Paklieran Padat

Pakeliran Padat Gaya Surakarta

SOLO - Tiga dalang tampil bersama di tiga panggung yang berbeda dalam pergelaran wayang kulit di Kampus ISI, kemarin. Tiga dalang itu mengawali pergelaran merayakan Hari Wayang Dunia 2016, yang mengusung 36 dalang untuk tampil di empat panggung selama 40 jam. Selain wayang kulit semalam suntuk juga digelar wayang orang dari Sanggar Swargaloka di dalam gedung Teater Besar, dan wayang kolaborasi Cong Way Ndut di gedung teater kecil.
Halaman rektorat ISI menjadi panggung pembukaan perayaan, diisi penampilan Ki H Anom Suroto dengan lakon Bima Labuh lewat pakeliran padat satu setengah jam. Sementara di depan gedung teater besar tampil Ki Bagong Pujiono dari ISI, yang akan menggelar wayang Babad Nusantara dengan lakon Sumpah Palapa. Sedang Ki Joko Santoso (ISI) menyajikan lakon Bratayuda Jayabinangun selama 26 jam.
Sanggar Swargaloka yang tampil di dalam gedung teater besar menjadi tontonan yang berbeda semalam. Mengusung lakon Kidung Kunthi Labda Manohara, grup kesenian dari Jakarta itu berhasil menyedot perhatian penonton. Di panggung depan gedung rektorat, selepas diawali Ki H Anom Suroto, secara berturut-turut tampil enam dalang.
Keenamnya menyuguhkan pakeliran padat gaya Surakarta. Mereka adalah Ki Medhot Sudarsono dari Sragen dengan lakon Sesaji Raja Suya, Nyi Wulan Sri Anjangmas (Wonogiri, Sinta Patibrata), Ki Jungkung Darmoyo (Boyolali, Gajah Merapah), Ki Mochamad Irawan (DKI Jakarta, Gatutkaca Lair), Ki Untung Wiyono Sukarno (Sragen, Goro-goro) dan Ki Bagong Darmono (Klaten) denan lakon Pandawa Dhadhu.
Sementara di depan gedung teater besar sehabis Ki Bagong Pujiono hadir tujuh dalang menggelar pentas sampai Senin pukul 24.00.
Mereka terdiri atas empat dalang cilik dan dua dalang remaja serta dalang dewasa. Empat dalang cilik itu adalah Kanastren Nareswara Darmanasti (Solo) dengan lakon Srikandhi Mustokoweni, Diva Setyandra Ramadani (Karanganyar, Srikandhi Meguru Manah), dan Gibran Maheswara Javas Setyawan (Solo, Gatutkaca Jedhi).
Kemudian dua dalang remaja yaitu Adtya Saputra (Bengkalis, Anoman Duta) dan Fakih Nugroho dari Karanganyar mengusung lakon Gatutkaca Jedhi, sementara dalang dewasa Ki Ditya Aditya dari Pekalongan menampilkan wayang golek cepak dengan lakon Anoman Duta. Mulai pagi ini di panggung depan rektorat tampil 11 dalang dari Solo, Mojokerto, Karanganyar, Banyumas, Palembang, Sukoharjo dan Solo.
Di depan gedung teater besar tampil delapan dalang, sementara di dalam gedung wayang ditampilkan kolaborasi Cong Way Ndut. Adapun di pendapa ageng malam nanti tampil Ki Entus Susmono dengan wayang golek cepak dengan lakon Kembang Wijayakusuma, sekaligus mengakhiri perayaan Hari Wayang Dunia.
http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/hadirkan-pakeliran-padat-gaya-surakarta/

