Kesultanan Wajo Sulawesi Selatan
C. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo, yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau keSajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awalWajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajuru E.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
Wajo sebagai Kerajaan
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppayang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowayang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagaiSamarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. SetelahKonferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Struktur Kerajaan Wajo
1. Masa Batara Wajo
ü Batara Wajo --> Penguasa tertinggi (1 orang)
ü Paddanreng --> Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)
ü Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (12) orang
2. Masa Arung Matoa
ü Arung Matoa --> Penguasa tertinggi (1 orang)
ü Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang)
ü Pabbate Lompo --> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)
ü Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (30 orang)
ü Suro --> Utusan (3 orang)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40. Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE:
ü Arung Bettempola --> biasanya dirangkap Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Di masa Batara Wajo, tugas ini dijabat oleh Arung Penrang
ü Punggawa --> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE
ü Petta MancijiE --> Staf keprotokuleran istana
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Wajo
1. Sumur Jodoh
Sumur jodoh adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan air dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut salah satu warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau kurang mempercayai sumur jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama orang dari pulau Jawa saja yang banyak datang ke sumur jodoh ini dan meminta untuk mendapatkan jodoh.
2. Geddong’e
Geddongnge (Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada yang mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan barang-barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi mengatakan bahwa bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang uang).Geddongnge dibangun pada saman pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian lancar dan awal dicetuskannya pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari batu gunung, pasir, dan telur.
Benteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal pelaksanaanya setelah diadakan musyawarahantara arung matoalatentilai’ dengan penduduk negeri mengenai rencena penyerangan belanda terhadap tosora. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoeuntuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatanganiPerjanjian Bungayya. Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinanArung Palakka
Mushola Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M. Setelah selesai mesjid Tua Tosora dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M. Agama islam berkembang terus sampai sekarang. Mushola Tua yang dibangun pada tahun yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua Tosora tercatat ada tujuh buah dengan bahan baku yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.
Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa mengalami hambatan. Mereka menerima kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan Mushola selalu dimanfaatkan setiap waktu sholat, mereka berjamaah bersama.
Mushola Tua Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua. Fisik bangunan Mushola Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua dengan Mushola kurang lebih 100m dari arah Timur.
Tidak jauh dari kompleks makam Petta Pallase’-lase’E terdapat masjid tua lailatul qaderi, merupakan masjid tertua di tanete sekaligus merupakan masjid tertua di kabupaten Barru. Di sebelah masjid tua lailatul qaderi terdapat mekam pajung tenri leleang, We Tenri Leleang merupakan datu di Luwu sekaligus arung di Tanete.
5. Makam Lasalewangeng Tenriruwa
La Salewangeng To Tenriruwa adalah seorang keturunan dari La Tadampareng Puang Ri Maggalatung. La Salewangeng merupakan Arung Matowa Wajo ke-30. Beliau pernah menjadi raja di limpo/negeri kampiri (Arung Kampiri). La Salewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan mempersiapkan peperangan terhadap Bone dan belanda kira-kira tahun 1715-1736.
Selama kurang lebih 30 tahun kepemimpinannya, Wajo mencapai zaman keemasannya. Wilayahnya luas, penduduknya banyak dan sejahtera. Hal itu disebabkan karena kearifannya dalam memimpin. Banyak literatur yang mencatat pesan-pesan beliau. Berikut ini adalah salah satu dari pesan-pesan beliau :
Terjemahan Bebas
7. Makam La Tenrilai’ Tosengngeng
8. Makam Besse Idalatikka
Ramah dan sopan. Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo pada zamannya. Menurut cerita makam besse idalatikka dibuat dengan memakai kayu di impor dari Malaysia dan diukir di Kalimantan. Selain itu Makam Besse Idalatikka memang sudah di pesan sebelum 2 bulan kematiannya.
9. Saoraja Mallangga
WAJO merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian benda pusakapeninggalan kerajaan.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang terbuat dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti,"
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.
10. Makam La Maddukkelleng
La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To’ Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To Tenrirua.Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.
Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.
Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi empat.
Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke arah Kabupaten Soppeng.
Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai. Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.
Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10 tahun (1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 – 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun 1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya ‘Kiat-kiat Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelar Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris. Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
11. Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk huruf “L, I, U” dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo
http://theexclusivers.blogspot.co.id/kerajaan-islam-di-sulawesi.html
Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini di Sulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya [[Wajo]]. yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeran Soppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulungyang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu KajuruE.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
Wajo sebagai Kerajaan
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuan Tellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaring sebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
[[Wajo]] dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. Setelah Konferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadi Onderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Struktur Kerajaan Wajo
Masa Batara Wajo
- Batara Wajo --> Penguasa tertinggi (1 orang)
- Paddanreng --> Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)
- Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (12) orang
Masa Arung Matoa
- Arung Matoa --> Penguasa tertinggi (1 orang)
- Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang)
- Pabbate Lompo --> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)
- Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (30 orang)
- Suro --> Utusan (3 orang)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40.
Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE
- Arung Bettempola --> biasanya dirangkap Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Pada masa Batara Wajo, tugas ini dijabat oleh Arung Penrang
- Punggawa --> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE
- Petta MancijiE --> Staf keprotokuleran istana
Penguasa Kerajaan Wajo
No | Penguasa |
Mulai
Menjabat |
Akhir
Jabatan |
---|---|---|---|
Batara Wajo | |||
1 | La Tenribali | ||
2 | La Mataesso | ||
3 | La Pateddungi to samallangi | ||
Arung Matowa | |||
1 | La Palewo to Palippu | 1474 | 1481 |
2 | La Obbi Settiriware | 1481 | 1486 |
3 | La Tenriumpu to Langi | 1486 | 1491 |
4 | La Palewo to Palippu | 1491 | 1521 |
5 | La Tenri Pakado To Nampe | 1524 | 1535 |
6 | La Temmassonge | 1535 | 1538 |
7 | La Warani To Temmagiang | 1538 | 1547 |
8 | La Malagenni | 1547 | 1547 |
9 | La Mappapuli To Appamadeng | 1547 | 1564 |
10 | La Pakoko To Pa’bele’ | 1564 | 1567 |
11 | La Mungkace To Uddamang | 1567 | 1607 |
12 | La Sangkuru Patau Mulajaji Arung Peneki Sultan Abdurahman | 1607 | 1610 |
13 | La Mappepulu To Appamole | 1610 | 1616 |
14 | La Samalewa To Appakiung | 1616 | 1621 |
15 | La Pakallongi To Alinrungi | 1621 | 1626 |
16 | To Mappassaungnge | 1627 | 1628 |
17 | La Pakallongi To Alinrungi | 1628 | 1636 |
18 | La Tenrilai To Uddamang | 1636 | 1639 |
19 | La Isigajang To Bunne | 1639 | 1643 |
20 | La Makkaraka To Patemmui | 1643 | 1648 |
21 | La Temmasonge | 1648 | 1651 |
22 | La Paramma To Rewo | 1651 | 1658 |
23 | La Tenri Lai To Sengngeng | 1658 | 1670 |
24 | La Palili To Malu’ | 1670 | 1679 |
25 | La Pariusi Daeng Manyampa | 1679 | 1699 |
26 | La Tenri Sessu To Timo E | 1699 | 1702 |
27 | La Mattone’ | 1702 | 1703 |
28 | La Galigo To Sunnia | 1703 | 1712 |
29 | La Tenri Werung Arung Peneki | 1712 | 1715 |
30 | La Salewangeng To Tenriruwa Arung Sengkang | 1715 | 1736 |
31 | La Maddukkelleng Daeng Simpuang Arung Peneki Arung Sengkang | 1736 | 1754 |
32 | La Mad’danaca | 1754 | 1755 |
33 | La Passaung | 1758 | 1761 |
34 | La Mappajung Puanna Salowo Ranreng Tuwa | 1761 | 1767 |
35 | La Malliungeng | 1767 | 1770 |
36 | La Mallalengeng | 1795 | 1817 |
37 | La Manang | 1821 | 1825 |
38 | La Pa’dengngeng | 1839 | 1845 |
39 | La Pawellangi Pajumpero'e | 1854 | 1859 |
40 | La Cincing Akil Ali Datu Pammana Pilla Wajo | 1859 | 1885 |
41 | La Koro Arung Padali | 1885 | 1891 |
42 | La Passamula Datu Lompulle Ranreng Talotenreng | 1892 | 1897 |
43 | Ishak Manggabarani Krg Mangeppe | 1900 | 1916 |
44 | Andi Oddangpero Datu Larompong Arung Peneki | 1926 | 1933 |
45 | Andi Mangkona Datu Mario | 1933 | 1949 |
46 | Andi Sumangerukka Datu Pattojo Patola Wajo | 1949 | 1949 |
47 | Andi Ninnong Datu Tempe Ranreng Tuwa Wajo | 1949 | 1950 |
48 | Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo | 1950 | 1952 |
49 | Andi Macca Amirullah Eks Sullewatang Ugi | 1952 | 1954 |
50 | Andi Pallawarukka Datu Pammana Eks Pilla Wajo | 1954 | 1957 |
Peninggalan Sejarah di Wajo
1. Messid Tello,e dan Makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein
Mesjid kuno tosora merupakan mesjid yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin Akbar Husain yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad S.A.W
Salah satu peninggalan sejarah dari puluhan peninggalan sejarah lainnya dikabupaten wajo yang yang masuk dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid kuno yang berada didesa Tosora Kecamatan Majauleng.
Tosora adalah daerah bekas ibu kota Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi oleh 8 danau kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah mulai dari makam raja-raja wajo sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi kerajaan.
