Kesultanan Kotawaringin Kalimantan Tengah
Kesultanan Kota Waringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding.
Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
http://rossyblackmonster.blogspot.co.id/makalah-sejarah-kerajaan-kerajaan-islam.html
Kesultanan Kotawaringin
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaanIslam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding.
Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
Kerajaan Pagatan (1750). Kerajaan Pagatan (1775-1908) adalah salah satu kerajaan yang pernah berdiri di wilayah Tanah Kusan atau daerah aliran sungai Kusan, sekarang wilayah ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Wilayah Tanah Kusan bertetangga dengan wilayah kerajaan Tanah Bumbu (yang terdiri atas negeri-negeri: Batu Licin, Cantung, Buntar Laut, Bangkalaan, Tjingal, Manunggul, Sampanahan).
http://anggitwildian.blogspot.co.id/sejarah-kerajan-kerajaan-islam-di.html
Kesultanan Kotawaringin.
Kerajaan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan Islam (kepangeranan cabang Kesultanan Banjar) di wilayah yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat saat ini di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap sebagai tahun berdirinya sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding.
http://lailameika13.blogspot.co.id/2015/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Kesultanan Kotawaringin
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Kotawaringin
Kotawaringin merupakan salah satu kerajaan Islam yang wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah. Kerajaan ini bagian dari kepangeranan cabang Kesultanan Banjar. Menurut catatan istana al-Nursari yang terletak di Kotawaringin Lama, kerajaan ini didirikan pada tahun 1615 atau 1530.
Pada tahun 1637 Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin, dan pada tahun itupula dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah.
Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu Negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya". Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
2. Proses Masuknya Islam di Kesultanan Kotawaringin
Pada abad ke-15, merupakan abad bercirikan penyebaran agama Islam. Walaupun kerajaan-kerajaan kecil Islam telah berdiri di pantai timur laut Sumatra sebelum tahun 1300, dan baru akhir abad ke-14 Raja Kutai menjadi pemeluk Islam pertama di Kalimantan. Demikian pula Islam di Sabah pada 1405 dan Brunei pada 1410, Malaka pada 1440, yang ketika itu ramai dikunjungi kapal-kapal dari Cina. Islam kemudian menyebar di pulau Jawa yang pada akhirnya menyebabkan jatunya Kerajaan Majapahit ke tangan Kesultanan Islam Demak pada permulaan abad ke 16, sementara itu, hubungan perdagangan berlangsung terus, dan pengaruh-pengaruh Jawa Hindu tampak di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kotawaringin, Kalimantan Tengah dan Sambas, Kalimantan Barat. Namun, di sisi lain, pengaruh Islam yang meningkat di Brunei menjadi suatu pusat baru penyebaran Islam, seluruh penduduk pantai akhirnya memeluk Islam. Di bawah Sultan Bolkiah dari Brunei, Islam pun menyebar ke Filipina, yang merupakan batas tumur pengaruh Islam.
Pada awal abad ke-16 itu pula, Islam akhirnya menyebar ke Kalimantan. Semenjak itu pula, kerajaan-kerajaan Islam baru berdiri di Banjarmasin dan Pasir. Abad ke-16 ini merupakan zaman keemasan bagi Banjarmasin yang menguasai pantai-pantai Kalimantan sampai sejauh Sambas dan Sukasada di Barat, Kutai dan Berau di Timur. Brunei juga berkembang dan menguasai Pantai Utara, Sulu dan sebagian Palawan.
Sementara itu, masuknya agama Islam ke Kotawaringin Timur tak bisa dilepaskan dari pengaruh Kerajaan Banjarmasin. Seperti diketahui, Kerajaan Sungai Sampit adalah vazal dari Kerajaan banjarmasin (lihat Traktat Karang Intan pada 1 Januari 1817). Bahkan, pada 1844, diketahui cukup banyak penduduk Kotawaringin Timur yang sudah memeluk agam Islam. Mereka bermukin di Sungai Mentaya seperti Tanah Hambau, Tangar, Kawan Batu, Pahirangan, Sumin, Balirik, Tangkaroba, Tambah, Pamintangan,dan Tumbang Kuayan (Masdipura; 2003).
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Kotawaringin
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Anum Kesumayuda Tuha (1767-1805 M), pihak kerajaan sudah memperhatikan pendidikan terutama untuk kerbat kesultanan. Wujud dari perhatian tersebut adalah dengan didirikannya pondok pesantren di Danau Gatal Kanan dan Danau Gatal Kiri ( desa Rungun sekarang).
Pada masa pemerintahan Pangeran Ratu Sukma Alamsyah Sultan ke 13, di kota Pangkalan Bun berdiri sebuah sekolah desa yang disebut Volkschool sampai kelas III, dan sebuah sekolah sambungan yang disebut Vorvolkschool kelas V. sedangkan di luar kota Pngkalan Bun yaitu Kumai, Sukamara, Kotawaringin, Nanga Bulik, Perambangan, Kudangan, Kinipan, Tapin Bini dan Bayat masing-masing didirikan Volkschool.
Menjelang kedatangan Jepang, sebagian besar sekolah-sekolah tersebut di bantu oleh badan swasta yaitu yayasan Dayak Evangelis karena sekolah-sekolah swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda, guru-guru sekolah sekolah-sekolah tersebut orang-orang pribumi. Juga kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada masa Hindia Belanda adalah hanya mereka yang mampu membayar uang sekolah saja.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/kerajaan-islam-di-kalimantan.html
Kerajaan Kotawaringin
Kerajaan Kepangeranan Kotawaringin adalah sebuah kerajaan kepangeranan yang merupakan cabang keturunan Kesultanan Banjar dengan wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah yang menurut catatan istana al-Nursari (terletak di Kotawaringin Lama) didirikan pada tahun 1615 atau 1530, dan Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin pada 1637, tahun ini dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah. Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatianyang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
Negeri Kotawaringin disebutkan sebagai salah daerah di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang tunduk kepada Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).
Sejak diperintah Dinasti Banjarmasin, Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".
Kerajaan Kotawaringin merupakan pecahan kesultanan Banjar pada masa Sultan Banjar IV Mustainbillah yang diberikan kepada puteranya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Sebelumnya Kotawaringin merupakan sebuah kadipaten, yang semula ditugaskan oleh Sultan Mustainbillah sebagai kepala pemerintahan di Kotawaringin adalah Dipati Ngganding (1615)?. Oleh Dipati Ngganding kemudian diserahkan kepada menantunya Pangeran Dipati Anta-Kasuma. Menurut Hikayat Banjar, wilayah Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. Wilayah Kerajaan Kotawaringin paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin.Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.
Sejarah
- Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
- Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
- Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.
- Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitungdan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin di mana dia sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Dia kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaring bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.
- Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat di mana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi di mana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena dia sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini dia tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, di mana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin di mana Kiai Gede mengiktirafkan dia sebagai raja dan dia sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
- Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura, Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).[10]
- Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan.[10]Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini.[11] Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju).
- Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
- Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua dia menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena dia berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
- Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan abangnya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
- Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Dia juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Dia telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Dia meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.
- Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.
- Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.
- Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.
- Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Baratsebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.
- Kabupaten Kotawaringin Barat
- Kabupaten Lamandau
- Kabupaten Sukamara
- Si Rampangan Kurung, berupa tombak bernata tiga
- Canga, berupa tombak bermata dua
- Jimat Sarosa
- Tanda Jalop
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
Pusaka kerajaan Kotawaringin:
Ratu Kota Waringin
- (?-1598)Tongara Mandi (Adipati)
- (1598-1633/1637)-Kiyai Gede (Demung Silam Kutaringin) atau Dipati Ngganding/Dipati Gendang )- keponakan Tongara Mandi
- (1637-1650) Pangeran Dipati Anta-Kasuma (menantu Dipati Ngganding) - mangkubumi Kiai Gede
- (1650-1700) Pangeran Mas Adipati (anak) - mangkubumi Dipati Gading
- (1700-1720) Panembahan Kota Waringin (anak) - mangkubumi Dipati Gading
- (1720-1750) Pangeran Prabu/Panembahan Derut (anak) - mangkubumi Pangeran Dira
- (1750-1770) Pangeran Adipati Muda (anak) - mangkubumi Pangeran Cakra
- (1770-1785) Pangeran Panghulu (anak) - mangkubumi Pangeran Anom
- (1785-1792) Pangeran Ratu Bagawan (anak) - mangkubumi Pangeran Paku Negara
- (1792-1817) Pangeran Ratu Anom Kasuma Yudha (anak)
- (1817-1855) Pangeran Imanudin/Pangeran Ratu Anom (anak)
- (1855-1865) Pangeran Akhmad Hermansyah (anak)
- (1865-1904) Pangeran Ratu Anom Alamsyah I (anak)
- (1905-1913) Pangeran Ratu Sukma Negara (paman)
- (1913-1939) Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (cucu)
- (1939-1948) Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (anak)
- Pangeran Muasyidin Syah(dynastychief/son of last Pangeran Ratu of K.;f.i. in 2008)
- (2010-sekarang) Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah (anak Pangeran Ratu Sukma Alamsyah)
Silsilah
Silsilah menurut naskah Hikayat Banjar dan Kotawaringin yang disebut Hikayat Banjar resensi 1.
Saudagar Jantan
-
-
- ↓ (berputra)
-
Saudagar Mangkubumi x Sita Rara
-
-
- ↓ (berputra)
-
Raja Negara Dipa I: Ampu Jatmaka/Maharaja di Candi X Manguntu
-
-
- ↓ (berputra)
-
Raja Negara Dipa II: Lambu Mangkurat (saudara angkat Puteri Junjung Buih) x Dayang Diparaja binti Aria Malingkun dari Tangga Ulin
-
-
- ↓ (berputra)
-
Putri Huripan x Raja Negara Dipa V: Maharaja Suryaganggawangsa bin Raja Negara Dipa IV: Maharaja Suryanata (suami dari Raja Negara Dipa III: Puteri Junjung Buih)
-
-
- ↓ (berputra)
-
Putri Kalarang (cucu Puteri Junjung Buih) x Pangeran Suryawangsa (adik Maharaja Suryaganggawangsa )
-
-
- ↓ (berputra)
-
Raja Negara Dipa VI: Maharaja Carang Lalean (cucu Puteri Junjung Buih) x Raja Negara Dipa VII: Putri Kalungsu (adik Putri Kalarang)
-
-
- ↓ (berputra)
-
Raja Negara Daha I: Maharaja Sari Kaburungan
-
-
- ↓ (berputra)
-
Raja Negara Daha II: Maharaja Sukarama
-
-
- ↓ (berputra)
-
Putri Galuh Baranakan x Raden Mantri Alu bin Raden Bangawan bin Maharaja Sari Kaburungan
-
-
- ↓ (berputra)
-
Sultan Banjar I: Sultan Suryanullah
-
-
- ↓ (berputra)
-
Sultan Banjar II: Sultan Rahmatullah
-
-
- ↓ (berputra)
-
Sultan Banjar III Sultan Hidayatullah
-
-
- ↓ (berputra)
-
Sultan Banjar IV: Sultan Mustain Billah/Marhum Panembahan/Pangeran Senapati x Ratu Agung binti Pangeran Demang
-
-
- ↓ (berputra)
-
Pangeran Ratu Kotawaringin I: Ratu Bagawan/Pangeran Dipati Anta Kasuma (anak Putri Juluk 1/Ratu Agung binti Pangeran Demang) berputera:
- Pangeran Dipati Kasuma Mandura/Raden Kasuma Taruna (anak Nyai Tapu binti Mantri Kahayan)
- Raden Suta-Kasuma/Raden Pajang x Gusti Pandara
- Raden Buyut Kasuma Banjar x Gusti Cabang binti Pangeran Dipati Wiranata/Raden Balah
- Putri Piting (anak Gusti Cabang)
- Dayang Gelang/Putri Gelang (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding x Raden Saradewa/Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din dari Kerajaan Sukadana
- Raden Buyut Kasuma Matan (anak Murong-Giri Mustafa Sułtan Muhammad Safi ad-Din)
- Raden Pamadi (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding) x Putri Intan binti Pangeran Singasari/Raden Timbako
- Raden Pati
- Raden Nating (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
- Raden Tuan (anak Andin Juluk binti Dipati Ngganding)
- Gusti Tanya (ibu Raden Jayengrana) x Raden Tukang bin Panembahan Di Darat
- Raden Mataram
- Putri Lanting x Raden Kasuma Wijaya
- Pangeran Ratu Kotawaringin II: Pangeran Ratu Amas x Puteri Galuh Hasanah binti Pangeran Adipati Tapa Sana
-
-
- ↓
-
Pangeran Ratu Kotawaringin III: Panembahan Kota Waringin x Putri Nurmalasari binti Sultan Tahlillullah dari Banjar
-
-
- ↓
-
Pangeran Ratu Kotawaringin IV: Pangeran Prabu Tua x Putri Jumantan
-
-
- ↓
-
Pangeran Ratu Kotawaringin V: Pangeran Dipati Tuha
-
-
- ↓
-
Pangeran Ratu Kotawaringin VI: Pangeran Panghulu x Putri Ratu Mangkurat binti Pangeran Purbaya bin Pangeran......bin Sultan Tamjidillah 1
-
-
- ↓
-
Pangeran Ratu Kotawaringin VII: Ratu Bagawan Muda/Sultan Balladuddin x Putri Amaliah
-
-
- ↓
-
Pangeran Ratu Kotawaringin VIII: Pangeran ......../Gusti Musaddam x Putri Nursani
-
-
- ↓
-
Pangeran Ratu Kotawaringin IX: Pangeran Ratu Imanuddin berisitrikan 3 orang yaitu
- Ratu Ayu (Istri Pertama) binti Pangeran Dipati Tapa Laksana Berputerakan :
- Pangeran Ratu Hermansyah ( Raja Kotawaringin Ke X) beristerikan Ratu Ayu atau Ratu Puteri Kemalasari) berputerakan 7 orang:
- Pangeran Gentjana
- Pangeran Akhmad Kesuma Putera
- Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda (Raja Kotawaringin Ke XI).
