Organisasi dan Tarekat yang ada di Indonesia
Organisasi Islam Di Indonesia
Organisasi Islam Di Indonesia
- Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan (jam'iyah diniyah islamiah) yang berhaluan Ahli Sunnah wal-Jamaah (Aswaja). Organisasi ini didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 (16 Rajab 1334 H) oleh K.H. Hasyim Asy'ari beserta para tokoh ulama tradisional dan usahawan di Jawa Timur.
- Muhammadiyah
Penunjang Aktivitas Dakwah di Asia Tenggara; Seputar Peranan Organisasi Islam Menghadapi Serangan Budaya Zaman
Di kawasan Asia Tenggara dewasa ini, di mana berbagai kekuatan giat untuk menggunting dan berusaha melemahkan Islam, maka Dakwah Islamiyah dituntut untuk memiliki kesadaran dan pemahaman yang jernih dan utuh terhadap berbagai upaya dan rencana yang diletakkan oleh berbagai kekuatan yang ingin menjegal penyebaran Islam.
- Rabithah Alam Islami
- Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
- Jama'ah Tabligh
- Hizib Al-Tahrir (Hizbut Tahrir)
- Al-Irsyad Al-Islamiyyah
- The Bilalians
cholisnoerahmadi.blogspot.com/2011/.../organisasi-islam-di-indonesia.ht...
ALIRAN-ALIRAN DI INDONESIA
NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX)
NII KW IX (Negara Islam Indonesia Komandemen Wilayah IX)
Didirikan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Tasikmalaya. Ciri-ciri ajaranya yaitu bahwa harta orang selain NII boleh dirampas dan dianggap halal, sehingga banyak dari pengikutnya yang mencuri, merampok, dan menipu.
LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia)
Didirikan oleh Madigol Nurhasan Ubaidah Lubis bin Thahir bin Irsyad. Ciri-ciri ajaranya yaitu menganggap Al-Qur’an dan As-Sunnah baru sah diamalkan kalau manqul (yang keluar dari mulut imam/amirnya), dan orang-orang yang tidak termasuk golongan mereka dianggap kafir. Aliran ini telah dilarang Jaksa Agung 1971.
Inkar Sunnah
Didirikan oleh Irham Sutarto. Memiliki 3 jenis kelompok: 1. Kelompok yang menolak hadist-hadist Rasulullah; 2. Kelompok yang menolak hadist yang tidak dikatakan di dalam Al-Qur’an; 3. Kelompok yang hanya menerima hadist-hadist mutawatir dan menolah hadist ahad walaupun shahih. MUI telah menfatwakan ajaran ini sebagai ajaran sesat, kemudian dilarang oleh Jaksa Agung No. Kep-169/ J.A./ 1983.
Ahmadiyah
Didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad dari India masuk ke indonesia tahun 1935. Aliran ini mengakui bahwa Mirza Ghulam sebagai nabi setelah Rasulullah maka mereka sesat.
Salamullah/Kerajaan Eden
Didirikan oleh Lia Aminuddin yang profesi awalnya perangakai bunga lalu mengaku sebagai jelmaan roh Maryam dan Imam Mahdi yang mempecayai reinkarnasi. Agama ini merupakan agama baru yang menghimpun semua agama. MUI telah menfatwakan ajaran ini sebagai ajaran sesat pada 22 Desember 1997.
Isa Bugis
Berdiri di Rawamangun pada tahun 1980. Aliran ini mengajarkan dalam memaknai Al-Qur’an semaunya, tidak sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.
Baha’i
Aliran ini adalah kelompok yang menggabungkan Islam dengan Yahudi, Nasrani, dll. Menolak ketentuan-ketentuan Islam, dan menolak poligami, Janda boleh kawin tanpa ‘iddah, serta Ka’bah bukanlah kiblat yang mereka akui.
Pluralisme Agama,
Jaringan Islam Liberal Didirikan oleh Ulil Abshar Abdalla sejak Maret 2001. Aliran yang menyamakan semua agama sama dan menyamakan Islam dengan Yahudi, Nasrani, dan agama-agama kemusyrikan serta tidak megakui adanya hukum Tuhan.
Al-Qiyadah Islammiyah
Didriikan oleh Achmad Mushaddeq alias H. Salam, 23 Juli 2006. Ajaran-ajaran aliran ini yaitu menghilangkan rukun islam, menghilangkan syariat solat 5 waktu, memiliki syahadat baru yaitu “Ayhadu alla ilaha illa Allah wa asyhadu anna al-Masih al-Ma’ud Rasul Allah”, menafsirkn sendiri Al-Qur’an dan tidak percaya bahwa hadits sebagai rujukan kedua setelah Al-Qur’an.
Lembaga Kerasulan.
Aliran ini menganggap bahwa Rasul adalah menteri dan kerasulan adalah kementrian, jika Rasul meninggal maka harus diganti Rasul yang baru sebagai menteri. Mereka memahami bahwa Rasul harus ada sampai hari kiamat.
http://www.kompasiana.com/mhu2012/aliran-aliran-di-indonesia
1. Tarekat Qadiriyah
Tarekat ini didirikan oleh Muhy Ad-Din Abd Al-Qadir al-Jailani (471 H/1078 M). Tarekat Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi salih Zangi Dost Al-Jailani (470 H/1077M – 561 H/1166 M) . Tarekat Qadiriyah berkembang dan berpusat di Irak dan siria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang terbesar di Yaman, Turki, Mesir, india, Afrika, dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13 M. Sekalipun demikian, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke-15 M. Di Mekah, tarekat Qadiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.
Tarekat Qadiriyah dikenal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat Syekh, murid tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan, dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal tersebut tampak pada ungkapan Abdul Qadir jailani, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, dia menjadi mandiri sebagai Syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”
Karena keluwesan tersebut, terdapat puluhan tarekat yang masuk ke dalam kategori Qadiriyah di dunia Islam, seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19,ghawtsiyah (1517), junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya dari India. Di Turki, terdapat tarekat hindiyah, khulusyiyah, dll. Di yaman, ada tarekat ahdaliyah, asadiyah, musyariyah. Adapun di afrika, diantaranya terdapat tarekat ammariyah, bakka’iyah, dan sebaginya.
1) Sejarah singkat pendiri Tarekat Qadiriyah
Pendiri tarekat Qadiriyah adalah ‘Abd al-Qadir Jailani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al-Qadir Jailani al-ghawts. Beliau lahir di desa Naif Kota Ghilan (470 H/1077 M) dan meninggal di Baghdad pada tahun 561/1166. Menurut Triminghan sebagaiman yang dikutip oleh Martim Van Bruinessem, mengatakan bahwa pada tahun 1300 M tarekat Qadiriyah sudah ada di Irak dan Suriah.
Pendiri tarekat Qadiriyah adalah ‘Abd al-Qadir Jailani, yang terkenal dengan sebutan Syaikh ‘Abd al-Qadir Jailani al-ghawts. Beliau lahir di desa Naif Kota Ghilan (470 H/1077 M) dan meninggal di Baghdad pada tahun 561/1166. Menurut Triminghan sebagaiman yang dikutip oleh Martim Van Bruinessem, mengatakan bahwa pada tahun 1300 M tarekat Qadiriyah sudah ada di Irak dan Suriah.
