lakon tentang Punakawan Togog Menjadi Raja
Togog Menjadi Raja
Sepeninggal para Pendhawa yang terusir ke hutan Trikbasara, para punakawan kemudian saling menggantikan menjadi raja di Amartapura, karena para Kurawa sendiri sedang sibuk menjarah rayah seluruh kekayaan negara dan juga harta benda rakyatnya. Suasana negara mirip “ketoprak humor” yang pernah ditayangkan di tipi-tipi jaman dulu. Bagaimana tidak? Gareng yang selama ini terbiasa hidup susah, setelah mendapat kesempatan menjadi raja, yang kemudian perilakunya menjadi “agak aneh”. Maunya melakukan penghematan anggaran, namun pada akhirnya warungnya malah ikut terjual.
Sedang ayahnya sendiri, eyang Semar Badranaya yang mencoba meredakan suasana negara agar tidak terjadi perang Bharatayuda malah diturunkan bawahannya sendiri, karena dianggap plin-plan. Mengganti aturan seenaknya sendiri. Karena pada dasarnya, eyang Semar sudah tua, jadi sering ketiduran. Belum lagi kemana-mana harus sering dituntun karena penglihatannya sudah kabur, sehingga kalau jalan sering nabrak-nabrak bahkan sampai nyebur got depan istana. Karena penglihatannya yang kabur itu sehingga bila ada surat-surat penting harus dibacakan bawahannya. Malah kadang-kadang untuk tanda tangan pun diwakili para bawahannya. Oleh karena itu jalannya pemerintahan mirip ketoprak humor, sering menjadi tertawaan para pejabat dan punggawa negara asing. Sehingga pada suatu hari, ketika akan menyelesaikan masalah penting kenegaraan malah dibuang ke keranjang sampah oleh para bawahannya.
Selanjutnya, Bagong yang iri dengan saudara tuanya, Gareng, ikut serta menggantikan ayahnya menjadi raja selagi ada kesempatan. Namun, karena pada dasarnya Bagong tercipta dari bayangannya Semar, maka cara menjalankan roda pemerintahan tidak ada bedanya dengan bapaknya. Bagong yang aslinya suka makan dan senang di dapur untuk memasak bagi keluarganya ini sering diping-pong kiiri kanannya, terutama isterinya sendiri. Ketika sedang sibuk-sibuknya mencari dana untuk kitanan anaknya, isterinya malah mengusulkan untuk menjual rumah anaknya kepada tetangga sebelah dengan harga murah. Dengan alasan karena sedang butuh duwit dan kasihan dengan tetangga sebelah yang anaknya banyak.
Karena pendiriannya yang tidak tegas dan suka mendengarkan bujukan isterinya, maka pemerintahan yang dijalankan oleh prabu Bagong tidak berjalan lama. Pada saat pemilihan raja, Bagong dikalahkan oleh kakaknya sendiri, Petruk Kantong Bolong, yang dulu ikut membantu jalannya pemerintahan di masanya. Bagong menjadi jengkel dengan kakaknya, karena merasa kakaknya ini menggunting di lipatan. Sehingga bila bertemu dengan Prabu Petruk Kantong Bolong, Bagong langsung melengos. Bahkan untuk merayakan kenduri di rumah kakaknya pun Bagong tidak datang dengan alasan sedang tidak enak badan. Selain itu, karena matanya yang besar, sehingga kalau memandang orang sering dikira menantang.
Petruk Kantong Bolong yang berhasil melengserkan adiknya secara halus dari tampuk pimpinan, selanjutnya menggantikan menjadi pemimpin negara Amartapura. Petruk yang pada dasarnya paling cerdik dan kadang-kadang juga culas di antara para saudara-saudaranya menyatakan perang dengan para tikus-tikus sawah yang suka menghabiskan padi-padi warganya. Tidak hanya itu, para dewa pun sering dibuat puyeng jika bertemu dengan Prabu Petruk. Bagaimana tidak, bila mana salah tindakannya atau bahkan “salah prosedur”, jangan harap selamat. Mereka pasti akan segera “dinusa-kambangkan” oleh Prabu Petruk Kantong Bolong. Karena begitu giatnya dalam usahanya membasmi para tikus-tikus sawah ini, sehingga Prabu Petruk Kantong Bolong sampai lupa dengan dirinya sendiri. Pernah suatu ketika Prabu Petruk minta dicarikan durian, ketika dihidangkan yang dimakan malah bijinya bukan dagingnya. Dagingnya sendiri dibagikan kepada para bawahannya. Mereka yang melihat hanya bisa berdiam sendiri, tidak berani menegur, takut dikira salah prosedur malah repot sendiri….