Konon, mesjid yang memiliki arsitektur berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar bujur sangkar tanpa serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat ditemukan pada daerah bekas ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa, Buton, Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.
Bangunan Dinding mesjid ini dibuat dari susunan batu-batu sedimen tidak sama dan menggunakan perekat semacam kapur yang dicampur putih telur dan lokasi ini sering dijadikan sebagai lokasi wisata sejarah.
Sementara, Dinding dari mesjid ini mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum diketahui tingginya. Atas prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah dibangun dilokasi mesjid kolam untuk air wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99 centimeter, kolam air Wudhu ini dibangun pada priode belakangan.
Kepada penulis, peziarah mengatakan bahwa mesjid ini sangat membutuhkan perhatian khusus karena ini merupakan cagar budaya peninggalan sejarah dimana Tosora sebelumnya adalah pusat ibu kota pada masa penjajahan dan sebelum adanya pemerintah kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada masa batara dan arung matowa.
Lebih lanjut dirinya menceritakan proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada masa dulu dimana katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur sebagai bahan perekat dan pada masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan untuk pembuatan mesjid.
“Dulu sesuai cerita rakyat antara tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang tua kita dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa diguyur hujan meski hanya jalan kaki pada tahun 1985 ada ada peneliti yang ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua bulan baru mereka mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid,”
Terkait dengan keberadaan cagar budaya itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana pemeliharaan karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai memudar sehingga butuh perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau dicabut dikwatirkan akan merusak keaslian bangunannya.
“Selain itu mesjid ini terkadang masih digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang dari pulau jawa untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada perbaikan setidaknya bisa diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa ini menggelar pengajian, mereka menggunakan alas seadanya,”
Selain itu katanya, jika diberikan lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian bagi pemuka agama.”ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi akan sangat bermamfaat jika dijadikan sebagai pusat perayaan acara keagamaan,”
Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut dalam silsilah salah satu diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang ke 19.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga penggagas mesjid kuno tosora itu.
Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan bahwa dalam silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan keturunan Nabi Muhammad yang ke 19.
Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan mengunakan nisan tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang mantan ketua majelis dan makam ini ditandai dengan dua buah nisan merian.
Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam ini menyerupai dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni dasar,badan dan kepala.
Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa menggaku jika setelah dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu, reskinya bertambah dan siarah ke makam itu bagi sebagian orang seakan dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.
Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan bahwa pada tiap tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang berkunjung kemakam ini karena mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini adalah bagian dari keluarga mereka.
Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu para wali dipulau jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain berumur lebih tua dari wali songo.
Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah pengunjung dari berbagai daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau dirinya adalah keturunan dari Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain.
“Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung datang dari jawa, sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain perna berada di india dan membantu penduduk india pada suatu peran untuk memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain menghilang tanpa jejak,”
Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian khusus dari pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa arsitektur lain yang kini tergolong mempertihatinkan termasuk pagar yang saat ini terlihat mulai rapuh.
Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid Tua Tosora juga memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar mendapatkan kesan kalau cagar budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata sejara itu masih terawat.
1. Messid Tello,e dan Makam Assyiekh Al-Habib Jamaluddin Al-Akbar Al-Husein
Mesjid kuno tosora merupakan mesjid yang dibangun sekitar tahun 1621 oleh Syeckh Jamaluddin Akbar Husain yang diduga oleh penduduk setempat punya hubungan darah dengan Nabi Muhammad S.A.W
Salah satu peninggalan sejarah dari puluhan peninggalan sejarah lainnya dikabupaten wajo yang yang masuk dalam cagar budaya menjadi sejarah nasional adalah mesjid kuno yang berada didesa Tosora Kecamatan Majauleng.
Tosora adalah daerah bekas ibu kota Kabupaten Wajo pada abad 17 dan wilayah ini dikelilingi oleh 8 danau kecil didaerah ini pula terdapat berbagai peninggalan sejarah mulai dari makam raja-raja wajo sampai dengan gudang bekas penyimpangan amunisi kerajaan.
Konon, mesjid yang memiliki arsitektur berlanggam indonesia asli itu memiliki denah dasar bujur sangkar tanpa serambi. Kemiripan bangunan mesjid ini merupakan dapat ditemukan pada daerah bekas ibu kota kerajaan islam seperti Palopo, Gowa, Buton, Banten, Jawa, Sumatra, dan Ternate.
Bangunan Dinding mesjid ini dibuat dari susunan batu-batu sedimen tidak sama dan menggunakan perekat semacam kapur yang dicampur putih telur dan lokasi ini sering dijadikan sebagai lokasi wisata sejarah.
Sementara, Dinding dari mesjid ini mengunakan batu sedimen yang hingga kini belum diketahui tingginya. Atas prakarsa Salewatang Haji Andi Mallanti, telah dibangun dilokasi mesjid kolam untuk air wudhu. Dengan kedalaman 94 samapi 99 centimeter, kolam air Wudhu ini dibangun pada priode belakangan.
Kepada penulis, peziarah mengatakan bahwa mesjid ini sangat membutuhkan perhatian khusus karena ini merupakan cagar budaya peninggalan sejarah dimana Tosora sebelumnya adalah pusat ibu kota pada masa penjajahan dan sebelum adanya pemerintah kabupaten, Tosora menjadi pusat kerajaan pada masa batara dan arung matowa.
Lebih lanjut dirinya menceritakan proses pembuatan mesjid tua sesuai ceritra rakyat pada masa dulu dimana katanya mesjid tua itu menggunankan campuran putih telur sebagai bahan perekat dan pada masa itu sekitar dua tahun penduduk tidak bisa kembangkan ternak karena telur ayamnya disumbangkan untuk pembuatan mesjid.
“Dulu sesuai cerita rakyat antara tosora ke paria rumah berjejer rapi dan ketika hujan orang tua kita dahulu bisa sampai kesekolahnya diparia sekitar puluhan kilo tanpa diguyur hujan meski hanya jalan kaki pada tahun 1985 ada ada peneliti yang ingin mengetahui kebenarannya puin demi puin diuji samapi dua bulan baru mereka mendapatkan hasil kebenaran bahan bangunan mesjid,”
Terkait dengan keberadaan cagar budaya itu, dirinya berharap pemerintah bisa memberikan dana pemeliharaan karena mesjid yang dibangun pada tahun 1621 itu sudah mulai memudar sehingga butuh perawatan setidaknya diberikan atap sementara dinding mimbar sudah ditumbuhi pepohonan kalau dicabut dikwatirkan akan merusak keaslian bangunannya.
“Selain itu mesjid ini terkadang masih digunakan oleh pendatag khususnya mereka yang datang dari pulau jawa untuk menggelar pengajian sehingga kami juga harapkan ada perbaikan setidaknya bisa diberikan lantai karena ketika pengunjung dari jawa ini menggelar pengajian, mereka menggunakan alas seadanya,”
Selain itu katanya, jika diberikan lantai maka bisa digunakan sebagai tempat pengajian bagi pemuka agama.”ini dimaksud untuk mengenang pada pendahulu kita apalagi akan sangat bermamfaat jika dijadikan sebagai pusat perayaan acara keagamaan,”
Sejarah mesjid kuno tosora terdapat beberapa makam kuno yang disebut dalam silsilah salah satu diantaranya ada makam cucu Nabi Muhammad yang ke 19.
Salah satu diantaranya adalah makam penghulu para Wali. Dengan mengunakan nisan setengah bulat, makam setengah bulat ini adalah makam Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang juga penggagas mesjid kuno tosora itu.
Sementara sesuai dengan keterangan yang didapatkan penulis mengatakan bahwa dalam silsilanya, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain masih merupakan keturunan Nabi Muhammad yang ke 19.
Sementara makam kuno lainnya adalah Makam Arung Benteng Lagau dengan mengunakan nisan tipe merian. Arung Benteng Lagau adalah salah seorang mantan ketua majelis dan makam ini ditandai dengan dua buah nisan merian.
Disamping ada makam Arung Benteng Lagau, ada nisan tipe pion. Tipe makam ini menyerupai dengan bantuk pion yang terdiri atas tiga bagian yakni dasar,badan dan kepala.
Sesuai dengan sejarah, bahwa para pengunjung khususnya dari Jawa menggaku jika setelah dirinya melakukan siarah ke beberapa makam itu, reskinya bertambah dan siarah ke makam itu bagi sebagian orang seakan dijadikan sebagai rutinitas khusunya pengunjung dari pulau Jawa.
Kepada penulis, Alan salah seorang masyarakat desa tosora menuturkan bahwa pada tiap tahunnya banyak pengurus pesantren dari pulau jawa yang berkunjung kemakam ini karena mereka yakini kalau Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain yang dimakamkan di lokasi mesjid ini adalah bagian dari keluarga mereka.
Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain adalah penghulu para wali dipulau jawa termasuk Almarhum Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain berumur lebih tua dari wali songo.
Dan bahkan pengunjung yang datang kemakam ini papar Alan, adalah pengunjung dari berbagai daerah diluar pulau sulawesi dan meyakini kalau dirinya adalah keturunan dari Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain.
“Bahkan menurut keterangan yang kami dapatkan ketika ada pengunjung datang dari jawa, sebelum keindonesia, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain perna berada di india dan membantu penduduk india pada suatu peran untuk memenangkan pasukan islam dan pada ujung perang, Syeckh Jamaluddin Akbar Hussain menghilang tanpa jejak,”
Pantauan penulis saat menelusuri halaman makam, memerlukan perhatian khusus dari pemerintah terkait pemeliharaan baik pagar maupun beberapa arsitektur lain yang kini tergolong mempertihatinkan termasuk pagar yang saat ini terlihat mulai rapuh.