2) Ciri tarekat Qadiriyah
- Dzikir bersama.
- Senantiasa membacakan sajak dan qasidah diiringi musik rebana.
- Melakukan dzikir Nafi wa itsbat, diiringi dengan rebana.
- Seluruh badan ikut berdzikir.
- Adanya adegan magic atau debus.
- Tunduk dibawah garis keturunan takdir dengan kesesuaian hati dan roh.
- Memisahkan diri dari kecenderungan nafsu.
3) Ajaran tarekat Qadiriyah
Ajaran syekh Abb al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun ajaran-ajaran tersebut adalah:
1. Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari hati kemudian melaksanakan hak Tuhan.
Ibnu ‘abas ra. Berkata: “taubat al-nasuha adalah penyesalan dalam hatipermohonan ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan dan berniat tidak akan mengulangi lagi”.
Menur syekh Abd Qadir jailani, taubat ada dua macam, yaitu:
Ajaran syekh Abb al-Qadir selalu menekankan pada pensucian diri dari nafsu dunia. Karena itu memberikan beberapa petunjuk untuk mencapai kesucian diri yang tertinggi. Adapun ajaran-ajaran tersebut adalah:
1. Taubat
Taubat adalah kembali kepada Allah dengan mengurai ikatan dosa yang terus menerus dari hati kemudian melaksanakan hak Tuhan.
Ibnu ‘abas ra. Berkata: “taubat al-nasuha adalah penyesalan dalam hatipermohonan ampun dengan lisan, meninggalkan dengan anggota badan dan berniat tidak akan mengulangi lagi”.
Menur syekh Abd Qadir jailani, taubat ada dua macam, yaitu:
- Taubat yang berkaitan dengan hak sesama manusia.Taubat ini tidak terealisasi kecuali dengan menghindari kezaliman, memberikan hak kepada yang berhak, dan mengembalikan kepada pemiliknya.
- Taubat yang berkaitan dengan hak Allah. Taubat ini dilakukan dengan cara selalu mengucapkan istighfar dengan lisan, menyesal dalam hati, dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi di masa mendatang.
2. Zuhud
Zuhud secara bahasa berpaling darinya dan meninggalkannya karena menganggapnya hina atau menjauhinya karena dosa. Sedangkan menurut istilah zuhud adalah merupakan gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehianaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut ‘Abd al-Qadi jailani, zuhud ada dua macam, yaitu:
Zuhud secara bahasa berpaling darinya dan meninggalkannya karena menganggapnya hina atau menjauhinya karena dosa. Sedangkan menurut istilah zuhud adalah merupakan gambaran tentang menghindari dari mencintai sesuatu yang menuju kepada sesuatu yang lebih baik darinya. Atau istilah lain, menghindari dunia karena tahu kehianaannya bila dibandingkan dengan kemahalan akhirat. Menurut ‘Abd al-Qadi jailani, zuhud ada dua macam, yaitu:
- Zuhud hakiki yaitu mengeluarkan dunia dari hatinya. Hal ini bukan berarti bahwa seseorang menolak rezeki yang diberikan Allah kepadanya, tetapi di mengambilnya lalu digunakan untuk ketaatan kepada Allah.
- Zuhud lahir yaitu mengeluarkan dunia dari hadapannya. Berarti bahwa harus menahan hawa nafsu (sesuatu yang kita sayangi) serta menolak semua tuntutannya.
3. Tawakal
Tawakal artinya berserah diri. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh terhadap hukum dan takdir.
Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip sebuah sabda Nabi,”bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang diminta. Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia mnyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat, sebagai mana dinyatakan dalam sabda Nabi,”Apabila ingatan manusia telah condong kepada dunia, maka ingatannya kepada akhirat berkurang.”
4. Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh pada syari’at-Nya.
Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, yaitu:
Tawakal artinya berserah diri. Hakikat tawakal adalah menyerahkan segala urusan kepada Allah dan membersihkan diri dari gelapnya pilihan, tunduk dan patuh terhadap hukum dan takdir.
Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani menekankan pentingnya tawakal dengan mengutip sebuah sabda Nabi,”bila seseorang menyerahkan dirinya secara penuh kepada Allah, maka Allah akan mengaruniakan apa saja yang diminta. Begitu juga sebaliknya, bila dengan bulat ia mnyerahkan dirinya kepada dunia, maka Allah akan membiarkan dirinya dikuasai oleh dunia.” Semakin banyak orang yang mengejar dunia, maka semakin lupa dia akan akhirat, sebagai mana dinyatakan dalam sabda Nabi,”Apabila ingatan manusia telah condong kepada dunia, maka ingatannya kepada akhirat berkurang.”
4. Syukur
Syukur adalah ungkapan rasa terima kasih atas nikmat yang diterima, baik lisan, tangan, maupun hati. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah dan patuh pada syari’at-Nya.
Syekh ‘Abd al-Qadir Jailani membagi syukur menjadi tiga macam, yaitu:
- Syukur dengan lisan, yaitu dengan mengakui adanya nikmat dan merasa tenang. Dalam hal ini si penerima nikmat mengucapkan nikmat Tuhan dengan segala kerendahan hati dan ketundukkan.
- Syukur dengan badan atau anggota badan, yaitu dengan cara melaksanakan dan pengabdian serta melaksanakan ibadah sesuai dengan perintah Allah. Dalam hal ini, si penerima nikmat selalu berusaha mnjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan-Nya.
- Syukur dengan hati, yaitu beritikaf/berdian diri atas tikar Allah dengan senantiasa menjaga hak Allah yang wajib dikerjakan. Dalam hal ini, si penerima nikmat mengakui dari dalam hatinya bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT.
5. Sabar
Sabar adalah tidak mengeluh karena musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
Sabar adalah tidak mengeluh karena musibah yang menimpa kita kecuali mengeluh kepada Allah. Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, sabar ada tiga macam, yaitu:
- Bersabar kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
- Bersabar bersama Allah, yaitu bersabar terhadap ketetapan Allah dan perbuatan-Nya terhadapmu dari berbagai macam kesuliatan dan musibah.
- Bersabar atas Allah, yaitu bersabar terhadap rezeki, jaln keluar, kecukupan, pertolongan, dan pahala yang dijanjikan Allah di kampung akhirat.
6. Ridha
Ridha adalah kebahagian hati dalam menerima ketetapan (takdir). ‘Abd al-Qadir mengutip ayat al-qur’an tentang perlunya sikap ridha, “dengan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat darinya, keridhaan dan syurga. Mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal”.(At-Taubah: 21).
7. Jujur
Jujur menurut bahasa adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan.
Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntukan maupun yang tiadak menguntungkan.
Ridha adalah kebahagian hati dalam menerima ketetapan (takdir). ‘Abd al-Qadir mengutip ayat al-qur’an tentang perlunya sikap ridha, “dengan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat darinya, keridhaan dan syurga. Mereka memperoleh didalamnya kesenangan yang kekal”.(At-Taubah: 21).
7. Jujur
Jujur menurut bahasa adalah menetapkan hukum sesuai dengan kenyataan.