- Pangeran Muhammad
- Pangeran Ratu Mangku
- Pangeran Nata
- Pangeran Bungsu
- Pangeran Ratu Hermansyah ( Raja Kotawaringin Ke X) beristerikan Ratu Ayu atau Ratu Puteri Kemalasari) berputerakan 7 orang:
- Tengku Dara ( Istri Kedua ) (Puteri anak Sultan Mansyur dari kerajaan Siak, Indrapura) berputerakan 5 orang :
- Pangeran Tumenggung Cakraningrat
- Ratu Gentjana ( istri Pangeran Gentjana)
- Ratu Agung
- Ratu Muhammmad
- Pangeran Tumenggung
- "Putri Dambung" (Istri Ketiga; dari Kahayan) berputerakan :
- Pangeran Ratu Sukma Negara
Pangeran Ratu Kotawaringin X: Pangeran Ratu Hermansyah anak dari Pangeran Ratu Imanudin, berputerakan 7 orang:
- Pangeran Gentjana
- Pangeran Tjitra ( Citra )
- Gusti Abu Bakar
- Utin Taesah
- Gusti Usman
- Gusti Mailan
- Gusti Gumat ( Wafat )
- Gusti samil
- Utin Talmah
- Gusti Aqil
- Haji Gusti Umar
- Utin Japun
- Gusti Ali
- Gusti Mamun'nurasyid
- Gusti Yusransyah ( Iyas )
- Utin Halimatusyadi'ah ( Atul )
- Gusti Saberan ( Tuyan )
- Utin Salmah ( Amah )
- Mas Mardani ( Dhani )
- Mas Dina Mariana ( Dina ).
- Mas'suud ( Su'ud )
- Mas Marjan Dinata ( Marjan )
- Mas Taniah ( Chataniah ).
- Gusti Mamun'nurasyid
- Gusti Musa
- Utin Nurkanzah
- Utin Iyut
- Utin Amnah
- Mas Dulhak
- Gusti Badrun
- Evo
- Amat
- Diang
- Suhuy
- Dede
- Mas Eren
- Mas Hudin
- Mas Ani
- Mas Dulhak
- Gusti Abdul Kadir
- Gusti Abubakar
- Gusti Umui
- Pangeran Tjitra ( Citra )
- Pangeran Akhmad Kesuma Putera
- Pangeran Muhammad
- Pangeran Ratu Mangku
- Pangeran Nata
- Pangeran Bungsu
- Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda ( Gusti Muhammad Sanusi atau Gusti Anum Kesuma Yuda) - Raja Kotawaringin Ke XI
- Ratu Kuning
- Ratu Intan
Pangeran Ratu Kotawaringin XI: Pangeran Ratu Anum Kesuma Yuda (tidak memiliki keturunan laki-laki, digantikan oleh pamannya sebagai tutus senior yang masih hidup: Pangeran Ratu Sukma Negara bin Pangeran Ratu Imanuddin)
Pangeran Ratu Kotawaringin XII: Pangeran Ratu Sukma Negara x Nyai Ratu Jaminah[32]
- Pangeran Kalana Perabu Wijaya (Gusti Mandomai)
- Pangeran Panghulu (Gusti Muhammad Zein)
- Pangeran Ratu Kasuma Alam
-
-
- ↓ (berputra)
-
Pangeran Ratu Kotawaringin XIII: Pangeran Ratu Syukma Alam Syah x Ratu Seri Mahkota (Antung Dinar)
-
-
- ↓ (berputra)
-
Pangeran Ratu Kotawaringin XIV: Pangeran Ratu Kesuma Anum Alamsyah x Ratu Kemalasari binti GPH Purbodiningrat bin Pakubuwana IX
-
-
- ↓ (berputra)
-
- Ratu Nur Ediningsih
- Pangeran Arsyadinsyah
- Pangeran Muazadinsyah
- Pangeran Nuraruddinsyah
- Pangeran Abidinsyah
- Ratu Nur’aini
- Ratu Nur Maulidinsyah
- Ratu Saptinah
- Pangeran Ratu Kotawaringin XV: Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah
-
-
- ↓ (berputra)
-
- Pangeran .........???
Keraton Kesultanan Kotawaringin
Masjid Keraton Kesultanan Kotawaringin
Sejarah kerajaan islam Kesultanan Kotawaringin Kalimantan Tengah. Kerajaan Kotawaringin merupakan salah satu kerajaan Islam yang wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah. Kerajaan ini bagian dari kepangeranan cabang Kesultanan Banjar. Menurut catatan istana al-Nursari yang terletak di Kotawaringin Lama, kerajaan ini didirikan pada tahun 1615 atau 1530.
Pada tahun 1637 Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin, dan pada tahun itupula dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah.
Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu Negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya". Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
Sejarah Kerajaan
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).
Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut danTongara Mandi telah datang dari Tabanio (Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.
Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura, Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).
Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini. Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju).Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan abangnya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Beliau juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= SultanTahmidullah II). Beliau telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yudaadalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Beliau meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.
Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahanSultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.
Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
Kabupaten Kotawaringin Barat
Kabupaten Lamandau
Kabupaten Sukamara
Wilayah Kerajaan Kotawaringin
Dalam Hikayat Banjar, wilayah Kesultanan Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. Wilayah paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin.Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin pada awalnya hanya sebatas pengaturan dari sultan dan mangkubumi kepada para kepala adat setempat. Namun seiring dengan dibuatnya Undang-Undang Kanun Kuntara, sistem pemerintahan mengalami pengaturan yang lebih terstruktur dengan pembagian wilayah dan kepala daerah setempat. Undang-Undang Kanun Kuntara mengatur tentang pembagian wilayah yang dikepalai oleh seorang menteri, seperti Menteri Kumai, Menteri Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun), Menteri Jelai, dan lain sebagainya.
Kemunduran
Mundurnya kesultanan Kotawaringin disebabkan oleh dua faktor yaitu :
PertamaPenguasaan atas Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda.