Selain itu, beberapa arsitektur lainnya yang ada didalam kawasan mesjid Tua Tosora juga memerlukan perhatian utamanya anggaran pemeliharaan agar mendapatkan kesan kalau cagar budaya yang bisa dijadikan sebagai wisata sejara itu masih terawat.
1. Sumur Jodoh
Sumur jodoh adalah sumur yang dipercaya apabila kita mandi atau membasuh muka dengan air dari sumur itu maka cepat atau lambat akan mendapatkan jodoh. Namun, menurut salah satu warga disana mengatakan bahwa sebagian warga di tosora tidak atau kurang mempercayai sumur jodoh ini, hanya orang yang dari luar pulau terutama orang dari pulau Jawa saja yang banyak datang ke sumur jodoh ini dan meminta untuk mendapatkan jodoh.
{Sumur jodoh yang terletak di Cempae, Kecamatan Soreang sebagai salah satu potensi wisata selalu menarik untuk diungkap.
Pada tahun 1977, menurut salah seorang budayawan Parepare, Andi Syamsu Alam. B.Sc, saat potensi sumur jodoh dipentaskan dalam pameran pembangunan di Kota Makassar, terjadi sebuah ‘keanehan’ yang menarik untuk diceritakan.
Usai pameran salah seorang wartawan dari Jakarta merasa penasaran dan berkunjung ke Parepare ingin mengenal dan melihat lebih dekat lokasi dan sumur jodoh di Cempae Kota Parepare. Setelah di sana wartawan tersebut menimba air sumur tersebut dan berkumur-kumur. Anehnya, air sumur di atas laut itu tidak asin, ternyata berasa tawar. Lalu ia meminumnya, alhasil setelah dia balik ke Jakarta empat bulan kemudian dia mengirim undangan perkimpoian ke Parepare.
Sejarahnya:
Diambil dari sejarah Sultan Hasanuddin (Raja Gowa) dan lontara bugis Makassar ketika perluasan kerajaan Bone mengarungi lautan Pasifik serta diperkuat ulasan wilayah Parepare dalam lintasan sejarah oleh Edward L. Poelinggoman, Tokoh Sejarah Nasional pada museum sejarah Propinsi Sulawesi Selatan. Kebijakan VOC 1668, mendorong Raja Bone bergiat memperluas pengaruh kekuasaannya di Sulawesi Selatan. Dalam perjalanan dari Bone menuju Mallusetasi (di batas Parepare-Barru) melintasi Sidenreng Rappang (Letta) dan sempat menguasai daerah Sumpang Pala (Pabbaresseng) kabupaten Sidrap.
Lapatau Raja Bone, pelanjut perjuangan A. Tenri Tetta (Arung Palakka), melanjutkan perjalanannya ke daerah Mallusettasi. Dalam perjalanannya sempat menjumpai sebuah batu menyerupai seekor kuda sedang bertelungkup. Anehnya batu tersebut dapat bergerak dan berbunyi suara kuda dan berpindah tempat, membuat Lapatau (Raja Bone) sangat heran dan kaget sehingga raja Bone terpaksa tinggal di daerah itu dan memberi nama daerah itu Batu Kiki karena batu tesebut berbunyi kiki bagaikan suara kuda, kemudian diberi nama Bacukiki dan Lapatau membentuk suatu kerajaan.
Beberapa lama kemudian Lapatau tinggal di kerjaan Bacukiki, sempat mengawini seorang warga masyarakat disana. Tidak lama kemudian istrinya (permaisuri) melahirkan anak perempuan dan diberi nama Andi Tenri Uleng. Usia 16 tahun, A. Tenri Uleng berwajah sangat cantik, membuat panglima kerajaan/tobarani sangat terpesona dan mencintai Andi tenri Uleng. Begitu pula permaisuri juga sangat senang sama panglima karena wajah tampan dan sopan santun. Karena takdir Tuhan, musibah menimpa Andi Tenri Uleng. Ia diserang penyakit penyakit kusta, mengakibatkan masyarakat Bacukiki merasa khawatir dan gelisah terhadap penyakit A. Tenri Uleng yang dinilai dapat menyebar ke masyarakat.
Usaha para penghulu, adat tujuh dan masyarakat untuk mengobatinya tetapi tak kunjung sembuh malah makin parah. Maka keputusan adat tujuh menyingkirkan A. Tenri Uleng dari pusat Kerajaan Bacukiki atas usul raja dan permaisuri. Dan disayembarakan bahwa barang siapa yang dapat menyembuhkan A. Tenri Uleng, apabila laki-laki akan dikimpoikan, bila perempuan akan dijadikan saudara.
Dalam sayembara tersebut muncul beberapa peserta sayembara antara lain Sanrebo (Ahmad Patujuh) dari Cempae Kelurahan Watang Soreang dan tak ketinggalan Panglima Kerajaan/Tobarani meminta izin untuk ke Gunung Bawakaraeng mencari obat buat Andi Tenri Uleng. Ahmad Patujuh justru mengusulkan agar Andi Tenri Uleng dapat dibawa ke Cempae untuk diobati selama 40 hari 40 malam. Atas keputusan adat tujuh sebagai salah satu lembaga dalam struktur pemerintahan Kerjaan Bacukiki dan mendapat restu Raja dan permaisuri, A. Tenri Uleng dibawa ke Cempae Kelurahan Watang Soreang oleh Ahmad Patujuh dan dikawal pasukan kerajaan menuju ke Soreang.
Andi Tenri Uleng selama dalam pengasingan, pekerjaannya cuma menjaga padi yang sedang dijemur di depan rumah setiap pagi. Setiap hari Jumat jam 09.00, muncul seekor Kerbau Belang. Setiap kemunculannya, selalu menjilati sekujur tubuh A. Tenri Uleng. Sehabis dijilati, kerbau tersebut langsung menghilang, tiba-tiba muncul Ahmad Patujuh dan menanyakan kepada Andi Tenri Uleng atas apa yang barusan terjadi pada dirinya sehingga badannya nampak kemerah-merahan. Dijawab bahwa baru saja ada seekor kerbau belang yang menjilati sekujur tubuhnya, yang pada hakekatnya kerbau belang tersebut jelmaan Ahmad Patujuh sebagai kerbau belang untuk mengobati Andi Tenri Uleng.
Setiap kali Andi Tenri Uleng habis dijilati kerbau belang, Ahmad Patujuh membawanya ke laut untuk dimandikan dan diminumkan airnya. Anehnya air laut tersebut tidak asin, dan selama 40 hari 40 malam dilakukan hal seperti itu berangsur-angsur penyakitnya sembuh dan wajahnya makin bersinar, cantik dan bercahaya bagaikan sinar matahari.
Hingga pada suatu hari warga kerajaan Bacukiki dikagetkan dan gelisah melihat ada dua matahari yang terbit satu di timur satunya di barat hingga menimbulkan tanggapan akan terjadi kiamat karena tak mungkin ada dua matahari yang terbit. Maka raja menyuruh seorang pengawal kerajaan memeriksa terbitnya matahari disebelah barat. Setibanya di Cempae , ternyata bukan matahari yang terbit.
Tetapi wajah A. Tenri Uleng bersinar memancarkan cahaya bagaikan sinar matahari yang muncul dari dalam rumah tempat pengasingannya. Pada sosok wanita cantik itu, pengawal bertanya dimana sekarang A. Tenri Uleng, dijawab, saya yang bernama A. Tenri Uleng, anak raja yang diasingkan di Cempae Soreang. Ketika itu pengawal langsung bergegas meninggalkan tempat pengasingan dan melapor pada baginda raja, bahwa sinar matahari yang terbit itu adalah A. Tenri Uleng yang sudah sembuh, dan dialah yang bersinar bagai sinar matahari, wajahnya semakin cantik dan mempesona.
Lapatau, Raja Bacukiki didampingi permaisurinya memanggil adat tujuh dan pabbicara (Humas) kerajaan. Disepakati menjemput A. Tenri Uleng untuk dibawa kembali ke kerajaan Bacukiki. Sayangnya, dalam penjemputan A. Tenri Uleng tidak bersedia jika Ahmad Patujuh tak diikut sertakan sebagai wujud janji raja bacukiki dan permaisurinya untuk mengawinkan pada siapa pun orang yang mampu dan telah menyembuhkan penyakitnya.
Raja Bacukiki, Lapatau, merestui permintaan tersebut. Maka dilakukanlah penjemputan secara adat kerajaan. Di kerajaan disambut rasa gembira dan pesta kerajaan. Sementara acara penjemputan dan pesta adat, tiba-tiba muncul Panglima Kerajaan Bacukiki yang baru saja tiba dari Gunung Bawakaraeng membawa obat untuk A. Tenri Uleng. Panglima kaget melihat wajah A. Tenri Uleng sudah sembuh dan semakin cantik. Perasaannya kecewa karena obat yang dibawa dari gunung tersebut langsung dibuang, dilemparkan disusul tangisan meledak karena merasa usahanya gagal.
Padahal permaisuri tadinya senang jika panglima yang mengawini anaknya, sehingga terjadilah perdebatan antara raja dan permaisuri, Ahmad Patujuh dan Panglima kerajaan tersebut. Hasil rapat dan musyaearah menyepakati jalan tengah yang dianggap lebih adil berupaya menyelesaikan lewat pertarungan kerins dalam sarung. Tetapi A. Tenri uleng tidak menyetujui karena dinilai tak manusiawi, kemudian ia mendatangi Ahmad Patuju agar menolak ajakan tersebut, tetapi Ahmad Patujuh pasrah atas keputusan adat untuk diadu dalam satu sarung.