Menurut syekh ‘Abd al-Qadir Jailani, jujur adalah mengatakan yang benar dalam kondisi apapun, baik menguntukan maupun yang tiadak menguntungkan.
2. Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat ini didirikan oleh muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari (w. 1389) di Turkistan.
Kata Naqsabandiyah / Naqsyabandi / Naqhbandi نَقْشَبَنْدِى berasal dari Bahasa Persia, diambil dari nam pendirinya, yaitu Baha Uddin Naqshband Bukhari . Sebagian orang menerjemahkan kata tersebut sebagai “pembuat gambar”, “pembuat hiasan”. Sebagian lagi menerjemahkannya sebagai “Jalan Rantai” atau “Rantai Emas”.
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim serta Turki., Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural.
Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamakan menurut nama Syeh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alfi Tsani (Pembaru Milenium kedua). Pada akhir abad ke-18 nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia selatan, wilayah Ustmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syariat secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, seta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
Dalam perkembangannya, tarekat ini menyebar ke anatolia (turki) kemudian meluas ke India dan Indonesia dengan berbagai nama baru yang disesuaikan dengan pendirinya di daerah tersebut, seperti tarekat Khalidiyah, Muradiyah, Mujadidiyah, dan Ahsaniyah.
Di daerah Mesopotamia, masih banyak tarekat yang muncul dalam periode ini dan cukup terkenal. Tarekat-tarekat ini antra lain sebagai berikut :
1) Sejarah singkat Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah adalah muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari. Beliau dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah (717 H/1318 M), ± 4 mil dari Bukhara (tempat lahir Imam Bukhari). Beliau wafat pada tahun 791 H/1389 M.
2) Ciri Tarekat Naqsyabandiyah
Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah :
- Diikutinya syari’at secara ketat.
- Keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari.
- Lebih mengutamakan berdzikir dalam hati.
- kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).
- Upaya yang serius dalam mempengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan golongan pada agama.
- Tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu.
- Melancarkan konfrontasi dengan berbagai kekuatan politik.
- Membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa dan menganggap bahwa upaya memperbaiki penguasa adalah sebagai prasyarat untuk memperbaiki masyarakat.
3) Ajaran tarekat Naqsyabandiyah
- “Husy Dar dam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
- “Nazhar Bar qadam”, yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
- “Safar Dar wathan”, yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
- “Khalwat Dar anjuman”, yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
- Berkhalwat lahir, yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
- Khalwat batin, yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
- “Yad Krad”, yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
- “Baz Gasht”, yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia “Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut”. Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
- “Nigah Dasyt”, yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini. Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.” Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
- “Yad Dasyt”, yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Yad Dasyt” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
Asas Tarekat Naqsyabandiyah
Muhammad Bahauddin Naqsyaband menambahkan tiga asas lagi yakni wuquf qalbi, wuquf ‘adadi, dan wuquf zamani.
Muhammad Bahauddin Naqsyaband menambahkan tiga asas lagi yakni wuquf qalbi, wuquf ‘adadi, dan wuquf zamani.
- wuquf qalbi adalah menjaga setiap gerakan hati untuk selalu mengingat dan menyebut asma Allah.
- Wuquf zamani berarti menghitung dan memerhatikan waktu untuk tidak melewatkan waktu tanpa mengingat Allah.
- wuquf ‘adadi berkaitan dengan bilangan, yang mengandung makna pengutamaan hitungan ganjil dalam berdzikir, sebagai penghormatan yang bersifat sunah atas kesukaan Allah pada jumlah ganjil.
3. Tarekat syadziliyah
Dinisbatkan kepada Nur Ad-Din Ahmad Asy-Syadzili (593-656 H/ 1196-1258 M). Secara pribadi, Asy-Syadzili tidak meninggalkan karya tasawuf, begitu uga muridnya, abdul abbas al-mursi, kecuali hanta sebai ajaran lisan tasawuf, doa, hizib. Ibnu ath-thaillah as-sukandari adalah orang pertama yang menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa, dan biografi keduanya sehingga khazanah tarekat syadziliyah tetap terpelihara. Ibnu ath-thaillah juga orang tang pertama menyusun karya paripurna tentang aturan-aturan tarekat tersebut, pokok-pokoknya, prinsip-prinsipnya, bagi angkatan-angkatan setelahnya .
Melalui sirkulasi karya-karya ibnu ath-athaillah, tarekat syadziliyah mulai tersebar sampai ke barat, sebuah negara yang pernah menolak sang guru.akan tetapi, ia tetap merupakan tradisi individualistik yang hampir mati, meskipun temaini tidak dipakai yang menitikberatkan pengembangan sisi dalam. Syadzili tidak mengenal atau menganjurkan murid-muridnya untuk melakukan aturan atau ritual yang khas dan tidak satupun yang berbentuk ke shalehan popoler yang digalakan. Akan tetapi, muri-muridnya tetap mempertahankan ajarannya. Para murid melaksanakan tarekat sadziliyah di zawiyah-zawiyah yang tersebar tanpa mempunyai hubungan satu dengan yang lain.
Sebagai ajaran, tarekat ini dipengaruhi oleh al-ghajali dan al-makki salah satu perkataan asli syadzili kepada murid-muridnya, “seandainya kalian mengajukan suatu permohonan kepada Allas SWT; sampaikanlah kepada abu hamid al-ghajali.” Perkataan lainnya “ kitab ihya ulum ad-din, karya al-ghazali, mewarisi anda ilmu. Sementara, kitab qut al-qulub, karya al-makki mewarisi anda cahaya.” Selain kedua kitab tersebut, yaitu kitab al-muhasibi, khatam al-auliya, karya hakim at-tirmidzi, kitab al-mawakif wa al-mukhatabah, karya an-niffari, kitab asy-syifa, karya qadhi’iyad, kitab ar-risalah, karya al-usyairi, kitab al-muharrah al-waziz, karya ath-thaillah.
1) Sejarah singkat Tarekat Syadziliyah
Secara lengkap nama pendiri tarekat ini adalah Ali bin Abdullah bin ‘Abd Al Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Dia di lahirksn di desa Ghumara, dekat Ceuta, di Utara Maroko pada tahun 573 H. Asy-Syadzili meninggal pada tahun 656 H/ 1258 M di humaithra, dekat pantai laut Merah. Tarekat ini berdiri pada abad ke-7 H/ 13 M.
2) Ciri Tarekat Syadziliyah
- Tarekat Syadzaliyah terutama menarik dikalangan kelas menengah, pengusaha, pejabat dan pegawai negeri.
- tidak begitu membebani pengikutnya dengan ritual-ritual yang memberatkan seperti yang terdapat dalam tarekat-tarekat yang lainnya.
- Setiap anggota tarekat ini wajib mewujudkan semangat tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri.
- mereka tidak diperbolehkan mengemis atau mendukung kemiskinan.
- kerapian mereka dalam berpakaian.
3) Ajaran
Adapun ajaran-ajaran tarekat al-syadziliyah, yaitu :
Adapun ajaran-ajaran tarekat al-syadziliyah, yaitu :
- Tidak menganjurkan murid-muridnya untuk meninggalkan profesi mereka.
- Tidak mengabaikan dalam menjalankan syari’at islam.
- Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan.
- Tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner.
- Berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat
- Tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah.
- Ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat di peroleh dengan dua jalan.
4) Lima sendi yang ada pada tarekat syadziliyah
- Ketaqwaan terhadap Allah subhanahu wata’ala lahir bathin, yang diwujudkan dengan jalan bersikap wara’ dan Istiqamah dalam menjalankan perintah Allah subhanahu wata’ala.
- Konsisten mengikuti Sunnah Rasululkah shallallahu ‘alaihi wasallam, baik dalam ucapan maupun perbuatan, yang direalisasikan dengan selalu bersikap waspada dan bertingkah laku yang luhur.
- Berpaling (hatinya) dari makhluk, baik dalam penerimaan maupun penolakan, dengan berlaku sadar dan berserah diri kepada Allah subhanahu wata’ala (Tawakkal).
- Ridha kepada Allah, baik dalam kecukupan maupun kekurangan, yang diwujudkan dengan apa adanya [qana’ah/tidak rakus] dan menyerah.
- Kembali kepada Allah, baik dalam keadaan senang maupun dalam keadaan susah, yang diwujudkan dengan jalan bersykur dalam keadaan senang dan berlindung kepada-Nya dalam keadaan susah.
Melacak Tarekat Syattariyah
a.MELACAK AKAR HISTORIS
Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa nabi. Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah masa nabi. Demikian halnya dengan Tarekat Syatariyah, nama Syatariyah dinisbahkan kepada Syaikh ‘Abd Allah al-Syaththari (w.890 H/1485 M), seorang ulama yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Syihab al-Din Abu Hafsh, Umar Suhrawardi (539-632 H/1145-1234 M), ulama yang mempopulerkan Tarekat Suhrawardiyah. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoxiana (Asia Tengah) dengan nama Insyiqiah sedangkan di wilayah Turki Usmani tarekat ini disebut Bistamiyah. Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid Al-Isyqi yang dianggap sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat Syatariyah tidak menganggap sebagai cabang dari persatuan sufi manapun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktek. Nisbah asy-Syatar yang berasal dari kata Syatara artinya membelah dua dan nampaknya dibelah dalam hal ini adalah kalimat tauhid yang dihayati dalam zikir nafi itsbat, La ila (nafi) dan ilaha (itsbat), juga merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang dicapainya, yang kemudian membuatnya berhak mendapat perlimpahan hak dan wewenang sebagai washitah (mursyid). Namun karena popularitas tarekat isyqiyah ini tidak berkembang di tanah kelahirannya, dan bahkan semakin memudar akibat perkembangan tarekat Naqsyabandiyah, Abdullah Asy-Syatar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota muslim di daerah Malwa (Multan). Di India inilah ia mempeoleh popularitas dan berhasil mengembangkan tarekatnya tersebut. Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif murid-muridnya. Ia tinggal di India sampai akhir hayatnya (1428). Sepeninggal Abdullah Asy-Syatar, Tarekat Syatariyah disebarluaskan oleh murid-muridnya, terutama Muhammad Al-A’la, yang dikenal sebagai Qazan Syatiri. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah Muhammad Ghauts dari Gwalior (w. 1562), keturunan keempat dari sang pendiri dari seorang pendiri. Tradisi tarekat yang bernafas India dibawa ke tanah Suci oleh seorang tokoh sufi terkemuka, Sibgatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang murid Wajihudin dan mendirikan zawiyah di Madinah. Tarekat ini kemudian disebar luaskan dan dipopulerkan dengan bahasa Arab oleh muridnya Ahmad Syimnawi. Begitu juga oleh salah seorang khilafahnya, yang kemudian memegang pucuk kepemimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina Ahmad al-Qusyasyi. Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal Ibrahim al-Kurani asal Turki tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan pengajar Tarekat Syatariyah yang terkenal di wilayah Madinah. Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim al-Kurani adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil mengembangkan Syatariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf Singkel, telah ada seorang toko sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran Syatariyah yang berkembang di nusantara lewat bukunya Tuhfat Al-Mursalat Ila Ar-Ruh An-Nabi, sebuah karya yang relative pendek tentang Wahdat al-Wujud. Ia adalah Muhammad bin Fadlullah al-Burhanpuri, yang juga salah seorang murid Wajihuddin. Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu, terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya, di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi. Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul Khalwati (1629-1699). Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling “mempribumi” di antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
b.AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Di dalam naskah Syattariyah karangan Syeh Abdurrauf, disebutkan tentang adab berzikir dan bentuk-bentuk lafal zikir. Pelaksanaan zikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi, mutawasitah, dan muntahi. Mubtadi artinya ‘tingkat permulaan’; mutawasitah artinya ‘tingkat menengah’; dan muntahi artinya ‘tingkat terakhir’: Khusus mengenai tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat: yaitu makrifat tanziyyah dan makrifat tasybiyyah. Makrifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat discrupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Dan makrifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya. Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah. Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT. Dalam kitab al-Simt al-Majid, syaikh Ahmad al-Qusyasyi, kholifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntunan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntunan dan tata cara zikirnya. Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqoddimah, sebagai sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syatariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
b.AJARAN ZIKIR TAREKAT SYATTARIYAH
Di dalam naskah Syattariyah karangan Syeh Abdurrauf, disebutkan tentang adab berzikir dan bentuk-bentuk lafal zikir. Pelaksanaan zikir bagi penganut tarekat Syattariyah dibagi menjadi tiga tataran, yaitu: mubtadi, mutawasitah, dan muntahi. Mubtadi artinya ‘tingkat permulaan’; mutawasitah artinya ‘tingkat menengah’; dan muntahi artinya ‘tingkat terakhir’: Khusus mengenai tataran terakhir ini, di dalam teks dibicarakan secara panjang lebar. Dikatakan bahwa tataran ini dapat dicapai oleh seseorang yang mampu mengumpulkan dua makrifat: yaitu makrifat tanziyyah dan makrifat tasybiyyah. Makrifat tanziyyah adalah ‘suatu iktikad bahwa Allah tidak dapat discrupakan dengan sesuatu apapun’. Pada makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi batiniah/hakikatnya. Dan makrifat tasybiyyah adalah ‘mengetahui dan mengitikadkan bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar’, dalam makrifat ini segala sesuatu dilihat dari segi lahiriahnya. Perkembangan mistik tarekat ini ditujukan untuk mengembangkan suatu pandangan yang membangkitkan kesadaran akan Allah SWT di dalam hati, tetapi tidak harus melalui tahap fana’. Penganut Tarekat Syattariyah percaya bahwa jalan menuju Allah itu sebanyak gerak napas makhluk. Akan tetapi, jalan yang paling utama menurut tarekat ini adalah jalan yang ditempuh oleh kaum Akhyar, Abrar, dan Syattar. Seorang salik sebelum sampai pada tingkatan Syattar, terlebih dahulu harus mencapai kesempurnaan pada tingkat Akhyar (orang-orang terpilih) dan Abrar (orang-orang terbaik) serta menguasai rahasia-rahasia dzikir. Untuk itu ada sepuluh aturan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan tarekat ini, yaitu taubat, zuhud, tawakkal, qana’ah, uzlah, muraqabah, sabar, ridla, dzikir, dan musyahadah. Sebagaimana halnya tarekat-tarekat lain, Tarekat Syattariyah menonjolkan aspek dzikir di dalam ajarannya. Tiga kelompok yang disebut di atas, masing-masing memiliki metode berdzikir dan bermeditasi untuk mencapai intuisi ketuhanan, penghayatan, dan kedekatan kepada Allah SWT. Kaum Akhyar melakukannya dengan menjalani shalat dan puasa, membaca al-Qur’an, melaksanakan haji, dan berjihad. Kaum Abrar menyibukkan diri dengan latihan-latihan kehidupan asketisme atau zuhud yang keras, latihan ketahanan menderita, menghindari kejahatan, dan berusaha selalu mensucikan hati. Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari arwah para wali. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang tercepat untuk sampai kepada Allah SWT. Dalam kitab al-Simt al-Majid, syaikh Ahmad al-Qusyasyi, kholifah Tarekat Syattariyah di Haramayn, menjelaskan berbagai tuntunan dan ajaran bagi para penganut tarekat, termasuk di dalamnya Tarekat Syattariyah. Kitab ini berisi aturan dan tata tertib menjadi anggota tarekat, serta juga berisi tuntunan dan tata cara zikirnya. Di dalam tarekat ini, dikenal tujuh macam dzikir muqoddimah, sebagai sebagai pelataran atau tangga untuk masuk ke dalam Tarekat Syatariyah, yang disesuaikan dengan tujuh macam nafsu pada manusia. Ketujuh macam dzikir ini diajarkan agar cita-cita manusia untuk kembali dan sampai kepada Allah dapat selamat dengan mengendarai tujuh nafsu itu. Ketujuh macam dzikir itu sebagai berikut:
1.Dzikir thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
2.Dzikir nafi itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
3.Dzikir itsbat faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
4.Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
5.Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
6.Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.
