Kesultanan Gorontalo Sulawesi
C. Kerajaan Gorontalo
1. Latar Belakang Lahirnya Kerajaan Gorontalo
Pada mulanya (abad ke-12) Kerajaan Gorontalo terdapat 17 kerajaan kecil-kecil yang berkedudukan di kaki/lereng gunung.Ke-17 kerajaan tersebut antara lain sebagai berikut :
Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai,"
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli Toli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai,"
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli Toli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.
a. Kerajaan Hunginaa, Rajanya: Lihawa
b. Kerajaan Lupoyo, Rajanya: Pai
c. Kerajaan Bilinggata, Rajanya: Lou
d. Kerajaan Wuwabu, Rajanya: Wahumolongo
e. Kerajaan Biawu, Rajanya: Wolango Huladu
f. Kerajaan Padengo, Rajanya: Palanggo
g. Kerajaan Huwangobotu Olowala, Rajanya: Dawanggi
h. Kerajaan Tapa, Rajanya: Deyilohiyo Daa
i. Kerajaan Lauwonu, Rajanya: Bongohulawa (Perempuan)
j. Kerajaan Toto, Rajanya: Tilopalani (Perempuan)
k. Kerajaan Dumati, Rajanya: Buata
l. Kerajaan Ilotidea, Rajanya: Tamau
m. Kerajaan Pantungo, Rajanya: Ngobuto
n. Kerajaan Panggulo, Rajanya: Hungiyelo
o. Kerajaan Huangobotu Oloyihi, Rajanya: Lealini
p. Kerajaan Tamboo, Rajanya: Dayilombuto (Perempuan)
q. Kerajaan Hulontalangi, Rajanya: Humalanggi
Sebelum masa penjajahan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo dan tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a". Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a :
a. Pohala'a Gorontalo
b. Pohala'a Limboto
c. Pohala'a Suwawa
d. Pohala'a Boalemo
e. Pohala'a Atinggola
Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara' bersendikan Kitabullah". Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.
Sebelum islam masuk ke Gorontalo, nilai budaya yang dianut kerajaan gorontalo adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme.
2. Proses Masuknya Islam di Kerajaan Gorontalo
Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.
Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya denganHolontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.
Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kerajaan Gorontalo
Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo dan Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan oleh masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/2016/05/kerajaan-islam-di-sulawesi-dan-gorontalo.html
Ke-17 Kerajaan tersebut antara lain sebagai berikut :
Nama Nama Sultan Yang Memerintah
Silsilah Sultan pada Kesultanan Gorontalo
Islamnya Kerajaan Gorontalo
Gorontalo adalah provinsi baru yang letaknya di Sulawesi bagian utara. Daerah ini punya jejak zaman kepemimpinan di masa dulu, termasuk kepemimpinan dalam kerajaan Islam.
Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.
Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya dengan Holontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.
Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.
Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai masa-masa ketika Islam masuk ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya kepada Republika, pekan lalu.
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Dari sini bisa terlihat, pihak kerajaan memahami Islam dan ingin menjalankan kerajaan sesuai tuntunan Islam. "Karena Islam, maka bentuk kerajaannya pun menjadi kesultanan," ujarnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh guru besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, Prof Dien Majid. Menurutnya, bentuk kerajaan tetap bisa dipertahankan meski rajanya telah Islam.
Dalam bentuk pemerintahan dulu, ia menjelaskan, dikenal bentuk kerajaan yang bersifat tradisional. Mulai abad ke-13, ketika Islam mulai masuk nusantara, maka dikenallah sistem pemerintah yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu kesultanan.
Sebelum berdiri kerajaan Islam, di Gorontalo ada banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hingga pada 1385, sejumlah 17 kerajaan kecil tersebut sepakat membentuk sebuah serikat kerajaan. Diangkatlah Maharaja Ilahudu untuk memimpin serikat kerajaan yang disebut dengan Kerajaan Hulondalo.
Menyebut Hulondalo, berarti sama artinya dengan Gorontalo. Hulondalo berasal dari kata Hulonthalangi dari istilah Huta Langi-langi, yang dalam bahasa setempat artinya genangan air. Orang Belanda menyebutnya dengan Holontalo, yang apabila ditulis dalam abjad latin menjadi Gorontalo.
Nilai budaya yang dianut adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme. Kemudian, Islam mulai masuk ke Gorontalo.
Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai masa-masa ketika Islam masuk ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya kepada Republika, pekan lalu.
Islam kala itu masuk melalui jalur perkawinan. Raja Amai menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.
Dari sini bisa terlihat, pihak kerajaan memahami Islam dan ingin menjalankan kerajaan sesuai tuntunan Islam. "Karena Islam, maka bentuk kerajaannya pun menjadi kesultanan," ujarnya.
Pendapat berbeda diungkapkan oleh guru besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta, Prof Dien Majid. Menurutnya, bentuk kerajaan tetap bisa dipertahankan meski rajanya telah Islam.
Dalam bentuk pemerintahan dulu, ia menjelaskan, dikenal bentuk kerajaan yang bersifat tradisional. Mulai abad ke-13, ketika Islam mulai masuk nusantara, maka dikenallah sistem pemerintah yang sesuai dengan ajaran Islam, yaitu kesultanan.
"Meski demikian, masih ada yang tetap menggunakan nama kerajaan, namun jabatan pemimpinnya disebut dengan sultan," ujarnya.
Salah satunya, ia mencontohkan adalah kerajaan di Aceh, namanya tetap kerajaan, namun pemimpinnya bergelar sultan. Hal yang sama terjadi juga di Gorontalo.
Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo.
"Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa," tulisnya.
Awalnya, saat Raja Amai ingin meminangnya, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan.
Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan yang kedua adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran. "Dua syarat itu diterima oleh Amai. Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo," tulisnya.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah.
Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.
Pada 1550, Sultan Amai digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya.
Ia pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.
Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.
Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullahdipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.
Beberapa perubahan
Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.
Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu Eyato mewajibkan sifat-sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.
Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu," tulisnya.
Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerja sama yang disebut Buatula Totolu, yaitu Buatula Bantayo yang dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan, Buatula Bubato yang dikepalai oleh Raja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat, dan Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Salah satunya, ia mencontohkan adalah kerajaan di Aceh, namanya tetap kerajaan, namun pemimpinnya bergelar sultan. Hal yang sama terjadi juga di Gorontalo.
Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo.
"Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa," tulisnya.
Awalnya, saat Raja Amai ingin meminangnya, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan.
Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan, dan yang kedua adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran. "Dua syarat itu diterima oleh Amai. Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo," tulisnya.
Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah.
Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.
Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.
Pada 1550, Sultan Amai digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya.
Ia pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.
Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.
Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullahdipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.
Beberapa perubahan
Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.
Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu Eyato mewajibkan sifat-sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.
Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.
Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu," tulisnya.
Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerja sama yang disebut Buatula Totolu, yaitu Buatula Bantayo yang dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan, Buatula Bubato yang dikepalai oleh Raja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat, dan Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/islamnya-kerajaan-gorontalo.html
Struktur Pemerintahan Kerajaan Gorontalo
Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerja sama yang disebut Buatula Totolu yaitu :
1. Buatula Bantayoyang dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan.
2. Buatula Bubato yang dikepalai olehRaja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat.
3. Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.
http://kota-islam.blogspot.co.id/sejarah-masuk-islam-di-kerajaan-gorontalo.html
Hikayat Raja Raja Gorontalo
Di bawah ini adalah hikayat keturunan seorang raja yang mungkin generasi sekarang belum atau tidak mengetahui siapa beliau sebenarnya. Sang Raja tersebut adalah Raja Humalanggi dari Kerajaan Hulontalangi (hidup sekitar tahun 1300-1385). Sebagaimana diketahui menurut sejarah Gorontalo, pada mulanya Kerajaan Gorontalo terdapat 17 Kerajaan kecil-kecil yang berkedudukan di kaki/lereng gunung. diantara raja-raja tersebut terdapat perempuan atau yang dikenal dengan Ratu, menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, suku bangsa Gorontalo sudah mendudukkan perempuan sama hak dan derajatnya dengan laki-laki.
Ke-17 Kerajaan tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Kerajaan Hunginaa, Rajanya: Lihawa
2. Kerajaan Lupoyo, Rajanya: Pai
3. Kerajaan Bilinggata, Rajanya: Lou
4. Kerajaan Wuwabu, Rajanya: Wahumolongo
5. Kerajaan Biawu, Rajanya: Wolango Huladu
6. Kerajaan Padengo, Rajanya: Palanggo
7. Kerajaan Huwangobotu Olowala, Rajanya: Dawanggi
8. Kerajaan Tapa, Rajanya: Deyilohiyo Daa
9. Kerajaan Lauwonu, Rajanya: Bongohulawa (Perempuan)
10. Kerajaan Toto, Rajanya: Tilopalani (Perempuan)
11. Kerajaan Dumati, Rajanya: Buata
12. Kerajaan Ilotidea, Rajanya: Tamau
13. Kerajaan Pantungo, Rajanya: Ngobuto
14. Kerajaan Panggulo, Rajanya: Hungiyelo
15. Kerajaan Huangobotu Oloyihi, Rajanya: Lealini
16. Kerajaan Tamboo, Rajanya: Dayilombuto (Perempuan)
17. Kerajaan Hulontalangi, Rajanya: Humalanggi
Raja Humalanggi dari Hulontalangi adalah seorang Raja yang senang mengunjungi raja-raja sejawatnya yang dalam bahasa Gorontalo disebut “melentalenga” . Dia senantiasa senang mengadakan hubungan serta pembicaraan dengan teman-temannya, menganjurkan untuk hidup rukun dan damai serta menghindarkan pertentangan dan perselisihan yang akan mengundang perang antar sesama mereka.
Raja Humalanggi kawin dengan Putri Bulaidaa adik Raja Mooduto (Raja Suwawa ke XIX (1320-1427). Dari hasil perkawinan mereka lahirlah seorang Pangeran yang bernama Ilahudu atau Wadipalapa atau Matolodula Daa, yang memiliki sifat-sifat serta tabiat seperti ayahnya (Raja Humalanggi). Dia sering mengunjungi Raja-Raja lain dengan maksud mengajak raja-raja tersebut kepada suatu kesatuan kerajaan. Akhirnya pada suatu tempat yang bernama “Padengo Boidu” (ladang tempat bicara) disepakati membentuk kerajaan kesatuan yang disebut Kerajaan Gorontalo (Tahun 1385) yang terdiri dari 17 kerajaan kecil tersebut diatas. Kemudian dua Kerajaan kecil menggabung yaitu Dembe dan Pohuwayama. Dalam musyawarah tersebut Ilahudu (Wadipalapa) disepakati untuk dilantik menjadi Raja Kesatuan Kerajaan Gorontalo (Tahun 1385). Pelantikan itu disebut dengan ”Huidu Lo Huntu Datahu” maksudnya yaitu Ilahudu dari Kerajaan Hulontalangi, karena kepemimpinannya yang baik dipilih menjadi Raja Gorontalo.
Pada musyawarah tersebut kedudukan Kerajaan-kerajaan kecil tersebut dibagi dalam tiga golongan yaitu Golongan Dile (suami istri), Golongan TiloTiyamo (Ibu Bapak) dan Golongan Tiyombu (Kakek nenek). Golongan pertama yaitu Dile merupakan Kerajaan yang lebih besar serta berpenduduk lebih banyak dari yang lain, sama haknya dengan Raja Kesatuan dan berhak untuk menjadi Raja Kesatuan (Perjanjian Ito Limo Lota, yaitu Wuwabu, Bilinggata, Hunginaa, Lupoyo, dan Hulontalangi). Golongan kedua yaitu Tilo Tiyamo terdiri dari Kerajaan Biawu, Padengo, Huangobotu Olowala, Lauwonu, Dumati dan Ilotidea, tugasnya berfungsi sebagai badan konstituante yaitu membuat dasar-dasar serta aturan Pemerintahan. Golongan ketiga yaitu Tiyombu terdiri dari Kerajaan Toto, Tapa, Pantungo, Huwangobotu Oloyihi, Tamboo, dan Panggulo, bertugas menjalankan keputusan dan menjaga pelaksanaan adat-istiadat.
Rupanya karena Raja Humalanggi ini pada dasarnya hobinya suka “melentalenga” maka sesuai catatan sejarah buku tua lo Hulontalo, beliau juga mempersunting Ratu Nggeialo (Raja Limboto) anak dari Ratu Tolangohula, Raja pertama Kerajaan Limboto (Ratu Tolangohula naik tahta pada tahun 1330 pada saat Kerajaan Limboto terbentuk. Ratu Tolangohula kawin dengan Yilumoto putera dari Pembono Bulodo II dengan Puteri Mbuibungale. Pembono Bulodo II Putera dari Raja Bolmong Buluati dengan Puteri Buluwinadi, cucu Datu Tonga Raja Suwawa ke XIII. Mbuibungale adalah anak dari Libuwe , sedangkan Libuwe adalah cucu dari Raja Suwawa III Mokotambibulawa (662-750).
Dari perkawinan antara Raja Humalanggi dengan Ratu Nggeialo lahir Raja Limboto, Tobuto. Tobuto kawin dengan anak Raja Luwadu yang bernama puteri Bunggu melahirkan Raja Limboto bernama Tapu dan puteri Miytu. Raja Tapu kawin dengan puteri Duluo dari Kerajaan Bolango dan melahirkan anak antara lain: Raja Bolango Puluhulawa, Raja Puteri Moliye dan Pangeran Moyito. Puteri Miytu kawin dengan Raja Uloli dan mempunyai anak 4 yaitu Pangeran Wolango, Puteri Sihedi (ntihedu), puteri Bulai dan Pangeran Tomelo.
Adapun Raja Bolango Puluhulawa kawin dengan raja Puteri Maydani dan mendapat anak Puteri Welemoyo yang kemudian kawin dengan Kadhi Pongoliwu dan melahirkan anak Raja Bulango Habibullah. Habibullah sendiri kawin dengan Puteri Taluke (cucu kemenakan Raja Pakaya) dan mendapat anak Marsaole Saffii. Puteri Moliye kawin dengan Pangeran Wolango melahirkan Raja Polamolo yang dinobatkan menjadi Raja Gorontalo sekaligus Raja Limboto waktu itu. Pangeran Moyito kawin dengan puteri Pinuda (Tanagi), Raja Bulango dan mendapat anak yaitu: Raja Bulango Datau, Puteri Potonuo, Raja Limboto Pilohibuta, Puteri Boyiodili dan Puteri Damopinda. Raja Datau kawin dengan Puteri Nggomi dan mendapat anak Raja Biya (Limboto), Puteri Deluli dan Puteri Halija (Halau). sewaktu masih kecil Biya dikirim ke Limboto oleh Raja Datau dan kemudian menjadi Raja Limboto.
Dengan demikian Raja HUMALANGGI telah memberikan keturunan pemimpin-pemimpin yang menduduki tahta raja-raja pada Kerajaan-Kerajaan Limo Lo Pohalaa bahkan sampai ke Bolang Uki, Atinggola, dan sekitar Tomini. Maka patutlah beliau mendapat gelar “TI BAPU DAA LO HULONDHALO”.
http://beautyhulondhalo.blogspot.co.id/hikayat-raja-raja-gorontalo.html
http://museumsejarahgorontalo.blogspot.co.id/kerajaan-dan-silsilah-kerajaan-gorontalo.html
Sumpah Bontho, Sejarah Orang Gorontalo Masuk Islam
Masjid Hunto Sultan Amay, tempat bersemainya islam pertama kali di Gorontalo (DeGorontalo/Syam Terrajana)
DEGORONTALO – Di usianya yang menginjak 519 tahun, Masjid Hunto Sultan Amay, di kelurahan Biawu, Kota Selatan Kota Gorontalo masih tegak berdiri. Ini adalah mesjid pertama sekaligus tertua di wilayah itu.berdiri tahun 1495 masehi/899 hijriyah. Begitu yang tertulis di gapura Masjid.
Masjid ini meninggalkan beberapa benda sejarah , di antaranya Mihrab kayu berukir , tempat khatib memberikan khutbah setinggi dua meter yang hingga sekarang masih digunakan.
“Bagian atas mihrab ini masih asli, tapi bagian bawahnya sudah dibuat permanen dari semen, karena kayunya sudah lapuk dimakan usia,” kata Faisal Tees, pengurus masjid sekaligus orang yang dipercayakan Balai Cagar budaya Gorontalo sebagai juru pelihara.
Di pojok bagian depan ruangan utama masjid, juga masih berdiri kokoh bedug berukuran sedang. bedug yang diduga peninggalan awal masjid ini masih saja ditabuh lima sekali sehari setiap kali memasuki waktu shalat.
Lalu di sayap kiri masjid, masih bisa dijumpai sebuah sumur yang juga seusia masjid ini.Dinding-dinding sumur sedalam enam meter ini terdiri dari susunan batu karang, mata airnya pun tak pernah surut, pada musim kemarau sekalipun.
