1924) dan Surabaya (1625). Pada tahun 1622 Mataram kembali merencanakan program penjajahannya terhadap kerajaan sebelah selatan, barat daya dan tenggara pulau Kalimantan, dan Sultan Agung menegaskan kekuasaannya atas Kerajaan Sukadana tahun 1622.
Seiring dengan hal itu, karena merasa telah memiliki kekuatan yang cukup dari aspek militer dan ekonomi untuk menghadapi serbuan dari kerajaan lain, Sultan Banjar mengklaim Sambas, Lawai, Sukadana, Kotawaringin, Pembuang, Sampit, Mendawai, Kahayan Hilir dan Kahayan Hulu, Kutai, Pasir, Pulau Laut, Satui, Asam Asam, Kintap dan Swarangan sebagai vazal dari kerajaan Banjarmasin, hal ini terjadi pada tahun 1636.
Sejak tahun 1631 Banjarmasin bersiap-siap menghadapi serangan Kesultanan Mataram, tetapi karena kekurangan logistik, maka rencana serangan dari Kesultanan Mataram sudah tidak ada lagi. Sesudah tahun 1637 terjadi migrasi dari pulau Jawa secara besar-besaran sebagai akibat dari korban agresi politik Sultan Agung. Kedatangan imigran dari Jawa mempunyai pengaruh yang sangat besar sehingga pelabuhan-pelabuhan di pulau Kalimantan menjadi pusat difusi kebudayaan Jawa.
Disamping menghadapi rencana serbuan-serbuan dari Mataram, kesultanan Banjarmasin juga harus menghadapi kekuatan Belanda. Pada tahun 1637 Banjarmasin dan Mataram mengadakan perdamaian setelah hubungan yang tegang selama bertahun-tahun. Perang Makassar (1660-1669) menyebabkan banyak pedagang pindah dari Somba Opu, pelabuhan kesultanan Gowa ke Banjarmasin. Mata uang yang beredar di Kesultanan Banjar disebut doit.
Sebelum dibagi menjadi beberapa daerah (kerajaan kecil), wilayah asal Kesultanan Banjar meliputi provinsi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Tanjungpura pada lokasi Tanjung Sambar (Ketapang) dan sebelah timur berbatasan dengan Kesultanan Pasir pada lokasi Tanjung Aru. Pada daerah-daerah pecahannya, rajanya bergelar Pangeran, hanya di Kesultanan Banjar yang berhak memakai gelar Sultan. Kesultanan-kesultanan lainnya mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar, termasuk Kesultanan Pasir yang ditaklukan tahun 1636 dengan bantuan Belanda.
Kesultanan Banjarmasin merupakan kerajaan terkuat di pulau Kalimantan. Sultan Banjar menggunakan perkakas kerajaan yang bergaya Hindu.
Wilayah Kesultanan Banjar
Wilayah Kesultanan Banjar Raya adalah negeri-negeri yang menjadi wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar khususnya sampai pertengahan abad ke-17 dan abad sebelumnya.
Kesultanan Banjar merupakan penerus dari kerajaan Hindu di Kalimantan Selatan dengan wilayah inti meliputi 5 distrik besar di Kalimantan Selatan yaitu Kuripan (Amuntai), Daha (Nagara-Margasari), Gagelang (Alabio), Pudak Sategal (Kalua) dan Pandan Arum (Tanjung). Sejak awal abad ke-16 berdirilah Kesultanan Banjar yang bertindak sebagai wakil Kesultanan Demak di Kalimantan, sedangkan Demak adalah penerus Majapahit. Menurut Hikayat Banjar sejak zaman pemerintahan kerajaan Hindu, wilayah yang termasuk mandala Kerajaan Banjar meliputi daerah taklukan paling barat adalah negeri Sambas (Kerajaan Sambas kuno) sedangkan wilayah taklukan paling timur adalah negeri Karasikan (Banjar Kulan/Buranun). Dahulu kala batas-batas negeri/kerajaan adalah antara satu tanjung dengan tanjung lainnya sedangkan penduduk daerah pedalaman dianggap takluk kepada kerajaan bandar yang ada di hilir misalnya terdapat 3 suku besar Dayak yaitu Dayak Biaju, Dayak Dusun dan Dayak Pari (Ot Danum) yang merupakan bagian dari rakyat kerajaan Banjar. Kesultanan Brunei merupakan kesultanan yang pertama di pulau Kalimantan, dan kemudian disusul berdirinya Kesultanan Banjar tahun 1526. Kedua kesultanan merupakan saingan. Kesultanan Brunei menjadi penguasa tunggal di wilayah utara Kalimantan. Pada masa kejayaannya Kesultanan Banjar mampu menyaingi kekayaan Kesultanan Brunei dan menarik upeti kepada raja-raja lokal.
Teritorial kerajaan Banjar pada abad ke 15-17 dalam tiga wilayah meskipun terminologi ini tidak dipergunakan dalam sistem politik dan pemerintahan dalam kerajaan, yaitu :
- Negara Agung (wilayah sentral budaya Banjar yaitu wilayah Banjar Kuala, Batang Banyu dan Pahuluan)
- Mancanegara (daerah rantau: Kepangeranan Kotawaringin, Tanah Dusun, Tanah Laut, Pulau Laut, Tanah Bumbu, dan Paser)
- Daerah Pesisir (daerah tepi/terluar: Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur/Utara)
Pada mulanya ibukota Kesultanan Banjar adalah Banjarmasin kemudian pindah ke Martapura. Pada masa kejayaannya, wilayah yang pernah diklaim sebagai wilayah pengaruh mandala kesultanan Banjar meliputi titik pusat yaitu istana raja di Martapura dan berakhir pada titik luar dari negeri Sambas di barat laut sampai ke negeri Karasikan(Banjar Kulan/Buranun) di timur laut yang letaknya jauh dari pusat kesultanan Banjar. Negeri Sambas dan Karasikan (Banjar Kulan/Buranun) pernah mengirim upeti kepada raja Banjar. Selain itu dalam Hikayat Banjar juga disebutkan negeri-negeri di Batang Lawai, Sukadana, Bunyut (Kutai Hulu) dan Sewa Agung/Sawakung). Negeri-negeri bekas milik Tanjungpura yaitu Sambas, Batang Lawai, dan Sukadana terletak di sebelah barat Tanjung Sambar. Pulau Kalimantan kuno terbagi menjadi 3 wilayah kerajaan besar: Brunei (Borneo), Tanjungpura (Sukadana) dan Banjarmasin. Tanjung Sambar merupakan perbatasan kuno antara wilayah mandala Sukadana/Tanjungpura dengan wilayah mandala Banjarmasin (daerah Kotawaringin). Menurut sumber Inggris, Tanjung Kanukungan (sekarang Tanjung Mangkalihat) adalah perbatasan wilayah mandala Banjarmasin dengan wilayah mandala Brunei, tetapi Hikayat Banjar mengklaim daerah-daerah di sebelah utara dari Tanjung Kanukungan/Mangkalihat yaitu Kerajaan Berau kuno juga pernah mengirim upeti kepada Kerajaan Banjar Hindu, dan sejarah membuktikan daerah-daerah tersebut dimasukkan dalam wilayah Hindia Belanda. Perbatasan di pedalaman, daerah aliran sungai Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) termasuk dalam wilayah Kerajaan Kotawaringin (bawahan Banjarmasin) yang dinamakan daerah Lawai Sanggau dan Sintang juga dimasukan dalam wilayah pengaruh mandala Kesultanan Banjar. Dari bagian timur Kalimantan sampai ke Tanjung Sambar terdapat beberapa distrik/kerajaan kecil yang berada di bawah pengaruh mandala kekuasaan Sultan Banjar yaitu Berau, Kutai, Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Tatas, Dusun Hulu, Dusun Ilir, Bakumpai, Dayak Besar (Kahayan), Dayak Kecil (Kapuas Murung), Mendawai, Sampit, Pembuang, dan Kotawaringin. Inilah yang disebut "negara Kerajaan Banjar". Daerah-daerah kekuasaan Sultan Banjar yang paling terasa di Paser, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Bakumpai dan Dusun. Terminologi wilayah Tanah Seberang, tidak ada dalam wilayah Kesultanan Banjar, karena tidak memiliki jajahan di luar kepulauan Kalimantan, walaupun orang Banjar juga merantau sampai keluar pulau Kalimantan.
Kerajaan Banjar menaungi hingga ke wilayah Sungai Sambas adalah dari awal abad ke-15 M hingga pertengahan abad ke-16 M yaitu pada masa Kerajaan Melayu hindu Sambas yang menguasai wilayah Sungai Sambas. Kerajaan Melayu hindu Sambas ini kemudian runtuh pada pertengahan abad ke-16 M dan dilanjutkan dengan Panembahan Sambas hindu yang merupakan keturunan Bangsawan Majapahit dari Wikramawadhana. Pada saat memerintah Panembahan Sambas hindu ini bernaung dibawah Dipati/Panembahan Sukadana (bawahan Sultan Banjar) sampai awal abad ke-17 M yang kemudian beralih bernaung dibawah Kesultanan Johor. Panembahan Sambas hindu ini kemudian runtuh pada akhir abad ke-17 M dan digantikan dengan Kesultanan Sambas yang didirikan oleh keturunan Sultan Brunei melalui Sultan Tengah pada tahun 1675 M. Sejak berdirinya Kesultanan Sambas hingga seterusnya Kesultanan Sambas adalah berdaulat penuh yaitu tidak pernah bernaung atau membayar upeti kepada pihak manapun kecuali pada tahun 1855 yaitu dikuasai / dikendalikan pemerintahannya oleh Hindia Belanda (seperti juga Kerajaan-Kerajaan lainnya diseluruh Nusantara terutama di Pulau Jawa yang saat itu seluruhnya yang berada dibawah Pemerintah Hindia Belanda di Batavia) yaitu pada masa Sultan Sambas ke-12(Sultan Umar Kamaluddin).
Dalam perjalanan sejarah ketetapan wilayah Kesultanan Banjar tersebut tidak dapat dilihat dengan jelas dengan batas yang tetap karena dipengaruhi oleh keadaan yang tidak stabil dan batas wilayah yang fleksibel disebabkan oleh berkembangnya atau menurunnya kekuasaan Sultan Banjar.
- Sejak ibukota dipindahkan ke Daerah Martapura maka kota Martapura sebagai Kota Raja merupakan wilayah/ring pertama dan pusat pemeritahan Sultan Banjar.
- Wilayah teritorial/ring kedua, Negara Agung terdiri dari :
- Tanah Laut atau Laut Darat terdiri :
- Satui
- Tabunio. Diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787.
- Maluka, daerah yang dikuasai Inggris pada 1815 – 1816 yaitu Maluka, Liang Anggang, Kurau dan Pulau Lamai.
- Daerah Banjar Lama/Kuin (Banjarmasin bagian Utara) dan Pulau Tatas (Banjarmasin bagian Barat). Tahun 1709 atau Tahun 1747 Belanda mendirikan benteng di Pulau Tatas (Banjarmasin bagian barat) merupakan daerah yang mula-mula dimiliki VOC_Belanda. Pulau Tatas termasuk daerah yang diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, selanjutnya Mantuil sampai Sungai Mesa diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826, sedangkan Banjar Lama (Kuin) sampai perbatasan daerah Margasari masih tetap sebagai wilayah kesultanan sampai 1860.
- Margasari. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Banua Ampat artinya banua nang empat yaitu Banua Padang, Banua Halat, Banua Parigi dan Banua Gadung. Wilayah kesultanan sampai 1860.
- Amandit. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Labuan Amas. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Alay. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Banua Lima artinya lalawangan nang lima yaitu Negara, Alabio, Sungai Banar, Amuntai dan Kalua. Wilayah kerajaan sampai 1860.