BENTUK PAKELIRAN KNS

Ki Nartosabdho (1925-1985) adalah seorang dhalang yang kali pertama melakukan semacam desakralisasi dan dekonstruksi pakem pedhalangan. Baginya pakem merupakan buku tuntunan bagi para siswa atau pemula yang ingin menjadi dhalang. Oleh karena itu, dengan berbekal kemampuan dan kreativitasnya, dhalang dapat menafsirkan kembali pakem sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam pandangan Ki Nartosabdho, pakem tidak berbeda dari guide book atau texts book bagi para mahasiswa di perguruan tinggi yang mendalami ilmu tertentu; dan apabila telah menjadi sarjana mereka dapat mengembangkan ilmu yang dipelajarinya.
Pada awal kiprahnya sebagai dhalang, gaya pakeliran Ki Nartosabdho mengacu pada gaya pakeliran gurunya, Ki Pujo Sumarto. Dengan kata lain, pola pakeliran-nya pada saat itu masih lekat dengan pakem gaya keraton Surakarta (Sumanto, 2002: 58-59). Dalam unsur pakeliran tertentu, misalnya sanggit, ia juga mengacu pada gaya pakeliran Ki Wignyo Sutarno. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa gaya pakeliran Ki Nartosabdho semula merupakan gabungan dari kedua dhalang tersebut.
Dalam perkembangan, sejak kemunculannya di Radio Republik Indonesia Jakarta pada 1958, Ki Nartosabdho telah menampilkan pakeliran yang berbeda, yaitu bentuk pakeliran yang bernuansa segar melalui berbagai pembaharuan yang dilakukannya. Ia meletakkan jembatan penghubung antara pakeliran gaya Surakarta dan Yogyakarta yang pada waktu itu sedang mengalami ketegangan kultural. Walaupun wujud pakeliran Ki Nartosabdho bertumpu pada gaya Surakarta, namun ia menggunakan pula unsur-unsur pedhalangan gaya Yogyakarta, misalnya dalam beberapa jenis sulukan, gendhing, dan keprakan. Ia juga memanfaatkan gendhing-gendhing dan garap karawitan dari daerah lain seperti Jawa Timuran, Banyumasan, Pasundan, dan Bali. Selain itu, ia memasukkan idiom-idiom gendhing bedhayan, musik keroncong, langgam Jawa, dan bahkan musik pop dangdut ke dalam garap karawitan[10] (Sumanto, 2002: 3; Murtiyoso, et al.., 1998: 29-32). Ia menggunakan janturan inkonvensional dan perwatakan tokoh-tokoh dengan penekanan pada dimensi kemanusiaannya (Wirosardjono, 1993: 67; Soemanto, 2002: 3).
Kemampuan Ki Nartosabdho dalam mengontekstualisasikan lakon baku dan carangan melalui penggarapan sanggit dan pemusatan ekspresi dalam dialog wayang (antawacana), dinilai oleh banyak kalangan pedhalangan dan masyarakat pecinta wayang telah berhasil memunculkan warna baru dalam dramatisasi pakeliran (Wirosardjono, 1993: 67; Soetarno, Sarwanto, dan Sudarko, 2007: 262). Dalam hal lakon, ia menciptakan lakon banjaran (biografi tokoh pewayangan) yang sebelumnya belum pernah dilakukan oleh para dhalang, misalnya: Banjaran Bisma, Banjaran Karna, Banjaran Bima, Banjaran Arjuna, dan Banjaran Gathutkaca. Ia juga menggubah lakon-lakon yang tidak lazim dipergelarkan dalam pakeliran wayang kulit purwa seperti lakon Sakuntala, Sawitri, dan Damayanti. Pola pengaturan panggung juga tidak luput dari jamahan perubahan. Pesindhen, yang pada umumnya berjumlah tiga orang dan duduk di belakang dhalang di samping pemain gender, pengrebab atau pengendhang, dipindahkan tempat duduknya ke sebelah kanan dhalang dan tetap menghadap ke arah dhalang (bandingkan dengan Sumanto, 2002: 4-5). Pembaharuan ini telah melahirkan seni pedhalangan yang oleh pengamat disebut dengan gaya Nartosabdho (Nartosabdhan).
Walaupun Ki Nartosabdho telah melakukan perubahan-perubahan pakeliran, namun menurut penilaian Murtiyoso (2007: 54), ia merupakan salah seorang dhalang maestro terakhir yang mampu menggarap pakeliran secara seimbang (ora bot sih) dengan empat bingkai yang telah disebut di atas, yaitu: moral, peribadatan, keindahan seni, dan hiburan. Banyak dhalang ingin mengikuti jejak keberhasilan Ki Nartosabdho. Namun akibat keterbatasan kemampuan, mereka pada umumnya hanya meniru humor (banyolan) saja; sedangkan aspek-aspek penting dari pakeliran seperti sanggit dan karawitan pedhalangan kurang mendapat perhatian. Kondisi itu menimbulkan keprihatinan di kalangan para pengamat seni pedhalangan, karena tidak ada keseimbangan antara aspek yang bersifat pokok dan yang bersifat teknis.
