Kesultanan Bulungan Kalimantan Timur
Kesultanan Bulungan
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau,Sabah sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958). Negeri Bulungan (Negeri Merancang) bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar yang diserahkan kepada VOC-Belanda). Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.Bendera dan Lambang Kesultanan Bulungan
Sejarah Kerajaan Bulungan
Berdirinya Kerajaan Bulungan tidak dapat dipisahkan dengan mitos ataupun legenda yang hidup secara turun-temurun dalam masyarakat. Legenda bersifat lisan dan merupakan cerita rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kejadian yang benar-benar terjadi. Karena sifatnya yang tidak tertulis dan sering kali mengalami distorsi maka sering kali pula dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Yang demkian itulah disebut dengan folk history (sejarah kolektif). Kuwanyi, adalah nama seorang pemimpin suku bangsa Dayak Hupan (Dayak Kayan) karena tinggal di hilir Sungai Kayan, mula-mula mendiami sebuah perkampungan kecil yang penghuninya hanya terdiri atas kurang lebih 80 jiwa di tepi Sungai Payang, cabang Sungai Pujungan. Karena kehidupan penduduk sehari-hari kurang baik, maka mereka pindah ke hilir sebuah sungai besar yang bernama Sungai Kayan.
Istana Kesultanan Bulungan yg kini jadi museum
Suatu hari Kuwanyi pergi berburu ke hutan, tetapi tidak seekorpun binatang yang diperolehnya, kecuali seruas bambu besar yang disebut bambu betung dan sebutir telur yang terletak di atas tunggul kayu Jemlay. Bambu dan telur itu dibawanya pulang ke rumah. Dari bambu itu keluar seorang anak laki-laki dan ketika telur itu dipecah ke luar pula seorang anak perempuan. Kedua anak ini dianggap sebagai kurnia para Dewa. Kuwanyi dan istrinya memelihara anak itu baik-baik sampai dewasa. Ketika keduanya dewasa, maka masing-masing diberi nama Jauwiru untuk yang laki-laki dan yang perempuan bernama Lemlai Suri. Keduanya dikawinkan oleh Kuwanyi.
Kisah Jauwiru dan Lemlai Suri kini diabadikan dengan didirikannya sebuah Monumen Telor Pecah. Monumen tersebut terletak di antara Jl. sengkawit dan Jl. Jelarai, Kota Tanjung Selor, yang mengingatkan kita tentang cikal bakal berdirinya kesultanan Bulungan.
Bulungan, berasal dari perkataan Bulu Tengon (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan. Setelah Kuwanyi wafat maka Jauwiru menggantikan kedudukan sebagai ketua suku bangsa Dayak (Hupan). Kemudian Jauwiru mempunyai seorang putera bernama Paran Anyi.
Paran Anyi tidak mempunyai seorang putera, tetapi mempunyai seorang puteri yang bernama Lahai Bara yang kemudian kawin dengan seorang laki-laki bernama Wan Paren, yang menggantikan kedudukannya. Dari perkawinan Lahai Bara dan Wan Paren lahir seorang putera bernama Si Barau dan seorang puteri bernama Simun Luwan. Pada masa akhir hidupnya, Lahai Bara mengamanatkan kepada anak-anaknya supaya “Lungun” yaitu peti matinya diletakkan di sebelah hilir [[sungai Kipah]]. Lahai Bara mewariskan tiga macam benda pusaka, yaitu ani-ani (kerkapan). Kedabang, sejenis tutup kepala dan sebuah dayung (bersairuk). Tiga jenis barang warisan ini menimbulkan perselisihan antara Si Barau dan saudaranya, Simun Luwan. Akhirnya Simun Luwan berhasil mengambil dayung dan pergi membawa serta peti mati Lahai Bara.