- Pulau Bakumpai yaitu tebing barat sungai Barito dari kuala Anzaman ke hilir sampai kuala Lupak. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826 bersama daerah Pulau Burung.
- Tanah Dusun yaitu dari kuala Marabahan sampai hulu sungai Barito. Pada 13 Agustus 1787, Dusun Atas diserahkan kepada VOC-Belanda tetapi daerah Mengkatip (Dusun Hilir) dan Tamiang Layang (Dusun Timur) dan sekitarnya tetap termasuk daalam wilayah inti Kesultanan Banjar hingga dihapuskan oleh Belanda tahun 1860.
- Teritorial/ring ketiga, yaitu Mancanegara, dengan tambahan kedua daerah ini merupakan wilayah asal Kesultanan Banjar sebelum pemekaran yang terdiri dari :
- Wilayah Barat yaitu wilayah Negara bagian Kotawaringin dan Tanah Dayak (Biaju) yaitu meliputi daerah Kerajaan Kotawaringin (dengan distrik-distriknya: Jelai dan Kumai), Pembuang, Sampit, Mendawaiserta daerah milik Kotawaringin di Kalbar yang dihuni Dayak Ot Danum yaitu Lawai atau Pinoh (sebagian Kabupaten Melawi) yang letaknya bersebelahan dengan kawasan udik sungai Katingan/Mendawai dan berbatasan dengan Kerajaan Sintang. Perbatasan Kerajaan Kotawaringin dengan Kerajaan Sukadana/Matan terletak di Tanjung Sambar. Juga turut diklaim wilayah Tanah Dayak (Rumpun Ot Danum), yang berpusat mandala di udik sungai Kahayan (Tumbang Anoi) yaitu daerah-daerah suku Dayak Biaju dan Dayak Pari (Ot Danum) beserta semua daratan yang takluk kepadanya. Semua distrik-distrik di wilayah Tanah Kotawaringin dan Tanah Dayak diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Secara resmi daerah-daerah Dayak pedalaman tersebut diduduki Belanda sejak Perjanjian Tumbang Anoi pada Tahun 1894.
- Wilayah Timur (Kalimantan Tenggara) : yaitu Negara bagian Paser dan Negara bagian Tanah Bumbu. Kerajaan Paser didirikan oleh seorang panglima Kerajaan Banjar atau Kuripan-Daha, sehingga sejak semula takluk kepada Kesultanan Banjar, namun belakangan berada di bawah pengaruh La Madukelleng. Tahun 1703 Tanah Paser berubah dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, daerah ini diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan dimulai pada masa Sultan Paser Sultan Mahmud Han menjalin kontrak politik dengan Hindia Belanda. Kerajaan Tanah Bumbu didirikan Pangeran Dipati Tuha bin Sultan Saidullah, yang pada mulanya mencakup kawasan mulai Tanjung Aru sampai Tanjung Silat, belakangan wilayah intinya terutama terdiri atas 7 divisi: Cengal (Pamukan), Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan (Kelumpang), Cantung, Buntar-Laut dan Batulicin. Pada bulan Juli 1825, Raja Aji Jawi, penguasa Tanah Bumbu yang memiliki 6 daerah (Cengal, Manunggul, Sampanahan, Bangkalaan, Cantung, Buntar-Laut) membuat kontrak politik dengan Hindia Belanda yang menjadikan Tanah Bumbu sebagai swapraja. Tahun 1841, negeri Sampanahan di bawah Pangeran Mangku Bumi (Gusti Ali) menjadi swapraja terpisah dari wilayah Tanah Bumbu lainnya. Tahun 1846 Buntar-Laut dianeksasi/diintegrasikan oleh penguasa Cantung yang kelak menjadi swapraja tersendiri terpisah dari wilayah Tanah Bumbu di bawah Raja Aji Mandura sebagai Raja Cantung dan Buntar-Laut. Negeri Batulicin di bawah Pangeran Aji Musa, kemudian digantikan puteranya Pangeran Abdul Kadir yang kelak mendapatkan negeri Kusan dan Pulau Laut. Kerajaan Kusan pada mulanya didirikan Sultan Amir bin Sultan Muhammadillah rival Sunan Nata Alam dalam memperebutkan tahta Kesultanan Banjar. Sultan Banjar melantik Hasan La Pangewa sebagai kapten suku Bugis bergelar Kapitan Laut Pulo sebagai penguasa Pagatan setelah ia berhasil mengusir Sultan Amir dari Kerajaan Kusan. Di masa Arung Botto, Raja Pagatan menjalin kontrak sebagai swapraja di bawah Hindia Belanda. Belakangan wilayah Kusan digabung dengan Tanah Pagatan dan kemudian Hindia Belanda membentuk pula swapraja Sabamban. Wilayah Kalimantan Tenggara ini diserahkan kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787, ditegaskan lagi pada tahun 1826. Pada akhir abad ke-19 Hindia Belanda menjadikannya Afdeeling Pasir en de Tanah Boemboe dengan 11 swapraja yang meliputi Kesultanan Paser dan wilayah Tanah Bumbu (Sabamban, Kusan, Pagatan, Batu Licin, Pulau Laut dengan Pulau Sebuku, Bangkalaan, Cantung dengan Buntar-Laut, Sampanahan, Manunggul, Cengal). Semua kerajaan ini termasuk ke dalam Borneo Timur di bawah Asisten Residen yang berkedudukan di Samarinda sejak tahun 1846.
- Teritorial/ring keempat, adalah Pesisir yaitu daerah terluar, maka dengan tambahan kedua wilayah ini teritorial kerajaan semakin bertambah luas lebih kurang sama dengan Provinsi Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Perjanjian Sultan Tamjidullah I dengan VOC pada 20 Oktober 1756 yang berencana untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri yaitu Sanggau, Sintang, Lawai, Paser, Kutai dan Berau. Daerah Pesisir terdiri dari :
- Pesisir Timur disebut tanah yang di atas angin meliputi kawasan timur Kalimantan dan jika digabung dengan kawasan selatan Kalimantan menjadi Karesidenan Afdeeling Selatan dan Timur Borneo pada masa kolonial Hindia Belanda. Kerajaan-kerajaan di Kaltim tergolang sebagai negara dependen di dalam Kesultanan Banjar.
- Wilayah Negara bagian Kutai. Tahun 1735 Kerajaan Kutai Kartanegara berubah dari pemerintahan Pangeran Adipati menjadi kesultanan. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826. Tahun 1844 Sultan Kutai mengakui kedaulatan Hindia Belanda.
- Wilayah Negara bagian Berau/Kuran (sejak 1810-an terbagi menjadi Gunung Tabur dan Tanjung) beserta daerah Berau yang melepaskan diri pada abad ke-18 dan bawah pengaruh Kesultanan Sulu (& Brunei) yaitu Tanah Bulungan dan Tanah Tidung. Diserahkan kepada Hindia Belanda pada 13 Agustus 1787 dan 4 Mei 1826.
- Wilayah terluar di timur yang telah lama melepaskan diri dan kemudian di bawah pengaruh Brunei yaitu Negara bagian Karasikan atau Buranun/Banjar Kulan (Banjar Kecil).
- Pesisir Barat disebut tanah yang di bawah angin meliputi kawasan barat Kalimantan yang kemudian menjadi Karesidenan Borneo Barat pada masa kolonial Hindia Belanda.
- Wilayah Batang Lawai atau sungai Kapuas (Negara bagian Sanggau, Negara bagian Sintang dan Negara bagian Lawai). Wilayah Batang Lawai mengirim upeti melalui anak-anak sungai Melawi dilanjutkan dengan jalan darat menuju sungai Katingan yang bermuara ke laut Jawa dilanjutkan perjalanan laut dekat sungai Barito di Banjarmasin. Kerajaan Sintang mulai diperintah Dinasti Majapahit semenjak pernikahan Patih Logender dari Majapahit dengan Dara Juanti (Raja Sintang ke-9). Tahun 1600 Raja Sintang mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyalin kitab suci Al-Quran. Kerajaan Sintangdan Mlawai (Kabupaten Melawi) dan Jelai termasuk daerah yang diserahkan oleh Sultan Adam kepada Hindia Belanda pada 4 Mei 1826. Mlawai sebelumnya termasuk daerah-daerah yang diserahkan oleh Sunan Nata Alam kepada VOC-Belanda pada 13 Agustus 1787. Belakangan Tanah Sanggau ditaklukan dan berada di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak (protektorat VOC Belanda).
- Wilayah Negara bagian Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) Kerajaan Sukadana/Tanjungpura diperintah oleh Dinasti Majapahit. Kerajaan Sukadana menjadi vazal sejak era Kerajaan Banjar-Hindu. Sejak pernikahan Raden Saradewa/Giri Mustaka dengan Putri Gilang (Dayang Gilang) cucu Sultan Mustainbillah maka sebagai hadiah perkawinan Sukadana/Matan dibebaskan dari membayar upeti. Saat itu Raja Sukadana memiliki bisnis dan tinggal di Banjarmasin dan termasuk anggota Dewan Mahkota. Pada tahun 1622, kerajaan Sukadana berubah dari pemerintahan Panembahan menjadi kesultanan, selanjutnya Panembahan Giri Mustaka bergelar Sultan Muhammad Safi ad-Din. Pada tahun 1661 Sukadana/Matan terakhir kalinya Sukadana mengirim upeti kepada Kesultanan Banjar. Di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin kembali mengirim upeti sebagai daerah perlindungan Kesultanan Banjar. Kemudian Sukadana dianggap sebagai vazal Kesultanan Banten setelah mengalami kekalahan dalam perang Sukadana-Landak pada tahun 1700 (dimana Landak dibantu Banten & VOC), kemudian Banten menyerahkan Landak (vazal Banten) dan Tanah Sukadana/Tanjungpura (sebagian besar Kalbar) kepada VOC-Belanda pada 26 Maret 1778, kemudian diserahkan oleh VOC di bawah supremasi pemerintahan Sultan Pontianak, karena itu gelar Sultan untuk penguasa Sukadana/Matan diubah menjadi Panembahan
- Wilayah terluar di barat adalah Negara bagian Sambas. Menurut Hikayat Banjar, sejak era pemerintahan kerajaan Banjar-Hindu, wilayah Sambas kuno menjadi taklukannya dan terakhir kalinya Pangeran Adipati Sambas (Panembahan Sambas) mengantar upeti dua biji intan yang besar yaitu si Misim dan si Giwang kepada Sultan Banjar IV Marhum Panembahan (1595-1642). Pada 1 Oktober 1609, negeri Sambas menjadi daerah protektorat VOC-Belanda dan lepas dari pengaruh kesultanan Banjar. Intan Si Misim kemudian dipersembahkan oleh Sultan Banjar kepada Sultan Agung, raja Mataram pada bulan Oktober tahun 1641 yang merupakan persembahan (bukan upeti) terakhir yang dikirim kepada pemerintahan di Jawa (Kesultanan Mataram). Semula Kerajaan Sambas diperintah oleh Dinasti Majapahit yang bergelar Pangeran Adipati/Panembahan Sambas, selanjutnya mulai tahun 1675 Tanah Sambas diperintah oleh Dinasti Brunei dan berubah menjadi kesultanan bernama Kesultanan Sambas. Tahun 1855 Sambas digabungkan ke dalam Hindia Belanda sebagai ibukota dari Karesidenan Sambas, yang membawahi kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.
Pada abad ke-18 Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam. Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffmandengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
- Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
- Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda. Wilayah-wilayah milik Hindia Belanda seperti tersebut dalam Pasal 4 :
- Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil.
- Pulau Burung mulai Kuala Banjar seberang kanan sampai di Mantuil,
- Mantuil seberang Pulau Tatas sampai ke Timur pada Rantau Keliling dengan sungai-sungainya Kelayan Kecil, Kelayan Besar dan kampung di seberang Pulau Tatas.