Menurut S.D. Humardani (1923-1983), yang menjabat sebagai Ketua Pusat Kesenian Jawa Tengah (1969-1983) dan Ketua Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta (1975-1983), situasi pakeliran pada dekade 1970-an dan 1980-an sangat mengkhawatirkan. Selain dipenuhi dengan “titipan” dari berbagai pihak, pakeliran pada periode itu juga dijejali dengan humor yang kurang relevan. Sebagai akibatnya, pakeliran (wadah) menjadi tidak sesuai dengan pesan pokok yang hendak disampaikan (isi). Kondisi itu menurut penilaian Humardani telah menyebabkan jagad pakeliran mengalami proses pendangkalan mutu yang kronis. Kritik terhadap pakeliran semalam suntuk itu kemudian memicu munculnya gagasan tentang pakeliran padat. Tujuan utama penggarapan pakeliran padat adalah untuk mengembalikan fungsi pokok pakeliran sebagai sajian estetis dan artistik. Pakeliran padat dengan demikian mengutamakan kesesuaian antara wadah/ bentuk dan isi dengan cara memaksimalkan kekuatan unsur-unsur garap pakeliran. Oleh karena itu, penggarapan pakeliran padat harus berpangkal pada tema dasar, garap lakon, garap adegan, garap tokoh, garap catur, garap sabet, dan garap karawitan pakeliran (Sudarko, 2003: 69).
Setelah pakeliran padat terbentuk, Humardani berusaha memperkenalkannya baik kepada kalangan dhalang, budayawan, maupun masyarakat pecinta wayang melalui forum sarasehan, lokakarya, lomba naskah, lomba penyajian pakeliran padat, dan siaran radio maupun televisi. Pakeliran padat tidak berpretensi untuk menggeser kedudukan pakeliran semalam-suntuk, melainkan untuk memperkaya kehidupan budaya. Bentuk pakeliran padat masih tetap menggunakan vokabuler-vokabuler pakeliran semalam suntuk, meskipun tidak harus selalu mengikuti secara ketat aturan-aturan yang digunakan dalam pakeliran tradisi, baik menyangkut aturan adegan, pathet, gendhing, maupun sulukan.
Setelah kemangkatan Ki Nartosabdho pada 1985, dengan mengambil inspirasi pembaharuan yang telah dilakukan oleh Ki Nartosabdho dan konsep-konsep pembaharuan tentang pakeliran padat yang digagas oleh Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta di bawah kepemimpinan S.D. Humardani (1975-1983), Ki Manteb Soedharsono berusaha melakukan pembaharuan pakeliran. Untuk kepentingan itu ia membentuk tim kreatif yang terdiri atas seniman akademisi dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI)—sekarang menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Dengan tidak mengabaikan garap pakeliran yang lain, misalnya sanggit dan iringan pakeliran, Ki Manteb Soedharsono dengan gemilang telah mampu menggeser peran bahasa dan antawacana dengan menekankan dimensi action dalam pergelaran wayang kulit purwa. Menurut pengakuannya, khususnya untuk sabet perang, ia mengambil inspirasi dari film-film Kung Fu. Berkat kemampuannya dalam olah sabet, Ki Mateb Soedharsono lalu mendapat julukan Maestro Sabet. Di tangannya pakeliran menjadi gegap-gempita sesuai dengan tuntutan zaman (Wirosardjono, 1993: 67; Abbas dan Subro, 1995: passim, Mrazek, 2005: 429-431). Sabet Ki Manteb Soedarsono kemudian menjadi rujukan para dhalang dari generasi berikutnya.
https://listantoedy.wordpress.com/tag/ki-nartosabdho-bentuk-pakeliran/

Pakeliran padat : Pembentukan dan penyebarannya

Pakeliran Padat adalah bentuk pakeliran yang mengutamakan kesesuaian antara wadah dan isi dengan jalan memaksimalkan kekuatan unsur-unsur garap pakeliran. Namun yang terjadi menimbulkan keprihatinan di kalangan pemerhati dan penggemar wayang, karena beberapa seniman yang profesional itu lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat teknis belaka. Dengan adanya buku ini diharapkan dapat mengemballikan pakeliran menurut fungsinya utamanya yaitu sebagai sajian hayatan yang estetis dan artistik. Para senian dituntut dapat memacu kreativitas dan daya inovasi pakelirannya.
http://lib.isi.ac.id/buku-terbaru/pakeliran-padat-pembentukan-dan-penyebarannya/

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer