Laksamana Ceng Ho
Cheng Ho
Cheng Ho atau Zheng He (Hanzi tradisional:鄭和, Hanzi sederhana: 郑和 , Hanyu Pinyin: Zhèng Hé, Wade-Giles: Cheng Ho; nama asli: 马三宝 Hanyu Pinyin: Ma Sanbao; nama Arab: Haji Mahmud Shams) (1371 - 1433), adalah seorang pelaut dan penjelajah Tiongkok terkenal yang melakukan beberapa penjelajahan antara tahun 1405 hingga 1433.
Biografi
Cheng Ho adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao (馬 三保)/Sam Po Bo[1] , berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Hoditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam.
Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15.
Pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi (berkuasa tahun 1424-1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).
Penjelajahan
Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain:
- Vietnam
- Taiwan
- Malaka / bagian dari Malaysia
- Palembang, Sumatra/ bagian dari Indonesia
- Jawa / bagian dari Indonesia
- Sri Lanka
- India bagian Selatan
- Persia
- Teluk Persia
- Arab
- Laut Merah, ke utara hingga Mesir
- Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik
Karena beragama Islam, para temannya mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin melakukan Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para arkeolog dan para ahli sejarahbelum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini. Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan kapal armadanya.
Pelayaran
Pelayaran | Waktu | Daerah yang dilewati |
---|---|---|
Pelayaran ke-1 | 1405-1407 | Champa, Jawa, Palembang, Malaka, Aru, Sumatra, Lambri, Ceylon, Kollam,Cochin, Calicut |
Pelayaran ke-2 | 1407-1408 | Champa, Jawa, Siam, Sumatra, Lambri, Calicut, Cochin, Ceylon |
Pelayaran ke-3 | 1409-1411 | Champa, Java, Malacca, Sumatra, Ceylon, Quilon, Cochin, Calicut, Siam, Lambri, Kaya, Coimbatore, Puttanpur |
Pelayaran ke-4 | 1413-1415 | Champa, Java, Palembang, Malacca, Sumatra, Ceylon, Cochin, Calicut, Kayal,Pahang, Kelantan, Aru, Lambri, Hormuz, Maladewa, Mogadishu, Brawa,Malindi, Aden, Muscat, Dhufar |
Pelayaran ke-5 | 1416-1419 | Champa, Pahang, Java, Malacca, Sumatra, Lambri, Ceylon, Sharwayn, Cochin, Calicut, Hormuz, Maldives, Mogadishu, Brawa, Malindi, Aden |
Pelayaran ke-6 | 1421-1422 | Hormuz, Afrika Timur, negara-negara di Jazirah Arab |
Pelayaran ke-7 | 1430-1433 | Champa, Java, Palembang, Malacca, Sumatra, Ceylon, Calicut, Hormuz... (17 politics in total) |
Cheng Ho memimpin tujuh ekspedisi ke tempat yang disebut oleh orang Tionghoa Samudera Barat (Samudera Indonesia). Ia membawa banyak hadiah dan lebih dari 30 utusan kerajaan ke Tiongkok - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada Kaisar.
Catatan perjalanan Cheng Ho pada dua pelayaran terakhir, yang diyakini sebagai pelayaran terjauh, sayangnya dihancurkan oleh Kaisar Dinasti ching
Armada
Armada ini terdiri dari 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal laut. Terdiri dari kapal besar dan kecil, dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan buah. Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beragam termasuk binatang seperti sapi, ayam dan kambing yang kemudian dapat disembelih untuk para anak buah kapal selama di perjalanan. Selain itu, juga membawa begitu banyak bambu Tiongkok sebagai suku cadang rangka tiang kapal berikut juga tidak ketinggalan membawa kain Sutera untuk dijual.
Kepulangan
Dalam ekspedisi ini, Cheng Ho membawa balik berbagai penghargaan dan utusan lebih dari 30 kerajaan - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkokuntuk meminta maaf kepada kaisar Tiongkok. Pada saat pulang Cheng Ho membawa banyak barang-barang berharga diantaranya kulit dan getah pohon Kemenyan, batu permata (ruby, emerald dan lain-lain) bahkan beberapa orang Afrika, India dan Arab sebagai bukti perjalanannya. Selain itu juga membawa pulang beberapa binatang asli Afrikatermasuk sepasang jerapah sebagai hadiah dari salah satu Raja Afrika, tetapi sayangnya satu jerapah mati dalam perjalanan pulang.