- Sungai Mesa di hulu kampung Cina sampai ke darat Sungai Baru sampai Sungai Lumbah.
- Pulau Bakumpai mulai dari Kuala Banjar seberang kiri mudik sampai di Kuala Anjaman di kiri ke hilir sampai Kuala Lupak.
- Segala Tanah Dusun semuanya desa-desa kiri kanan mudik ke hulu mulai Mangkatip sampai terus negeri Siang dan hilir sampai di Kuala Marabahan.
- Tanah Dayak Besar-Kecil dengan semua desa-desanya kiri kanan mulai dari Kuala Dayak mudik ke hulu sampai terus di daratan yang takluk padanya.
- Tanah Mandawai.
- Sampit
- Pambuang semuanya desa-desa dengan segala tanah yang takluk padanya
- Tanah Kotawaringin, Sintang, Lawai, Jelai dengan desa-desanya.
- Desa Tabanio dan segala Tanah Laut sampai di Tanjung Selatan dan ke Timur sampai batas dengan Pagatan, ke utara sampai ke Kuala Maluku, mudik sungai Maluku, Selingsing, Liang Anggang, Banyu Irang sampai ke timur Gunung Pamaton sampai perbatasan dengan Tanah Pagatan.
- Negeri-negeri di pesisir timur: Pagatan, Pulau Laut, Batu Licin, Pasir, Kutai, Berau semuanya dengan yang takluk padanya.
- Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
- Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
- Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan. Padang perburuan itu, meliputi :
- Padang pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka
- Padang Bajingah
- Padang Penggantihan
- Padang Munggu Basung
- Padang Taluk Batangang
- Padang Atirak
- Padang Pacakan
- Padang Simupuran
- Padang Ujung Karangan
- Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Gambaran umum abad ke-19 bagi Kesultanan Banjar, bahwa hubungan kerajaan keluar sebagaimana yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam tetap utuh, tetap berdautat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.
Sistem Pemerintahan
- Raja : bergelar Sultan/Panambahan/Ratu/Susuhunan
- Putra Mahkota : bergelar Ratu Anum/Pangeran Ratu/Sultan Muda
- Perdana Menteri : disebut Perdana Mantri/Mangkubumi/Wazir, dibawah Mangkubumi : Mantri Panganan, Mantri Pangiwa, Mantri Bumi dan 40 orang Mantri Sikap, setiap Mantri Sikap memiliki 40 orang pengawal.
- Lalawangan : kepala distrik, kedudukannya sama seperti pada masa Hindia Belanda.
- Sarawasa, Sarabumi dan Sarabraja : Kepala Urusan keraton
- Mandung dan Raksayuda : Kepala Balai Longsari dan Bangsal dan Benteng
- Mamagarsari : Pengapit raja duduk di Situluhur
- Parimala : Kepala urusan dagang dan pekan (pasar). Dibantu Singataka dan Singapati.
- Sarageni dan Saradipa : Kuasa dalam urusan senjata (tombak, ganjur), duhung, tameng, badik, parang, badil, meriam dll.
- Puspawana : Kuasa dalam urusan tanaman, hutan, perikanan, ternak, dan berburu
- Pamarakan dan Rasajiwa : Pengurus umum tentang keperluan pedalaman/istana
- Kadang Aji : Ketua Balai petani dan Perumahan. Nanang sebagai Pembantu
- Wargasari : Pengurus besar tentang persediaan bahan makanan dan lumbung padi, kesejahteraan
- Anggarmarta : Juru Bandar, Kepala urusan pelabuhan
- Astaprana : Juru tabuh-tabuhan, kesenian dan kesusasteraan.
- Kaum Mangkumbara : Kepala urusan upacara
- Wiramartas : Mantri Dagang, berkuasa mengadakan hubungan dagang dengan luar negeri, dengan persetujuan Sultan.
- Bujangga : Kepala urusan bangunan rumah, agama dan rumah ibadah
- Singabana : Kepala ketenteraman umum.
Jabatan-jabatan pada masa Panembahan Kacil (Sultan Mustain Billah), terdiri :
- Mangkubumi
- Mantri Pangiwa dan Mantri Panganan
- Mantri Jaksa
- Tuan Panghulu
- Tuan Khalifah
- Khatib
- Para Dipati
- Para Pryai
- Masalah-masalah agama Islam dibicarakan dalam rapat/musyawarah oleh Penghulu yang memimpin pembicaraan, dengan anggota terdiri dari : Mangkubumi, Dipati, Jaksa, Khalifah dan Penghulu.
- Masalah-masalah hukum sekuler dibicarakan oleh Jaksa yang memimpin pembicaraan dengan anggota terdiri dari Raja, Mangkubumi, Dipati dan Jaksa.
- Masalah tata urusan kerajaan merupakan pembicaraan antara raja, Mangkubumi dan Dipati.
- Dalam hierarki struktur negara, dibawah Mangkubumi adalah Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan dalam suatu sidang negara adalah Raja, Mangkubumi, Panghulu, kemudian Jaksa. Urutan kalau Raja berjalan, diikuti Mangkubumi, kemudian Panghulu dan selanjutnya Jaksa. Kewenangan Panghulu lebih tinggi dari Jaksa, karena Panghulu mengurusi masalah keagamaan, sedangkan Jaksa mengurusi masalah keduniaan.
- Para Dipati, terdiri dari para saudara raja, menemani dan membantu raja, tetapi mereka adalah kedua setelah Mangkubumi.
Sistem pemerintahan mengalami perubahan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah. Perubahan itu meliputi jabatan :
- Mufti : hakim tertinggi, pengawas Pengadilan umum
- Qadi : kepala urusan hukum agama Islam
- Penghulu : hakim rendah
- Lurah : langsung sebagai pembantu Lalawangan (Kepala Distrik) dan mengamati pekerjaan beberapa orang Pambakal (Kepala Kampung) dibantu oleh Khalifah, Bilal dan Kaum.
- Pambakal : Kepala Kampung yang menguasai beberapa anak kampung.
- Mantri : pangkat kehormatan untuk orang-orang terkemuka dan berjasa, di antaranya ada yang menjadi kepala desa dalam wilayah yang sama dengan Lalawangan.
- Tatuha Kampung : orang yang terkemuka di kampung.
- Panakawan : orang yang menjadi suruhan raja, dibebas dari segala macam pajak dan kewajiban.
- Sebutan Kehormatan
- Sultan, disebut : Tuan Yang Maha Mulia Paduka Seri Sultan
- Gubernur Jenderal VOC : Tuan Yang Maha Bangsawan Gubernur Jenderal.
- Permaisuri disebut Ratu jika keturunan bangsawan atau Nyai Ratu jika berasal dari kalangan biasa, sedangkan para selir disebut Nyai.
- Anak laki-laki raja bergelar Gusti (= Raden/Raden Aria pada zaman Hindu & awal Islam), dan jika anak permaisuri akan mendapat gelar Pangeran dan jika menjabat Dipati mendapat gelar berganda menjadi Pangeran Dipati. Para Pangeran keturunan Sultan yang memerintah menurunkan gelar "Gusti" ini kepada keturunannya baik anak lelaki maupun wanita. Para Gusti (lelaki) yang sudah jauh garis keturunannya dengan Sultan yang memerintah hanya menurunkan gelar Gusti hanya kepada anak lelaki.
- Anak perempuan raja bergelar Gusti (= Raden Galuh pada zaman Hindu), jika anak permaisuri akan mendapat gelar Putri dan setelah menikah mendapat gelar Ratu.
- Andin, menurut Tutur Candi gelar tersebut untuk keturunan kerajaan Negara Daha yang telah dikalahkan oleh Sultan Suriansyah dan tidak diperkenankan lagi memakai gelar Pangeran.
- Antung, gelar untuk putera/puteri dari wanita "Gusti" yang menikah dengan orang kalangan biasa. Antung setara dengan gelar Utin (wanita) di Kotawaringin.
- Seorang lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan, akan mendapat gelar Raden. Raden juga merupakan gelar bagi pejabat birokrasi dari golongan Nanang/Anang misalnya gelar Raden Tumenggung, yang selanjutnya meningkat menjadi Raden Dipati. Menurut Hikayat Banjar, gelar Nanang diberikan untuk kalangan keluarga Ampu Jatmika yang disebut Kadang Haji (haji= raja), sedangkan keluarga isteri Ampu Jatmika tidak mendapat gelar tersebut atau juga diberikan kepada lelaki dari kalangan biasa yang menikah dengan puteri Sultan misalnya Nanang Sarang (digunakan pada abad ke-17).
- Seorang lelaki keturunan Arab yang menikah dengan puteri Sultan akan mendapat gelar Pangeran Serip (Syarif), sedangkan puteri Sultan tersebut menjadi isteri permaisuri disebut Ratu Serip (Ratu Syarif).
Sultan Banjar
Berikut ini adalah daftar figur-figur pemimpin yang memerintah di Kesultanan Banjar.