Petruk yang berhasil membawa negeri Amartapura “lepas sejenak” dari cengkeraman para Kurawa dan membuat sawah warganya bebas dari para tikus ini berhasil memimpin dengan baik. Prabu Petruk memegang tampuk pimpinan paling lama di antara keluarganya. Selain karena kecerdikannya, juga memang penampilan Prabu Petruk Kantong Bolong yang berbadan tinggi dan berhidung panjang menjadi nilai tambah tersendiri Bilamana sedang menghadiri acara-acara resmi yang diliput para kru tipi dalam negeri, cara jalannya dirubah. Bila biasanya cara berjalannya seperti kerbau, malas-malasan seenaknya dirubah menjadi gagah. Begitu gagahnya sehingga sampai pernah menginjak kotoran sapi depan rumah, karena tidak melihat kebawah dulu. Namun karena kecerdikannya, cara bicaranya yang elegan dengan tutur kata yang halus bisa membuat orang-orang yang tidak suka dengan Petruk berbalik seratus delapan puluh derajat. Mereka berhasil dirangkul dan diajak bekerja sama dengan baik. Malah sekarang kekuasaannya menjadi lebih kuat daripada sebelumnya. Karena siapapun yang berani mengharu biru Prabu Petruk Kantong Bolong akan merasakan “nikmatnya” pukulan “pethel” sang baginda.
Setelah sampai pada akhir masa pemerintahan, Prabu Petruk Kantong Bolong menyatakan diri untuk mundur, karena beliau sudah rindu dengan desanya yang tenteram dan damai, tidak banyak masalah. Berbeda dengan perkotaan yang bising dan banyak permasalahan yang terjadi. Selain itu, juga dikarenakan rasa rindunya yang dalam ingin berkumpul dengan saudara-saudaranya yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Rasa kangen dengan kakaknya, Gareng yang begitu dicintainya, juga dengan Semar yang sudah mengharapkan kedatangannya sejak lama. Oleh karena itu, Petruk membuat sayembara kepada warganya untuk melakukan pemilihan raja berikutnya memimpin kerajaan Amartapura.
Sayembara Prabu Petruk Kantong Bolong itu sampai juga ke telinga Togog, yang masih kakak dari Semar. Togog yang memang sudah lama memimpikan untuk menjadi raja itu ingin juga menyalonkan diri menjadi raja Amartapura. Biarpun sekarang sudah menjadi lurah dan belum lama menjalaninya, namun berhasil Ketua RT terbaik versi majalah Antah Berantah. Walaupun jabatan itu pun karena usahanya mengemis-ngemis kepada para dewa melalui Semar, ya adiknya sendiri.
Secara kebetulan, dalam sayembara tersebut pesertanya hanya dua, yaitu Togog dan Mbilung berhadapan dengan Limbuk dan calon patihnya, Cangik. Untuk memenangkan sayembara, Togog mempercayakan tim suksesnya kepada Patih Sengkuni, yang sudah terbukti keampuhannya dalam hal menghacurkan kehidupan seseorang sampai pada kejatuhan suatu negara seperti Amartapura di jaman Pendhawa., sedangkan Limbuk meminta bantuan Maha Resi Durna sebagai pemandu soraknya.
Sayembara itu berlangsung dengan riuh dan ketat sekali, disaksikan warga Amartapura dan Astina, sekalian untuk bertaruh judi. Maha Resi Durna yang kebetulan juga lagi bokek akibat kalah main ikut pula bertaruh untuk kemenangan Togog, biar sawah ladangnya bisa diambil lagi dari tangan debt collector yang kemarin datang menyitanya. Sedangkan untuk membayar utang-utangnya yang sudah hampir tak tertagih, Maha Resi Durna nekad menjadi tim sukses Limbuk, itung-itung si Limbuk luas sawah dan ladangnya serta berkarung-karung cadangan emasnya setelah sukses nyinden di manca negara.