KeduaPerpecahan di pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin. Imbas dari penyerahan kekuasaan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan monopoli perdagangan (garam) sekaligus “memancing di air keruh” atas perselisihan yang menimbulkan konflik di pihak keluarga kesultanan.
Perpindahan kekuasaan atas Kesultanan Kotawaringin dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda menjadi pemicu pertama kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Penyebab utama adalah merosotnya sektor perdagangan yang diakibatkan oleh pengalihan penguasaan monopoli, dari Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda. Bahkan pada tanggal 13 Agustus 1900, Kesultanan Kotawaringin menyerahkan monopoli perdagangan garam kepada Belanda. Pengalihan monopoli perdagangan membuat keuangan Belanda semakin kuat, tetapi di sisi lain Kesultanan Kotawaringin beserta rakyat sangat menggantungkan perekonomian terhadap Belanda. Kekuasaan Belanda yang sangat besar ini kemudian dipergunakan untuk terus menekan pihak kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya sebagai simbol tanpa kekuasaan yang nyata.
Pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke Pangkalan Bun kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan ini menjadikan pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala bentuk peraturan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang demikian ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota kesultanan. Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari Belanda memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian anggota kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bun.
Perselisihan kembali terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh sultan ke-12, Pangeran Paku Sukma Negara. Perselisihan bermula ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak mempunyai pengganti. Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan bahwa penerus tahta selanjutnya berasal dari keturunan Pangeran Imanudin (sultan ke-9). Berdasarkan keputusan tersebut, Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah naik tahta menggantikan Pangeran Paku Sukma Negara.
Pengaruh yang sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di Kesultanan Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Ketika proklamasi telah berkumandang dan Belanda mulai hengkang dari Kesultanan Kotawaringin, rakyat Kotawaringin menyatakan sikap yang bulat untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap rakyat ternyata mendapat sambutan yang sama dari penguasa
Kesultanan Kotawaringin
Pangeran Ratu (Adipati) yang pernah memerintah hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut:
Pada tahun 1637 Belanda pertama kali melakukan kontrak dengan Kotawaringin, dan pada tahun itupula dianggap pertama kalinya Kotawaringin diperintah seorang Raja sesuai dengan Hikayat Banjar dan Kotawaringin (Hikayat Banjar versi I) yang bagian terakhirnya saja ditulis tahun 1663 dan di antara isinya tentang berdirinya Kerajaan Kotawaringin pada masa Sultan Mustain Billah.
Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu Negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya". Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan".
Kotawaringin merupakan nama yang disebutkan dalam Hikayat Banjar dan Kakawin Negarakretagama, seringpula disebut Kuta-Ringin, karena dalam bahasa Jawa, ringin berarti beringin.
Sejarah Kerajaan
Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit. Menurut suku Dayak yang tinggal di hulu sungai Lamandau, mereka merupakan keturunan Patih Sebatang yang berasal dari Pagaruyung (Minangkabau).
Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.
Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursi emas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut danTongara Mandi telah datang dari Tabanio (Laut Darat/Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri. Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertua dari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.
Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina dan dua buah belanga (tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35 tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilang anaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluh dan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuang artinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura, Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).
Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini. Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju).Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar (1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan abangnya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Beliau juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= SultanTahmidullah II). Beliau telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yudaadalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Beliau meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.
Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahanSultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.
Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.
Selanjutnya Kabupaten Kotawaringin Barat telah dimekarkan menjadi 3 Kabupaten yaitu :
Kabupaten Kotawaringin Barat
Kabupaten Lamandau
Kabupaten Sukamara
Wilayah Kerajaan Kotawaringin
Dalam Hikayat Banjar, wilayah Kesultanan Kotawaringin adalah semua desa-desa di sebelah barat Banjar (sungai Banjar = sungai Barito) hingga sungai Jelai. Wilayah paling barat adalah Tanjung Sambar (Kabupaten Ketapang), batas utara adalah Gunung Sarang Pruya (kabupaten Melawi) dan di timur sampai sungai Mendawai (Tanjung Malatayur) yaitu bagian barat Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan bagian timur Kalimantan Tengah yang dikenal sebagai daerah Biaju (Tanah Dayak) serta daerah pedalaman yang takluk kepadanya tetap di bawah otoritas kepala suku Dayak. Kotawaringin sempat menjajah negeri Matan dan Lawai atau Pinoh dan menuntut daerah Jelai sebagai wilayahnya. Daerah aliran sungai Pinoh (Kabupaten Melawi) merupakan termasuk wilayah Kerajaan Kotawaringin.Daerah aliran Sungai Jelai, di Kotawaringin di bawah kekuasaan Banjarmasin, sedangkan sungai Kendawangan di bawah kekuasaan Sukadana.
Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan di Kesultanan Kotawaringin pada awalnya hanya sebatas pengaturan dari sultan dan mangkubumi kepada para kepala adat setempat. Namun seiring dengan dibuatnya Undang-Undang Kanun Kuntara, sistem pemerintahan mengalami pengaturan yang lebih terstruktur dengan pembagian wilayah dan kepala daerah setempat. Undang-Undang Kanun Kuntara mengatur tentang pembagian wilayah yang dikepalai oleh seorang menteri, seperti Menteri Kumai, Menteri Pangkalan Bu’un (Pangkalan Bun), Menteri Jelai, dan lain sebagainya.
Kemunduran
Mundurnya kesultanan Kotawaringin disebabkan oleh dua faktor yaitu :
PertamaPenguasaan atas Kesultanan Kotawaringin yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banjar diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda.
KeduaPerpecahan di pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin. Imbas dari penyerahan kekuasaan tersebut, Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan monopoli perdagangan (garam) sekaligus “memancing di air keruh” atas perselisihan yang menimbulkan konflik di pihak keluarga kesultanan.
Perpindahan kekuasaan atas Kesultanan Kotawaringin dari Kesultanan Banjar kepada Pemerintah Hindia Belanda menjadi pemicu pertama kemunduran Kesultanan Kotawaringin. Penyebab utama adalah merosotnya sektor perdagangan yang diakibatkan oleh pengalihan penguasaan monopoli, dari Kesultanan Kotawaringin kepada Belanda. Bahkan pada tanggal 13 Agustus 1900, Kesultanan Kotawaringin menyerahkan monopoli perdagangan garam kepada Belanda. Pengalihan monopoli perdagangan membuat keuangan Belanda semakin kuat, tetapi di sisi lain Kesultanan Kotawaringin beserta rakyat sangat menggantungkan perekonomian terhadap Belanda. Kekuasaan Belanda yang sangat besar ini kemudian dipergunakan untuk terus menekan pihak kesultanan dan menjadikan keluarga kesultanan hanya sebagai simbol tanpa kekuasaan yang nyata.