No. | Potret | Masa | Sultan | Keterangan |
1
| 1520-1546 | Sultan Suryanullah | * Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Samudra, Raja Banjar pertama sebagai perampas kekuasaan yang memindahkan pusat pemerintahan di Kampung Banjarmasih yang menggantikan pamannya raja Pangeran Tumenggung (Raden Panjang), menurutnya dia ahli waris yang sah sesuai wasiat kakeknya Maharaja Sukarama (Raden Paksa) dari Kerajaan Negara Daha, padahal ia garis keturunan perempuan (menurut Hikayat Banjar versi resensi I). Setelah turun tahta Pangeran Tumenggung pindah ke daerah Alai beserta seribu penduduk. Sultan Suryanullah dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Baginda memeluk Islam pada 24 September 1526. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Sunan Batu Habang. Dalam agama lama, dia dianggap hidup membegawan di alam gaib sebagai sangiang digelari Perbata Batu Habang. | |
2
| 1546-1570 | Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah | * Raja Banjarmasih. Sultan Rahmatullah merupakan putera sulung Sultan Suryanullah, sedangkan Pangeran Anom/Pangeran di Hangsana merupakan putera kedua Sultan Suryanullah. Pangeran Anom/Pangeran di Hangsana menjabat sebagai Dipati. Sultan Rahmatullah dibantu mangkubumi Aria Taranggana. Makam Sultan Rahmatullah terdapat di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Putih. | |
3 | 1570-1595 | Sultan Sultan Hidayatullah Ibin Rahmatullah | * Raja Banjarmasih. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Anggadipa. Makamnya di Komplek Makam Sultan Suriansyah dengan gelar anumerta Panembahan Batu Irang. Puteranya Raden Bagus dilantik sebagai raja muda dengan gelar Ratu Bagus, belakangan Ratu Bagus ditawan di Tuban oleh Sultan Mataram dan baru dibebaskan pada masa Sultan Mustain Billah. Trah keturunan Sultan Hidayatullah I menjadi Datu-datu Taliwang dan Sultan-sultan Sumbawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II/Gusti Mesir Abdurrahman/Dewa Pangeran (Sultan Sumbawa (1763 - 1766) merupakan seorang keturunan Raja Banjar yang menjadi menantu Sultan Sumbawa. Kemudian dia dilantik sebagai Sultan Sumbawa berikutnya oleh Datu Taliwang (raja daerah Taliwang yang juga keturunan Raja Banjar Sultan Hidayatullah I). | |
4 | 1595-1641 | Sultan Mustain Billah bin Sultan Hidayatullah I | * Raja Banjarmasih/Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Senapati, diduga ia perampas kekuasaan, sebab ia bukanlah anak dari permaisuri meskipun ia anak tertua. Pemerintahannya dibantu mangkubumi Kiai Jayanagara, dilanjutkan sepupunya Kiai Tumenggung Raksanagara. Gelar lain : Raden Kushil/Gusti Kacil/Pangeran Senapati/Panembahan Marhum/Raja Maruhum dan gelar yang dimasyhurkan Marhum Panembahan. Dia memindahkan ibukota ke sebelah hulu setelah mendapat serangan dari VOC Belanda dan memberi nama ibukota baru Martapura. Oleh Suku Dayak yang menghayati Kaharingan baginda dianggap hidup sebagai sangiang di Lewu Tambak Raja dikenal sebagai Raja Helu Maruhum Usang. Pada bulan Oktober 1641 baginda mengirim utusan yang membawa hadiah persembahan (bukan upeti) kepada Sultan Mataram sebagai tanda persahabatan. Sekitar tahun 1635 hubungan Banjar dan Mataram mengalami ketegangan, namun mulai membaik sejak tahun 1637. Keturunannya menjadi Sultan-sultan Banjar dan Pangeran Ratu Kotawaringin. | |
5 | 1641-1646 | Sultan Inayatullah bin Sultan Mustain Billah | * Raja Martapura. Sultan Inayatullah (Pangeran Dipati Tuha [ke-1]) merupakan putera sulung Sultan Mustain Billah, sedangkan Pangeran Dipati Anom [ke-1] merupakan putera kedua Sultan Mustain Billah. Setelah dilantik sebagai mangkubumi/Kepala Pemerintahan maka Pangeran Dipati Anom [ke-1] memperoleh gelar Pangeran di Darat. Sultan Inayatullah juga bergelar Ratu Agung. Ia dimakamkan di Kampung Keraton, Martapura. Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera ketiga Sultan Mustain Billah kemudian dilantik menjadi raja daerah di wilayah perbatasan sebelah barat yang disebut Kerajaan Kotawaringin. | |
6 | 1646-1660 | Sultan Saidullah bin Sultan Inayatullah | * Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Kasuma Alam. Sultan Saidullah memiliki saudara sebapak yaitu Raden Kasuma Lelana. Kepala Pemerintahan/mangkubumi tetapa dipegang Pangeran di Darat yang kini bergelar Panembahan di Darat. Setelah wafatnya Panembahan di Darat jabatan mangkubumi dilanjutkan pamannya Pangeran Dipati Anta-Kasuma, terakhir dilanjutkan paman tirinya Pangeran Dipati Mangkubumi (Raden Halit). Terdapat masa kekosongan Sultan selama setahun sebelum dia ditabalkan, dan menjalankan "kekuasaan" saat itu adalah mangkubumi Pangeran di Darat. Gelar lain : Wahidullah/Ratu Anum/Ratu Anumdullah/Sultan Ratu. Sultan Ratu memiliki dua putera yaitu Pangeran Suria Angsa (Raden Bagus/Sultan Amrullah) dan Pangeran Suria Negara (Raden Basus/Pangeran Dipati Tuha). Keturunannya menjadi Raja-raja Banjar dan Tanah Bumbu. | |
7 | 1660-1663 | Sultan Ri'ayatullah bin Sultan Mustain Billah | * Raja Martapura. Nama lahirnya Raden Halit. Ia sebagai temporary king/badal menjadi pelaksana tugas bagi Raden Bagus, Putra Mahkota yang belum dewasa. Sebagai Penjabat Sultan dengan gelar resmi dalam khutbah Sultan Rakyatullah (Rakyat Allah). Pemerintahannya dibantu mangkubumi keponakan tirinya Pangeran Mas Dipati bin Pangeran Dipati Antasari. Gelar lain : Pangeran Dipati Tapasena/Pangeran Mangkubumi/Panembahan Sepuh/Tahalidullah/Dipati Halit. Pada tahun 1663 ia dipaksa menyerahkan tahta kepada cucu tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung yang berpura-pura akan menyerahkan tahta kepada Putra Mahkota Raden Bagus tetapi ternyata untuk dirinya sendiri yang hendak menjadi Sultan. | |
8 | 1663-1679 | Sultan Amrullah Bagus Kasuma bin Sultan Saidullah | * Nama lahirnya Raden Bagus. Masa pemerintahannya sering ditulis tahun 1660-1700. Pada tahun 1660-1663 ia diwakilkan oleh Sultan Rakyatullah dalam menjalankan pemerintahan karena ia belum dewasa. Pada tahun 1663 paman tirinya Pangeran Dipati Anom II/Sultan Agung merampas tahta dari Sultan Rakyatullah, yang semestinya dirinyalah sebagai ahli waris yang sah sebagai Sultan Banjar berikutnya. Sementara itu ia telah dilantik oleh Pangeran Tapesana/Sultan Rakyatullah dengan gelar Sultan Amrullah Bagus Kasuma. Tahun 1663-1679 ia sebagai raja pelarian yang memerintah dari pedalaman (Alay) | |
9 | 1663-1679 | Sultan Agung/Pangeran Suria Nata (ke-2) bin Sultan Inayatullah | * Raja Banjarmasih. Nama lahirnya Raden Kasuma Lalana. Mengkudeta/mengambil hak kemenakannya Raden Bagus sebagai Sultan Banjar. Ia dengan bantuan suku Biaju, memindahkan pusat pemerintahan ke Sungai Pangeran (Banjarmasin). Pemerintahannya dibantu mangkubumi Pangeran Aria Wiraraja, putera Pangeran Ratu. Sebagai raja muda ditunjuk adik kandungnya, Pangeran Purbanagara. Ia berbagi kekuasaan dengan saudara kakeknya Pangeran Ratu (Sultan Rakyatullah) yang kembali memegang pemerintahan Martapura sampai mangkatnya pada 1666. Gelar lain : Pangeran Dipati Anom II. | |
10 | 1679-1700 | Sultan Amarullah Bagus Kasuma/Tahlil=lillah/Suria Angsa/Saidillah bin Sultan Saidullah | * Raja Kayu Tangi. Ia sempat lari ke daerah Alay (1663-1679) kemudian menyusun kekuatan dan berhasil membinasakan pamannya tirinya Sultan Agung beserta anaknya Pangeran Dipati, kemudian naik tahta kedua kalinya. Saudara tirinya Raden Basus/Suria Negara/Pangeran Dipati Tuha diangkat sebagai Raja daerah Negara, yang kemudian membangun kerajaan Tanah Bumbu dengan wilayah dari Tanjung Aru sampai Tanjung Silat yang diperuntukan bagi anaknya yaitu Pangeran Mangu, anak lainnya Pangeran Citra menjadi Sultan Kelua. | |
11 | 1700-1717 | Sultan Tahmidullah I/Panembahan Kuning bin Sultan Amrullah/Tahlil-lullah | * Raja Kayu Tangi. Tahmidullah I memiliki dua putera dewasa, yang tertua adalah Sultan Ilhamidullah/Sultan Kuning/Sultan Badarul Alam dan yang kedua Sultan Sepuh/Tamjidullah I. Sedangkan penguasa daerah Negara dijabat oleh Pangeran Mas Dipati Trah keturunan Sultan Tahmisillah I menjadi Sultan-sultan Sumbawa. Sultan Muhammad Jalaluddin Syah II/Gusti Mesir Abdurrahman/Dewa Pangeran (Sultan Sumbawa (1763 - 1766) merupakan seorang putera dari Pangeran Aria bin Sultan Tahmidillah (ke-1). Sebagai menantu Sultan Sumbawa. kemudian dia dilantik sebagai Sultan Sumbawa berikutnya oleh Datu Taliwang (raja daerah Taliwang yang juga keturunan Raja Banjar Sultan Hidayatullah I). | |
12 | 1717-1730 | Panembahan Kasuma Dilaga | * Raja Kayu Tangi. Ia adalah mangkubumi dan adik sultan sebelumnya. Iparnya yang bernama Raden Jaya Negara dilantik sebagai penguasa daerah Negara | |
13 | 1730-1734 | Sultan il-Hamidullah/Sultan Kuning bin Sultan Tahmidullah I | * Raja Kayu Tangi. Gelar lain : Sultan Kuning atau Pangeran Bata Kuning. Panglima perang dari La Madukelleng menyerang Banjarmasin pada tahun 1733 | |
14 | 1734-1759 | Sultan Tamjidullah I bin Sultan Tahmidullah I | * Raja Kayu Tangi. Gelar lain: Sultan Sepuh/Panembahan Badarulalam. Raja Kayu Tangi. Ia semula mangkubuminya Sultan Kuning, kemudian setelah mangkatnya Sultan Kuning, ia bertindak sebagai wali Putra Mahkota Pangeran Muhammad Aliuddin Aminullah gelar Ratu Anom yang belum dewasa. Tamjidullah I yang bergelar Sultan Sepuh ini berusaha Sultan Banjar tetap dipegang pada dinasti garis keturunannya. Adiknya Pangeran Nullah (Penembahan Hirang) dilantik sebagai mangkubumi. Tamjidullah I mangkat 1767. | |
15 | 1759-1761 | Sultan Muhammadillah/Muhammad Aliuddin Aminullah bin Sultan Il-Hamidullah/Sultan Kuning | * Raja Kayu Tangi. Ia menggantikan mertuanya Sultan Sepuh/Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar. Setelah itu mantan Sultan Sepuh tidak lagi memakai gelar Sultan tetapi hanya sebagai Panembahan. Sebagai mangkubumi adalah Pangeran Nata dengan gelar Ratu Dipati, putera Sultan Sepuh. Gelar lain : Sultan Muhammadillah/Sultan Aminullah/Muhammad Iya'uddin Aminullah/Muhammad Iya'uddin Amir ulatie ketika mangkat anak-anaknya masih belum dewasa, tahta kerajaan kembali dibawah kekuasaan Tamjidillah I tetapi dijalankan oleh anaknya Pangeran Nata Dilaga sebagai wali Putra Mahkota. | |
16 | 1761-1801 | Sunan Nata Alam(Pangeran Mangkubumi) bin Sultan Tamjidullah I | * Raja Kayu Tangi. Tahun 1771 ia memindah ibukota ke Martapura yang dinamakan Bumi Selamat. Semula sebagai wali Putra Mahkota dengan gelar Panembahan Kaharuddin Halilullah. Pamannya yang bernama Pangeran Mas menjadi mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Kasuma Yuda (mangkubumi Sultan Tahmidullah II). Ratu Anom Kasuma Yuda kemudian wafat dan digantikan Ratu Anom Ismail atau Ratu Anom Mangkudilaga.Gelar lain : Sultan Tahmidullah II/Sunan Nata Alam (1772)/Pangeran Nata Dilaga/Pangeran Wira Nata/Pangeran Nata Negara/Akamuddin Saidullah(1762)/Amirul Mu'minin Abdullah(1762)/Sunan Sulaiman Saidullah I(1787)/Panembahan Batu (1797)/Panembahan Anom. Mendapat bantuan VOC untuk menangkap Pangeran Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang menuntut tahta dengan bantuan Arung Trawe/Petta To Rawe pimpinan suku Bugis-Paser yang mengalami kegagalan, kemudian Pangeran Amir menjalin hubungan dengan suku Bakumpai dan akhirnya ditangkap Kompeni Belanda 14 Mei 1787, kemudian diasingkan ke Srilangka. Sebagai balas jasa kepada VOC maka dibuat perjanjian 13 Agustus 1787 yang menyebabkan Kesultanan Banjar menjadi vazal VOC atau daerah protektorat, bahkan pengangkatan Sultan Muda dan mangkubumi harus dengan persetujuan VOC. Sultan Tahmidullah II mempunyai saudara perempuan bernama Ratu Laiya yang menikah dengan Sultan Muhammad dari Sumbawa. | |