Togog yang sebenarnya tidak menguasai medan pemerintahan itu pun pasrah bongkokan kepada Maha Patih Sengkuni. Togog percaya seratus persen percaya akan prestasi yang sudah ditorehkan Sengkuni. Terbukti sudah berhasil “menghutankan” para Pandhawa dan menyita seluruh negara Amartapura ini. Selain itu, Togog sendiri sebelumnya merupakan pekatik dari para Kurawa, jadi untuk masalah dana tidak masalah, bisa dicarikan. Oleh Maha Patih Sengkuni, Togog disarankan untuk “turba” ke sampai ke pelosok-pelosok desa, bahasa inggrisnya “jajah desa milang kori”. Kalau perlu blusukan sampai ke kandang sapi dan kambing agar dekat dengan masyarakat. Sehingga pada saat sayembara nanti akan banyak warga yang mendukung Togog. Tidak lupa, Sengkuni juga menyewa para wartawan dalam dan luar negeri untuk meliput semua kegiatan Togog, sehingga citranya bisa membahana ke seluruh dunia.
Sedangkan Limbuk sendiri yang memang anak Lurah, kurang bisa mempromosikan dirinya sendiri. Hal ini beralasan, mengingat ketika ada tanggapan sinden dia tidak mau datang kalau tidak sesuai dengan tarif yang diharapkan. Lebih baik nongkrong di angkringan, sehingga tidak aneh kalau menjadi bahan gunjingan para tetangganya. Namun karena suara Limbuk itu termasuk merdu ketika lagi “mood” nyinden, maka tidak heran bila Limbuk termasuk artis papan atas di desanya.
Dalam sayembara tersebut, panitia menyaratkan kepada para peserta sayembara untuk bisa menunjukkan prestasi dan kemampuannya secara nyata di arena dengan cara adu panco Togog, walaupun sudah membawa tim pemandu sorak yang lengkap dan membawa banyak supporter, sebenarnya masih demam panggung dan minder bila dihadapkan dengan Limbuk. Mengingat badan Limbuk yang besar dan montok serta dampratannya yang mantab. Untunglah Sengkuni mendapatkan akal jitu sekali, sehingga hampir pasti nanti pertandingan panco akan bisa dimenangkan oleh Togog.
Para penonton pertandingan pun bersorak riuh melihat jagoan masing-masing bertanding panco di arena. Ada yang menyindir jagoan lawan sampai menghina secara langsung. Bahkan ada pula yang sampai ribut sendiri dan adu jotos antar penonton yang datang tampa mau membayar sama sekali itu. Oleh karena itu, tidak heran bila sayembara menjadi raja ini menjadi tontonan favorit sampai di manca negara. Bahkan dijadikan taruhan oleh bandar judi dengan nilai taruhan sampai jutaan kepeng.
Namun, akhirnya pertandingan panco ini berhasil dimenangkan oleh Togog, karena pada saat Limbuk akan memenangkan adu panco ini, dengan cepat Togog mengeluarkan tikus kecil yang dikantonginya, atas saran Sengkuni. Limbuk yang pada dasarnya takut dengan tikus, menjerit-jerit ketakutan, dia langsung kabur keluar panggung arena pertandingan sambil mendelik
Dari awal dukungan para penonton pun sudah diarahkan kepada Togog, karena kelihaian Sengkuni. Pada saat datang ke arena pertandingan para penonton sudah diberikan rokok gratis berikut minuman pembuka terkenal di negeri itu yaitu “chong yang”, merupakan minuman yang sangat memabukkan dan digemari para generasi muda di negeri itu sepeninggal para Pendhawa.
Selain itu, juga karena pandainya Sengkuni memainkan peran sebagai tim sukses, Togog dicitrakan sebagai calon raja yang ramah, merakyat dan merupakan wakil dari “kawula alit” atau rakyat jelata. Sehingga merupakan jawaban doa dari rakyat yang tertindas dan mewakili suara rakyat. Vox Populi Vox dei bahasa kuliahnya. Selain itu Togog juga ringan tangan, tidak segan-segan untuk turun kebawah, hal ini ditunjukkan dengan kebiasaan Togog untuk blusukan sampai ke kandang-kandang sapi dan kambing mengambil kotorannya untuk dijadikan pupuk organik dan dijual mahal.
Warga yang sedang mengalami “krisis kepercayaan”, pada dasarnya sudah bosan dengan kepemimpinan para panakawan pun akhirnya memilih Togog, dengan harapan bisa membawa angin segar dalam kehidupan bermasyarakan dan bisa membawa kemakmuran bagi warganya. Di mata para Kurawa sendiri, keberadaan si Togog diharapkan bisa menjadi perpanjangan tangan mereka. Selain Togog ini “gaul” juga gampang diperintah dengan dijanjikan harta, tahta dan wanita.
Berbeda dengan Limbuk yang memang merupakan anak lurah, biarpun sama-sama berprofesi utama sebagai babu. Tapi Limbuk susah diperintah dan diarahkan, kalau bukan karena keinginannya sendiri dia tidak mau melaksanakan perintah juragannya dengan baik. Kalau dimarahi, Limbuk bakal ngambek dan tidak mau makan berhari-hari kalau tidak enak. Ibunya sendiri pun hanya bisa mengelus dada suaminya, daripada ribut sama anaknya, Cangik lebih baik berangkat ke pasar menjual beras. Nanti akan ditukarkan dengan pizza dan hamburger kesukaan Limbuk. Padahal, bila lagi doyan makannya si Limbuk bisa satu keranjang.
Setelah menjadi raja, kelakuan Togog tidak jauh veda dengan Petruk. Disuguhi pizza mintanya semayi, padahal di kota raja yang jual semayi tidak ada. Lain hari minta disewakan becak pada acara peninjauan lapangan, dengan alasan becak tidak menimbulkan polusi udara dan merakyat. Padahal Togog lupa kalau becak sudah digusur dari kotaraja sejak jaman jadoel. Akhirnya daripada ribut, diambilkan becak dari kota sebelah dengan truk khusus. Setelah tiba di tempat acara, tukang becaknya mati kecapekan, karena jarak yang ditempuh 50 km dengan kecepatan lebih dari 60 kilo untuk mengejar pengawal di depannya.
Setelah menjadi raja, Mbilung diangkat secara resmi sebagai Maha Patih Amartapura. Mbilung yang dulu merupakan juragan kodok dan saingan ini dirangkul Togog, dengan harapan bisa memuluskan upayanya untuk menjadi raja di Amartapura. Dengan segenap dukungan dari teman-teman dan rekanan Mbilung, masalah dana bisa tercover dengan baik. Namun, ternyata “perkawinan” politik dan bisnis ini tidak bisa berjalan dengan baik. Dua orang ini kemana pun selalu berlawanan arah. Bila Prabu Togog sudah mengeluarkan persetujuannya giliran Mbilung ngambeg menolaknya Ibaratnya, Togog makan singkong Mbilung malah minta keju, tidak pernah akur. Sehingga, jalannya pemerintahan mirip OVJ, tidak jelas dan tidak ada kepastiannya.
Harga-harga di pasaran mulai merambat naik tanpa kejelasan kapan bisa turun, cabe di pasar dari 20 kepeng ganti harga menjadi 80 kepeng sekilo. Uang kepeng sendiri mengalami penurunan drastis dibandingan dengan uang benggol di pasaran dalam negeri dan internasional. Pedagangan mulai surut, karena sepinya permintaan pasar akibat penurunan nilai uang kepeng. Banyak kuli-kuli yang di-PHK karena sepinya penjualan, sementara itu pungli dan upeti semakin meraja-lela. Di lain pihak, Prabu Togog mencanangkan pertukaran warga dengan manca negara, dengan alasan untuk menyamakan persepsi dalam bernegara, dengan mengimpor jutaan penduduk manca negara menjadi buruh di Amartapura. Sementara jutaan kuli di dalam negeri sendiri terkena PHK dan laju perdagangan semakin surut.
Togog dan Mbilung tidak berani berhadapan langsung dengan prajurit manca negara, malah mengadu domba warga untuk memusuhi keluarga para Pandhawa. Sehingga, tidak lama keadaan negara tidak semakin baik malah semakin kacau. Masyarakat yang tadinya mengharapkan timbulnya satria piningit malah mendapatkan satria bergitar. Mengharapkan munculnya ratu adil malah yang muncul ratu dangdut.
Akhirnya, masyarakat hanya bisa mengharapkan kembalinya para Pandhawa dari hukuman mereka di hutan Trikbasara. Semoga perang Bharatayuda segera terjadi walaupun harus ditebus dengan banjir darah dan memakan korban jutaan jiwa. Namun tidak menjadi masalah, bilamana itu adalah syarat hilangnya angkara murka dan timbulnya para satriya utama yang bisa membawa amanah sebagai Kalifah Tuhan di dunia dan membawa negara dalam ketentraman dan kemuliaan negeri.
Cerita ini hanyalah fiktif belaka dan bersifat hiburan, jadi bilamana terjadi kesamaan nama, tempat dan kejadian hanyalah kebetulan belaka.
Tamat
Komentar
Posting Komentar