Pihak keluarga Kesultanan Kotawaringin yang kemudian turut pindah ke Pangkalan Bun kini praktis tidak mempunyai kekuatan politis. Kenyataan ini menjadikan pihak Kesultanan Kotawaringin harus menerima segala bentuk peraturan yang diterapkan Pemerintah Hindia Belanda. Situasi yang demikian ternyata menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan anggota kesultanan. Anggota kesultanan yang tidak bisa menerima perlakuan dari Belanda memilih menetap di Kotawaringin Lama. Di sisi lain, sebagian anggota kesultanan tetap memilih untuk tinggal di Pangkalan Bun.
Perselisihan kembali terjadi ketika Kesultanan Kotawaringin diperintah oleh sultan ke-12, Pangeran Paku Sukma Negara. Perselisihan bermula ketika Pangeran Paku Sukma Negara wafat dan tidak mempunyai pengganti. Belanda melalui Kontrolir Van Duve mengambil keputusan bahwa penerus tahta selanjutnya berasal dari keturunan Pangeran Imanudin (sultan ke-9). Berdasarkan keputusan tersebut, Pangeran Paku Sukma Negara Alamsyah naik tahta menggantikan Pangeran Paku Sukma Negara.
Pengaruh yang sangat besar dari pihak Belanda untuk campur tangan dalam urusan pemerintahan, baik secara internal maupun eksternal, di Kesultanan Kotawaringin terus dilakukan sampai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Ketika proklamasi telah berkumandang dan Belanda mulai hengkang dari Kesultanan Kotawaringin, rakyat Kotawaringin menyatakan sikap yang bulat untuk bersatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sikap rakyat ternyata mendapat sambutan yang sama dari penguasa
Kesultanan Kotawaringin
Pangeran Ratu (Adipati) yang pernah memerintah hingga masuknya penjajah Belanda dengan urutan sebagai berikut:
- (?-1598)Tongara Mandi (Adipati)
- (1598-1633/1637)-Kiai Gede atau Dipati Ngganding/Dipati Gendang )- keponakan Tongara Mandi
- (1637-1650) Pangeran Dipati Anta-Kasuma (menantu Dipati Ngganding) - mangkubumi Kiai Gede
- (1650-1700) Pangeran Mas Adipati (anak) - mangkubumi Dipati Gading
- (1700-1720) Panembahan Kota Waringin (anak) - mangkubumi Dipati Gading
- (1720-1750) Pangeran Prabu/Panembahan Derut (anak) - mangkubumi Pangeran Dira
- (1750-1770) Pangeran Adipati Muda (anak) - mangkubumi Pangeran Cakra
- (1770-1785) Pangeran Panghulu (anak) - mangkubumi Pangeran Anom
- (1785-1792) Pangeran Ratu Bagawan (anak) - mangkubumi Pangeran Paku Negara
- (1792-1817) Pangeran Ratu Anom Kasuma Yudha (anak)
- (1817-1855) Pangeran Imanudin/Pangeran Ratu Anom (anak)
- (1855-1865) Pangeran Akhmad Hermansyah (anak)
- (1865-1904) Pangeran Ratu Anom Alamsyah I (anak)
- (1905-1913) Pangeran Ratu Sukma Negara (paman)
- (1913-1939) Pangeran Ratu Sukma Alamsyah (cucu)
- (1939-1948) Pangeran Kasuma Anom Alamsyah II (anak)
Sejarah Kesultanan Kotawaringin dan Asal Mula Nama Pangkalan Bun
Taman Kesultanan Kotawaringin
Kerajaan Kotawaringin merupakan salah satu kerajaan Islam yang wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) di Kalimantan Tengah (Kalteng). Kerajaan ini bagian dari kepangeranan cabang Kesultanan Banjar.
Menurut catatan Istana Al-Nursari yang terletak di Kotawaringin Lama (Kolam), kerajaan ini didirikan pada tahun 1615 atau 1530.
Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu Negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".
"Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar," ujar Sultan Kotawaringin XIV Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah di Istana Kuning Pangkalan Bun.
"Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan," tambahnya.
Sultan Alidin mengatakan, sebutan Pangkalan Bun yang saat ini menjadi nama ibukota Kotawaringin Barat berawal saat itu Sultan Imanuddin melakukan perjalanan dari Kotawaringin Lama (Kolam) menuju Kumai bahkan sampai ke Banjarmasin.
Kemudian Sultan Imanuddin sering kali singgah di Pongkalan Buun (Pongkalan=tempat Singgah), sementara Buun adalah nama orang dari suku Dayak, rumah milik Buun yang berada di muara sungai inilah yang sering disinggahi Sultan Imanudin.
Seiring berjalannya waktu dari bulan ke tahun mengingat Sultan sering melakukan perjalanan maka Sultan mempunyai keinginan untuk membuat kampung.
"Sultan sering hilir mudik, karena jauh muncul keinginan untuk membuat kampung. Dari situ lah sejarah nama Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat (Kobar)," katanya.
Sejarah lainnya, tiang Sangga Benua yang ditancapkan oleh Sultan Kutawaringin IX Pangeran Ratu Imanuddin sebagai simbol dipindahkannya ibukota Kesultanan Kutawaringin dari Kotawaringin Lama (Kolam) ke Pangkalan Bun pada tahun 1811 silam akhirnya berkalang tanah setelah berdiri menjulang 204 tahun lamanya.
Menurut catatan Istana Al-Nursari yang terletak di Kotawaringin Lama (Kolam), kerajaan ini didirikan pada tahun 1615 atau 1530.
Pada mulanya Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin oleh Dipati Ngganding. Menurut perjanjian VOC-Belanda dengan Kesultanan Banjar, negeri Kotawaringin merupakan salah satu Negara dependensi (negara bagian) di dalam "negara Banjar Raya".
"Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar Pangeran jika mereka berada di Banjar," ujar Sultan Kotawaringin XIV Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah di Istana Kuning Pangkalan Bun.
"Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para Pangeran (Pangeran Ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan "Sultan," tambahnya.
Sultan Alidin mengatakan, sebutan Pangkalan Bun yang saat ini menjadi nama ibukota Kotawaringin Barat berawal saat itu Sultan Imanuddin melakukan perjalanan dari Kotawaringin Lama (Kolam) menuju Kumai bahkan sampai ke Banjarmasin.
Kemudian Sultan Imanuddin sering kali singgah di Pongkalan Buun (Pongkalan=tempat Singgah), sementara Buun adalah nama orang dari suku Dayak, rumah milik Buun yang berada di muara sungai inilah yang sering disinggahi Sultan Imanudin.
Seiring berjalannya waktu dari bulan ke tahun mengingat Sultan sering melakukan perjalanan maka Sultan mempunyai keinginan untuk membuat kampung.