17 | 1801-1825 | Sultan Sulaiman al-Mutamidullah/Sultan Sulaiman Saidullah II bin Tahmidullah II | * Menurut tradisi suksesi di kesultanan Banjar yang berlaku saat itu, maka putera sulung dari permaisuri akan dilantik sebagai Sultan Muda dan putera kedua akan dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) untuk menggantikan mangkubumi sebelumnya yang meninggal dunia. Baginda dilantik sebagai Sultan Muda atau Pangeran Ratu Sultan Sulaiman sejak tahun 1767 ketika berusia 6 tahun. Adiknya yaitu Pangeran Mangku Dilaga/Pangeran Ismail kemudian dilantik sebagai mangkubumi dengan gelar Ratu Anom Mangku Dilaga/Ratoe Anom Ismail. Belakangan Ratoe Anom Ismail dihukum bunuh oleh Sultan Sulaiman Saidullah karena diduga akan merencanakan kudeta, sehingga jabatan mangkubumi berikutnya jatuh kepada putera kedua Sultan Sulaiman Saidullah yang bernama Pangeran Husin. Sebagai mangkubumi Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangku Bumi Nata, jadi ia merupakan adik Sultan Adam - anak sulung Sultan Sulaiman Saidullah. Pada masa itu wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris, namun Inggris melepaskan kekuasaannya atas Banjarmasin. Kemudian Pemerintahan Hindia Belanda datang kembali ke Banjarmasin untuk menegaskan kekuasaannya. Sultan Sulaiman digantikan anaknya Sultan Adam. Keturunannya menjadi Sultan Banjar dan raja-raja Kusan, Batulicin dan Pulau Laut. Di antaraputera-puterinya adalah Ratu Mashud (ibunda Pangeran Antasari) dan Pangeran Singosari yang menurunkan Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah. | |
18 | 1825-1857 | Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman al-Mutamidullah | * Baginda mendapat gelar Sultan Muda sejak tahun 1782, selanjutnya ia menggantikan ayahandanya sebagai Sultan Banjar. Ia dibantu adiknya Pangeran Husin bergelar Pangeran Mangku Bumi Nata sebagai mangkubumi. Setelah wafatnya Pangeran Mangku Bumi Nata maka putera kedua Sultan Adam yaitu Pangeran Noh dilantik sebagai mangkubumi (Pangeran Mangkubumi) dengan gelar Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana oleh Belanda pada 1842, sedangkan putera sulung yaitu Pangeran Ratu dilantik sebagai Sultan Muda dengan gelar Sultan Muda Abdul Rahman. Untuk memperoleh calon Pangeran Mahkota berikutnya maka Sultan Muda dinikahkan dengan sepupunya putri dari mangkubumi. Setelah wafatnya Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana maka pemerintah kolonial Belanda melantik putera dari selir Sultan Muda Abdul Rahman yang bernama Pangeran Tamjidillah (ke-2) untuk mengisi jabatan mangkubumi (pada saat Sultan Muda Abdul Rahman masih hidup). Ketika Sultan Muda Abdul Rahman mangkat (sebelum sempat menjabat sebagai Sultan Banjar) maka Belanda melantik Tamjidullah II sebagai Sultan Muda sejak 8 Agustus 1852 sambil merangkap jabatan mangkubumi yang sudah dijabat sebelumnya. Hal ini melanggar adat keraton biasanya mangkubumi dan Sultan Muda dijabat oleh orang yang berbeda, karena sepatutnya Sultan Muda dijabat oleh putera sulung dari permaisuri. Sultan Adam menolak pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda, karena ia menginginkan Pangeran Hidayatullah II untuk jabatan tersebut. Namun setelah wafatnya Sultan Adam, malahan Pangeran Tamjidullah II tetap dilantik pemerintah kolonial Belanda sebagai Sultan Banjar untuk menggantikan sultan Adam, dan sehari kemudian Tamjidullah II menandatangani surat pengasingan pamannya sendiri Pangeran Prabu Anom untuk diasingkan ke Bandung pada 23 Februari 1858. Tahun 1853 Sultan Adam sebenarnya sudah mengutus surat ke Batavia agar pengangkatan Tamjidullah II sebagai Sultan Muda (calon Sultan) dibatalkan. Sebagai tandingan Sultan Muda Tamjidullah, tahun 1855 Sultan Adam melantik puteranya Pangeran Prabu Anom (adik almarhum Sultan Muda Abdul Rahman) sebagai Raja Muda. Kemudian Sultan Adam sempat membuat surat wasiat yang menunjuk cucunya Hidayatullah II sebagai Sultan Banjar penggantinya dan Pangeran Prabu Anom sebagai Mangkubumi, surat wasiat inilah yang menjadi dasar perlawanan segenap bangsawan dan rakyat Banjar terhadap kolonial Hindia Belanda | |
19 | 1857-1859 | Sultan Tamjidullah II al-Watsiq Billah bin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam | *Sejak 1851 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi (sewaktu Sultan Muda Abdurrahaman masih hidup) untuk menggantikan Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana (adik Sultan Muda Abdurrahaman) yang meninggal dunia, tidak hanya itu kemudian pada tahun 1852 ia dilantik Belanda menjadi Sultan Muda (merangkap mangkubumi) menggantikan ayahnya Sultan Muda Abdurrahman yang mangkat pada 5 Maret 1852, walaupun pelantikannya sebagai Sultan Muda ini tidak disetujui kakeknya Sultan Adam. Pada 3 November 1857 Tamjidullah II diangkat Belanda menjadi Sultan Banjar, padahal ia anak selir meskipun ia sebagai anak tertua dan kemudian Belanda mengangkat Hidayatullah II sebagai mangkubumi. Jalur suksesi menurut tradisi kesultanan Banjar, untuk promosi jabatan putera-putera dari seorang Sultan yang bertahta, maka putera permaisuri yang sulung dilantik sebagai Sultan Muda dan seorang putera yang lainnya akan dilantik sebagai mangkubumi (jabatan bergengsi kedua setelah Sultan). Pelantikan Tamjidullah II ini sengaja dibuat salah oleh Belanda. Tamjidullah II memiliki tanah lungguh di Kota Banjarmasin karena itu sebagian rakyat dan ulama Banjarmasin mendukungnya. Banjarmasin menurut tradisi berada di bawah otoritas putera tertua Sultan. Pengangkatan Tamjidullah II ditentang segenap bangsawan karena menurut wasiat semestinya Hidayatullah II sebagai Sultan karena ia anak permaisuri. Pada 25 Juni 1859, Hindia Belanda memakzulkan Tamjidullah II sebagai Sultan Banjar kemudian mengirimnya ke Bogor. Sultan Seman, mertua Tamjidullah II ditangkap dan dihukum gantung dengan empat orang pengikutnya dengan tuduhan melakukan pemberontakan. Sebagai pengganti jabatan Sultan Banjar yang kosong, Belanda melantik komisi pemerintahan kerajaan yang terdiri atas Pangeran Surya Mataram dan Pangeran Muhammad Tambak Anyar. Sementara Sultan Muda menghindari penangkapan Belanda melarikan diri ke pulau Sumatera. | |
20 | 1859-1862 | Sultan Hidayatullah Halilillahbin Pangeran Ratu Sultan Muda Abdur Rahman bin Sultan Adam | * Nama lahirnya adalah Gusti Andarun, kemudian sebagai mangkubumi ia memakai gelar Pangeran Hidayatullah. Ia dikenal sebagai Sultan tanpa mahkota. Sesuai wasiat Sultan Adam ia sebagai Sultan Banjar penggantinya. Pada 9 Oktober 1856 ia dilantik Belanda sebagai mangkubumi tetapi diam-diam ia menjadi oposisi Tamjidullah II, misalnya dengan mengangkat Kiai Adipati Anom Dinding Raja (Jalil) sebagai tandingan adipati Banua Lima Kiai Adipati Danu Raja yang berada di pihak Belanda/Sultan Tamjidullah II. Pangeran Hidayatullah II memiliki tanah lungguh meliputi Alai, Paramasan, Amandit, Karang Intan, Margasari dan Basung. Perjuangan Sultan Hidayatullah II dibantu oleh tangan kanannya Demang Lehman yang memegang pusaka kerajaan Keris Singkir dan Tombak Kalibelah. Ketika berada di Banua Lima pada bulan September 1859, ia dilantik di Amuntai oleh rakyat Banua Lima sebagai Sultan Banjar, dan Pangeran Wira Kasuma sebagai mangkubumi. Pelantikan ini untuk memenuhi angan-angan rakyat Banua Lima walaupun bersifat marjinal karena pada dasarnya seluruh wilayah berada dalam kekuasaan Belanda. Penobatanya ini pada umumnya disetujui pula oleh rakyat yang berada di Banua Lima maupun di luar Banua Lima. Pada tanggal 11 Juni 1860, Residen I.N. Nieuwen Huyzen mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjar yang digantikan komisi kerajaan dibawah Pangeran Suria Mataram (anak Sultan Adam) dan Pangeran Mohammad Tambak Anyar (anak Ratoe Anom Mangkoeboemi Kentjana). Sultan Hidayatullah II pada 2 Maret 1862 dibawa dari Martapura dan diasingkan ke Cianjur | |
21 | 1862 | Pangeran Antasari bin Pangeran Mashud bin Sultan Amir bin Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah | * Raja Bakumpai dan Tanah Dusun. Pada 14 Maret 1862, yaitu setelah 11 hari Pangeran Hidayatullah II diasingkan ke Cianjur, rakyat Tanah Dusun, Siang dan Murung memproklamasikan pengangkatan Pangeran Antasari sebagai pimpinan tertinggi dalam kerajaan Banjar dengan gelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Khalifah ini dibantu Tumenggung Surapati sebagai panglima perang. Pusat perjuangan di Menawing, pedalaman sungai Barito, Murung Raya, Kalteng. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, wafat 11 Oktober 1862 di kampung Sampirang, Bayan Begak, karena penyakit cacar. Dimakamkan kembali 11 November 1958 di Komplek Makam Pangeran Antasari, Banjarmasin. | |
22 | 1862-1905 | Sultan Muhammad Semanbin Pangeran Antasari Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin | * Raja Pagustian/Kastapura . Sebagai kepala Pemerintahan Pagustian meneruskan perjuangan ayahnya, Pangeran Antasari melawan kolonial Belanda dengan dibantu kakaknya Panembahan Muda/Gusti Muhammad Said sebagai mangkubumi dan Panglima Batur sebagai panglima perang. Ia melantik menantunya Pangeran Perbatasari bin Panembahan Muhammad Said sebagai Mangkubumi menggantikan almarhum ayahandanya. Pangeran Perbatasari tertangkap di daerah Pahu, Kutai Barat dan dibuang ke Kampung Jawa Tondano. Sultan Muhammad Seman sempat mengirim Panglima Bukhari ke Kandangan untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Muhammad Seman gugur pada 24 Januari 1905 ditembak Belanda yang mengakhiri Perang Banjar dan banyak para pahlawan pejuang yang tertangkap, Pangeran Aminullah (menantu Pangeran Prabu Anom) dibuang ke Surabaya, Ratu Zaleha diasingkan ke Bogor, keturunan Tumenggung Surapati yang tertangkap diasingkan ke Bengkulu, dan sebagai penerus Sultan Muhammad Seman adalah Gusti Berakit. Negeri Banjar menjadi sepenuhnya di bawah pemerintahan Residen Belanda dilanjutkan Gubernur Haga, Pimpinan Pemerintahan Civil, Pangeran Musa Ardi Kesuma (Ridzie Zaman Jepang), Pangeran Muhammad Noor (Gubernur Kalimantan I), sekarang menjadi Provinsi Kalimantan Selatan. | |
23 | 2010 | Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah bin Gusti Jumri bin Gusti Umar bin Pangeran Haji Abubakar bin Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman al-Mu'tamidullah | *Sultan Haji Khairul Saleh Al-Mu'tashim Billah zuriat dari Pangeran Singosari bin Sultan Sulaiman. Pada masa kemelut Perang Banjar, hanya Pangeran Singosari (saudara Sultan Adam) dan Pangeran Surya Mataram (anak Sultan Adam) yang masih dipercaya oleh rakyat Banjar sebagai tempat mengadukan segala permasalahan pada masa itu. Pangeran Singosari merupakan "perwakilan" Kesultanan Banjar di Banua Lima. Setelah lama mengalami kevakuman, para zuriat Kesultanan Banjar bertekad "Maangkat Batang Tarandam" untuk menghidupkan kembali Kesultanan Banjar. Maka melalui musyawarah Tinggi Adat, para zuriat yang tergabung dalam Lembaga Adat dan Kekerabatan Kesultanan Banjar (LAKKB), pada 24 Juli 2010resmi menganugerahkan gelar Pangeran dan menobatkan Gusti Khairul Saleh (Bupati Kabupaten Banjar 2005-2015) sebagai Raja Muda Banjar dan seterusnya diangkat menjadi Sultan Banjar. | |
- Pelarian Lima Pangeran
Website resmi dari Kesultanan Banjarmasin:
http://kesultananbanjar.com/id/
Kesultanan Banjar Masa Penjajahan Belanda
Pada abad ke-18 masa pemerintahan Pangeran Tamjidullah I berhasil memindahkan kekuasaan pemerintahan kepada dinastinya dan menetapkan Pangeran Nata Dilaga sebagai Sultan yang pertama sebagai Panembahan Kaharudin Khalilullah. Pangeran Nata Dilaga yang menjadi raja pertama dinasti Tamjidullah I dalam masa kejayaan kekuasaannya, menyebutkan dirinya Susuhunan Nata Alam pada tahun 1772. Putera dari Sultan Muhammad Aliuddin Aminullah yang bernama Pangeran Amir, atau cucu Sultan Hamidullah melarikan diri ke negeri Pasir, dan meminta bantuan pada pamannya yang bernama Arung Tarawe (dan Ratu Dewi). Pangeran Amir kemudian kembali dan menyerbu Kesultanan Banjar dengan pasukan orang Bugis yang besar pada tahun 1757, dan berusaha merebut kembali tahtanya dari Susuhunan Nata Alam.