Karena kesaktian yang dimiliki oleh Simun Luwan, hanya dengan menggoreskan ujung dayung pada sebuah tanjung dari sungai Payang, maka tanjung itu terputus dan hanyut ke hilir sampai ke tepi Sungai Kayan, yang sekarang terletak di kampung Long Pelban. Di Hulu kampung Long Pelban inilah peti mati Lahai Bara dikuburkan. Menurut kepercayaan seluruh keturunan Lahai Bara, terutama keturunan raja-raja Bulungan, dahulu tidak ada seorangpun yang berani melintasi kuburan Lahai Bara ini, karena takut kutukan Si Barau ketika bertengkar dengan Simun Luwan. Bahwa siapa saja dari keturunan Lahai Bara bila melewati peti matinya niscaya tidak akan selamat. Tanjung hanyut itu sampai sekarang oleh suku-suku bangsa Dayak Kayan dinamakan Busang Mayun, artinya Pulau Hanyut.
Kepergian Simun Luwan disebabkan oleh perselisihan dengan saudaranya sendiri, saat itu merupakan permulaan perpindahan suku-suku bangsa Kayan, meninggalkan tempat asal nenek moyang mereka di sungai Payang menuju sungai Kayan, dan menetap tidak jauh dari Kota Tanjung Selor, ibu kota Kabupaten Bulungan sekarang. Suku bangsa Kayan hingga sekarang masih terdapat di beberapa perkampungan di sepanjang sungai Kayan, di hulu Tanjung Selor, di Kampung Long Mara, Antutan dan Pimping. Simun Luwan mempunyai suami bernama Sadang, dan dari perkawinan mereka lahir seorang anak perempuan bernama Asung Luwan. Asung Luwan kawin dengan seorang bangsawan dari Brunei, yaitu Datuk Mencang.
Sejak pemerintahan Datuk Mencang inilah timbulnuya kerajaan Bulungan. Datuk Mencang adalah salah seorang putera Raja Brunei di Kalimantan Utara yang telah mempunyai bentuk pemerintahan teratur. Datuk Mencang berlabuh di muara sungai Kayan Karena kehabisan persediaan air minum. Dengan sebuah perahu kecil Datuk Mencang dan Datuk Tantalani menyusuri sungai Kayan mencari air tawar, tetapi suku bangsa Kayan sudah siap menghadang kedatangan mereka. Mujur pihak Datuk Mencang dan Datuk Tantalani cukup bijaksana dapat mengatasi keadaan dan berhasil mengadakan perdamaian dengan penduduk asli sungai Kayan. Dari hasil perdamaian ini akhirnya Datuk Mencang kawin dengan Asung Luwan, salah seorang puteri keturunan Jauwiru.
Menurut legenda, lamaran Datuk Mencang atas Asung Luwan ditolak, kecuali Pangeran dari Brunei itu sanggup mempersembahkan mas kawin berupa kepala Sumbang Lawing, pembunuh Sadang, kakaknya. Melalui perjuangan, ketangkasan dan kecerdasan, akhirnya Datuk Mencang dapat mengalahkan Sumbang Lawing. Perang tanding dilakukan dengan uji ketangkasan membelah jeruk yang bergerak dengan senjata. Datuk Mencang lebih unggul dan meme-nangkan uji ketangkasan tersebut.
Setelah Asung Luwan menikah dengan datuk Mencang (1555-1594), berakhirlah masa pemerintahan di daerah Bulungan yang dipimpin oleh Kepala Adat/Suku, karena sejak Datuk Mencang memimpin daerah Bulungan, pemimpinnya disebut sebagai Kesatria/Wira.
Keraton Bulungan
Sultan Bulungan
Berikut adalah daftar Sultan Bulungan, daftar berikut masih belum sempurna, karena ada tahun yang hilang serta nama yang tidak diketahui.
Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Kesatria/Wira
- Datuk Mencang (Seorang bangsawan dari Brunei), beristrikan Asung Luwan(1555-1594)
- Singa Laut, Menantu dari Datuk Mencang (1594-1618)
- Wira Kelana, Putera Singa Laut (1618-1640)
- Wira Keranda, Putera Wira Kelana (1640-1695)
- Wira Digendung, putra Wira Keranda (1695-1731)
- Wira Amir, Putera Wira Digendung Gelar Sultan Amiril Mukminin (1731-1777)
Masa Pemerintahan Yang Dipimpin Oleh Seorang Sultan
- Aji Muhammad/Sultan Alimuddin bin Muhammad Zainul Abidin/Sultan Amiril Mukminin/Wira Amir (1777-1817)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-1) (1817-1861)
- Muhammad Jalaluddin bin Muhammad Alimuddin (1861-1866)
- Muhammad Alimuddin Amirul Muminin Kahharuddin I bin Sultan Alimuddin (jabatan ke-2) (1866-1873)
- Muhammad Khalifatul Adil bin Maoelanna (1873-1875)
- Muhammad Kahharuddin II bin Maharaja Lela (1875-1889)
- Sultan Azimuddin bin Sultan Amiril Kaharuddin (1889-1899).
- Pengian Kesuma (1899-1901). Ia adalah istri Sultan Azimuddin.
- Sultan Kasimuddin
- Datu Mansyur (1925-1930), Pemangku jabatan sultan
- Maulana Ahmad Sulaimanuddin (1930-1931) menikah dengan Tengku Lailan Syafinah binti alm. Tuanku Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmat Shah (Sultan Langkat)
- Maulana Muhammad Jalaluddin (1931-1958)
Penjajah Belanda menaklukkan Berau pada tahun 1834, disusul penaklukan Kutai pada tahun 1848, dan kemudian terhadap Bulungan yang ditandai dengan datanganinya kontrak politik antara Sultan Bulungan dengan Belanda pada tahun 1850. Bersemangat untuk memerangi pembajakan dan perdagangan budak, dan bersedia untuk melawan pembajakan dan perdagangan budak, Belanda mulai untuk campur tangan di wilayah Bulungan.
Sultan Jalaluddin tahun 1940
Dalam tahun 1853, Bulungan sudah dimasukkan dalam wilayah pengaruh Belanda.
Sampai tahun 1850, Bulungan berada di bawah Kesultanan Sulu. Selama periode ini, kapal Sulu pergi ke Tarakan dan kemudian di Bulungan untuk perdagangan langsung dengan Tidung. Pengaruh ini berakhir pada 1878 dengan penandatanganan perjanjian antara Inggris dan Spanyol (Protokol Madrid 1885) yang dirancang untuk menghilangkan pengaruh Kesultanan Sulu.
Datu Mansyur (pemangku jabatan sultan)
Pada 1881, Perusahaan North Borneo Chartered dibentuk, yang sekarang merupakan wilayah Sabah, di bawah yurisdiksi Inggris, tetapi Belanda mulai menolak. Kesultanan itu akhirnya dimasukkan dalam pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1880-an. Orang Belanda menginstal sebuah pos pemerintah di Tanjung Selor pada tahun 1893. Pada tahun 1900-an, seperti banyak negara-negara kerajaan lain di kepulauan ini, Sultan terpaksa menandatangani Korte Verklaring, pernyataan "singkat" yang mengharuskan Sultan menjual sebagian besar kekuasaannya atas tanah hulu.
Orang Belanda akhirnya mengakui perbatasan antara dua wilayah hukum pada tahun 1915. Kesultanan ini dikenakan status sebagai wilayah Zelfbestuur, "administrasi sendiri", pada tahun 1928, seperti banyak kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang dikuasai Belanda.
Penemuan minyak oleh BPM (Bataafse Petroleum Maatschappij) di Pulau Bunyu dan Tarakan telah memberikan kontribusi sangat penting bagi perekonomian Bulungan, terutama untuk orang Belanda, menjadikan Tarakan sebagai pusat industri minyak pada saat itu.
Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau "wilayah otonom" di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.
Tragedi Bultiken
Tragedi Bultiken adalah peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh tentara Indonesia yang dipimpin oleh Letnan B.Simatupang, atas perintah Pangdam IX Mulawarman saat itu yaitu Brigadir Jendral Suhario terhadap para petinggi dan keluarga kerajaan Kesultanan Bulungan, serta aksi pembakaran istana Bulungan dan penjarahan serta perampasan harta benda milik Kesultanan Bulungan yang juga dilakukan oleh para tentara tersebut.