"Sultan sering hilir mudik, karena jauh muncul keinginan untuk membuat kampung. Dari situ lah sejarah nama Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat (Kobar)," katanya.
Sejarah lainnya, tiang Sangga Benua yang ditancapkan oleh Sultan Kutawaringin IX Pangeran Ratu Imanuddin sebagai simbol dipindahkannya ibukota Kesultanan Kutawaringin dari Kotawaringin Lama (Kolam) ke Pangkalan Bun pada tahun 1811 silam akhirnya berkalang tanah setelah berdiri menjulang 204 tahun lamanya.
Pada masa pemindahan itu, Sultan Imannudin menyampaikan sebuah amanah yang berbunyi, "Kudirikan Negeri Sukabumi Kutaringin baru Pangkalan Bu’un untuk anak-anaku, cucu-cucuku, keturunanku dan orang-orang yang mau berdiam di negeriku dalam pangkuan Kesultanan Kutaringin.
Terkait tumbangnya simbol salah satu Kerajaan Islam di Kalimantan ini menurut Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah selain di samping usia yang sudah tua, tumbangnya Tiang Sangga Benua merupakan kejadian alam biasa.
Meski dikeramatkan oleh Kesultanan Kutawaringin, Sultan Alidin mengimbau kepada masyarakat untuk tidak cemas akan pertanda-pertanda. "Intinya, kita harus dekat dan banyak-banyak mengingat Allah SWT," cetus Sultan Alidin.
Mengenai perlakuan Tiang Sangga Benua yang patah menjadi empat bagian besar, Sultan Alidin telah memerintahkan kepada kerabat kesultanan untuk memindahkan patahan-patahan Tiang Sangga Benua dari rumah Pangeran Muasjidinsjah ke dalam ruang Dalem Kuning keraton.
"Supaya diperlakukan secara hati-hati dan jangan disimpan di sembarang tempat," pungkasnya.
Terkait tumbangnya simbol salah satu Kerajaan Islam di Kalimantan ini menurut Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah selain di samping usia yang sudah tua, tumbangnya Tiang Sangga Benua merupakan kejadian alam biasa.
Meski dikeramatkan oleh Kesultanan Kutawaringin, Sultan Alidin mengimbau kepada masyarakat untuk tidak cemas akan pertanda-pertanda. "Intinya, kita harus dekat dan banyak-banyak mengingat Allah SWT," cetus Sultan Alidin.
Mengenai perlakuan Tiang Sangga Benua yang patah menjadi empat bagian besar, Sultan Alidin telah memerintahkan kepada kerabat kesultanan untuk memindahkan patahan-patahan Tiang Sangga Benua dari rumah Pangeran Muasjidinsjah ke dalam ruang Dalem Kuning keraton.
"Supaya diperlakukan secara hati-hati dan jangan disimpan di sembarang tempat," pungkasnya.
http://daerah.sindonews.com/sejarah-kesultanan-kotawaringin-dan-asal-mula-nama-pangkalan-bun.html
Salah Satu Bangunan Keraton
KOTAWARINGIN - Kerajaan Kotawaringin merupakan salah satu kerajaan Islam yang wilayah intinya sekarang yang menjadi Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah (Kalteng). Kerajaan ini bagian dari kepangeranan cabang Kesultanan Banjar.
Menurut catatan istana al-Nursari di Kotawaringin Lama (Kolam), kerajaan itu didirikan pada 1615 atau 1530 Masehi. Mulanya, Kotawaringin merupakan keadipatian yang dipimpin Dipati Ngganding.
Berdasarkan perjanjian kongsi dagang Belanda (VOC) dengan Kesultanan Banjar, Kotawaringin merupakan salah satu negara dependensi atau negara bagian di dalam "negara Banjar Raya".
"Kotawaringin secara langsung menjadi bagian dari Kesultanan Banjar, sehingga sultan-sultan Kotawaringin selalu memakai gelar pangeran jika mereka berada di Banjar. Tetapi di dalam lingkungan Kotawaringin sendiri, para pangeran (pangeran ratu) yang menjadi raja juga disebut dengan sultan," ujar Sultan Kutaringin XIV, Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah, di Istana Kuning Pangkalan Bun, Kamis (15/9/2016).
Sedangkan sebutan Pangkalan Bun yang kini jadi nama Ibu Kota Kotawaringin Barat berawal kisah Sultan Imanuddin melakukan perjalanan dari Kotawaringin Lama (Kolam) menuju Kumai bahkan sampai ke Banjarmasin.
Sering kali ia singgah di Pongkalan Buun (Pongkalan=tempat singgah), sementara Buun adalah nama orang dari suku Dayak, rumah milik Buun yang berada di muara sungai inilah yang sering disinggahi Sultan Imanudin.
Seiring berjalannya waktu dari bulan ke tahun mengingat Sultan sering melakukan perjalanan, maka Sultan mempunyai keinginan untuk membuat kampung.
"Sultan sering hilir mudik, karena jauh muncul keinginan untuk membuat kampung. Dari situ lah sejarah nama Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat," ujar Alidin.
Sejarah lainnya, tiang Sangga Benua yang ditancapkan oleh Sultan Kutaringin IX Pangeran Ratu Imanuddin sebagai simbol dipindahkannya ibu kota Kesultanan Kutaringin dari Kotawaringin Lama (Kolam) ke Pangkalan Bun pada 1811, akhirnya berkalang tanah setelah berdiri menjulang 204 tahun lamanya.
Pada masa pemindahan itu, Sultan Imannudin menyampaikan sebuah amanah yang berbunyi, “kudirikan Negeri Sukabumi Kutaringin baru Pangkalan Bu’un untuk anak-anakku, cucu-cucuku, keturunanku dan orang-orang yang mau berdiam di negeriku dalam pangkuan Kesultanan Kutaringin.”
Menurut Pangeran Ratu Alidin Sukma Alamsyah, tumbangnya simbol salah satu Kerajaan Islam di Kalimantan itu karena usia tua. Meski dikeramatkan oleh Kesultanan Kutaringin, Sultan Alidin mengimbau agar masyarakat tidak cemas akan pertanda-pertanda. "Intinya, kita harus dekat dan banyak-banyak mengingat Allah SWT," cetusnya.
Mengenai perlakuan Tiang Sangga Benua yang patah menjadi empat bagian besar, Sultan Alidin telah memerintahkan kerabat kesultanan untuk memindahkan patahan-patahan Tiang Sangga Benua dari rumah Pangeran Muasjidinsjah ke dalam ruang Dalem Kuning keraton.
"Supaya diperlakukan secara hati-hati dan jangan disimpan di sembarang tempat," pungkasnya.
http://news.okezone.com/menengok-sejarah-kesultanan-kotawaringin-di-kalimantan
Sejarah Lengkap Kerajaan Kotawaringin
- Menurut Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365menyebutkan Kota Waringin salah satu negeri di negara bagian Tanjung Nagara (Kalimantan-Filipina) yang berpangkalan/beribukota di Tanjungpura, wilayah yang telah ditaklukan oleh Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit.