7.Dzikir Isim Ghaib, yaitu dzikir Hu, Hu, Hu dengan mata dipejamkan dan mulut dikatupkan kemudian diarahkan tepat ke tengah-tengah dada menuju ke arah kedalaman rasa. Ketujuh macam dzikir di atas didasarkan kepada firman Allah SWT di dalam Surat al-Mukminun ayat 17: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu semua tujuh buah jalan, dan Kami sama sekali tidak akan lengah terhadap ciptaan Kami (terhadap adanya tujuh buah jalan tersebut)”. Adapun ketujuh macam nafsu yang harus ditunggangi tersebut, sebagai berikut:
1. Nafsu Ammarah, letaknya di dada sebelah kiri. Nafsu ini memiliki sifat-sifat berikut: Senang berlebihan, hura-hura, serakah, dengki, dendam, bodoh, sombong, pemarah, dan gelap, tidak mengetahui Tuhannya.
2. Nafsu Lawwamah, letaknya dua jari di bawah susu kiri. Sifat-sifat nafsu ini: enggan, acuh, pamer, ‘ujub, ghibah, dusta, pura-pura tidak tahu kewajiban.
3. Nafsu Mulhimah, letaknya dua jari dari tengah dada ke arah susu kanan. Sifat-sifatnya: dermawan, sederhana, qana’ah, belas kasih, lemah lembut, tawadlu, tobat, sabar, dan tahan menghadapi segala kesulitan.
4. Nafsu Muthmainnah, letaknya dua jari dari tengah-tengah dada ke arah susu kiri. Sifat-sifatnya: senang bersedekah, tawakkal, senang ibadah, syukur, ridla, dan takut kepada Allah SWT.
5. Nafsu Radhiyah, letaknya di seluruh jasad. Sifat-sifatnya: zuhud, wara’, riyadlah, dan menepati janji.
6. Nafsu Mardliyah, letaknya dua jari ke tengah dada. Sifat-sifatnya: berakhlak mulia, bersih dari segala dosa, rela menghilangkan kegelapan makhluk.
7. Nafsu Kamilah, letaknya di kedalaman dada yang paling dalam. Sifat-sifatnya: Ilmul yaqin, ainul yaqin, dan haqqul yaqin. Khusus dzikir dengan nama-nama Allah (al-asma’ al-husna), tarekat ini membagi dzikir jenis ini ke dalam tiga kelompok. Yakni,
a) menyebut nama-nama Allah SWT yang berhubungan dengan keagungan-Nya, seperti al-Qahhar, al-Jabbar, al-Mutakabbir, dan lain-lain;
b) menyebut nama Allah SWT yang berhubungan dengan keindahan-Nya seperti, al-Malik, al-Quddus, al-’Alim, dan lain-lain; dan
c) menyebut nama-nama Allah SWT yang merupakan gabungan dari kedua sifat tersebut, seperti al-Mu’min, al-Muhaimin, dan lain-lain.
Ketiga jenis dzikir tersebut harus dilakukan secara berurutan, sesuai urutan yang disebutkan di atas. Dzikir ini dilakukan secara terus menerus dan berulang-ulang, sampai hati menjadi bersih dan semakin teguh dalam berdzikir. Jika hati telah mencapai tahap seperti itu, ia akan dapat merasakan realitas segala sesuatu, baik yang bersifat jasmani maupun ruhani. Satu hal yang harus diingat, sebagaimana juga di dalam tarekat-tarekat lainnya, adalah bahwa dzikir hanya dapat dikuasai melalui bimbingan seorang pembimbing spiritual, guru atau syekh. Pembimbing spiritual ini adalah seseorang yang telah mencapai pandangan yang membangkitkan semua realitas, tidak bersikap sombong, dan tidak membukakan rahasia-rahasia pandangan batinnya kepada orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Di dalam tarekat ini, guru atau yang biasa diistilahkan dengan wasithah dianggap berhak dan sah apabila terangkum dalam mata rantai silsilah tarekat ini yang tidak putus dari Nabi Muhammad SAW lewat Ali bin Abi Thalib ra, hingga kini dan seterusnya sampai kiamat nanti; kuat memimpin mujahadah Puji Wali Kutub; dan memiliki empat martabat yakni mursyidun (memberi petunjuk), murbiyyun (mendidik), nashihun (memberi nasehat), dan kamilun (sempurna dan menyempurnakan). Secara terperinci, persyaratan-persyaratan penting untuk dapat menjalani dzikir di dalam Tarekat Syattariyah adalah sebagai berikut: makanan yang dimakan haruslah berasal dari jalan yang halal; selalu berkata benar; rendah hati; sedikit makan dan sedikit bicara; setia terhadap guru atau syekhnya; kosentrasi hanya kepada Allah SWT; selalu berpuasa; memisahkan diri dari kehidupan ramai; berdiam diri di suatu ruangan yang gelap tetapi bersih; menundukkan ego dengan penuh kerelaan kepada disiplin dan penyiksaan diri; makan dan minum dari pemberian pelayan; menjaga mata, telinga, dan hidung dari melihat, mendengar, dan mencium segala sesuatu yang haram; membersihkan hati dari rasa dendam, cemburu, dan bangga diri; mematuhi aturan-aturan yang terlarang bagi orang yang sedang melakukan ibadah haji, seperti berhias dan memakai pakaian berjahit.
c.Tentang Talqin
c.Tentang Talqin
Talqin merupakan langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu, sebelum seseorang dibaiat menjadi anggota tarekat dan menjalani dunia tasawuf. Menurut al-Qusyasyi, diantara tata cara talqin adalah calon murid terlebih dahulu menginap di tempat tertentu yang ditunjuk oleh syekhnya selama tiga malam dalam keadaan suci (berwudhu). Dalam setiap malamnya, ia harus melakukan shalat sunnah sebanyak 6 rakaat, dengan tiga kali salam. Pada rakaat pertama, setelah surat al-Fatihah membaca al-Qadar enam kali, kemudian pada rakaat kedua, setelah surat al-Fatihah membaca surat al-Qadar dua kali. Padahal shalat tersebut dihadiahkan kepada Nabi SAW. Seraya berharap mendapat pertolongan kepada Allah SWT. Selanjutnya, pada rakaat pertama dari dua rakaat kedua, setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Kafirun lima kali, pada rakaat kedua, setelah al-Fatihah membaca al-Kafirun tiga kali, dan pahalanya dihadiahkan untuk arwah para nabi, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya. Terakhir, pada rakaat pertama dari dua rakaat ketiga, setelah surah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas empat kali, dan pada rakaat kedua, setelah al-Fatihah membaca surah al-Ikhlas dua kali. Kali ini, pahalanya dihadiahkan untuk arwah guru-guru tarekat, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Rangkaian shalat sunat ini kemudian diakhiri dengan pembacaan shalawat kepada Nabi sebanyak sepuluh kali.
d.Baiat dan Tata Caranya Baiat yang dipakai dalam istilah Tarekat Syathariyah adalah barokah. Barokah karena telah berjanji mengikuti jejak guru wasthiah. Baiat di tarekat tersebut ada dua macam, yaitu baiat masuk Tarekat Syathariyah dan Baiat Tojadud artinya memperbaharui baiat. Dalam mengerjakan baiat ada beberapa syarat antara lain: niat, suci dari hadas, menutup aurat, oaring Islam, dan kifarat. Tujuan seseorang dalam berbaiat tersebut adalah untuk masuk Tarekat Syathariyah yang kemudian akhirnya bisa memperoleh ilmu Tauhid yaitu Ilmu Syathariyah. Pada pelaksanaan baiat mengambil tempat di mushala, masjid, ataupun di rumah Tanjung sebagai tempat berdomisili mursyid yang membaiat, ataupun di mushal/masjid/rumah dengan cara mendatangkan musyrid. Adapun cara baiat adalah terlebih dahulu mandi keramas kemudian diteruskan dengan puasa 3 hari. Setelah itu kemudian di baiat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Biasanya berkelompok, yaitu setealah ada beberapa orang kemudian diantar ke Tanjung atau mendatangkan. Sedangkan dalil yang menjadi dasar/alasan dalam melaksanakan baiat adalah surat al-Fath ayat 10.
d.Baiat dan Tata Caranya Baiat yang dipakai dalam istilah Tarekat Syathariyah adalah barokah. Barokah karena telah berjanji mengikuti jejak guru wasthiah. Baiat di tarekat tersebut ada dua macam, yaitu baiat masuk Tarekat Syathariyah dan Baiat Tojadud artinya memperbaharui baiat. Dalam mengerjakan baiat ada beberapa syarat antara lain: niat, suci dari hadas, menutup aurat, oaring Islam, dan kifarat. Tujuan seseorang dalam berbaiat tersebut adalah untuk masuk Tarekat Syathariyah yang kemudian akhirnya bisa memperoleh ilmu Tauhid yaitu Ilmu Syathariyah. Pada pelaksanaan baiat mengambil tempat di mushala, masjid, ataupun di rumah Tanjung sebagai tempat berdomisili mursyid yang membaiat, ataupun di mushal/masjid/rumah dengan cara mendatangkan musyrid. Adapun cara baiat adalah terlebih dahulu mandi keramas kemudian diteruskan dengan puasa 3 hari. Setelah itu kemudian di baiat, baik secara sendiri maupun berkelompok. Biasanya berkelompok, yaitu setealah ada beberapa orang kemudian diantar ke Tanjung atau mendatangkan. Sedangkan dalil yang menjadi dasar/alasan dalam melaksanakan baiat adalah surat al-Fath ayat 10.
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
e.AJARAN-AJARAN TAREKAT SYATARIYAH
Adapun ajaran Tarekat Syatariyah yang berkembang di Nusantara yang dibawa oleh Abdul Rauf Singkel, ajarannya dapat dikelompokkan kepada tiga bagian:
1.Ketuhanan Dan Hubungannya Dengan Alam.
Dalam naskah syattariyah yang ditulis syekh al-sinkli dijelaskan bahwaHubungan antara Tuhan dengan alam menurut pandangan Syattariyah dijelaskan sebagai berikut: pada mulanya alam ini diciptakan olch Allah dari Nur Muhammad. Sebelum segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah, ia berada di dalam ilmu Allah yang diberi nama A'yan Tsabitah. la merupakan bayang-bayang bagi Dzat Allah. Sesudah A’yan Tsabitah ini menjelma pada A’yan Khrijiyah (kenyataan Tuhan yang berada di luar), maka A’yan Kharijiyyah itu merupakan bayang-bayang bagi Yang Memiliki bayang-bayang; dan ia tiada lain daripada-Nya. Hal di atas dapat dijelaskan dengan mengambil beberapa contoh antara lain pertama, perumpamaan orang yang bercermin, pada cermin tampak bahwa bagian sebelah kanan sesungguhnya merupakan pantulan dari bagian sebelah kiri, begitu pula sebaliknya. Dan jika orang yang bercermin itu berhadapan dengan beberapa cermin, maka di dalam cermin-cermin itu tampak ada beberapa orang, padahal itu semua tampak sebagai pantulan dari scorang saja. Perumpamaan kedua, mengenai hubungan antara tangan dengan gerak tangan, sesungguhnya gerak tangan itu bukan tangan tetapi ia tangan itu juga. Ketiga, tentang seseorang yang bernama Si Zaid yang memiliki ilmu mengenai huruf Arab. Sebelum ia menuliskan huruf tersebut pada papan tulis, huruf itu tetap (tsabit) pada ilmunya. Ilmu itu berdiri pada Dzatnya dan hapus di dalam keesaannya. Padahal hakikat huruf Arab itu bukanlah hakikat Si Zaid (meskipun huruf-huruf itu berada di dalam ilmunya): yang huruf tetaplah sebagai huruf dan Zaid tetap sebagai Zaid. Sesuai dengan dalil Fa l-kullu Huwa l-Haqq, artinya 'Adanya segala sesuatu itu tiada lain kecuali sebagai manifestasi-Nya Yang Maha Benar'.
2.Insan Kamil atau Manusia Ideal.
Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya. Manusia merupakan penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensinya, yang sebenarnya manusia adalah esensi sifat dan nama-Nya. Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang insan kamil meliputi masalah: pertama; masalah Hati, kedua; kejadian manusia yang dikenal dengan A’yan Khorijiyyah dan A’yan Tsabitah, ketiga; akhlak Takholli dan Tajalli.
3.Jalan Kepada Allah. Dalam hal ini Tarekat Syatariyah menekankan pada rekonsiliasi Syari’at dan Tasawuf, yaitu memadukan Tauhid dan Dzikir. Tauhid ini memiliki empat martabat, yaitu Uluhiyah, Tauhid Sifat, Tauhid Dzat, dan Tauhid Af’al. Segala martabat itu terhimpun dalam kalimat La Ilaha Illa Allah. Oleh karena itu kita hendaknya memesrakan diri dengan La Illaha Illa Allah. Begitu juga dengan dzikir yang tentunya diperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahan intuitif (kasyaf) guna bertemu dengan Tuhan. Dzikir ini dimaksudkan untuk mendapatkan al-Mawat al-Iktiariyah (kematian sukarela) yang merupakan lawan dari al-Mawat al-Tabi’i (kematian alami). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syariah.
f.HUBUNGAN ANTARA SYARIAT DENGAN TAREKAT DALAM TAREKAT SYATTARIYAH Sebelum diuraikan tentang hubungan antara Syariat dengan tarekat Syattariyah, perlu diketahui terlebilih dahulu mengenai pengertian syariat dan tarekat. Ulama mutaakhirin (ulama yang terkenal. sesudah abad ke-3 Hijriah) memberikan istilah svariat sama dengan hukum fikih yaitu ‘peraturan vang ditetapkan oleh Allah kepada kaum muslimin berdasarkan Alquran, Hadis, ljmak, dan Kias’. Peraturan itu disusun secara terperinci vang berhubungan dengan tatacara peribadatan, prinsip-prinsip ajaran moral dan kehidupan, serta hukum-hukum mengenai hal-hal vang diperbolehkan untuk dikerjakan, untuk mengetahui yang benar dan yang. Secara etimologi tarekat berasal dari kata Arab ''Tariqatun'' yang berarti ‘jalan atau mazab' atau 'cara'. Kecuali itu tarekat diartikan ‘sebagai suatu sistem atau petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah dengan tujuan untuk memperoleh ridha Allah dengan dibimbing olch seorang guru/mursyid yang memiliki hubungan silsilah (ilmu tarekat) sampai kepada Nabi Muhammad Saw. yang pengamalan ibadah itu lebih mengutamakan aspek batiniah daripada aspek lahiriahnya, dengan cara memperbanyak zikir kepada Allah. Oleh sebab itu tarekat merupakan suatu metode pelaksanaan teknis untuk mencapai hakikat ilmu tauhid secara haqqul yakin. Untuk selanjutnya pembahasan mengenai hubungan syariat dengan tarekat Syattariyah di sini akan dibatasi pada tiga hal:
(1) Tinjauan secara syariat mengenai ajaran tarekat Syattariyah (2) Tinjauan secara syariat mengenai guru tarekat Syattariyah (3) Tinjauan secara syariat mengenai tarekat Syattariyah
(1) Secara garis besar tarekat Syattariyah mengajarkan tentang tata cara pelaksanaan zikir. Di dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang masalah zikir yang jumlahnya lebih banyak daripada ayat-ayat yang menjelaskan tentang shalat, zakat, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan zikir (secara luas) memiliki kedudukan yang cukup penting dibanding dengan ibadah-ibadah yang lainnya. Pelaksanaan zikir di dalam tarekat Syattariyah dilakukan dengan jahar (bersuara) dan sirri/ khafi (dalam hati) Pembacaan zikir secara bersuara merupakan ibadah yang lazim dikerjakan dan cukup diketahui dasar-dasarnya oleh kebanyakan umat Islam. Sedangkan pembacaan zikir dengan hati kurang banyak dikenal/diketahui oleh kebanyakan umat Islam, dan ini didasarkan pada firman Allah: Berzikirlah kau dengan hatimu secara merendahkan diri dan rasa takut, zikir itu tidak diucapkan secara lisan (Q.S.Al A'raf 205). Dan didasarkan pada Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Baihaqi sebagai berikut: Zikir yang tidak terdengar oleh Malaikat Hafazhah itu lebih utama daripada zikir secara bersuara, dengan perbandingan satu banding tujuh puluh (Adz-dzikru l-ladzi la tasma'u hu 1-Hafazhatu yazidu 'ala dz-dzikri l-ladzi tasma'u hu l-Hafazhatu bi sab’ina dhi'fan.
(2) Dalil-dalil yang menguatkan tentang peranan guru tarekat adalah sebagai berikut. a. Man laa Syaikhun Mursyidun lahu fa Mursyidu hu ‘sy-syaithaan artinva, 'Barangsiapa tidak memiliki guru yang berderajat Mursyid, maka ia dibimbing oleh setan'. b. Hadis Nabi: Kun ma'a’I-Laah fa in lam takun ma'a ‘I-Laah fa kun ma'a man ma'a ‘I-Laah fa innahu yuushiluka ilaa ‘I-Laah artinya 'Hendaklah kau selalu beserta Allah, jika tidak dapat demikian besertalah dengan orang yang dekat dengan Allah, ia akan membimbingmu ke jalan Allah. c. Alquran: ‘Barangsiapa yang disesatkan oleh Allah ia tidak akan memperoleh 'Waliyyam Mursyida' (pembimbing kerohanian) (Q.S. Al-Kahfi 17). d. Alquran: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah 'Al-Wasilah' (Channel.. berfungsi sebagai pembimbing, bukan perantara), bersungguh-sungguhlah di jalan itu mudah-mudahan kamu sukses” (Q.S. Al-Maidah 35).
(3) Tujuan pengamalan zikir di dalam tarekat Syattariyah adalah untuk mencapai martabat insan kamil yaitu tingkat kesempurnaan (yang lazim menurut ukuran manusia). Tingkatan ini dapat diperoleh oleh seseorang, jika ia dapat mengumpulkan dua makrifat yaitu makrifat Tanziyyah dan makrifat Tasybiyyah, (mengetahui secara mendalam tentang sesuatu hal secara lahiriah dan batiniah). Hal ini didasarkan pada firman Allah di dalarn Alquran surat Al-Hadid ayat 11: Allah adalah Dzat yang Maha Pertama dan Maha Kemudian, Maha Lahir dan Maha Batin.
g.SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH
g.SILSILAH TAREKAT SYATTARIYAH
Sebagaimana tarekat pada umumnya, tarekat ini memiliki sanad atau silsilah para washitah yang bersambung kepada Rasulullah SAW. Para pengikut tarekat ini meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW, atas petunjuk Allah SWT, menunjuk Ali bin Abi Thalib untuk mewakilinya dalam melanjutkan fungsinya sebagai Ahl adz-dzikr, tugas dan fungsi kerasulannya. Kemudian Ali menyerahkan risalahnya sebagai Ahl adz-dzikir kepada putranya, Hasan bin Ali, dan demikian seterusnya sampai sekarang. Pelimpahan hak dan wewenang ini tidak selalu didasarkan atas garis keturunan, tetapi lebih didasarkan pada keyakinan atas dasar kehendak Allah SWT yang isyaratnya biasanya diterima oleh sang wasithah jauh sebelum melakukan pelimpahan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Muhammad SAW sebelum melimpahkan kepada Ali bin Abi Thalib. Berikut contoh sanad Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh para mursyid atau wasithahnya di Indonesia: Nabi Muhammad SAW kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kepada Sayyidina Hasan bin Ali asy-Syahid, kepada Imam Zainal Abidin, kepada Imam Muhammad Baqir, kepada Imam Ja'far Syidiq, kepada Abu Yazid al-Busthami, kepada Syekh Muhammad Maghrib, kepada Syekh Arabi al-Asyiqi, kepada Qutb Maulana Rumi ath-Thusi, kepada Qutb Abu Hasan al-Hirqani, kepada Syekh Hud Qaliyyu Marawan Nahar, kepada Syekh Muhammad Asyiq, kepada Syekh Muhammad Arif, kepada Syekh Abdullah asy-Syattar, kepada Syekh Hidayatullah Saramat, kepada Syekh al-Haj al-Hudhuri, kepada Syekh Muhammad Ghauts, kepada Syekh Wajihudin, kepada Syekh Sibghatullah bin Ruhullah, kepada Syekh Ibnu Mawahib Abdullah Ahmad bin Ali, kepada Syekh Muhammad Ibnu Muhammad, Syekh Abdul Rauf Singkel, kepada Syekh Abdul Muhyi (Safarwadi, Tasikmalaya), kepada Kiai Mas Bagus (Kiai Abdullah) di Safarwadi, kepada Kiai Mas Bagus Nida' (Kiai Mas Bagus Muhyiddin) di Safarwadi, kepada Kiai Muhammad Sulaiman (Bagelan, Jateng), kepada Kiai Mas Bagus Nur Iman (Bagelan), kepada Kiai Mas Bagus Hasan Kun Nawi (Bagelan) kepada Kiai Mas Bagus Ahmadi (Kalangbret, Tulungagung), kepada Raden Margono (Kincang, Maospati), kepada Kiai Ageng Aliman (Pacitan), kepada Kiai Ageng Ahmadiya (Pacitan), kepada Kiai Haji Abdurrahman (Tegalreja, Magetan), kepada Raden Ngabehi Wigyowinoto Palang Kayo Caruban, kepada Nyai Ageng Hardjo Besari, kepada Kiai Hasan Ulama (Takeran, Magetan), kepada Kiai Imam Mursyid Muttaqin (Takeran), kepada Kiai Muhammad Kusnun Malibari (Tanjunganom, Nganjuk) dan kepada KH Muhammad Munawar Affandi (Nganjuk).
h.MENGENAL SOSOK PEMBAWA TAREKAT SYATTARIYAH DI INDONESIA
h.MENGENAL SOSOK PEMBAWA TAREKAT SYATTARIYAH DI INDONESIA
Pada abad ke-16 dan 17 kita kenal beberapa ulama sufi di Aceh yang besar sumbangan pemikirannya bagi penyiaran agama Islam dan kesusasteraan Melayu. Mereka adalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin As-Sumatrani, Nuruddin Arraniri, dan Abdurrauf As-sinkli. Nama besar yang disandingkan dengan penyebar tarekat Syattariyah adalah
Syeh Abdurrauf al-Singkel. Oleh karena itu, pada makalah ini hanya di cantumkan biografi beliau saja. Adapun nama murid-muridnya seperti Syeh Abdul Muhyi Pamijahan, Syeh Burnahuddin Ulakan atau pun murid-murid beliau yang lain. Kenapa demikian? Karena Syeh Abdurrauf al-Singkel adalah guru besar bagi syeh-syeh yang lain. Riwayat hidup Abdurrauf dapat diketahui dari beberapa sumber di antaranya kitab yang ditulisnya sendiri berjudul Umdatu l-Muhtajin ila Suluk Maslaki l-Mufradinpada bagian kesimpulan, selain itu terdapat pula dalam disertasi Rinkas yang berjudul Abdoerraoef van Singkel. Syeh Abdurrauf (1615-1693) dikenal oleh masyarakat sebagai ulama, tokoh sufi, dan pengarang terkenal. la belajar di negara-negara Arab terutama di Mekah dan Yaman selama 19 tahun. la belajar kepada beberapa ahli di antaranya: 15 orang guru, 27 orang ulama ternama, dan 15 orang sufi kenamaan. Sejarah telah mencatat bahwa al-Singkli merupakan murid dari dua orang ulama sufi yang menetap di Mekkah dan Madinah. Ia sempat menerima baiat tarekat syattariyah di samping ilmu-ilmu sufi yang lainnya, termasuk sekte, dan bidang ruang lingkup ilmu pengetahuan yang ada hubungan dengannmya. Guru Abdurrauf yang terkenal adalah Syeh Shafiuddin Ahmad Ad-Dajjani AI-Qusyasyi yang hidup sekitar tahun 1583-1660. Ia menerima baiat tarekat Syattariyah dari AI-Qusyasyi dan menerima khirqah darinya, yaitu suatu tanda bahwa ia telah lulus dalam melaksanakan amalan tarekat melalui pengkajian secara suluk, tanda itu berupa selendang berwarna putih yang diberikan oleh gurunya , yang berarti ia telah dapat membaiat kepada orang lain mengenai aiaran tarekat Syattariyah. Nama lain dari Abdurrauf Assingkeli adalah Abdurrauf bin Ali AI-Fansuri. Hal ini banyak dipertanyakan orang karena penambahan Tansur di belakang namanya seakan-akan menunjukan adanya hubungan silsilah dengan Hamah Fansuri. Penambahan nama Fansuri kemungkinan hanya menunjuk daerah asal Abdurrauf, yang biasanya disebut Assingkeli (dari Singkel) menjadi Fansuri (dari Fansur), kedua tempat ini ada di daerah Aceh. Syeh Abdurrauf wafat tahun 1693 dimakamkan di Kuala Aceh, sampai sekarang makamnya sering diziarahi orang. Kemudian ia terkenal dengan sebutan Tengku di Kuala atau Syeh di Kuala. Sekarang nama itu diabadikan menjadi nama perguruan tinggi di Banda Aceh, yaitu Universitas Syah Kuala. Syeh Abdurrauf menulis beberapa kitab antara lain: Terjemahan Tafsir Baidhawi ke dalambahasa Melayu, Daqa,iqu ‘I-Huruf 'Umdatu ‘l-Muhtajin ila Suluk Maslaki ‘I-Mufradin, Mir’atu ‘t- Tullab, At-Tariqatu ‘sy-Syattariyyah (Syattariyah pen.), Bayan Tajalli Hidayatu ‘l-Balighah. Sejumlah karya tersebut memperkaya perbendaharaan pengetahuan keagamaan dan kesusasteraan Melayu. Karya Syekh Abdurrauf yang berjudul Syattariyah ditulis berdasarkan anjuran Ratu Shafiyyatu d-Din yang memerintah di Aceh tahun 1641-1675. Kecuali itu Ratu juga meminta kepada Syeh Abdurrauf agar ia dibimbing untuk menjalankan ajaran tarekat dan tasauf. Ikut sertanya Ratu Shafiyatu d-Din dalam bidang Tarekat Syattariyah pada khususnya dan bidang tasauf pada mumnya, dapat memperkuat kedudukan ajaran yang dibawa oleh Syeh Abdurrauf.
http://www.kompasiana.com/rianhidayat.abi/melacak-tarekat-syattariyah
Komentar
Posting Komentar