Karena takut kehilangan tahta dan kekuatiran jatuhnya kerajaan di bawah kekuasaan orang Bugis, Susuhunan Nata Alam meminta bantuan kepada VOC. VOC menerima permintaan tersebut dan mengirimkan Kapten Hoffman dengan pasukannya dan berhasil mengalahkan pasukan Bugis itu. Sedangkan Pangeran Amir terpaksa melarikan diri kembali ke negeri Pasir. Beberapa waktu kemudian Pangeran Amir mencoba pula untuk meminta bantuan kepada para bangsawan Banjar di daerah Barito yang tidak senang kepada Belanda, karena di daerah Bakumpai/Barito diserahkan Pangeran Nata kepada VOC. Dalam pertempuran yang kedua ini Pangeran Amir tertangkap dan dibuang ke Sri Langka pada tahun 1787. Sesudah itu diadakan perjanjian antara Kesultanan Banjar dengan VOC, dimana raja-raja Banjar memerintah kerajaan sebagai peminjam tanah VOC. Dalam tahun 1826 diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu, berdasarkan perjanjian ini, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi, yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidang ini, yang kemudian menjadikan salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian itu terdiri atas 28 pasal dan ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826 atau 26 Ramadhan 1241 H. Selain Sultan Adam al Watsiq Billah, perjanjian itu juga ditandatangani oleh Paduka Pangeran Ratu (Putra Mahkota), Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati, Pangeran Ahmad dan disaksikan oleh para Pangeran lainnya. Perjanjian inilah yang menjadi dasar hubungan politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri pinzaman. Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali, sedangkan kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintah kolonial Hindia Belanda. Isi perjanjian 1826 itu antara lain adalah :
1.Kerajaan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda.
2.Wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian dibawah pemerintahan langsung Hindia Belanda.
3.Penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
4.Belanda menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
5.Beberapa daerah padang perburuan Sultan yang sudah menjadi tradisi, diserahkan pada Belanda. Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya untuk berburu menjangan.
6.Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan. Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluhnya diserahkan pada Belanda.
Abad ke-19 hubungan keluar Kesultanan Banjar yang pernah dijalankan sebelumnya, terputus khususnya dalam masalah hubungan perdagangan internasional. Tetapi kekuasaan Sultan ke dalam wilayahnya sendiri tetap utuh, tetap berdaulat menjalani kekuasaan sebagai seorang Sultan. Pada tahun 1860, Kesultanan Banjar dihapuskan dan digantikan pemerintahan regent yang berkedudukan masing-masing di Martapura (Pangeran Jaya Pemenang) dan di Amuntai (Raden Adipati Danu Raja). Adat istiadat sembah menyembah tetap berlaku hingga meninggalnya Pangeran Suria Winata, Regent Martapura saat itu. Jabatan regent di daerah ini akhirnya dihapuskan pada tahun 1884.
https://mohyahya7.wordpress.com/sejarah-kerajaan-islam-kesultanan-banjar-kalimantan/
Wilayah Kesultanan Banjarmasin
Cap Keraton dan Regalia Kursi Sultan
Keris Keraton
Sejarah Berdirinya Kesultanan Banjar
Penghuni pertama Kalimantan Selatan diperkirakan terkonsentrasi di desa-desa besar, di kawasan pantai kaki Pegunungan Meratus yang lambat laun berkembang menjadi kota-kota bandar yang memiliki hubungan perdagangan dengan India dan Cina. Dalam perkembangannya, konsentrasi penduduk juga terjadi di aliran Sungai Tabalong. Pada abad ke 5 M, diperkirakan telah berdiri Kerajaan Tanjungpuri yang berpusat di Tanjung, Tabalong. Jauh beberapa abad kemudian, orang-orang Melayu dari Sriwijaya banyak yang datang ke kawasan ini. Mereka memperkenalkan bahasa dan kebudayaan Melayu sambil berdagang. Selanjutnya, kemudian terjadi asimilasi dengan penduduk setempat yang terdiri dari suku Maayan, Lawangan dan Bukit. Maka, kemudian berkembang bahasa Melayu yang bercampur dengan bahasa suku-suku daerah tempatan, yang kemudain membentuk bahasa Banjar Kalsik.
Di daerah Banjar telah berdiri Kerajaan Hindu, yaitu Negara Dipa yang berpusat di Amuntai. Kemudian berdiri Negara Daha yang berpusat di daerah Negara sekarang. Menurut Hikayat Banjar tersebut, Negara Dipa adalah kerajaan pertama di Kalimantan Selatan.
Cikal bakal Raja Dipa bisa dirunut dari keturunan Aria Mangkubumi. Ia adalah seorang saudagar kaya, tetapi buka keturunan raja. Oleh sebab itu, berdasarkan sistem kasta dalam Hindu, ia tidak mungkin menjadi raja. Namun, dalam praktiknya, ia memiliki kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh seorang raja. Ketika ia meninggal, penggantinya adalah Ampu Jatmia, yang kemudian menjadi raja pertama Negara Dipa. Untuk menutupi kekurangannya yang tidak berasal dari keturunan raja, Jatmika kemudian banyak mendirikan bangunan, seperti candi, balairung, kraton dan arca berbentuk laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di candi. Segenap warga Negara Dipa diwajibkan menyembah Arca ini.
Ketika Ampu Jatmika meninggal dunai, ia berwasiat agar kedua anaknya, Ampu Mandastana dan Lambung Mangkurat tidak menggantikannya, sebag mereka bukan keturunan raja. Tapi kemudian, Lambung Mangkurat berhasil mencari pengganti raja, dengan cara mengawinkan seorang putri Banjar, Putri Junjung Buih dengan Raden Putera, seorang pangeran dari Majapahit. Setelah menjadi raja, Raden Putera memakai gelar Pangeran Suryanata, sementara Lambung Mangkurat memangku jabatan sebagai Mangkubumi.
Setelah Negara Dipa runtuh, muncul Negara Daha yang berpusat di Muara Bahan. Saat itu, yang memerintah di Daha adalah Maharaja Sukarama. Ketia Sukarama meninggal, Ia berwasiat agar cucunya Raden Samudra yang menggantikan. Tapi, karena masih kecil, akhirnya Raden Samudra kalah bersaing dengan pamannya, Pangeran Tumenggung yang juga berambisi menjadi raja. Atas nasehat Mangkubumi Aria Tranggana dan agar terhindar dari pembunuhan, Raden Samudra kemudian melarikan diri dari Daha, dengan cara menghilir sungai melalui Muara Bahan ke Serapat, Balandian, dan memutuskan untuk bersembunyi di daerah Muara Barito. Di daerah aliran Sungai Barito ini, juga terdapat beberapa desa yang dikepalai oleh para kepala suku. Diantara desa-desa tersebut adalah, Tamban, Kuwin, Balitung dan Banjar. Kampung Banjar merupakan perkambungan Melayu yang dibentuk oleh liam buah sungai yakni Sungai Pandai, Sungai Sigaling, Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran (Pegeran). Semua anak Sungai Kuwin. Desa Banjar ini terletak di tengah-tengah pemukiman Oloh Ngaju di Barito Hilir.
Orang Dayak Ngaju menyebut orang yang berbahasa Melayu dengan sebutan Masih. Oleh karena itu, desa Banjar disebut Banjarmasih, dan pemimpinnya disebut Patih Masih. Desa-desa di daerah Barito ini semuanya takluk di bawah Daha dengan kewajiban membayar pajak dan upeti. Hingga suatu ketika, Patih Masih mengadakan pertemuan dengan Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, Patih Kuwin untuk berunding, agar bisa keluar dari mengaruh Daha, dan menjadikan kawasan mereka merdeka dan besar.
Dalam sejarah pemberontakan itu, Raden Samudra meminta bantuan Kerajaan Demak di Jawa. Dalam Hikayat Banjar disebutkan, Raden Samudra mengirim duta ke Demak untuk mengadakan hubungan kerja sama militer. Utusan tersebut adalah Patih Balit, seorang pembesar Kerajaan Banjar. Utusan menghadap Sultan Demak dengan seperangkat hadiah sebagai tanda persahabatan berupa sepikul rotan, seribu buah tudung saji, sepuluh pikul lilin,
Setelah berhasil meruntuhkan dan menguasai kerajaan Daha, maka Raden (Pangeran) Samudera segera menunaikan janji untuk memeluk Islam. Setelah masuk Islam, ia memakai gelar Sultan Suriansyah. Gelar lainnya adalah Panembahan atau Susuhunan Batu Habang. Dialah Raja Banjar pertama yang memeluk Islam, dan sejak itu, agam Islam berkembang pesat di Kalimantan Selatan. Pangeran Samudra (Sultan Suriansyah) diIslamkan oleh wakul penghulu demak, Khatib Dayan pada tanggal 24 September 1526 M, hari Rabu Jam 10 pagi, bertepatan dengan 8 Zulhijjah 932 H. Khatib Dayan merupakan Penghulu Demak Rahmatullah, dengan tugas melakukan proses pengislaman raja beserta pembesar kerajaan. Khatib Dayan bertugas di Kerajaan Banjar sampa ia meninggal dunai, dan dikuburkan di Kuwin Utara.
Sultan Suriansyah telam membuka era baru di Kerajaan Banjar dengam masuk dan berkembangnya agam Islam. Kerajaan Banjar yang dimaksud di sini adalah kerajaan pasca masuknya agama Islam. Sementara era Negara Dipa dan Daha merupakan era tersendiri yang melatarbelakangi kemunculan Kerajaan Banjar. Diperkirakan, Suriansyah meninggal dunia sekitar tahun 1550 M. Seiring masuknya kolonial kulit putih Eropa, Kerajaan Banjar kemudian dihapuskan oleh Belanda pada 11 Juni 1860.