- Panembahan Kalahirang dari Kerajaan Sukadana(Tanjungpura) melakukan ekspansi perluasan wilayah kekuasaan yang terbentang dari Tanjung Datok (Sambas) sampai Tanjung Puting (Kotawaringin), tetapi kemudian menurut Hikayat Banjar, negeri Kotawaringin bahkan Sukadana sendiri menjadi taklukan Maharaja Suryanata penguasa daerah Banjar kuno (Negara Dipa).
- Menurut Hikayat Banjar yang bab terakhirnya ditulis pada tahun 1663, sejak masa kekuasaan Maharaja Suryanata/Raden Aria Gegombak Janggala Rajasa/Raden Suryacipta, seorang pangeran dari Majapahit yang menjadi raja Negara Dipa (= Banjar kuno) yang ke-2 pada masa Hindu, orang besar (penguasa) Kota Waringin sudah menjadi taklukannya, di sini hanya disebutkan orang besar, jadi bukan disebut raja seperti sebutan penguasa negeri lainnya pada masa yang bersamaan. Kota Waringin dalam Hikayat Banjar disebutkan sebagai salah satu tanah yang di bawah angin (= negeri di sebelah barat) yang telah ditaklukan.
- Sebelum berdirinya Kerajaan Kotawaringin, Raja-raja Banjar sebagai penguasa sepanjang pantai selatan dan timur pulau Kalimantan telah mengirim menteri-menteri atau ketua-ketua untuk mengutip upeti yang dipaksa kepada penduduk Kotawaringin. Nenek moyang suku Dayak yang tinggal di hulu-hulu sungai Arut telah memberi kepada Sultan Banjarmasin debu emas sebanyak yang diperlukan untuk membuat sebuah kursiemas. Selepas itu dua orang menteri dari Banjarmasin bernama Majan Laut dan Tongara Mandi telah datang dari Tabanio (Tanah Laut) ke Kumai dan tinggal di situ. Kedua bersaudara inilah yang mula-mula membawa Islam ke wilayah Kotawaringin. Majan Laut kemudian terlibat perseteruan dengan saudaranya dan selanjutnya ia pindah dari Kumai ke Belitung dan tinggal di sana. Tongara Mandi kemudian pindah dari Kumai ke daerah kuala Kotawaringin dimana beliau sebagai pendiri Kotawaringin Lama di pinggir sungai Lamandau. Beliau kemudian meninggalkan tempat ini karena diganggu oleh lanun/perompak dan membuka sebuah kampung baru, lebih jauh ke hulu, di sungai Basarah, salah satu anak sungai di sebelah kiri.Dalam Hikayat Banjar tokoh yang mendapat perintah dari Marhum Panembahan [sultan Banjar IV yang berkuasa 1595-1638] untuk menjabat adipati Kotawaringin [terakhir?] bernama Dipati Ngganding dari golongan Andin dan juga sebagai mertuadari Pangeran Dipati Anta-Kasuma karena menikahi Andin Juluk, puteri dari Dipati Ngganding. Sebelumnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma juga menikahi Nyai Tapu puteri dari seorang Mantri Sakai/Kepala Daerah Kahayan. Pada masa sebelumnya Sultan Mustainbillah telah menikahkan Dipati Ngganding dengan Aji Ratna puteri Aji Tunggul (adipati Pasir). Pasangan ini memperoleh dua puteri yaitu Andin Juluk dan Andin Hayu.
- Lebih kurang 15 tahun kemudian, Kiai Gede putera dari Majan Laut datang dari Belitung dan tinggal dengan pamannya, Tongara Mandi. Kiai Gede membujuk pamannya untuk mengkaji keadaan negeri tersebut dan memilih suatu tempat yang lebih sesuai sebagai ibukota. Untuk tujuan ini mereka mula-berjalan menghulu sungai Arut dan tempat tinggal mereka saat itu dekat Pandau. Kemudian mereka membuat perjalanan menghulu sungai Lamandau, hingga ke anak sungai Bulik. Kemudian mereka bermimpi bahwa mereka mestilah menetapkan lokasi yang terpilih pada tempat dimana perahu mereka melanggar sebuah batang pohon pisang, kemudian mereka juga berlayar menuju hilir. Sesuai mimpi tersebut mereka menemukan suatu lokasi yang tepat yang kemudian menjadi lokasi dimana terletak Kotawaringin tersebut. Tetapi lokasi tersebut sudah terdapat suatu kampung Dayak yang besar yang disebut Pangkalan Batu. Penduduk kampung tersebut enggan membenarkan para pendatang ini tinggal di sana. Oleh sebab itu mereka menghalau orang Dayak dari situ dan merampas dari mereka beberapa pucuk cantau (= senapang) Cina dan dua buah belanga(tempayan Cina). Orang Dayak yang kalah tersebut berpindah ke arah barat yaitu tasik Balida di sungai Jelai dan menyebut diri mereka Orang Darat atau Orang Ruku. Oleh karena beliau sudah tua, Tongara Mandi kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Kiai Gede. Perlahan-lahan Kiai Gede meluaskan kuasanya kepada suku-suku Dayak dan tetap tergantung pada Kesultanan Banjarmasin (Marhum Panembahan). Kurang lebih 35tahun selepas pemerintahan Kiai Gede, tibalah di Kotawaringin Pangeran Dipati Anta-Kasuma putera dari Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV). Kedatangannya disertai Putri Gilanganaknya. Sebelumnya mereka bersemayam di Kahayan, Mendawai dan Sampit. Kemudian mereka berangkat ke Sembuluhdan Pembuang, di tempat terakhir inilah Pangeran Dipati Anta-Kasuma sempat tertarik dan ingin bersemayam pada lokasi tersebut tetapi dilarang oleh para menterinya. Ia bersumpah bahwa semenjak saat itu tempat tersebut dinamakan Pembuangartinya tempat yang terbuang atau tidak jadi digunakan. Dari sana kemudian Pangeran berangkat ke sungai Arut. Disini beliau tinggal beberapa lama di kampung Pandau dan membuat perjanjian persahabatan dengan orang-orang Dayak yang menjanjikan taat setia mereka. Perjanjian ini dibuat pada sebuah batu yang dinamakan Batu Patahan, tempat dikorbankannya dua orang, dimana seorang Banjar yang menghadap ke laut sebagai arah kedatangan orang Banjar dan seorang Dayak yang menghadap ke darat sebagai arah kedatangan orang Dayak, kedua disembelih darahnya disatukan berkorban sebagai materai perjanjian tersebut. Kemudian Pangeran berangkat ke Kotawaringin dimana Kiai Gede mengiktirafkan beliau sebagai raja dan beliau sendiri menjabat sebagai mangkubumi.