Tragedi ini bermula pada subuh dinihari, Jumat, 3 Juli 1964, ketika sepasukan tentara dari satuan tempur Brawijaya 517 tiba-tiba mengepung istana Kesultanan Bulungan, dan berakhir setelah istana Bulungan yang bertingkat dua habis dibakar oleh para tentara tersebut selama dua hari dua malam hingga rata dengan tanah pada hari Jumat, 24 Juli 1964.
Selama terjadi pengepungan tersebut satu per satu bangsawan Bulungan diculik, ditangkap dan dibunuh. Puncaknya adalah ketika pada Sabtu malam, 18 Juli 1964, istana Raja Muda dibakar, dan Raja Muda Datu Mukemat diculik dan dieksekusi dilaut antara Tarakan dan Pulau Bunyu, dengan cara dia diikat dan diberi beban batu pemberat, selanjutnya ditembak dan dibuang kelaut.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bulungan
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).
http://rossyblackmonster.blogspot.co.id/makalah-sejarah-kerajaan-kerajaan-islam.html
Kesultanan Bulungan(1731).
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalahkesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).http://anggitwildian.blogspot.co.id/sejarah-kerajan-kerajaan-islam-di.html
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalahkesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).http://anggitwildian.blogspot.co.id/sejarah-kerajan-kerajaan-islam-di.html
Kesultanan Bulungan(1731).
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958).
http://lailameika13.blogspot.co.id/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Kesultanan Bulungan
1. Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Bulungan
Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan, Kota Tarakan dan Tawau,Sabahsekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin (1731–1777), dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin (1931-1958). Negeri Bulungan (Negeri Merancang) bekas daerah milik "negara Berau" yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari "negara Berau" (Berau bekas vazal Banjar yang diserahkan kepada VOC-Belanda).[4] Pada kenyataannya sampai tahun 1850, Bulunganberada di bawah dominasi Kesultanan Sulu.
2. Proses Masuknya Islam di Kesultanan Bulungan
Kesultanan Bulungan berada dibawah pengaruh Kesultanan Sulu. Kesultanan Sulu adalah sebuah pemerintahan Muslim yang pernah suatu masa dahulu menguasai Laut Sulu di Filipina Selatan. Kesultanan ini didirikan pada tahun 1450. Pada zaman kegemilangannya, negeri ini telah meluaskan perbatasannya dari Mindanao hingga bagian timur negeri Sabah. Dalam Kakawin Nagarakretagama, negeri Sulu disebut Solot, salah satu negeri di kepulauan Tanjungnagara (Kalimantan-Filipina) yaitu salah satu kawasan yang menjadi daerah pengaruh mandala kerajaan Majapahit di Nusantara. Negeri Sulu terletak di lepas pantai timur laut pulau Kalimantan.
Pada tahun 1380, seorang ulama keturunan Arab, Karim ul-Makdum memperkenalkan Islam di Kepulauan Sulu. Kemudian tahun 1390, Raja Bagindo yang berasal dari Minangkabau melanjutkan penyebaran Islam di wilayah ini. Hingga akhir hayatnya Raja Bagindo telah mengislamkan masyarakat Sulu sampai ke Pulau Sibutu.
3. Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Bulungan
Pada saat Kesultanan Bulungan ini terkenal dengan perayaan Birau, yaitu pesta yang diadakan secara meriah oleh seluruh masyarakat. Perayaan Birau awalnya dilaksanakan pada masa Kesultanan Bulungan untuk memperingati syukuran khitanan anak raja-rajanya. Sebagai upaya untuk melestarikan adat istiadat, perayaan Birau tetap terus diselenggarakan
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/kerajaan-islam-di-kalimantan.html
Pernah kawan mendengar kawasan Bulungan di Jakarta? mungkin saja sebagian orang akan mengatakan ya kami tahu itu. Siapa sih yang ga' kenal kawasan Bulungan, disana ada Gelanggang Remaja Bulungan, ada sekolah SMU 70 Bulungan yang terkenal dan tentu saja tidak ketinggalan Plasa Blok M Jakarta Selatan.
Tapi pernah kah kita bertanya ko’ bisa ya ada nama kawasan Bulungan di Jakarta? berbicara tentang sejarah nama kawasan Bulungan di Jakarta nampaknya tidak lepas pula dari sejarah Kesultanan Bulungan. Sebagian orang mungkin akan bertanya “Ah masa memangnya apa hubungannya Kawasan Bulungan di Jakarta dengan Kesultanan Bulungan di utara Kaltim?” ya mungkin itulah yang disebut penulis Davinci Code, Dan Brown, bahwa tidak ada yang kebetulan dari dunia ini, semunya saling terhubung antara satu dan lainnya, walaupun kadang dipermukaan itu tidak terlihat sama sekali.
Berbicara mengenai potongan jejak-jejak sejarah Kesultanan Bulungan di Batavia atau Jakarta untuk saat ini, terangkum sangat apik diceritakan oleh Datuk Iskandar Zulkarnaen dalam sebuah Roman Sejarah berjudul “Hikayat Datoe Lancang (dan) Putri Kayan”
Setidaknya ada dua peristiwa penting yang menghubungkan keberadaan komunitas dan sejarah Kesultanan Bulungan yang berhubungan dengan Batavia dimasa lampau.
Peristiwa pertama dimulai dari sengketa pengelolaan minyak di Tarakan, saat itu Sultan Kasimuddin yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Kasim Al-Din (1901-1925) berkedudukan di Istana Darul Aman, Tanjung Palas, merasa keberatan dengan sikap Gubernur Jendral di Batavia karena tidak menyerahkan royalti dari hasil pembagian pengelolaan minyak di Tarakan yang saat itu menjadi bagian dari Kesultanan Bulungan. minyak di Tarakan sendiri dikelola oleh NV BPM ( Naamlose Vennotschaaf Bataafsche Petroeleum Maatschapij), minyak di Tarakan saat memang terkenal dengan kualitas terbaik alias World Purest Oil, hal ini dapat di ketahui pada Amsterdam Effectenblad tahun 1932 yang berkomentar “ … Kwaliteit minjak boemi di Tarakan tjoekoep baik, bisa dikasi masuk dalam tank (maksudnya tangki minyak) dengan begitu saja”. Menurut catatan pihak sekutu, sebelum perang dunia kedua, Tarakan menghasilkan 6 juta barel minyak setiap tahunnya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Sultan Kasimuddin untuk menagih pembayaran royalty pengelolaan minyak tersebut, namun dengan berbagai siasat Gubernur Jendral Belanda tidak memberikannya. Siapa gubernur Jendral Belanda itu? tidak ada yang mengetahui secara jelas, sebab dalam buku tersebut memang tidak dicantumkan nama beliau. Namun diperkirakan hal itu terjadi diantara masa pemerintahan A.F.W. Idenburg (1909-1916 ), J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921), hingga D. Fock (1921-1926).
Karena merasa usahanya melalui Gubernur Jendral tidak berhasil, Sultan Kasimuddin melakukan upaya hukum dan menemui Ratu Wihelmina untuk membicarakan permasalahan tersebut, sebab royalti minyak tersebut tidak dibayar kepada Kesultanan Bulungan selama 11 tahun sejak 1912. melalui proses yang panjang dan berbelit, Sultan kemudian berhasil memenagkan gugatan tersebut dipengadilan Belanda pada tahun 1923.
Sepulangnya dari Belanda, Sultan Kasimuddin sempat singgah di Batavia selama beberapa bulan, ternyata Sultan terpikat dengan salah seorang putri bupati berdarah Jawa, R. A. Fatimah dan sempat melangsungkan perkawinan di Batavia. Peristiwa perkawinan dan menetapnya Sultan Kasimuddin di Batavia itu, diperkirakan melahirkan nama Bulungan karena Sultan Kasimuddin juga membeli tanah di Batavia.
Peristiwa kedua pernikahan akbar dari putra Sultan Kasimuddin, yaitu Datuk Achmad Sulaiman yang kelak dikenal dengan Sultan Achmad Sulaiman, beliau saat itu mengenyam pendidikan di Hooge Bestuur Shool (HBS), semacam sekolah pemerintahan di Sumatra. Datuk Acmad Sulaiman menikah dengan putri Sultan Langkat, Tengku Lailan Syafinah binti al-Marhum Sultan ‘Abdu’l ‘Aziz ‘Abdul jalil Rahmad. Sultan Ahkmad Sulaiman dikenal oleh rakyat Kesultanan Langkat dengan nama H. H Sri Sultan Maulana Ahmad Sulaiman Ud-din.
Pernikahan ini konon disebut-sebut salah satu pernikahan yang besar dalam sejarah kesultanan Bulungan. Sultan Kasimuddin kemudian menitahkan kepada kerabat keraton untuk merayakan pernikahan itu di istana Kesultanan Langkat. sekitar 300 pemuda berdarah Bulungan dan Tidung berangkat menuju Sumatra. Karena suatu sebab rombongan sempat singgah di Batavia sekitar tiga bulan lamanya, rombongan tersebut kemudian berdiam di suatu kawasan di Batavia, yang oleh penduduk setempat kemudian disebut Kampung Bulungan.
Berdasarkan dua peristiwa bersejarah tersebut, diperkirakan asal mula mengapa nama Bulungan terkenal di Batavia atau sekarang dikenal dengan kota Jakarta tersebut. inilah jejak-jejak sejarah Kesultanan bulungan yang terkadang terlupakan oleh zaman.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/kerajaan-islam-di-kalimantan.html
JEJAK SEJARAH KESULTANAN BULUNGAN DI JAKARTA.
Pernah kawan mendengar kawasan Bulungan di Jakarta? mungkin saja sebagian orang akan mengatakan ya kami tahu itu. Siapa sih yang ga' kenal kawasan Bulungan, disana ada Gelanggang Remaja Bulungan, ada sekolah SMU 70 Bulungan yang terkenal dan tentu saja tidak ketinggalan Plasa Blok M Jakarta Selatan.
Tapi pernah kah kita bertanya ko’ bisa ya ada nama kawasan Bulungan di Jakarta? berbicara tentang sejarah nama kawasan Bulungan di Jakarta nampaknya tidak lepas pula dari sejarah Kesultanan Bulungan. Sebagian orang mungkin akan bertanya “Ah masa memangnya apa hubungannya Kawasan Bulungan di Jakarta dengan Kesultanan Bulungan di utara Kaltim?” ya mungkin itulah yang disebut penulis Davinci Code, Dan Brown, bahwa tidak ada yang kebetulan dari dunia ini, semunya saling terhubung antara satu dan lainnya, walaupun kadang dipermukaan itu tidak terlihat sama sekali.
Berbicara mengenai potongan jejak-jejak sejarah Kesultanan Bulungan di Batavia atau Jakarta untuk saat ini, terangkum sangat apik diceritakan oleh Datuk Iskandar Zulkarnaen dalam sebuah Roman Sejarah berjudul “Hikayat Datoe Lancang (dan) Putri Kayan”
Setidaknya ada dua peristiwa penting yang menghubungkan keberadaan komunitas dan sejarah Kesultanan Bulungan yang berhubungan dengan Batavia dimasa lampau.
