DINASTI BUWAIHIYAH Masa Disintegrasi Dinasti Abbasiyah
Kekuasaan Buwaihiyyah
Sejarah Pembentukan
Sejarah Bani Buwaihiyyah bermula dari tiga putra Suza’ Buwaih yakni Ali, Hasan, danAhmad. Ketiganya adalah anak dari Buwaihi, keluarga miskin yang pekerjaannya mencari ikan. Keluarga ini terkenal dengan pemberani dan gigih. Ketiganya memasuki dinas kemiliteran untuk mengatasi problem kemiskinannya. Semula mereka bergabung dengan kekuatan Makan ibn Khali, seorang panglima perang daerah Dailim, dan selanjutnya bergabung dengan kekuatan Mardawij Ibn Zayyar al-Dailamy. Prestasi mereka sangat menonjol, sehingga Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Kharaj, dan memberi kedudukan tinggi kepada dua saudaranya. Semenjak inilah kekuatan Buwaih nampak. Gubernur Ali mengadakan penaklukan daerah-daerah di Persia. Dan setelah Mardawij meninggal anak keturunan Buwaih ini menduduki jabatan penting. Ia juga mengadakan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sinilah pasukan Buwaih dengan mudah memasuki Bagdad untuk menguasai pusat pemerintahan Abbasiyah.
Ketika Bagdad sedang dilanda kekacauan politik akibat perebutan jabatan Amir al-Umara’ antara wazir dan komandan militer. Pihak militer meminta bantuan Ahamad al-Buwaihiyyah yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan tersebut di kabulkan dan Ahmad bersama pasukannya tiba di Bagdad pada 334 H/945 M. Ia disambut oleh khalifah dan diberi kedudukan sebagai Amir al-Umara’ serta diberi gelar “Mu’izz al-Daulat”. Saudaranya yang bernama Ali disahkan berkuasa di daerah selatan Persi dengan gelar “Imad al-Daulat”. Saudaranya yang bernama Ali di serahkan berkuasa di daerah selatan persi dengan gelar “Imad al-daulat’, sedang Hasan memerintah di daerah utara, Isfahan, dan Ray dan di anugrahi gelar Rukn Al-Daulat.
Setelah berhasil menguasai Bagdad dengan mengusir kekuatan militer Turki, Bani Buwaihiyyah segera memindahkan pusat pemerintahannya dari syiraz ke Bagdad. Sejak saat ini, para Khalifah Abbasiyah tunduk kepada Bani Buwaihiyyah, seperti ketundukan mereka kepada militer Turki.
Mu’izz al-daulah semakin besar pengaruhnya dan dengan jabatan sultan di bagdad, namanya di sebut dalam khutbah jum’at dan tertulis dalam mata uang bagdad.
Adapun Urutan Nasab Dinasti Bani Buwaihiyah;
Syuza’ ibn buwaihh
(1)Muizz al-daulat (932-949 M) imad al-daulat rukn al-daulat
Izz al-daulat (967-977 M)
(2) azad al-daulat (949-989 M) muayyid al-daulat fakhr al-daulat
(3) syatar al-daulat (4) samsam al-daulat (5) bahaud daulad
(983-989 M) (989-998 M) (998-1012 M)
(6) sultan daulat musharif daulat jalalud daulad
(7) imadad al-daulat (8) khusru firuz malik al-rahim
(1024-1048 M) (1048-1055 M)
Al- mustakfi merasa muak dengan pengaruh mu’izz yang seolah-olah berperan sebagai khalifah yang sejati, maka ia secara diam-diam mengadakan perlawanan terhadap mu’izz. Mengetahui rencana ini mu’izz segera memecat mustakfi pada tahun 335 H. dan segera meng angkat al-mu’ti sebagai khaifah abbasiyah, mu’izz di gantikan oleh putranya yang bernama bakhtiyar dengan gelar izz al-daulat, dan tidak lama kemudian digantikan oleh Azad daulat.
Kemajuan yang Dicapai
Pada zaman pemerintahan ‘adhdu al-Daulah inilah dinasti Buwaihi mencapai kemajuan yang pesat. Keadaan politik yang stabil sebelumnya dapat di perbaikinya dan hubungan dengan khalifah Al-Tha’i waktu itu di nilai harmonis. Pada masa ini pula penguasa Buwaihi mulai memakai gelar al-Malik. Adhdu al-Daulah sendiri di kenal sebagai seorang pecinta ilmu.
Kota lain yang maju pada zaman Buwaihi ini selain kota Bagdad adalah kota Syiraz dan Ray, kota-kota ini merupakan pusat terpenting bidang politik, ilmu pengetahuan, dam kesusastraan. Begitu pula di daerah-daerah lain bermunculan ahli fiqh, hadits, nahwu, filsafat, tsaquf, dan sastra yang tidak terhitung jumlahnya. Sementara itu, Bashrah dan Kufah yang sejak dulu merupakan pusat ilmu dan kebudayaan islam, tetap mendapat perhatian Buwaihi di masjid-masjid tetap ramai dengan halaqah-halaqah ilmu pengetahuan dan sastra.
Di samping bidang ilmu pengetahuan, bidang lain juga mendapatkan perhatian, diantaranya diadakan perbaikan-perbaikan kota dan pembangunan gedung-gedung pemerintah. Di Bagdad sendiri dibangun rumah sakit terbesar yang pernah ada pada saat itu. Ini memberikan gambaran bahwa umat islam zaman dinasti Buwaihi cukup maju dibanyak bidang.
Kemajuan-kemajuan di atas, juga diikuti oleh kemajuan perdagangan, bidang ekonomi, pertanian, dan industri. Kemajuan-kemajuan yang dicapai tersebut tentu ditopang oleh stabilitas politik dan keamanan yang mantap. Sehingga dengan situasi kondusif itu menjadikan kuat dan hidupnya banyak sektor perekonomian yang menopang ekonomi dan ketahanan negara.
http://sociologiagamauin.blogspot.co.id/2015/09/sejarah-bani-buwaihiyyah.html
Sejarah Berdirinya Dinasti Buwaihi
Dinasti ini berdiri dan menunjukkan eksistensinya pasca dinasti Saljuk. Ada beberapa riwayat tentang asal usul dinasti Buwaihi. Pertama, Buwaihi berasal dari keturunan seorang pembesar yaitu Menteri Mahr Nursi. Kedua, Buwaihi adalah keturunan Dinasti Dibbat, suatu dinasti di Arab. Ketiga, Buwaihi adalah keturunan raja Persia.Keempat, Buwaihi berasal dari nama seorang laki-laki miskin yang bernama Abu Syuja’ yang hidup di negeri Dailam. Negeri yang terletak di Barat daya Laut Kaspia dan telah tunduk pada kekuasaan Islam sejak masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khatthab. Nampaknya pendapat keempat ini yang dianggap mendekati kebenaran.
Periode Buwaihi dimulai pada tahun 320H/932 M sampai tahun 447 H/1055 M. masyarakat Buwaihi merupakan suku Dailami yang berasal dari kabilah Syirdil Awandan dari dataran tinggi Jilan sebelah selatan laut Kaspia. Profesi mereka yang terkenal adalah sebagai tentara, khususnya infantri bayaran. Mereka adalah penganut syiah yang dikenal kuat dan keras serta memiliki kebebasan yang tinggi. Perkenalan mereka dengan syiah diawali dengan pengungsian golongan ‘Aliyyah yang ditindas oleh Bani Abbasyiyah pada tahun 791 M. Al-Hasan ibn Zaid seorang kalangan ‘Aliyyah menyebarkan syiah di wilayah Dailam dan mendirikan sebuah kerajaan ‘Aliyyah yang independent di Dailam dan Jilan. Al-Hasan ibn Zaid kemudian digantikan oleh saudaranya Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Zaid.
Kehadiran bani Buwaihi berawal dari tiga orang putra Abu Ayuja Buwaihi yang berprofesi sebagai pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu:
- ‘Ali ibn Buwayh yang oleh Khalifah al-Mustakfi digelar sebagai ‘Imad al-Daulah.
- Hasan ibn Buwaihi bergelar Rukn al-Daulah.
- Ahmad ibn Buwaihi bergelar Mu’iz al-Daulah.
Sejarah mencatat bahwa Mardawij ibn Ziyar al-Jilli pendiri dinasti Ziyariyah, di Thabaristan dan Jurjan, bersekutu dengan Buwaihi. Persekutuan ini dimungkinkan karena Mardawij memiliki rasa kepersiaan yang kuat sedangkan kalangan Buwaihi sendiri, khususnya Rukn al-Daulah sangat terpengaruh dengan gagasan kepersiaannya. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya. Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaihi bermula.
Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Sayangnya dalam perkembangan selanjutnya Mardawij mengandalkan pasukannya yang berkebangsaan Turki dalam kemiliteran, yang akhirnya pada tahun 935 M ia dibunuh oleh anggota pasukannya sendiri. Dengan kematian Mardawij, kalangan Buwaihi kemudian menyebar dan menyusun pasukan militernya sendiri sehingga mereka menjadi kuat dan akhirnya berhasil memiliki kekuasaan di Fars, Kirman, dan Khuzistan. Seiring dengan ini, kekuatan politik Khalifah Abbasyiyah menurun tajam dan praktis kekuasaan politik yang riil berada di tangan panglima tertinggi (amir al-umara’).
Sepeninggal Mardawij, bani Buwaihi yang bermarkas di Syiraz dan berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia, seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasyiyah al-Radi Billah dan mengirim sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian, ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sini, tentara Buwaihi menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Ketika Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perbuatan jabatan amir al-umara antara wazir dan pemimpin militer. Para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada tahun 945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadiamir al-umara, penguasa politik negara dengan gelar Mu’iz al-Daulah. Saudaranya Ali yang memerintah bagian selatan dengan pusatnya di Syiraz, diberikan gelar Imad al-Daulah dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah. Sejak itu, sebagaimana terhadap pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaihi.
Saat pemerintahan berada di tangan khalifah al-Radi, kendali atas politik dan keamanan secara efektif berada di tangan panglima tertinggi. Sejarah mencatat bahwa panglima tertinggi dijabat oleh orang yang silih berganti. Pada saat jabatan ini dipangku oleh Ahmad ibn Buwaihi, peletakan dasar dan pembangunan kekuasaannya dilakukan di daerah Ahwaz, Bashrah dan Wasith dan melakukan persekutuan dengan pihak luar, yakni Baridiyah dan Hamdaniyah. Kendali panglima tertinggi atas pemerintahan begitu kuat, sehingga pengangkatan dan pemberhentian khalifah juga berada di tangan mereka. Dari penjelasan di atas, menurut pengamatan penulis terdapat berbagai faktor yang mendukung kemunculan dinasti Buwaihi, antara lain:
- Kekuasaan khalifah telah melemah dan mengandalkan panglima perangnya. Dengan demikian, Irak berada di bawah kendali amir al-umara.
- Perpecahan dalam kerajaan Abbasyiyah. Pada tahun 935 M, kerajaan Islam yang berada di bawah kekuasaan dinasti Abbasyiyah terpecah belah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
- Kemewahan hidup melanda para pembesar kerajaan.
- Perselisihan di masyarakat ibukota Baghdad.
a. Perkembangan Dinasti Buwaihi
Pemerintahan Dinasti Buwaihi periode pertama dipegang oleh Mu’iz al-Daulah. Sejak zaman ini, otoritas kepemimpinan khalifah sangat terbatas. Namun Buwaihi tidak berusaha melenyapkan kekhalifahan. Keberadaan khalifah hanya sebagai simbol untuk mendapat simpati publik. Serta mengakui sebuah ide bahwa hak mereka untuk memerintah bergantung pada keabsahan khalifah.
Pada masa ini mulai diperbaiki kerusakan-kerusakan yang diderita Baghdad dari kerusuhan-kerusuhan selama belasan tahun terakhir. Atas keberhasilan memulihkan situasi ini, al-Mustakfi menyerahkan kekuasaan keuangan kepada Mu’iz dan nanti namanya dicetak pada mata uang logam.
Mu’iz menurunkan al-Mustakfi dari singgasana dan menggantinya dengan al-Muti’ yang memang sebelumnya telah menjadi saingan al-Mustakfi. Tindakan ini lebih didasari atas keinginan untuk lebih menguasai pemerintahan, karena dalam hal ini al-Mustakfi tidak sejalan dengan Mu’iz. Mu’iz memerintah lebih dari dua puluh tahun. Sementara saudara-saudaranya di timur memperluas daerah kekuasaan. Pada tahun 932 M, suatu usaha dari kaum Qaramithah dan Omami untuk merebut Basrah, dipukul mundur oleh tentara Buwaihi.
Pada pemerintahan Adud al-Daulah mulai dilakukan upaya-upaya persatuan atas wilayah kekuasaan Irak, Persia selatan dan Oman. Dinasti Buwaihi periode ini telah menjalankan suatu kebijakan yang sangat ekspasionis, di Barat terhadap Hamdaniyah al-Jazirah dan Zijariyah Thabaristan, Samaniyah Khurasan. Pada pemerintahan Adud al-Daulah inilah Dinasti Buwaihi di Baghdad mengalami masa keemasan, sebagai pusat pemerintahan Baghdad, Adud al-Daulah berhasil mempersatukan semua penguasa Buwaihiyah.
Pemerintahan Adud al-Daulah sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan berbagai disiplin ilmu. Kedekatannya dengan para ilmuwan saat itu menjadikan loyalitas mereka terhadap pemerintahan sangat tinggi. Istana pemerintahan pernah dijadikan sebagai tempat pertemuan para ilmuwan saat itu. Bahkan pada masa itu dibangun rumah sakit terbesar, yang terdiri dari 24 orang dokter, dan digunakan juga sebagai tempat praktek mahasiswa kedokteran saat itu.
Sebagai penganut Syi’ah Dua belas, dinasti Buwaihi banyak menghidupkan syiar Syiah. Kendati mereka berbuat demikian, Khalifah Abbasyiyah tetap dibiarkan meneruskan kepemimpinan simbolis bagi Umat Islam. Di antara tindakan penguasa Buwaihi yang menguntungkan kelompok syiah adalah pengadaan upacara keagamaan syiah secara publik, pendirian pusat-pusat pengajaran syiah di berbagai kota, termasuk Baghdad dan pemberian dukungan terhadap para pemikir dan penulis Syiah. Memang masa kekuasaan dinasti Buwaihi adalah bersamaan dengan bermulanya masa “ketidakhadiran agung” (al-ghaibah al-kubra) Imam ke 12. Dan saat itu pula, terjadi kristalisasi penting dalam periode pembentukan madzhab syiah.
Periode Buwaihi diwarnai dengan kegiatan penulisan. Para pemikir penting, di samping pakar-pakar teori Syiah, sempat menuliskan ide-ide mereka. Bahkan Ibn Sina, seorang filosof dan dokter diberi kepercayaan menjadi wazir oleh Samsy al-Daulah yang berkuasa di Isfahan. Tercatat pula serentetan penulis kenamaan dari berbagai disiplin ilmu, upamanya Ibn Nadhim, seorang ensiklopedis dengan bukunya al-Fihris, ibn Maskawaih, seorang filosof-sejarawan menulis Tajarib al-Umam, Abu al-Farah al-Isfahani, seorang sejarawan-sastrawan menulis al-Agani, dan Abu al-Wafa al-Nasawi, pakar matematik, memperkenalkan sistem angka India ke dalam Islam. Di samping itu, berbagai aktivitas ilmiah dan kemanusiaan juga digalakkan dengan dibangunnya peneropong bintang dan rumah-rumah sakit di berbagai kota.
Sebagaimana telah dimulai pada masa-masa awal dinasti Buwaihi dalam memperbaiki kerusakan perekonomian yang beberapa dekade sebelumnya mengalami kerusakan, berupa melakukan perbaikan beberapa saluran irigasi dan mengambil tanah-tanah yang ditinggalkan pemiliknya. Sistem administrasi keuangan sangat berkaitan erat dengan organisasi militer, seperti juga pada periode Mu’iz pertama kali berkuasa. Pemerintahan Adud didasarkan pada metode-metode birokratik perpajakan dan sejumlah pembayaran untuk kebutuhan istana dan militer. Staf pemerintahan pusat mengumpulkan pendapatan negara dari daerah-daerah kekuasaan dan membayar pejabat negara dan tentara yang mengabdi kepada negara secara kontan dengan pembayaran di muka. Konsep ini lazimnya disebut dengan distribusi iqtha’, yaitu sebuah mekanisme untuk mensentralisasikan pengumpulan dan pengeluaran atas pendapatan negara dan pada dasarnya hak tanah iqtha’ hanya diberikan berdasarkan syarat pengadian militer dan hanya berlaku sebatas kehidupan orang yang sedang menjabat.
b. Peristiwa Penting Pada Masa Dinasti Buwaihi
Selama masa pemerintahan dinasti Buwaihi tercatat beberapa peristiwa penting, yaitu:
- Baghdad dan Siraz; kedudukan Baghdad sebagai ibukota dari segi politik dan agama. Di zaman dinasti Buwaihi, Baghdad telah kehilangan kepentingannya dari segi politik yang mana telah berpindah ke Syiraz, tempat bermukimnya Ali bin Buwaih yang bergelar Imad al-Daulah. Pengaruh Baghdad dari segi agama juga semakin pupus, disebabkna perselisihan madzhab di antara khalifah-khalifah dari dinasti Buwaihi. Pertikaian ini telah melumpuhkan sama sekali pengaruh rohaniah yang selama ini dinikmati oleh khalifah.
- Ikhwanus Shafa. Di zaman ini muncul kumpulan Ikhwanus Shafa yang mengamalkan berbagai falsafah dan hikmah yang dikatakan bersumber dari mereka.
- Negeri-negeri yang memisahkan diri. Semasa berada di puncak kekuasaan, dinasti Buwaihi telah menyatukan kembali sebagian wilayah Islam yang telah memisahkan diri dari pemerintahan Khalifah Abbasyiyah. Tetapi ketika kekuasaan dinasti Buwaihi mulai merosot, banyak pula dari kerajaan yang memisahkan diri dari pemerintahan khalifah Abbasyiyah, diantaranya kerajaan Imran bin Syahin di Batinah, kerajaan Najahiyah di Yaman, kerajaan ‘Uqailiyah di Mausil, kerajaan Kurd di Diar Bakr, kerajaan Mirdasiyah di Aleppo, kerajaan Samaniyah di seberang sungai dan di Khurasan dan kerajaan Saktikiyah di Ghaznah.
- Perselisihan madzhab; ajaran Islam tiba di Dailam melalui kaum Syiah yang diwakili oleh Hasan bin Zaid, kemudian oleh al-Hasan bin Ali al-Atrusy. Sedangkan masyarakat Baghdad ketika itu beraliran sunni. Terlebih ketika khalifah al-Qadir berusaha menentang faham syiah.
c. Kemunduran Dinasti Buwaihi
Setelah mengalami masa kejayaan, maka akhirnya dinasti Buwaihi mengalami kemunduran. Kemunduran dinasti Buwaihi disebabkan berbagai faktor sebagai berikut:
- Sistem pemerintahan yang semula didasarkan pada kekuatan militer, belakangan diorganisir menjadi sebuah rezim yang lebih setia terhadap pimpinan mereka atas kekayaan dan kekuasaan daripada setia terhadap negara.
- Konsep ikatan keluarga yang menjadi kekuatan dinasti Buwaihi pada masa-masa awal, tidak bisa dibina lagi pada masa-masa selanjutnya. Konflik antar anggota keluarga menjadikan lemahnya pemerintahan di pusat.
- Pertentangan antara aliran-aliran keagamaan. Sebagaimana diketahui bahwa dinasti Buwaihi adalah penyebar madhzab syiah yang sungguh bersemangat, dibalik kebanyakan rakyak Baghdad yang bermadzhab sunni. Pertentangan tersebut pada periode awal dinasti tidak begitu nampak, terutama pada masa Adud al-Daulah, kemudian mulai menajam kembali dan mengalami puncak pada akhir dinasti Buwaihi di Baghdad. Hal ini tidak terlepas dari peran dan kebijakan khalifah al-Qadir yang mengepalai pertempuran sunni melawan syiah dan berusaha mengorganisir sebuah misi sunni untuk menjadi praktek keagamaan. Melalui sebuah pengumuman yang resmi, ia menjadikan Hanbalisme sebagai madzhab muslim yang resmi.
- Kekalahan yang telak dari Bani Saljuk yang berakibat jatuhnya pemerintahan dinasti Buwaihi ke tangan Tugril Beg, yang sekaligus mengakhiri masa pemerintahan dinasti Buwaihi.
Bagaimanapun keberhasilan dinasti Buwaihi memang tidak bertahan lama. Sejak kematian Adud al-Daulah pada tahun 983M, keutuhan keluarga Buwaihi terus mengalami erosi dan perpecahan. Ide kerjasama yang dikembangkan generasi pertama rupanya tidak mengakar, cabang-cabang keluarga tidak puas dengan otonomi yang dinikmati bahkan ada yang menginginkan kekuasaan tunggal atas seluruh wilayah Buwaihi. Mungkin tandensi demikian merupakan perkembangan natural dari upaya-upaya individu Buwaihi dalam menghadapi perubahan dan tantangan eksternal. Misalnya pada perempat akhir abad ke-10, dinasti Fatimiyah muncul sebagai ancaman langsung terhadap pengaruh Buwaihi di Barat dan Selatan. Di Persia dan Arabia Timur ancaman masing-masing datang dari Samaniyah kemudian Ghaznawiyah dan Qaramithah.
Juga posisi wilayah Buwaihi yang strategis bagi perdagangan antara timur dan Barat serta selatan dan utara, kemudian telah dilemahkan oleh politik perdagangan fatimiyah yang agresif lewat laut merah. Peranan teluk Persia yang pernah dominan menjadi semakin pudar. Kurang berkembangnya pertanian akibat sistem perpajakan yang tidak efisien dan eksploitatif, serta turunnya volume perdagangan jelas melemahkan sistem ekonomi dinasti Buwaihi.
https://zepriari98.blogspot.co.id/2016/02/normal-0-false-false-false-en-us-x-none_17.html
BUWAIHI (33 H/945M - 447 H/1055M)Wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi meliputi Irak dan Iran. Dinasti ini dibangun oleh tiga bersaudara yaitu Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Perjalanan Dinasti Buwaihi dapat dibagi dua periode. Periode pertama merupakan periode pertumbuhan dan konsolidasi sedangkan periode kedua daalh periode defensi, khususnya di wilayah Irak dan Iran Tengah. Dinasti Buwaihi mengalami perkembangan pesat ketika Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah. Dinasti Buwaihi mengalami kemunduran dengan adanya pengaruh Tugril Beg dari Dinasti Seljuk. Peninggalan dinasti ini antara lain berupa observatorium di Baghdad dan sejumlah perpustakaan di Syiraz, ar-Rayy dan Isfahan (Iran).
http://www.pesantren-pesbuker.xyz/2014/10/sejarah-dinasti-dan-kekuasaan-khalifah.html
Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi dirintis oleh tiga bersaudara: Ali, Hasan, dan Ahmad yang berasal dari Dailam. Bapak mereka adalah Abu Syujai Al-Buwaihi. Tiga saudara ini dalam sejarah dikenal sebagai tentara bayaran. Ketika terjadi perang antara makan Ibn Kaki Al-Dailami dengan Mardawij; tiga bersaudara ini membelot dari makan dan berpihak ketipad Mardawij dengan alasan, makan Ibn Kaki Al-Dailami tidak lagi mampu membayar mereka. Mardawij menyambut baik keperpihakan mereka.
a. Pembentukan Khalifah Boneka
Ketika berkuasa di Bagdad, khalifah Bani Abbas dijadikan penguasa simbolik (De Jure), dan pengendalian pemerintah secara De Facto berada di tangan para amir. Tiga bersaudara ini memiliki daerah kekuasaan masing-masing. Ahmad Ibn Buwiahi berkuas di Bagdad; Ali Ibn Buwaihi (Imad Al-Daulat) berkuasa di Pars; dan Hasan Ibn Buwaihi (Rukn Ad-Daulat berkuasa di Jibal), Rayy, dan Isfahan.
Bani Buwaihi melucuti kekusaan politik dan sumber-sumber material para khalifah. Mereka menjadikan khlifah sebagai pemimpin agama dan sekaligus menjadi alat yang dapat mereka gunakan untuk mencapai ambisi meraka. Keunikan Bani Buwaihi adalah bahwa para Amir Nuwaihi penganut Syi;ah, tetapi mereka tidak menghapuskan khalifah (sunik).
Ahmad Ibn Buwaihi meninggal karena sakit (356 H) dan diagnti oleh anaknya, Bahtiar (356-367 H/ 967-978 M) dengan gelar Izz Al-Daulat. Bahtiar bersik]kisih dengan khalifah Al-Mu’ti karena khalifah tidak mengijinkan penggunaan dana Negara u ntuk mlawan pasukan Romawi.
b. Kemajuan Buwaihi
Ditandai dengan : pertama, pembangunan rumah sakit “bimaristan al-adhudi” yang memiliki 24 tenaga medis, dan rumah sakit ini duijadiakan pusat studi kedokteran. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 978 M. Kedua, pembangunan sekolah-sekolah dan observatorium di Bagdad, Syiraz, Rayy, dan Isfahan, serta gerakan terjemahan yang dipelopori oleh Al-Hud Al-Daulah. Pada zamannya, Al-Hud Ad-Daulah menerapkan dua criteria dalam pemilihan materi: a. kemampuan manjrial; dan b. kemampuan retorika. Oleh karena itu, wajar bila para mentri Buwaihi pandai dalam sastra. Ketiga, pada masa ini muncul penyair ternama, yaitu Bu Ali Al-Farisi yang menulis kitab Al-Idhah (book of explanation) yang didedikasiakan pada Ad-Hud Al-Daulah. Keempat, pada fase ini lahir sejumlah pakar yang hingga hari ini karyanya masih dijadikan rujukan, mereka adalah:
1. Ibn sina
2. Ibn Masykawaih
3. Istakhri
4. Nasawi
5. Kelompok Ikhwan Al-Shafa
6. Al-Khawarizmi
7. Ibn Khaitsman
c. Kemunduran dan akhir Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi sepeninggalan Muiz Al—Daulah dilanda konflik iternal. Perebutan kekuasaan di dalam tubuh Dinasti Buwaihi menjadi sebab kemunduran dinasti ini. Di samping itu, Buwaihi juga tidak dapat menagatasi perasaingan di tubuh militer yang berasal dari dua suku: Dailam dan Turki Saljuk. Salah satu peristiwa pentingnya adalah abatan Malik Abd Al-Rahim sebagai amir Al-Umara berusaha direbut oleh panglimanya sendiri, Al-Seran Basasiri yang kemudian memperlakukan Malik Abdu Al-Rahim dan khalifah Al-Qoim dengan semena-mena.
http://syahrur23.blogspot.co.id/2015/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Komentar
Posting Komentar