Pertarungan keris dalam satu satung segera dimulai. Sementara berlangsung pertarungan tiba-tiba pengawal panglima kerajaan datang memisahkan kedua belah pihak dengan tombak terhunus. Tak disengaja tombaknya menusuk mengenai perut panglima dan langsung membuka sarung dan membungkus mayat panglima, lalu menuju ke hadapan raja serta bersujud di depan raja.
Raja Bacukiki, Lapatau, menginstruksikan seluruh pengawal kerajaan dan adat tujuh segera mempersiapkan upacara pemakaman Panglima Perang Kerajaan dan mengundang seluruh masyarakatnya. Setelah selesai acara pemakaman, raja dan permaisurinya memanggil Ahmad Patujuh bersama A. Tenri Uleng dan menanyakan kepada Ahmad Patujuh, “Hai Ahmad, aga akkuragammu naweddingngi Mupasau lasanna anrimmu Tenri Uleng?”. Ahmad Patujuh kemudian menjawab, ‘Degaga akkuragakku Puang, engkami Seddi Tedong Buleng lellungngi anrikku Tenri Uleng, nalepe’i Siddi watakkale, wettunna Esso Juma ri ele’e, narekko purasi puang rilepe tedong bulengnge, utiwisi ucemmei ritasi’e sibawa kupenungengngi uae tasi’e, nakkomiro Puang akkuragakku nasau lasanna anrikku Andi Tenri Uleng”. Andi Tenri Uleng kemudian berkata “Tongeng-tongengngi ro nasengnge Ahmad Patujuh”.
Setelah wawancara Raja Bacukiki dan Hamad Patujuh, maka dijadwalkan waktu pelaksanaan pesta perkimpoian keduanya. Raja dan permaisuri menetapkan bahwa lokasi tempat pengobatan penyakit Andi Tenri Uleng diberi nama “Bujung Pattimpa Parakkuseng” artinya bujung adalah sumur, pattimpa adalah pembuka dan parakkuseng adalah jodoh. Karena berkat air sumur yang ada di laut yang dinikmati Andi Tenri Uleng, Raja Bacukiki, Lapatau, mengalokasikan di Soreang tempat penampungan pengobatan masyarakat yang terkena penyakit kulit dan diberi nama Rumah Sakit Kusta Lauleng.}
http://www.pareparekota.go.id/kominfo/berita-dan-informasi-news-and-information/wisata-alam/173-sumur-jodoh
2. Geddong’e
Geddongnge (Gedug Mesiu). Timbul beberapa pendapat tentang nama Geddongnge. Ada yang mengatakan bahwa Geddongnge adalah sebuah bangunan tempat menyimpan barang-barang seperti alat-alat perang dan hasil bumi penduduk. Sebagian lagi mengatakan bahwa bangunan tersbut adalah bank(tempat menyimpang uang).Geddongnge dibangun pada saman pemerintahan Lasalewangeng To Tenriruwa sekitar tahun 1718 M. Pada saat itu perekonomian lancar dan awal dicetuskannya pasukan bersenjata. Bahan baku bangunannya masih berasal dari batu gunung, pasir, dan telur.
Di Pulau Penyengat Tanjung Pinang, terdapat sebuah bangunan bercat kuning, berdinding tebal (kira-kira lebih dari 40 cm), memiliki kubah, berjendela kecil dan disetiap jendelanya berjeruji yang disebut Gedung Mesiu atau Gudang Mesiu.
Bangunan ini berguna untuk tempat penyimpanan obat bedil (senapan angin) pada masa itu, dan termasuk sebagai salah satu Benda Cagar Budaya.
Mungkin itulah sebabnya gedung ini memiliki dinding yang sangat tebal, tidak lain untuk melidungi masyarakat sekitarnya dari bahaya, seperti : kebakaran atau ledakan.
Gedung Mesiu tepatnya berada di daerah Bukit Kursi Pulau Penyengat Tanjung Pinang Propinsi Kepulauan Riau.
Oleh Pemerintah Daerah Tanjung Pinang, di depan Gedung Mesiu dibuat sebuah papan bertuliskan :
Pada masa Kerajaan Riau dahulu, bangunan yang berdinding tebal, memiliki kubah bertingkat, jendela kecil, dan berjeruji besi ini digunakan sebagai gudang tempat penyimpanan Mesiu (Obat Bedil)
Menurut omwiki, mesiu ini adalah bahan peladak berbentuk bubuk, terbuat dari campuran belerang, arang dan kalium nitrat yang membakar sangat cepat, berguna sebagai bahan pendorong pada senajata api atau kembang api.
https://dherdian.wordpress.com/gedung-mesiu/
3. BentengBenteng pertahanan yang dibuat pada masa pemeeintahan, Awal pelaksanaanya setelah diadakan musyawarahantara arung matoalatentilai’ dengan penduduk negeri mengenai rencena penyerangan belanda terhadap tosora. Pada abad ke-16 dan 17 terjadi persaingan antara Kerajaan Makassar (Gowa Tallo) dengan Kerajaan Bugis (Bone, Wajo dan Soppeng) yang membentuk aliansi tellumpoccoeuntuk membendung ekspansi Gowa. Aliansi ini kemudian pecah saat Wajo berpihak ke Gowa dengan alasan Bone dan Soppeng berpihak ke Belanda. Saat Gowa dikalahkan oleh armada gabungan Bone, Soppeng, VOC dan Buton, Arung Matowa Wajo pada saat itu, La Tenri Lai To Sengngeng tidak ingin menandatanganiPerjanjian Bungayya. Akibatnya pertempuran dilanjutkan dengan drama pengepungan Wajo, tepatnya Benteng Tosora selama 3 bulan oleh armada gabungan Bone, dibawah pimpinanArung Palakka
4. Mushola Tua Menge
Mushola Tua Menge dibangun sekitar tahun 1621 M. Setelah selesai mesjid Tua Tosora dibangun. Perjalanan sejarah Islam sejak masuknya hingga sekarang cukup banyak mencatat kenangan yang tak mudah dilupakan. Dalam sejarah masuknya Islam di Wajo sekitar tahin1610 M. Agama islam berkembang terus sampai sekarang. Mushola Tua yang dibangun pada tahun yang sama masa pembangunan mesjidnya Tua Tosora tercatat ada tujuh buah dengan bahan baku yang sama yaitu batu gunung, pasir, dan telur.
Besarnya animo masyarakat menerima agama Islam tanpa mengalami hambatan. Mereka menerima kebenaran Islam sesungguhnya. Bangunan Mushola selalu dimanfaatkan setiap waktu sholat, mereka berjamaah bersama.
Mushola Tua Menge ukuran bangunannya lebih kecil dari ukuran bangunan Mesjid Tua. Fisik bangunan Mushola Tua ini hanya berukuran 10m x 9,5m. Jarak antara Mesjid Tua dengan Mushola kurang lebih 100m dari arah Timur.
Makam Petta Pallase Lase’e (Raja Tanete VIII)
Situs ini merupakan salah satu objek wisata budaya/sejarah yang terletak di Desa Lalabata Kecamatan Tanete Rilau sekitar 25 km ke arah selatan ibukota Kabupaten Barru. Petta Pallase Lase’e adalah Raja Tanete ke VIII yang bergelar Raja To Sugie’ (Raja yang Kaya) dan merupakan raja Barru pertama yang memeluk agama islam. Bentuk makan ini seperti makam raja-raja Tallo, Gowa.
Petta pallase"lase"e Arung tanete ke V111, raja islam pertama di tanete 9 jumadil awal 1051 11-20 sep 1605.,beliau memimpin rakyat nya dengan damai dan tentram, karena beliau sebagai raja islam pertama di kerajaan tanete, yang dulunya kerajaan AGANG NIONJO.
Tidak jauh dari kompleks makam Petta Pallase’-lase’E terdapat masjid tua lailatul qaderi, merupakan masjid tertua di tanete sekaligus merupakan masjid tertua di kabupaten Barru. Di sebelah masjid tua lailatul qaderi terdapat mekam pajung tenri leleang, We Tenri Leleang merupakan datu di Luwu sekaligus arung di Tanete.
Pada masa pemerintahannya’ agama islam mulai masuk di kerajaan gowa dn pada saat itu pula raja tanete I memeluk agama islam.
Selain mekam raja Ranete ke-VIII, terdapat pula beberapa makam kuno lainya, kebeberapa makam tersebut diduga merupaan makam bangsawan Tanete lainnyaTidak jauh dari kompleks makam Petta Pallase’-lase’E terdapat masjid tua lailatul qaderi, merupakan masjid tertua di tanete sekaligus merupakan masjid tertua di kabupaten Barru. Di sebelah masjid tua lailatul qaderi terdapat mekam pajung tenri leleang, We Tenri Leleang merupakan datu di Luwu sekaligus arung di Tanete.
http://wiky261.blogspot.co.id/
5. Makam Lasalewangeng Tenriruwa
LA SALEWANGENG TO TENRIRUWA
Batu Nisan La Salewangeng To Tenriruwa
Arung Matoa Wajo ke 30
Sejak pemerintahan La Salewangeng, beliau bekerja keras untuk memperkuat negerinya ke dalam dengan berbagai cara yaitu memajukan perdagangan, pertanian, penangkapan ikan, peternakan hewan dan teristimewa memperkuat persenjataan dan kekuasaan pemerintahan pusat untuk sanggup melawan musuh dari dalam dan dari luar. Yang ditunjuk oleh La Salewangeng mengurus perdagangan Wajo ialah La Tenri Sessu To Timoe. Dialah yang mengumpul uang dari orang Wajo dan dipinjamkan kepada pedagang. Keuntungan yang diperoleh dibagi antara pedagang dengan kepentingan pemerintah Wajo.
Yang dapat diberi pinjaman hanyalah orang yang mempunyai jaminan. Pada umumnya keuntungan yang diperoleh dipergunakan untuk membeli senjata api dan mesiu. Untuk seluruh Wajo didirikan sebuah gudang senjata. Mesjid Raya Wajo dipindahkan, temboknya ditambal dengan kapur, atapnya diganti dengan atap kayu (ate seppu) dan didirikan sebuah menara.
Di tiap-tiap Limpo yaitu Betengpola, Talotenreng dan Tua, diangkat seorang Akkajengnnangeng (orang yang siderahi tugas mengurus dan mengawasi suatu pekerjaan). Di daerah-daerah bawahan Wajo tiap-tiap Desa diangkat seorang Akkajengnnangeng. Orang Wajo dan penduduk daerah bawahannya diwajibkan menunjuk pemimpin mereka. Waktu itulah permulaan terjadinya banyak kepala-kepala di Wajo. Pada saat itu ditanam padi baik sekali sehingga rakyat berkelebihan tanaman.
Pada waktu, para pedagang di perintahkan agar dalam urusan jual beli dan pinjam meminjam uang harus membuat surat perjanjian yang ditanda tangani oleh orang yang dapat dipercaya. Dan juga para pedagang yang akan berlayar ke luar negeri, diperintahkan bila dalam perjalanan pelayaran terjadi persengketaan secepatnya dilaporkan kepada nahkoda kapal yang bersangkutan untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Dan bila sudah tiba di tempat tujuan dan terjadi kesalah pahaman, kiranya melaporkan hal tersebut kepada pemerintah negeri bersangkutan untuk diselesaikan secara damai. Tidak boleh membawa peraturan baru masuk ke negeri orang lain. Wajo tidak boleh membicarakan perkara itu, karena adat persetujuan Wajo mengatakan
“KEGI TUO APIE MACAWE MABELA, KUTOITU RI PEDDEI” Artinya dimana api dinyalakan, maka disitu pula dipadamkan. Maksudnya dimana perkara itu terjadi disitu juga perkara itu dibicarakan dan diselesaikan oleh pemerintah setempat.
La Salewangeng jugalah yang memerintahkan penduduk negeri Wajo menggali sungai Toppaccedo’ masuk ke kampung Lece-lecenge Tosora. Selanjutnya memerintahkan membersihkan jalanan perahu masuk ke danau Seppange dan danau Latali Bolong, hingga orang Wajo mudah naik perahu ke Tosora untuk berpasar di sana.
Selama delapan belas tahun memegang pemerintahan, barulah beliau berhasil menjadikan Wajo sebagai negeri yang benar-benar kuat, baik dibidang persenjataan maupun dibidang perekonomian. Wajo sudah merasa cukup sanggup menghadapi Bone jika umpamanya negeri itu mau menyerang Wajo.
Dalam perjalanan hidup La Salewangeng menata dan memimpin penduduk negeri, senantiasa berkobar terus hingga usianya menjelang senja. Apa lagi kesehatannya sering terganggu beliau merasa tidak mampu lagi menghadapi peperangan yang mungkin akan timbul antara Wajo dengan Bone, maka atas permufakatan Arung Ennenge, beliau mengirim surat ke La Maddukeleng Arung Sengkang di tanah pasir, yang di bawah oleh Arung Ta’ yang bernama La Delle. Antara lain isi suratnya:
“Kembalilah ke tanah bugis, nanti Wajo minta ampunkan kamu kepada Raja Bone, dan bila mana Raja Bone tidak mau memanfaatkan dan menyerang dengan kekuataan senjata, maka Wajo bersedia dan sanggup menghadapi Bone, karena sekarang ini Wajo bersama daerah-daerah bawahannya sudah mempunyai banyak senjata api, seperti senapan dan meriam, kuangan dan makanannya pun sudah lebih dari cukup.”
La Maddukelleng memang sudah lama meninggalkan Wajo menuju Kalimantan bersama pengikut-pengikutnya. Beliau meninggalkan Sulawesi karena Raja Bone marah padanya berhubung banyaknya kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat terhadap Bone khususnya dan Tellumpoccoe umumnya.
La Salewangeng wafat dan dimakamkan di Wajo pada tahun 1736. Namanya tetap dikenang oleh orang Wajo. Ia digelar “Petta Lassoe ri Patujunna”. Beliau meninggalkan banyak fatwa dan nasehat-nasehat yang bernilai tinggi. Antara lain nasehatnya adalah:
*Makkedai Petta La Salewangeng To Tenriruwa:
Eppai tanranna tauwe namacca,
Sewwani – malempue namatette,
Madduwanna – makuraccai-i,
Metelluna – maradde’i rigau sitinajae,
Maeppana – makurang pau-pauwi ripadanna tau.
Artinya: Kata Petta La Salewangeng To Tenriruwa:
Empat tandanya orang pintar:
1. Jujur dan tegas,
2. Jarang ia marah,
3. Selalu berbuat pantas,
4. Kurang bicara terhadap orang lain.
http://maradekatowajoe.blogspot.co.id/la-salewangeng-to-tenriruwa.html
Makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah menjadi raja di Limpo atau Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun 1715 sampai 1736.
6. Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung
6. Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung
Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung. Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur kira-kira tahun 1498 sampai 1528.
La Tadampare bergelar Puangrimaggalatung, menjadi Arung Matowa Wajo setelah tiga kali menolak tawaran. Setelah La Pateddungi Batara Wajo III meninggal, orang Wajo bersepakat untuk mengangkatnya sebagai Arung Matowa, namun ditolak. Alasannya, beliau tidak ingin disebut berambisi pada jabatan. Hal itu terulang saat Arung Matowa II, dan III terpilih. Setelah AMW III La Tenri Umpu meninggal, orang Wajo kembali mendaulat La Tadampare. Akhirnya La Tadampare tidak kuasa menolak dan menganggap jabatan itu adalah kehendak Dewata.
Selama kurang lebih 30 tahun kepemimpinannya, Wajo mencapai zaman keemasannya. Wilayahnya luas, penduduknya banyak dan sejahtera. Hal itu disebabkan karena kearifannya dalam memimpin. Banyak literatur yang mencatat pesan-pesan beliau. Berikut ini adalah salah satu dari pesan-pesan beliau :
Makam Puangrimaggalatung |
Terjemahan Bebas
Berkata Puwang rimaggalatung. O Tonampe. Apabila ada perkara kau hadapi, jangan kau pertimbangkan saat ada salah satu pada dirimu. (Yaitu) Pertama, mengantuk. Kedua, terlalu kenyang. Ketiga, lapar. Keempat, sakit. Kelima, (terlalu) senang. Keenam, marah. Ketujuh, saat senja. Istirahatlah dulu dan pikirkan baik-baik. Nanti keesokan harinya baru melanjutkan perkara. Apabila ada salah satu pada dirimu saat memutus perkara maka akan merusak kelak keturunan dan hartamu. Apabila telah bersih pada dirimu dari hal-hal demikian, itulah yang disebut Tongeng Tellu. Adapun kebaikan Tongeng Tellu yaitu rakyat murah rezki. Adapun penguasa panjang umur. Tak menyerang negeri (lain) ia (jebol) taklukkan. Tak pergi berjudi tapi menang.
Pesan yang ingin disampaikan adalah agar kepada pengambil kebijakan/pemutus perkara, hendaknya berada pada kondisi sebaik mungkin. Agar pertimbangannya bisa lebih baik karena tidak terganggu hal-hal yang bersifat fisik. La Tadampare menekankan pentingnya pengambilan kebijakan/pemutusan perkara, tidak asal-asalan. Karena, jika keliru dalam mengambil kebijakan/memutus perkara, maka dapat merugikan harta benda dan keluarga yang bersangkutan. Bahkan hingga anak cucu kelak.
Pesan yang ingin disampaikan adalah agar kepada pengambil kebijakan/pemutus perkara, hendaknya berada pada kondisi sebaik mungkin. Agar pertimbangannya bisa lebih baik karena tidak terganggu hal-hal yang bersifat fisik. La Tadampare menekankan pentingnya pengambilan kebijakan/pemutusan perkara, tidak asal-asalan. Karena, jika keliru dalam mengambil kebijakan/memutus perkara, maka dapat merugikan harta benda dan keluarga yang bersangkutan. Bahkan hingga anak cucu kelak.
Makkedai Puwang rimaggalatung, O Tonampe. Narekko engka bicara muoloi aja mutimbangngi narekko engka bara' seuwana mengkaiko. Seuwani cakkarudduko, maduwanna mawesso senna'ko, matellunna malupu'ko, maeppana malasao, malimanna mariyoko, maennenna macaiko, mapitunna labuni essoe. Soroko riyolo' mulewu munawa-nawa madecengngi na bajapa muoloi bicarae. Naiya naengka bara seuwana mengkaiko aja murette'i bicarae. Napusolangi matu wija-wijammu lettu ri paddimunrimmu enrengnge ri waramparammu. Narekko mapaccinni ri iko Tonampe sikuwaero murette'i bicarae iyanaritu riaseng bicara tongeng tellu. Naiya decengna bicara tongengtellue masempo manengngi dalle'na toriwawota. Naiya arungnge malampe sunge'i tetteri wanuwa naparumpa. tellao boto napabeta.
http://www.diskusilepas.com/kearifan-la-tadampare-puangrimaggalatung_12.html
7. Makam La Tenrilai’ Tosengngeng
La Tenrilai’ Tosengngeng adalah Arung Matowa Wajo ke-23. Ia diangkat menjadi Arung Matowa setelah menggantikan Arung Matowa La Paremma Torewa Matinroe ri Passiringna kira-kira tahun 1651-1658.
La Tenrilai’ Tosengngeng memegang tampuk pemerintahan dari tahun 1658-1670. Beliaulah yang mendirikan Tosora menjadi Ibukota Kerajaan Wajo yaitu antara tahun1660-1670.
Peristiwa yang sangat penting semasa pemerintahan La Tenrilai Tosengngeng adalah peperangan yang timbul antara Gowa bersama sekutu-sekutunya disatu pihak dengan Bone bersama Belanda di lain pihak.
Penyebab kematian Arung Matowa La Tenrilai’ Tossengngeng karena kecelakaan, yaitu ketika beliau membakar sumbu meriamnya untuk ditembakkan kepada lawan, beliau lupa menutup tempat mesiunya, sehingga alat tersebut meledak dan mengena beliau, akhirnya tewas seketika.
Ada beberapa pendapat mengenai istilah wafatnya Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng. Ada yang mengatakan Arung Palaiyyengi Musu’na (Raja yang meninggalkan peperangannya) ada juga menggelarnya Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat mesiunya).
Setelah Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng wafat beliau digantikan oleh La Palili Tomalu Puangna Gella, saudara dari Ranreng Bettengpola
Makam Besse Idalatikka, seorang gadis cantik yang sangat To Palettei, beliau meneruskan perjuangan melawan Bone dan Belanda.
La Tenrilai’ Tosengngeng memegang tampuk pemerintahan dari tahun 1658-1670. Beliaulah yang mendirikan Tosora menjadi Ibukota Kerajaan Wajo yaitu antara tahun1660-1670.
Peristiwa yang sangat penting semasa pemerintahan La Tenrilai Tosengngeng adalah peperangan yang timbul antara Gowa bersama sekutu-sekutunya disatu pihak dengan Bone bersama Belanda di lain pihak.
Penyebab kematian Arung Matowa La Tenrilai’ Tossengngeng karena kecelakaan, yaitu ketika beliau membakar sumbu meriamnya untuk ditembakkan kepada lawan, beliau lupa menutup tempat mesiunya, sehingga alat tersebut meledak dan mengena beliau, akhirnya tewas seketika.
Ada beberapa pendapat mengenai istilah wafatnya Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng. Ada yang mengatakan Arung Palaiyyengi Musu’na (Raja yang meninggalkan peperangannya) ada juga menggelarnya Djammenga ri alo-laona (yang mati di tempat mesiunya).
Setelah Arung Matowa La Tenrilai’ Tosengngeng wafat beliau digantikan oleh La Palili Tomalu Puangna Gella, saudara dari Ranreng Bettengpola
Makam Besse Idalatikka, seorang gadis cantik yang sangat To Palettei, beliau meneruskan perjuangan melawan Bone dan Belanda.
Makam Arung Matoa Wajo
Di Tosora beberapa makam arung matoa diantaranya: Makam Lataddampare’ Puangrimaggalatung. Disebut dalam lontara bahwa Lataddampare’ Puangrimaggalatung adalah seorang ahli pikir dijamannya, dia juga seorang Negarawan, ahli strategi perang, ahli dibidang pertanian dan ahli hukum.kejujurannya mejalankan pemerintahan terkenal baik di dalam maupun di luar negeri. Beliau adalah arung matoa wajo ke 4 yang berhasil menjadikan wajo sebagai sebuah kerajaan yang besar dan makmur kira-kira tahun 1498 sampai 1528. Makam seanjutnya adalah Lamungkace Toaddamang, merupakan arung matoa wajo ke 11 putra dari La Cella Ulu Paddanreng Talotenreng, kira-kira 1567 sampai 1607 selanjunya makam Lasalewangeng Tenriruwa beliau merupakan arung matoa Wajo ke 30. Beliau pernah menjadi raja di Limpo atau Negeri Kampiri (arung Kampiri). Lasalewangeng memperkuat persenjataan Wajo dan memprsiapkan peperangan terhadap Bone dan Belanda kira-kira tahun 1715 sampai 1736. Selanjutnya makam Latenrilai’ Tosenggeng, bliau merupakan arung matoa Wajo yang ke 23. Beliau memegang tampuk pemerintahan tari tahn 1658 smpai 1670, beliau pulalah yang menditikan Tosora menjadi ibu Kota kerajaan Wajo.
Sejarah masuknya Islam di Sulawesi Selatan hampir pasti selalu dikaitkan dengan datangnya tiga ulama dari Minangkabau; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro dan Datuk ri Patimang. Ini dapat dimaklumi karena titik pijaknya adalah ketika Islam secara resmi diakui sebagai agama negara oleh kerajaan Gowa. Kalau ini dijadikan dasar pijakan, maka Islam datang ke Sulawesi Selatan pada tahun 1605 setelah kedatangan tiga orang ulama tersebut.
Tetapi kalau titik pijaknya adalah kedatangan para sayyid atau cucu turunan dari nabi maka jejak-jejak keislaman di Sulawesi Selatan sudah ada jauh sebelum itu yaitu pada tahun 1320 dengan kedatangan sayyid pertama di Sulawesi Selatan yakni Sayyid Jamaluddin al-Akbar Al-Husaini.
Siapa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini? Dia adalah cucu turunan nabi atau ahl al-bayt yang pertama kali datang ke Sulawesi Selatan. Dia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal dengan wali songo yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Seperti dijelaskan oleh salah seorang ulama yang tergabung dalam Rabithatul Ulama (RU), cikal bakal NU di Sulawesi Selatan, KH. S. Jamaluddin Assagaf dalam bukunya, Kafaah dalam Perkawinan dan Dimensi Masyarakat Sulsel bahwa Jamaluddin al-Akbar al-Husaini datang dari Aceh atas undangan raja Majapahit, Prabu Wijaya. Setelah menghadap Prabu Wijaya, ia beserta rombongannya sebanyak 15 orang kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sulawesi Selatan, tepatnya di Tosora kabupaten Wajo melalui pantai Bojo Nepo kabupaten Barru. Kedatangan Jamaluddin al-Husaini di Tosora Wajo diperkirakan terjadi pada tahun 1320. Tahun ini kemudian dianggap sebagai awal kedatangan Islam di Sulawesi Selatan.
Kiai Jamaluddin lalu mengutip keterangan dari kitab Hadiqat al-Azhar yang ditulis Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fattany, mufti kerajaan Fathani (Malaysia) bahwa dari isi daftar yang diperoleh dari Sayyid Abd. Rahman al-Qadri, Sultan Pontianak dinyatakan bahwa raja di negeri Bugis yang pertama-tama masuk Islam bernama La Maddusila, raja ke 40 yang memerintah pada tahun 800 H/1337 M. Sayangnya tidak dijelaskan di daerah Bugis mana dia memerintah dan siapa yang mengislamkan. Namun penulis kitab tersebut menduga bahwa tidaklah mustahil bila yang mengislamkan raja yang dimaksud adalah Sayyid Jamaluddin al-Husaini. Mengingat kedatangan ulama tersebut di daerah Bugis persis dengan masa pemerintahan raja itu. (KH. S. Jamaluddin Assagaf, tt: 26).
Keterangan serupa juga diberikan oleh Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bahwa sebelum para wali songo yang dipimpin oleh Sunan Ampel menduduki Majapahit, Sayyid Jamaluddin al-Husaini yang mula-mula tinggal di daerah Cepu Bojonegoro telah lebih dulu masuk ke ibukota Majapahit dan kemudian mendapat tanah perdikan. Dengan kemampuan yang tinggi dalam mengorganisasikan pertanian, Jamaluddin al-Husaini berhasil menolong banyak orang Majapahit yang akhirnya masuk Islam. Dari situ ia naik ke gunung Kawi. Kemudian melanjutkan perjalanannya ke Sengkang, ibukota kabupaten Wajo saat ini (Abdurrahman Wahid, 1998: 161).
Lalu mengapa nama Jamaluddin al-Husaini tak pernah ditemukan jejaknya dalam sejarah. Padahal perannya cukup penting dalam proses islamisasi di Sulawesi Selatan. Bahkan sebelum para wali songo menyebarkan Islam di Jawa, Jamaluddin al-Husaini telah memulainya dan konon wali songo sempat berguru kepadanya. Nah, ketika Datuk ri Bandang hendak memenuhi undangan raja Gowa untuk menyebarkan Islam di kerajaannya, terlebih dahulu meminta pertimbangan gurunya Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri. Sang guru tentu saja gembira mengingat agama Islam telah di bawa lebih dahulu oleh kakeknya, Sayyid Jamaluddin al-Husaini pada tahun 1320 M di daerah Bugis Sulawesi Selatan (KH. Jamaluddin, op. cit: 31).
Boleh jadi karena Jamaluddin al-Husaini tidak pernah bersentuhan langsung dengan kerajaan Gowa-Tallo yang diketahui merupakan salah satu kerajaan yang terbesar saat itu di Sulawesi Selatan sehingga proses islamisasi di Sulawesi Selatan tidak dikaitkan dengan dirinya. Yang jelas, sejarah Islamisasi di Sulawesi Selatan sesungguhnya tidaklah tunggal.