Peristiwa pertama dimulai dari sengketa pengelolaan minyak di Tarakan, saat itu Sultan Kasimuddin yang bergelar Sultan Maulana Muhammad Kasim Al-Din (1901-1925) berkedudukan di Istana Darul Aman, Tanjung Palas, merasa keberatan dengan sikap Gubernur Jendral di Batavia karena tidak menyerahkan royalti dari hasil pembagian pengelolaan minyak di Tarakan yang saat itu menjadi bagian dari Kesultanan Bulungan. minyak di Tarakan sendiri dikelola oleh NV BPM ( Naamlose Vennotschaaf Bataafsche Petroeleum Maatschapij), minyak di Tarakan saat memang terkenal dengan kualitas terbaik alias World Purest Oil, hal ini dapat di ketahui pada Amsterdam Effectenblad tahun 1932 yang berkomentar “ … Kwaliteit minjak boemi di Tarakan tjoekoep baik, bisa dikasi masuk dalam tank (maksudnya tangki minyak) dengan begitu saja”. Menurut catatan pihak sekutu, sebelum perang dunia kedua, Tarakan menghasilkan 6 juta barel minyak setiap tahunnya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Sultan Kasimuddin untuk menagih pembayaran royalty pengelolaan minyak tersebut, namun dengan berbagai siasat Gubernur Jendral Belanda tidak memberikannya. Siapa gubernur Jendral Belanda itu? tidak ada yang mengetahui secara jelas, sebab dalam buku tersebut memang tidak dicantumkan nama beliau. Namun diperkirakan hal itu terjadi diantara masa pemerintahan A.F.W. Idenburg (1909-1916 ), J.P. Graaf van Limburg Stirum (1916-1921), hingga D. Fock (1921-1926).
Karena merasa usahanya melalui Gubernur Jendral tidak berhasil, Sultan Kasimuddin melakukan upaya hukum dan menemui Ratu Wihelmina untuk membicarakan permasalahan tersebut, sebab royalti minyak tersebut tidak dibayar kepada Kesultanan Bulungan selama 11 tahun sejak 1912. melalui proses yang panjang dan berbelit, Sultan kemudian berhasil memenagkan gugatan tersebut dipengadilan Belanda pada tahun 1923.
Sepulangnya dari Belanda, Sultan Kasimuddin sempat singgah di Batavia selama beberapa bulan, ternyata Sultan terpikat dengan salah seorang putri bupati berdarah Jawa, R. A. Fatimah dan sempat melangsungkan perkawinan di Batavia. Peristiwa perkawinan dan menetapnya Sultan Kasimuddin di Batavia itu, diperkirakan melahirkan nama Bulungan karena Sultan Kasimuddin juga membeli tanah di Batavia.
Peristiwa kedua pernikahan akbar dari putra Sultan Kasimuddin, yaitu Datuk Achmad Sulaiman yang kelak dikenal dengan Sultan Achmad Sulaiman, beliau saat itu mengenyam pendidikan di Hooge Bestuur Shool (HBS), semacam sekolah pemerintahan di Sumatra. Datuk Acmad Sulaiman menikah dengan putri Sultan Langkat, Tengku Lailan Syafinah binti al-Marhum Sultan ‘Abdu’l ‘Aziz ‘Abdul jalil Rahmad. Sultan Ahkmad Sulaiman dikenal oleh rakyat Kesultanan Langkat dengan nama H. H Sri Sultan Maulana Ahmad Sulaiman Ud-din.
Pernikahan ini konon disebut-sebut salah satu pernikahan yang besar dalam sejarah kesultanan Bulungan. Sultan Kasimuddin kemudian menitahkan kepada kerabat keraton untuk merayakan pernikahan itu di istana Kesultanan Langkat. sekitar 300 pemuda berdarah Bulungan dan Tidung berangkat menuju Sumatra. Karena suatu sebab rombongan sempat singgah di Batavia sekitar tiga bulan lamanya, rombongan tersebut kemudian berdiam di suatu kawasan di Batavia, yang oleh penduduk setempat kemudian disebut Kampung Bulungan.
Berdasarkan dua peristiwa bersejarah tersebut, diperkirakan asal mula mengapa nama Bulungan terkenal di Batavia atau sekarang dikenal dengan kota Jakarta tersebut. inilah jejak-jejak sejarah Kesultanan bulungan yang terkadang terlupakan oleh zaman.
http://www.zarkasyi.id/jejak-sejarah-kesultanan-bulungan-di.html
Komentar
Posting Komentar