- Pada masa ini Pangeran Dipati Anta-Kasuma telah membuat perhubungan dengan seorang putera dari Ratu Bagus Sukadana/Ratu Mas Jaintan/Putri Bunku dan Dipati Sukadana/Penembahan Giri Kusuma dari Kerajaan Sukadana/Tanjungpura, Raja Matan Sukadana, yaitu Murong-Giri Mustafa (= Sultan Muhammad Syafiuddin 1623/7-1677) atau di dalam Hikayat Banjar disebut Raden Saradewa yang telah meminang puteri Pangeran Dipati Anta-Kasuma yaitu Putri Gelang (= Dayang Gilang) untuk dirinya . Baginda dianugerahkan daerah Jelai yang sebelumnya telah ditaklukan oleh Kotawaringin sebagai hadiah perkawinan. Perkawinan tersebut dilaksanakan di Martapura. Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti zaman dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jikakalau ia beranak sampai ke anak cucunya. Selepas itu Dipati Ngganding diperintahkan diam di Kotawaringin. Putri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (= ayah Sultan Muhammad Zainuddin I?) oleh Marhum Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut. Raden Buyut Kasuma Matan saudara sepersusuan dengan Raden Buyut Kasuma Banjar putera Raden Kasuma Taruna (= Pangeran Dipati Kasuma Mandura).
- Sultan Banjar V, Inayatullah (= Pangeran Dipati Tuha 1/Ratu Agung), abangnya Pangeran Dipati Anta-Kasuma menganugerahkan gelar Ratu Kota Waringin kepada Pangeran Dipati Anta-Kasuma, kemudian menyerahkan desa-desa di sebelah barat Banjar (= sungai Barito) hingga ke Jelai (sungai Jelai). Ratu Kota-Waringin kemudian kembali ke Kotawaringin sambil membawa serta Raden Buyut Kasuma Matan. Ratu Kota Waringin sebenarnya tidak bersemayam di dalem (istana) tetapi di atas sebuah rakit besar (= lanting) yang ditambatkan di sana. Ratu Kota-Waringin memperoleh seorang puteri lagi yang dinamai Puteri Lanting, dengan seorang wanita yang dikawininya di sini. Baginda berangkat ke sungai Jelai dan membuka sebuah kampung di pertemuan sungai Bilah dengan sungai Jelai. Daerah ini dinamakan Sukamara karena ada suka dan ada mara (= maju).
- Raja Kotawaringin (Pangeran Antakasuma), Raja Sukadana, Pangeran Marta Sahary (Pangeran Martasari, asisten kiri dari mangkubumi) dan Raja Mempawah menjadi anggota Dewan Mahkota di Kesultanan Banjar pada masa pemerintahan Inayatullah (= Ratu Agung). Dewan Mahkota adalah dewan yang juga mengurusi perdagangan dan ekonomi di wilayah ini dalam berhubungan dengan pihak Belanda (VOC) maupun Inggris. Pada tahun 1638 terjadi pembunuhan terhadap orang-orang VOC dan orang Jepang di loji di Martapura. Atas kejadian tersebut VOC membuat surat ancaman yang ditujukan terhadap Kesultanan Banjarmasin, Kerajaan Kotawaringin dan Kerajaan Sukadana. Kedua kerajaan merupakan sekutu Banjarmasin dan ada hubungan kekeluargaan. Permusuhan berakhir dengan adanya Perjanjian 16 Mei 1661 pada masa Sultan Rakyatullah.
- Kemudian selama di Kotawaringin, Pangeran Dipati Anta-Kasuma memperoleh seorang putera dengan seorang wanita yang dinikahinya di sana, putera yang dilahirkan di Kotawaringin ini dinamakan Ratu Amas. Oleh sebab sudah tua beliau menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada puteranya dan berangkat pulang ke Banjarmasin karena beliau berduka atas mangkatnya kakandanya Sultan Inayatullah/Ratu Agung/Pangeran Dipati Tuha I.
- Mendengar kemangkatan Inayatullah/Ratu Agung, Sultan Banjar(1638-1645), Ratu Kota Waringin pulang ke Banjarmasin untuk melantik keponakannya Pangeran Kasuma Alam sebagai Sultan Banjar dengan gelar Sultan Saidullah/Ratu Anom (1645-1660). Saat itu ia juga melantik keponakannya Raden Kasuma Lalana sebagai Dipati dengan gelar Pangeran Dipati Anom II (kelak Sultan Agung). Ratu Anom kemudian menganugerahkan Ratu Kota Waringin gelar baru Ratu Bagawan artinya raja maha pandita. Selama di Martapura, Ratu Bagawan sempat menduduki jabatan mangkubumi dalam pemerintahan Ratu Anom selama lima tahun (1650-1655), menggantikan adiknya Panembahan di Darat yang meninggal dunia. Ia kemudian mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan mangkubumi kepada adiknya lain ibu, Pangeran Dipati Tapasena (Sultan Rakyatullah). Tidak lama kemudian ia meninggal dunia [10]tahun 1657 dan dimakamkan di Komplek Makam Sultan Suriansyah, Banjarmasin.
- Pada abad ke-18, Ratu Bagawan Muda putera dari Pangeran Panghulu telah membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa. Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matandan Lawai atau Pinoh. Pangeran Prabu telah menaklukan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukannya. Oleh karena itu Kotawaringin selalu menganggap sebagian besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai. Beliau juga mengambil sebahagian peperangan yang dilancarkan oleh Pangeran Amir dengan memihak kepada Sunan Batu (= Sultan Tahmidullah II). Beliau telah membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas. Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda. Beliau meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia. Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan-kawasan yang lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom Kasumayuda juga menyerahkan tahta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.
- Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobarmerupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.
- Ibukota Kesultanan Kotawaringin semula berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau). Pada 1814 ibukota kesultanan dipindahkan ke Pangkalan Bun, pada masa pemerintahan Sultan Imanudin dan didirikanlah sebuah istana di Pangkalan Bun sebagai pusat pemerintahan.
- Pada tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukan dalam daerah Dayak Besar.
- Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, status Kotawaringin menjadi bagian wilayah NKRI dengan status Swapraja/Kewedanan. Selanjutnya berkembang menjadi Kabupaten Daerah Tingkat II Kotawaringin Barat sebagai daerah otonom dengan Pangkalan Bun sebagai ibukota kabupaten yang ditetapkan dengan UU No 27/1959 dan Lembaran Negara No 72/1959.
- Kabupaten Kotawaringin Barat
- Kabupaten Lamandau
- Kabupaten Sukamara
Komentar
Posting Komentar