Dalam perjalannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan Banjar atau keraton Banjar harus berpindah-pindah dari stua tempat ketempat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Keraton pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataannya yang sekarang dapat ditemui di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makam Sultan Suriansyah dan para tokoh yang sejaman seperti khatib Dayan, serta maka keluarga Sultan Suriansyah sendiri.
Tidak atau belum diktemukan serta diketahui dimana lokas Keraton Banjar dan bagaimana bentuk arsitekturnya hingga saat ini merupakan pertanyaan penelitian atau recearch questions yang menarik untuk dicarikan jawabannya.
Sehubungan dengan hal itulah penelitian ini dilakukan, dengan melakukan kerja kolaborasi antara sejarah, arkeologi dan arsitektur, maka diharapkan dapat mengak tabi yang selama ini belum ada yang mengangkat dan membicarakannya.
Masuk dan berkembangnya Islam berlangsung sebelum Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar berdiri. Hal ini dikarenakan wilayah cikal bakal Kesultanan Banjar yang strategis, yaitu jalur perdagangan dan pelayaran. Melalui pelabuhan dan transaksi perdagangan yang ada Islam di dakwahkan oleh pedagang-pedagang muslim kepada rakyat.
Masuknya Islam berlangsung dengan damai dikawasan ini melalui tangan pedangang dan para ulama. Dalam salah satu makalah Pra Seminar Sejarah Kalsel (1973) disebutkan, Sunan Giri juga pernah singgah di Pelabuhan Banjar. Sunan Giri melakukan transaksi pedagang dengan warga sekitar dan bahkan memberikan secara gratis barang-barang kepada penduduk yang fakir.
Disamping itu juga terdapat keterangan mengenai salah seorang pe-muka Kerajaan Daha, yakni Raden Sekar Sungsang yang menimba ilmu kepada Sunan Giri. Melalui jalur ini Pengeran Samudra mengenai Islam dan kelak mengadakan hubungan dengan Kesultanan Demak. Pangeran Samudra sendiri kemudain masuk Islam dan mengganti namanya menjadi sultan Suriansyah. Sekaligus berdiri pada haru Rabu 24 September 1526. Tempat pemerintahan dipusatkan di rumah Patih Masih, daerah perkampungan suku Melayu yang terletak di antara Sungai Keramat dan jagabaya dengan Sungai Kuyin sebagai induk. Pada tempat ini pula dibangun sebuah Masjid yang berdiri hingga sekarang, dikenal dengan nama Masjid Sultan Suriansyah.
Dalam perjalanannya, Kerajaan Banjar telah mengalami berbagai kesulitan dan ancaman baik dari eksternal maupun internal, terutama masa-masa setelah datangnya bangsa kolonial. Pusat kerajaan atau Keraton Banjar harus berpindah-pindah dari satu tempat ke tampat lain tidak kurang dari 5 (lima) kali. Tetapi tak satupun sisa-sisa tinggalan Keraton Banjar tersebut yang dapat diwariskan kepada generasi sekarang. Kerator pertama yang disebutkan berada di wilayah Kuin, dan keraton kedua yang berlokasi di Kayutangi atau Teluk Selong, Martapura, tidak ada seorangpun yang dapat menjelaskannya. Kenyataan yang sekarang dapat ditemu di Kuin saat ini hanyalah lokasi Makan Sultan Suriansyah dan para tokoh sejaman seperti khatib Dayan, serta makam keluarga Sultan Suriansyah sendiri.
Keputusannya, mereka sepakat mencari Raden Samudera, cucu Maharaja Sukarama yang kabarnya sedang bersembunyi di daerah Balandean, Serapat. Kemudian, mereka juga sepakat memindahkan bandar perdagangan ke Banjarmasih. Selanjutnya, di bawah pimpinan Raden Samudra, mereka memberontak melawan kerajaan Daha. Peristiwa ini terjadi pada abad ke-16 M. Pemberontakan ini amat penting, karena telah mengakhiri eksistensi Kerajaan Daha, ytang berarti akhir dari era Hindu. Selanjutnya, masuk ke era Islam dan berdirilah Kerajaan Banjar.
seribu bongkah damar dan sepuluh biji intan. Pengiring duta kerajaan ini ekitar 400 orang. Demak menyambut baik utusan ini, dan sebagai persyaratan, Demak meminta kepada utusan tersebut, agar Raja Banjar dan semua pembesar mau memeluk agam Islam. Atas bantuan Demak, Pangeran Samudera behasil mengalahkan Pangeran Tumenggung, penguasa Daha, sekaligus menguasai seluruh daerah taklukan Daha.
http://indoborneonatural.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-banjar-kalimantan.html
Asal-usul Kerajaan BanjarIslam datang ke Kalimantan pada abad ke 15. Suatu ketika, Raden Paku atau Sunan Giri berlayar ke pulau Kalimantan dan mendarat di pelabuhan Banjar. Kedatangannya sebagai muballigh sambil membawa barang dagangannya dengan tiga buah kapal. Kedatangan Sunan Giri ke Kalimantan diperkirakan pada tahun 1470 M. Pada akhir abad ke 15, orang-orang Islam dari Jawa telah banyak menetap di Kalimantan. Berita-berita tentang agama Islam semakin tersiar dikalangan penduduk, baik melalui pendatang (pedagang dan muballigh) maupun orang-orang Kalimantan sendiri yang pernah menyinggahi Jawa, terutama Jawa Timur. Itu sebabnya maka kisah-kisah tentang Wali Songo menjadi buah bibir penduduk Kalimantan. Pelan tapi pasti Agama Islam telah dikenal oleh seluruh penduduk.Pada masa itu, kalimantan Selatan masih dibawah Kerajaan Daha, yang pada saat itu dipimpim oleh Pangeran Sukarama. Ia mempunyai tiga orang anak; Pangeran Mangkubumi, Pangeran Tumenggung dan Putri Galuh. Peristiwa kelahiran Kerajaan Banjar bermula dari konflik yang ada di dalam Istana Daha. Konflik terjadi antara Pangeran Samudera sebagai pewaris sah Kerajaan Daha, dengan pamannya Pangeran Tumenggung. Seperti dikisahkan dalam Hikayat Banjar, ketika Raja Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat, agar yang menggantikannya nanti adalahcucunya Raden Samudera. Tentu saja keempat anaknya tidak setuju dengan sikap ayahnya itu, terlebih Pangeran Tumenggung yang sangat berambisi. Setelah Sukarama wafat, jabatan dipegang oleh anak tertua, yakni Pangeran Mangkubumi. Waktu itu, Pangeran Samudera baru berumur 7 tahun. Pangeran Mangkubumi tak terlalu lama berkuasa, karena ia dibunuh oleh pengawalnya yang berhasil dihasut oleh Pangeran Tumenggung. Dengan meninggalnya Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumenggung naik tahta.Pada saat itu, Pangeran Samudera menjadi musuh besar Pangeran Tumenggung. Oleh karena itu ia memilih meninggalkan istana dan menyamar menjadi nelayan di Pelabuhan Banjar. Namun, keberadaanya diketahui oleh Patih Masih yang menguasai Bandar. Karena tidak mau daerahnya (Patih Masih) terus menerus mengantar upeti ke Daha kepada Pangeran Tumenggung, maka Patih Masih mengangkatnya sebagai Raja.Dalam sejarah Daha, tersebutlah seorang perdana menteri yang cakap, bernama Patih Masih. Walau tak sebesar Patih Gajah Mada, ia mampu mengendalikan pemerintahan dengan teratur dan maju. Patih ini banyak bergaul dengan pendatang-pendatang di Pelabuhan Bandar. Disanalah ia bergaul dengan Muballigh Islam yang datang dari Tuban dan Gresik. Dari para Muballigh ini ia mendengar kisah tentang Wali Songo dalam mengemban Kerajaan Demak dan dalam membangun masyarakat yang adil dan makmur. Bagi Patih Masih, kisah tersebut sangat fantastik, mengagumkan. Seiring berjalannya waktu, dari pergaulannya ini, ia akhirnya memeluk Islam.Atas bantuan Patih Masih, Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan dan memulai menyerang Pangeran Tumenggung. Tetapi peperangan terus berlangsung secara seimbang. Patih mengusulkan untuk meminta bantuan Demak. Sultan Demak bersedia membantu Pangeran Samudera asal nanti masuk Islam. Lalu sultan Demak mengirimkan bantuan seribu orang tentaranya (sumber lain mengatakan berjumlah 40.000 tentara, dengan jumlah 1.000 kapal, masing-masing kapal memuat 400 prajurit). Atas bantuan itu, kemenangan ada di pihak Pangeran Samudera. Sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh kerabat keraton dan penduduk Banjar menyatakan diri masuk Islam. Setelah masuk Islam, ia diberi nama Sultan Suryanullah atau Suriansyah, yang dinobatkan sebagai raja pertama Kerajaan Banjar.Sultan-sultan yang masyhur
a. Sultan SuriansyahNama lahirnya adalah Raden Samudera kemudian ketika diangkat menjadi raja di Banjarmasin oleh para patih (kepala kampung) di hilir sungai Barito, kemudian ia memakai gelar yang lebih tinggi yaitu Pangeran Samudera atau Pangeran Jaya Samudera. Ia lebih terkenal dengan gelar Sultan Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata (nata = raja) seorang pendiri dinasti pada zaman kerajaan Hindu sebelumnya.Daerah-daerah yang takluk pada masa Sultan Suryanullah - Sultan Banjarmasin I disebutkan dalam Hikayat Banjar. Hikayat Banjar menyebutkan :“ Sudah itu maka orang Sebangau, orang Mendawai, orang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawai, orang Sambas sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukan, orang Paser, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.”b. Sultan Mustain BillahJabatan sultan dipegang oleh Sultan Mustain Billah setelah ayahnya, Sultan Hidayatullah. Pada masa Sultan Mustain Billah mengalami masa kejayaan pada awal abad ke-17. Pada masa ini, lada menjadi komoditas perdagangan utama di Kesultanan Banjar. Disamping itu terdapat konflik dari unsur luar. Yaitu ketika pedagang Banjar melakukan perdgangan di Pelabuhan Banten, pada tahun 1596. Ketika itu Belanda tidak mendapatkan lada, karena kesombongannya pedagang Banten tidak mau menjualkan ladanya kepada Belada. Maka Belanda menghadang pedagang Banjar untuk mendapatkan lada dari mereka. Belanda melakukan ekspedisi ke Banjarmasin, untuk mengetahui keadaan lada di sana.c. Pangeran AntasariPangeran Antasari bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ia sampai sekarang masih dikenang karena keberaniannya melawan penjajah kolonial Belanda. Namanya amat masyur dalam sejarah kepahlawanan Kalimantan. Ia disebut sebagai pangeran yang gagah berani dan tokoh yang berjuang membela tanah airnya. Semboyannya yang memperlihatkan watak ksatrianya yang terkenal yakni: “Haram menyarah, waja sampai kaputing”(Haram menyerah, tabah sampai akhir!).Sosial-ekonomiDalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk segi tiga piramid. Lapisan teratas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, keluarga raja. Lapisan tengah diisi oleh para pemuka agama yang mengurusi masalah hukum keagamaan dalam kerajaan. Sementara golongan mayoritas diisi oleh para petani, nelayan, pedagang dan lain sebagainya.Perkembangan perekonomian di Kalimantan Selatan mengalami kemajuan yang pesat pada abad-16 sampai abad-17. Banjarmasin