Yang menarik kemudian, dalam beberapa versi “resmi” tentang masuknya Islam di kerajaan Gowa-Tallo disebutkan bahwa sebelum Datuk ri Bandang tiba di Tallo, raja Tallo Sultan Abdullah diberitakan telah memeluk Islam dan yang mengislamkan adalah nabi sendiri. Konon nabi menampakkan dirinya dan menemui Sultan Abdullah. Nabi lalu menuliskan kalimat syahadatain lalu meminta kepada sang raja untuk memperlihatkan kepada tamunya yang datang dari jauh. Setelah tamunya datang ke Tallo, Sultan pun menemui tamu itu yang tak lain adalah Datuk ri Bandang. Dia lalu memperlihatkan tulisan yang ada di tangannya kepada tamunya. Tamu itu pun heran. Ternyata, Islam sudah ada di sini sebelum kami datang, kata sang tamu. Lalu raja mengisahkan hal ihwal pertemuannya dengan nabi. Karena itu, ada ungkapan yang berbunyi mangkasaraki nabbiya. Ungkapan tersebut menyatakan bahwa nabi telah menampakkan dirinya di Makassar. Dan asal-usul dinamakannya daerah ini dengan Makassar besar kemungkinan dari ungkapan tersebut. Sayangnya oleh beberapa sejarawan seperti J. Noorduyn yang menulis tentang Islamisasi di Makassar, cerita ini dianggap dongeng dan harus berhati-hati mengutipnya (Noorduyn, 1972: 31).
Ini kemudian menjadi menarik karena bukan sekedar perbedaan pendapat mengenai sejarah islamisasi di Nusantara atau Sulawesi secara khusus. Tapi bagaimana akar polarisasi keberagamaan sampai pada nalar agama, itu bisa dilacak dari proses islamisasi itu. Misalnya, ada perbedaan model dakwah yang dikembangkan oleh Jamaluddin al-Husaini dengan Datuk ri Bandang dkk. Ketika tiba di Tosora Wajo, dia dan para pengikutnya justru tidak mendakwahkan Islam. Sayyid Jamaluddin justru mengadakan pencak silat secara tertutup dengan para pengikutnya. Masyarakat sekitar pun ingin mengetahui pertemuan apa gerangan yang diadakan tiap sore itu. Akhirnya tersiarlah kabar bahwa yang dilakukan tamu-tamu itu adalah permainan langka yang dalam bahasa Bugis berarti suatu permainan gerakan yang bisa menjadi pembelaan diri bila mendapatkan serangan musuh. Karena yang memainkan permainan langka itu orang Arab (keturunan Arab) sehingga masyarakat setempat menamainya dengan langka arab.
Masyarakat pun kemudian memohon menjadi anggota agar dapat ikut dalam permainan langka itu. Karena permainan latihan berlanjut hingga malam hari, selepas magrib, Sayyid Jamaluddin dan rombongannya shalat. Masyarakat setempat yang ikut latihan juga turun shalat meskipun sekedar sebagai latihan. Meskipun pada akhirnya peserta latihan itu banyak yang mengucapkan syahadatain.
http://nurfaika.blogspot.co.id/jejak-sejarah-wajo.html
8. Makam Besse Idalatikka
Ramah dan sopan. Konon dia merupakan gadis tercantik di Kerajaan Wajo pada zamannya. Menurut cerita makam besse idalatikka dibuat dengan memakai kayu di impor dari Malaysia dan diukir di Kalimantan. Selain itu Makam Besse Idalatikka memang sudah di pesan sebelum 2 bulan kematiannya.
9. Saoraja Mallangga
WAJO merupakan salah satu daerah yang pernah dipimpinan oleh kerajaan. Berbagai tradisi kerajaan pun masih dipertahankan hingga kini, salah satunya adalah pencucian benda pusakapeninggalan kerajaan.
Benda pusaka peninggalan kerajaan tersebut disimpan di Saoraja atau rumah raja (istana). Salah satu Saoraja yang dijadikan museum d kabupaten berjuluk Bumi Lamaddukelleng ini, yakni Saoraja Mallangga museum simettengpola.
Keberadaan Saoraja ini menjadi bukti sejarah kerajaan Wajo. Tidak sulit untuk menemukan museum ini. Terletak di Jl Ahmad Yani Kota Sengkang Kabupaten Wajo.
Arsitektur Saoraja Malangga cukup unik, bangunan berlantai dua ini merupakan perpaduan bangunan rumah khas bugis atau rumah panggung dengan bangunan khas Belanda.
Saoraja ini dibangun sekitar tahun 1930, pada era kerajaan Ranreng Bettengpola ke-26, Datu Makkaraka yang juga dikenal sebagai ahli lontara.
Pembangunannya membutuhkan waktu sekitar 2 tahun lebih. Sebagai bangunan peninggalan sejarah, Saoraja Mallangga kemudian diusul menjadi museum pada tahun 1993, dan diresmikan oleh Gubernur Sulsel, HM Amin Syam sebagai museum pada tahun 2004.
Keunikan arsitektur bangunan ini menjadi daya tarik bagi pengunjung, terutama bagi para pendatang yang baru berkunjung ke kota santri.
Ketika FAJAR bertandang ke Museum ini, tanpak pekarangan museum ini cukup asri dan bersih, dengan balutan cat berwarna coklat, saoraja ini menggunakan lantai dan dinding yang terbuat dari pilihan.
Staf Bidang Kebudayaan Disporabudpar Kabupaten Wajo, Aldi M.P Badja mengatakan dalam bukunya Wajo dalam perspektif arsitektur, bentuk Saoraja di Kabupaten Wajo umumnya tidak seperti bangunan Saoraja yang ada di daerah lain. Bangunan ini kata dia memiliki filosofi yang menggambarkan kedekatan seorang raja dengan rakyatnya.
Hal itu katanya dibuktikan dengan tidak diperkenankannya ada pagar pembatas bangunan ini, tidak boleh menampilkan kemegahan atau terlalu besar, dan tidak boleh tinggi serta pintu harus selalu terbuka lebar.
"Maknanya, rumah raja ini selalu terbuka untuk siapa saja.
Bentuk bangunannya pun secara umum masih dipertahankan seperti pada awal didirikannya, hanya bagian atapnya yang telah 7 kali diganti,"
Saat ini, Saoraja tersebut di huni oleh salah seorang putra Datu Makkaraka, yakni H Datu Sangkuru,79 yang bergelar Ranreng Bettengpola ke-27 bersama beberapa orang anaknya.
Salah seorang putri Datu Sangkuru yang juga staf di Disporabudpar Wajo, Andi Cidda Minasa mengatakan, alasan awal Saoraja ini dijadikan museum karena khawatir peninggalan sejarah arung bettengpola musnah, sehingga Saoraja ini dijadikan museum untuk melestarikan barang-barang peninggalan kerajaan terdahulu.
Kini di Museum ini sering pula dimanfaatkan sebagai tempat untuk pagelaran seni tradisional Wajo, seperti Massure yaitu seni yang bercerita dalam bahasa bugis lontara dan diiringi musik tradisional.
Berbagai barang-barang peninggalan Arung Bettengpola yang dipajang di museum ini, seperti peralatan upacara adat, peralatan dapur, keramik antik, Serta berbagai jenis keris dan tombak.
10. Makam La Maddukkelleng
La Maddukkelleng adalah putera dari arung peneki La Mataesso To’ Ma’dettia dan We Tenriangka Arung Singkang, saudara Arung Matowa La salewengeng To Tenrirua.Komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukelleng yang terletak sekitar 200-an meter arah selatan Lapangan Merdeka di Kota Sengkang, ibukota Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, sekaligus merupakan lokasi pusara Raja Kutai Kertanegara Ing Martadipura Ke-14, Sultan Adji Muhammad Idris.Di dalam komplek makam yang baru saja mengalami pemugaran atas bantuan Pemerintah Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), Provinsi Kalimantan Timur tersebut, keseluruhan terdapat lima makam selain makam Arung Siengkang Lamaddukkelleng yang ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres No.109/TK/1998 tanggal 6 Nopember 1998.
Bentuk nisan kelima makam tersebut berbeda satu dengan lainnya. Nisan Lamaddukelleng yang wafat tahun 1765 hanya berupa bongkahan batu yang digeletakkan di atas makam. Sedangkan makam Sultan Adji Muhammad Idris yang berdinding batu ditinggikan, nisannya menyerupai kelopak daun berukir.
Makam La Tombong To Massekutta yang diperkirakan wafat tahun 1762, salah seorang putera Lamaddukkelleng, batu nisannya dibentuk menyerupai hulu keris (badik) berukir. Nisan dua makam lainnya yang juga tebuat dari batu alam, satu berbentuk perisai, dan satunya segi empat.
Dari Komplek Makam Lamaddukkelleng yang telah berlantai marmer ini kita dapat memandang vieuw indah pusat Kota Sengkang dengan Masjid Agung Ummul Qura yang menaranya dibangun berada di areal Lapangan Merdeka, dipisah jalur jalan poros menuju ke arah Kabupaten Soppeng.
Berada persis di tepi jalur utama Kota Sengkang, sepanjang waktu lingkungan komplek makam Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng tak pernah sepi. Apalagi hanya sekitar 25 meter di seberang jalan, terletak sejumlah kantor dinas dalam lingkup Pemkab Wajo. Sedangkan di bagian belakang serta sisi kiri-kanan komplek diapit bangunan perkantoran dan perumahan penduduk.
Pemugaran makam Lamaddukkelleng yang menggunakan konstruksi atap tradisional Bugis tersebut, tampak menambah menawan kawasan pusat Kota Sengkang yang beberapa kali berturut dianugerahi penghargaan Piala Adipura untuk kategori Kota Kecil. Kota Sengkang sendiri dikenal dengan julukan sebagai Kota Sutera, lantaran wilayah di pesisir Danau Tempe inilah pusatnya pertenunan sarung sutera di Provinsi Sulawesi Selatan.
Dalam riwayat perjuangan Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, sangat jelas paparan dengan bukti kesejarahan yang kuat bahwa anak dari pasangan Mata Esso Lamadettia Arung Peneki (ayah) dan We Tenri Ampa (ibu) ini kawin dengan seorang puteri bangsawan Kutai. Lamaddukkelleng diperkirakan sudah menjelajah di wilayah Pasir, Kutai tahun 1714.
Mungkin itulah sebabnya Lamaddukelleng yang pasukan armada lautnya sangat ditakuti pihak Belanda pada abad XVII di perairan Indonesia Timur, perairan Filipina dan Selat Malaka, juga dapat diangkat sebagai Sultan Pasir alias Arung Pasere. Memerintah selama sekitar 10 tahun (1726 – 1736), sebelum ia kembali menjadi Arung Wajo (Raja Wajo) di kampung halamannnya (kini wilayah Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan) dari tahun 1736 – 1740.
Sultan Adji Muhammad Idris yang memerintah sebagai Sultan Kutai tahun 1732 – 1739 merupakan anak mantu, lantaran mempersunting salah seorang anak, puteri dari Lamaddukkelleng.
Ketika mertuanya, Lamaddukkelleng terdesak oleh serangan Belanda saat menjadi Arung Wajo, Sultan Adji Muhammad Idris meninggalkan tahtanya di Kutai datang ke Wajo bersama pasukannya untuk membantu perlawanan terhadap kolonialis Belanda. Diiperkirakan pada awal tahun 1739.
Belum ditemukan data yang pasti apa penyebab Sultan Adji Muhammad Idris wafat. Namun sejarawan Unhas, Prof.Dr.H.A.Zainal Abidin Farid (alm) dalam bukunya ‘Kiat-kiat Kepahlawanan La Maddukkelleng Arung Matoa Wajo dalam Usaha Mengusir Orang-orang Belanda dari Makassar dalam peperangan melawan Belanda di Makassar’’ terbitan Pemkab Wajo (1994), memperkirakan Sultan terluka dalam suatu perang ketika dilakukan penyerangan terhadap Belanda di Makassar, lalu dibawa kembali ke Wajo, kemudian wafat serta dimakamkan di kampung halaman mertuanya.
Almarhum Sultan Adji Muhammad Idris yang kemudian tercatat dalam catatan lama di Sulawesi Selatan dengan gelar Darise Daenna Parasi Petta Kutai Petta Matinro ri Kawanne. Ada juga catatan yang menyebut Titian Aji dikaitkan dengan wafatnya Sultan Adji Muhammad Idris. Apakah nama itu merupakan sebutan lama yang menjadi lokasi tempat pemakaman yang kini menjadi komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng di Kota Sengkang atau lokasi dimana Sultan wafat ketika melakukan perlawanan terhadap tentara Belanda, masih dibutuhkan penelusuran data yang pasti.
Jika diperhatikan dari bentuk kelima makam yang ada di komplek pemakaman Pahlawan Nasional Lamaddukkelleng, maka boleh jadi makam Raja Kutai Sultan Adji Muhammad Idris yang pertama dikebumikan di lokasi tersebut. Tak hanya dilihat dari deretan makam Sultan yang letaknya paling utara, tapi juga dari bentuk makam yang terlihat dibuat lebih istimewa dari bentuk makam lainnya. Hal itu boleh terjadi, dengan asumsi, ketika Sultan Adji Muhammad Idris dimakamkan, sang mertua yang berkuasa sebagai Arung (Raja) Wajo, Lamaddukkelleng masih hidup.
La Maddukkelleng adalah seorang kesatria dari Wajo, Sulawesi Selatan dan pahlawan nasional Indionesia.
Ia lahir di Wajo, Sulawesi Selatan pada tahun 1700. Pada masa kecil, La Maddukkelleng hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidakadilan penyelenggaraan acara tersebut, dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian.
Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut.
La Maddukkelleng menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone.
La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
Pemerintahan La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo berakhir ketika banyak anggota pasukannya telah jenuh berperang. Hal ini melemahkan La Maddukkelleng, dan akhirnya ia mengundurkan diri sebagai Arung Matowa Wajo.
La Maddukkelleng meninggal di Sulawesi Selatanpada tahun 1765, dimakamkan di Sengkang. Pada tanggal 6 November 1998 Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/1998 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/La-Madukelleng-pahlawan-nasional-dari-Wajo-Sulsel.htmlIa lahir di Wajo, Sulawesi Selatan pada tahun 1700. Pada masa kecil, La Maddukkelleng hidup di lingkungan istana (Arung Matowa Wajo) Wajo. Menginjak masa remaja ia diajak oleh pamannya mengikuti acara adu (sambung) ayam di kerajaan tetangganya Bone. Namun pada waktu itu terjadi ketidakadilan penyelenggaraan acara tersebut, dimana orang Wajo merasa dipihak yang teraniaya, La Maddukkelleng tidak menerima hal tersebut dan terjadilah perkelahian.
Ia lalu kembali ke Wajo dalam pengejaran orang Bone, lalu lewat Dewan Ade Pitue, ia memohon izin untuk merantau mencari ilmu. Dengan berbekal Tiga Ujung ia berhasil di negeri Pasir (Kalimantan) sampai ke Malaysia, dan merajai Selat Makassar, hingga Belanda menjulukinya dengan Bajak Laut.
La Maddukkelleng menikah dengan puteri Raja Pasir, dan salah seorang puterinya kawin dengan Raja Kutai. Dia bersama pengikutnya terus menerus melawan Belanda. Setelah sepuluh tahun La Maddukkelleng memerintah Pasir sebagai Sultan Pasir, datanglah utusan dari Arung Matowa Wajo La Salewangeng yang bernama La Dalle Arung Taa menghadap Sultan Pasir dengan membawa surat yang isinya mengajak kembali, karena Wajo dalam ancaman Bone.
La Maddukkelleng akhirnya kembali lagi ke Tanah Wajo dan melalui suatu mufakat Arung Ennengnge (Dewan Adat), beliau diangkat sebagai Arung Matowa Wajo XXXIV. Dalam pemerintahannya, tercatat berhasil menciptakan strategi pemerintahan yang cemerlang yang terus menerus melawan dominasi Belanda dan membebaskan Wajo dari penjajahan diktean Kerajaan Bone, juga keberhasilan memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Wajo.
Pemerintahan La Maddukkelleng sebagai Arung Matowa Wajo berakhir ketika banyak anggota pasukannya telah jenuh berperang. Hal ini melemahkan La Maddukkelleng, dan akhirnya ia mengundurkan diri sebagai Arung Matowa Wajo.
La Maddukkelleng meninggal di Sulawesi Selatanpada tahun 1765, dimakamkan di Sengkang. Pada tanggal 6 November 1998 Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan SK Presiden RI No. 109/TK/1998 menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya.
11. Goa Nippon
Keberadaan Goa Nippon merupakan bukti sejarah peninggalan tentara Jepang pada perang dunia II, ada goa yang berbentuk huruf “L, I, U” dan lainnya. Bagi pengunjung yang ingin berimajinasi dan bernostalgia untuk mengenang masa lampau. Di lokasi terdapat berbagai benda khas peninggalan zaman Jepang. Dipandu oleh petugas yang akan menjelaskan goa sejarah ini sehingga pengunjung memiliki pengalaman dan pengetahuan baru tentang zaman pendudukan Jepang di Kabupaten Wajo
http://wiyonggoputih.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-wajo.html
Batu Lakumba
Batu Lakumba adalah batu yang dipercaya oleh masyarakat Dusun Mangkaluku yang pada zaman dahulu, ada satu keluarga yang hidup di hutan dekat sungai. Terdiri dari seorang ibu dan dua orang anak.
Pada suatu hari, sang ibu menyuruh anak sulungnya untuk memasak sayuran untuk dijadikan makanan pada saat itu. Sang ibu menyuruh anak sulungnya untuk memasak sayuran yang kenetulan nama sayuran tersebut mirip dengan nama anak bungsunya. Kemudian, pergilah si sulung untuk memasak sayuran. Tapi, si sulung sangat bingung, ia mengira bahwa ia disuruh oleh ibunya untuk memasak adiknya. Untuk melaksanakan perintah ibuya, iapun memasak adiknya untuk dijadikan makanan. Namun sang ibu mengetahui tingkah si sulung dan ia sangat marah. Kemudian sang ibu memburu anak sulungnya, namun karena takut si sulung pun berlari, sampai akhirnya ia melihat batu dan iapun memutuskan untuk bersembunyi di batu tersebut. Akan tetapi, pada saat si sulung masuk kedalam batu, tiba-tiba batu tersebut tertutup rapat dan iapun terkurung di dalamya.
Dan sampai sekarang, masyarakat Dusun Mangkaluku meyakini kebenaran cerita tersebut.
Sebagaimana yang diungkapkan bahwa beberapa nama pada masa Kerajaan Wajo yang berjasa dalam mengantar Tana Wajo menuju kepada kebesaran dan kejayaan antara lain :
- LATADAMPARE PUANGRIMAGGALATUNG
- PETTA LATIRINGENG TO TABA ARUNG SIMETTENGPOLA
- LAMUNGKACE TOADDAMANG
- LATENRILAI TOSENGNGENG
- LASANGKURU PATAU
- LASALEWANGENG TO TENRI RUA
- LAMADDUKKELLENG DAENG SIMPUANG, ARUNG SINGKANG (Pahlawan Nasional)
- LAFARIWUSI TOMADDUALENG
Komentar
Posting Komentar