Setiap kali musim kemarau atau kesulitan air, banyak warga mengandalkan sumur ini untuk kebutuhan sehari-hari, mandi, memasak dan mencuci.
Alkisah, Islam masuk di Gorontalo atas nama cinta. Itu terjadi ketika Sultan Amay (1460-1535 ), seorang penguasa di Gorontalo, meminang seorang putri bernama Owutango, anak raja Palasa Ogomonjolo, Teluk Tomini yang lebih dahulu memeluk Islam.
“Masjid ini adalah mahar pernikahan, itu syarat yang diajukan Raja Palasa, ketika ketika Sultan Amay hendak meminang putrinya,” tutur Faisal tees, penjaga masjid yang masuk dalam situs cagar budaya itu .
Semula, masjid ini hanya berukuran 12 x 12 meter persegi, bangunannya terdiri dari bahan kayu dan atap sirap, tidak seperti sekarang ini yang telah berdinding beton.Seingat Faisal, sudah ada tujuh kali bangunan Masjid itu mengalami renovasi juga sejumlah perluasan areal, kini luasnya sekitar 20 x 25 meter persegi.
Di ruang utama masjid, berdiri empat tiang penyangga, katanya, itu melambangkan para sahabat Rasulullah Muhammad SAW, yakni Abubakar Ash Shidiq, Ali Bin Abi Thalib, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan, sedang bentuk enam sisi tiang melambangkan jumlah rukun iman dalam Islam. dulu tiang itu berbahan kayu, tapi kini diganti dengan beton.
Syamsuri Kaluku, 66, sesepuh dan imam masjid itu menambahkan kisah sejarah menarik tentang penyebaran agama Islam yang bermula dari masjid itu.
Alkisah, setelah mendirikan masjid itu, Sultan Amay mengumpulkan seluruh rakyatnya di masjid itu untuk menjalani prosesi masuk Islam.
Di hadapan rakyatnya, yang kala itu masih memeluk kepercayaan Alifuru- penyembah roh dan benda-benda yang dianggap bertuah- Sultan Amay memerintahkan untuk menyembelih seekor babi, darahnya kemudian ditempelkan di seluruh kening rakyatnya.
Peristiwa itu, katanya lagi, dikenal sebagai uacara sumpah adat “Bontho” akronim bahasa daerah yakni bolo yingoyingontiyolo monga boyi (ini hari terakhir kita makan babi).
Sumpah itu sekaligus menjadi pertanda seluruh warga kerajaan Gorontalo memeluk agama Islam. Babi, yang kala itu masih lazim dikonsumsi masyarakat setempat, adalah perlambang mal yang kini diharamkan atau dilarang dalam agama Islam.
Konon, katanya, kala itu banyak rakyat Gorontalo yang mendapat berbagai musibah lantaran melanggar sumpah adat itu, sakit keras dan gila.
Semasa berkuasa, Amay beserta delapan raja di daerah itu itu melahirkan 185 rumusan adat mencakup upacara perkawinan dan kematian, perilaku berkeluarga, bermasyarakat penerimaan tamu dan penobatan pemimpin.
Hasil rumusan itu dikenal dengan prinsip Saraa Topa-Topango to Adati atau syariat (hukum Islam) bertumpu pada adat.
Dalam buku berjudul “Memori Gorontalo ; Teritori, Transisi dan Tradisi” karya Basri Amin, disebutkan aksara arab sudah dipakai di Gorontalo sejak 1525.
Prinsip adat yang digagas oleh Amay, kemudian disempurnakan pada masa pemerintahan Raja Eyato yang berkuasa pada 1673-1679, menjadi Adati Hulahulaa To Saraa, Saraa Hulahulaa To Quruani yang berarti Adat Bersendi Syarak, syarak bersendi Kitabullah (Al Quran);falsafah yang hingga saat ini dipegang oleh warga Gorontalo.
Makamnya yang terletak di belakang masjid bersejarah itu pada waktu-waktu tertentu, juga kerap diziarahi banyak orang dari berbagai penjuru daerah, termasuk pada bulan Ramadhan. Di batu nisannya, Sultan amay diberi gelar Ta Olongia Lopo Isilamu (Raja yang menyebarkan agama Islam) .
http://degorontalo.co/sumpah-bontho-sejarah-orang-gorontalo-masuk-islam/
Komentar
Posting Komentar