menjadi kota dagang yang sangat berarti untuk mencapai suatu kemakmuran kerajaan. Kalimantan Selatan juga memiliki perairan yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Dalam perdagangan, lada merupakan komoditas ekspor terbesar dalam Kerajaan Banjar.Dalam hal industri, Kerajaan Banjar juga menghasilkan besi dan logam. Industri logam dan besi ini terdapat di daerah Negara. Kemampuan dan keahlian mereka mencor logam seperti perunggu, yang dapat menghasilkan bermacam barang-barang untuk di ekspor. Sejak abad ke-17 daerah Negara terkenal dengan pembuatan kapal dan peralatan senjata lainnya, seperti golok, kapak, cangkul dan lain-lain. Selain itu, keahlian membuat kendi sebagai bentuk kerajinan yang telah berkembang turun-temurun sebagai sambilan disamping bertani. Kemudian dikenal juga usaha-usaha pertukangan, seperti tukang gergaji papan dan balok, tukang sirap, dan lain sebagainya.Budaya Orang-orang Banjar terdiri dari tiga golongan, yaitu kelompok Banjar Muara (Suku Ngaju), Kelompok Banjar Batang Banyu (Suku Maanyan), dan Kelompok Banjar Hulu (Suku Bukit). Dalam setiap kurun Sejarah, Kebudayaan Banjar mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan hingga coraknya berbeda dari zaman ke zaman. Ini merupakan manifestasi dari cara berpikir sekelompok manusia di daerah ini dalam suatu kurun waktu tertentu.Dalam rentetan peristiwa sejarah, kita dapatkan bahwa masyarakat Banjar dimulai dari percampuran budaya melayu dengan budaya bukit dan maanyan sebagai inti, kemudian membentuk kerajaan Tanjung Pura dengan agama Buddha. Yang kedua, percampuran kebudayaan pertama dengan kebudayaan Jawa, yang mana budaya Maanyan, Bukit, dan Melayu menjadi inti, yang kemudian membentuk Kerajaan Negara Dipa dengan agama Buddha. Yang ketiga, adalah perpaduan dengan kebudayaan Jawa yang membentuk kerajaan Negara Daha dengan agama Hindu. Yang terakhir, lanjutan dari Kerajaan Daha dalam membentuk kerajaan Banjar Islam dan perpaduan suku Ngaju, Maanyan dan Bukit. Dari perpaduan yang terakhir inilah akhirnya melahirkan kebudayaan yang ada dalam Kerajaan Banjar.Kemunduran Kerajaan BanjarKerajaan Banjar mengalami kemajuaan sebagai dampak dari diaktikannya wilayah kerajaan ini sebagai pelabuhan bebas, tetapi sebaliknya kehadiran unsur asing didaerah itu juga dapat mengakibatkan perpecahan di kalangan istana. Kehadiran pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang ikut campur dalam urusan adat kerajaan adalah bukti bahwa unsur asing yang hadir dalam Kerajaan Banjar nantinya akan memunculkan perpercahan dikalangan istana. Keterlibatan unsur asing dalam urusan istana juga merupakan salah satu penyebab utama meletusnya perang antara Kerajaan Banjar dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.Awal mulanya Kerajaan Banjar memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dengan ikut campurnya pemerintah kolonial dalam urasaan kerajaan mengakibatkan memanasnya hubungan diantara kedua belah pihak yang pada akhirnya akan menyebabkan pertempuran untuk mempertahankan kekuasaan di wilayah Kalimantan Selatan. Dalam sejarah pertempuran tersebut dikenal sebagai “Perang Banjar”. Perlawanan Kerajaan Banjar berlangsung dalam dua tahap, yang pertama berlangsung dari tahun 1859-1863, sedangkan perlawanan tahap kedua berlangsung dari tahun 1863-1905. Peperangan yang berlangsung hampir setengah abad lamanya berakhir dengan kekalahan di pihak Kerajaan Banjar. Dengan terpatahkannya perlawanan rakyat Banjar pada tahun 1905, maka hal ini menandai runtuhnya era dari Kerajaan Banjar yang telah berdiri sejak tahun 1520.
a. Sultan SuriansyahNama lahirnya adalah Raden Samudera kemudian ketika diangkat menjadi raja di Banjarmasin oleh para patih (kepala kampung) di hilir sungai Barito, kemudian ia memakai gelar yang lebih tinggi yaitu Pangeran Samudera atau Pangeran Jaya Samudera. Ia lebih terkenal dengan gelar Sultan Suriansyah, dari kata surya (matahari) dan syah (raja) yang disesuaikan dengan gelar dari Raden Putra (Rahadyan Putra) yaitu Suryanata (nata = raja) seorang pendiri dinasti pada zaman kerajaan Hindu sebelumnya.Daerah-daerah yang takluk pada masa Sultan Suryanullah - Sultan Banjarmasin I disebutkan dalam Hikayat Banjar. Hikayat Banjar menyebutkan :“ Sudah itu maka orang Sebangau, orang Mendawai, orang Sampit, orang Pembuang, orang Kota Waringin, orang Sukadana, orang Lawai, orang Sambas sekaliannya itu dipersalin sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim barat sekaliannya negeri itu datang mahanjurkan upetinya, musim timur kembali itu. Dan orang Takisung, orang Tambangan Laut, orang Kintap, orang Asam-Asam, orang Laut-Pulau, orang Pamukan, orang Paser, orang Kutai, orang Berau, orang Karasikan, sekaliannya itu dipersalin, sama disuruh kembali. Tiap-tiap musim timur datang sekaliannya negeri itu mahanjurkan upetinya, musim barat kembali.”b. Sultan Mustain BillahJabatan sultan dipegang oleh Sultan Mustain Billah setelah ayahnya, Sultan Hidayatullah. Pada masa Sultan Mustain Billah mengalami masa kejayaan pada awal abad ke-17. Pada masa ini, lada menjadi komoditas perdagangan utama di Kesultanan Banjar. Disamping itu terdapat konflik dari unsur luar. Yaitu ketika pedagang Banjar melakukan perdgangan di Pelabuhan Banten, pada tahun 1596. Ketika itu Belanda tidak mendapatkan lada, karena kesombongannya pedagang Banten tidak mau menjualkan ladanya kepada Belada. Maka Belanda menghadang pedagang Banjar untuk mendapatkan lada dari mereka. Belanda melakukan ekspedisi ke Banjarmasin, untuk mengetahui keadaan lada di sana.c. Pangeran AntasariPangeran Antasari bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin. Ia sampai sekarang masih dikenang karena keberaniannya melawan penjajah kolonial Belanda. Namanya amat masyur dalam sejarah kepahlawanan Kalimantan. Ia disebut sebagai pangeran yang gagah berani dan tokoh yang berjuang membela tanah airnya. Semboyannya yang memperlihatkan watak ksatrianya yang terkenal yakni: “Haram menyarah, waja sampai kaputing”(Haram menyerah, tabah sampai akhir!).Sosial-ekonomiDalam masyarakat Banjar terdapat susunan dan peranan sosial yang berbentuk segi tiga piramid. Lapisan teratas adalah golongan penguasa yang merupakan golongan minoritas. Golongan ini terdiri dari kaum bangsawan, keluarga raja. Lapisan tengah diisi oleh para pemuka agama yang mengurusi masalah hukum keagamaan dalam kerajaan. Sementara golongan mayoritas diisi oleh para petani, nelayan, pedagang dan lain sebagainya.Perkembangan perekonomian di Kalimantan Selatan mengalami kemajuan yang pesat pada abad-16 sampai abad-17. Banjarmasin menjadi kota dagang yang sangat berarti untuk mencapai suatu kemakmuran kerajaan. Kalimantan Selatan juga memiliki perairan yang strategis sebagai lalu lintas perdagangan. Dalam perdagangan, lada merupakan komoditas ekspor terbesar dalam Kerajaan Banjar.Dalam hal industri, Kerajaan Banjar juga menghasilkan besi dan logam. Industri logam dan besi ini terdapat di daerah Negara. Kemampuan dan keahlian mereka mencor logam seperti perunggu, yang dapat menghasilkan bermacam barang-barang untuk di ekspor. Sejak abad ke-17 daerah Negara terkenal dengan pembuatan kapal dan peralatan senjata lainnya, seperti golok, kapak, cangkul dan lain-lain. Selain itu, keahlian membuat kendi sebagai bentuk kerajinan yang telah berkembang turun-temurun sebagai sambilan disamping bertani. Kemudian dikenal juga usaha-usaha pertukangan, seperti tukang gergaji papan dan balok, tukang sirap, dan lain sebagainya.Budaya Orang-orang Banjar terdiri dari tiga golongan, yaitu kelompok Banjar Muara (Suku Ngaju), Kelompok Banjar Batang Banyu (Suku Maanyan), dan Kelompok Banjar Hulu (Suku Bukit). Dalam setiap kurun Sejarah, Kebudayaan Banjar mengalami pergeseran dan perubahan-perubahan hingga coraknya berbeda dari zaman ke zaman. Ini merupakan manifestasi dari cara berpikir sekelompok manusia di daerah ini dalam suatu kurun waktu tertentu.Dalam rentetan peristiwa sejarah, kita dapatkan bahwa masyarakat Banjar dimulai dari percampuran budaya melayu dengan budaya bukit dan maanyan sebagai inti, kemudian membentuk kerajaan Tanjung Pura dengan agama Buddha. Yang kedua, percampuran kebudayaan pertama dengan kebudayaan Jawa, yang mana budaya Maanyan, Bukit, dan Melayu menjadi inti, yang kemudian membentuk Kerajaan Negara Dipa dengan agama Buddha. Yang ketiga, adalah perpaduan dengan kebudayaan Jawa yang membentuk kerajaan Negara Daha dengan agama Hindu. Yang terakhir, lanjutan dari Kerajaan Daha dalam membentuk kerajaan Banjar Islam dan perpaduan suku Ngaju, Maanyan dan Bukit. Dari perpaduan yang terakhir inilah akhirnya melahirkan kebudayaan yang ada dalam Kerajaan Banjar.Kemunduran Kerajaan BanjarKerajaan Banjar mengalami kemajuaan sebagai dampak dari diaktikannya wilayah kerajaan ini sebagai pelabuhan bebas, tetapi sebaliknya kehadiran unsur asing didaerah itu juga dapat mengakibatkan perpecahan di kalangan istana. Kehadiran pihak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang ikut campur dalam urusan adat kerajaan adalah bukti bahwa unsur asing yang hadir dalam Kerajaan Banjar nantinya akan memunculkan perpercahan dikalangan istana. Keterlibatan unsur asing dalam urusan istana juga merupakan salah satu penyebab utama meletusnya perang antara Kerajaan Banjar dengan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.Awal mulanya Kerajaan Banjar memiliki hubungan yang cukup baik dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda, akan tetapi dengan ikut campurnya pemerintah kolonial dalam urasaan kerajaan mengakibatkan memanasnya hubungan diantara kedua belah pihak yang pada akhirnya akan menyebabkan pertempuran untuk mempertahankan kekuasaan di wilayah Kalimantan Selatan. Dalam sejarah pertempuran tersebut dikenal sebagai “Perang Banjar”. Perlawanan Kerajaan Banjar berlangsung dalam dua tahap, yang pertama berlangsung dari tahun 1859-1863, sedangkan perlawanan tahap kedua berlangsung dari tahun 1863-1905. Peperangan yang berlangsung hampir setengah abad lamanya berakhir dengan kekalahan di pihak Kerajaan Banjar. Dengan terpatahkannya perlawanan rakyat Banjar pada tahun 1905, maka hal ini menandai runtuhnya era dari Kerajaan Banjar yang telah berdiri sejak tahun 1520.
http://hanitami.blogspot.co.id/kerajaan-banjar.html
Komentar
Posting Komentar