Rekor
Majalah Life menempatkan laksamana Cheng Ho sebagai nomor 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.
Cheng Ho adalah penjelajah dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia yang pernah tercatat. Juga memiliki kapal kayu terbesar dan terbanyak sepanjang masa hingga saat ini. Selain itu dia adalah pemimpin yang arif dan bijaksana, mengingat dengan armada yang begitu banyaknya dia dan para anak buahnya tidak pernah menjajah negara atau wilayah dimanapun tempat para armadanya merapat.
Semasa di India termasuk ke Kalkuta, para anak buah juga membawa seni beladiri lokal yang bernama Kallary Payatt yang mana setelah dikembangkan di negeri Tiongkok menjadi seni beladiri Kungfu.
Cheng Ho dan Indonesia
Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di museum Banda Aceh.
Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana. Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong.
Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.
Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati
Syekh Quro dan Syekh Datuk Kahfi adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro datang terlebih dahulu ke Amparan bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka mendarat di Muara Jati pada tahun 1416 M. Mereka semua telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pura Karawang,Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yang mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon.
Biografi Laksamana Cheng Ho
Biografi Laksamana Cheng Ho. Beliau adalah seorang kasim Muslim yang menjadi orang kepercayaan Kaisar Yongle dari Tiongkok (berkuasa tahun 1403-1424), kaisar ketiga dari Dinasti Ming. Nama aslinya adalah Ma He, juga dikenal dengan sebutan Ma Sanbao, berasal dari provinsi Yunnan. Ketika pasukan Ming menaklukkan Yunnan, Cheng Ho ditangkap dan kemudian dijadikan orang kasim. Ia adalah seorang bersuku Hui, suku bangsa yang secara fisik mirip dengan suku Han, namun beragama Islam. Dalam Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) tak terdapat banyak keterangan yang menyinggung tentang asal-usul Cheng Ho. Cuma disebutkan bahwa dia berasal dari Provinsi Yunnan, dikenal sebagai kasim (abdi) San Bao. Nama itu dalam dialek Fujian biasa diucapkan San Po, Sam Poo, atau Sam Po. Sumber lain menyebutkan, Ma He (nama kecil Cheng Ho) yang lahir tahun Hong Wu ke-4 (1371 M) merupakan anak ke-2 pasangan Ma Hazhi dan Wen.
Saat Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming. Para pemuda ditawan, bahkan dikebiri, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak terkecuali Cheng Ho yang diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing).
Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil menunjukkan kehebatan dan keberaniannya. Misalnya saat memimpin anak buahnya dalam serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.
Ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani, kaisar oke saja.
Ekspedisi Pelayaran Laksama Cheng Ho
Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.
Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka (Sultan Mansur Shah). Pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi (berkuasa tahun 1424-1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di masa kini. Desainnya bagus, tahan terhadap serangan badai, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas magnetik. Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain:
Saat Ma He berumur 12 tahun, Yunnan yang dikuasai Dinasti Yuan direbut oleh Dinasti Ming. Para pemuda ditawan, bahkan dikebiri, lalu dibawa ke Nanjing untuk dijadikan kasim istana. Tak terkecuali Cheng Ho yang diabdikan kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing).
Di depan Zhu Di, kasim San Bao berhasil menunjukkan kehebatan dan keberaniannya. Misalnya saat memimpin anak buahnya dalam serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Abdi yang berpostur tinggi besar dan bermuka lebar ini tampak begitu gagah melibas lawan-lawannya. Akhirnya Zhu Di berhasil merebut tahta kaisar.
Ketika kaisar mencanangkan program pengembalian kejayaan Tiongkok yang merosot akibat kejatuhan Dinasti Mongol (1368), Cheng Ho menawarkan diri untuk mengadakan muhibah ke berbagai penjuru negeri. Kaisar sempat kaget sekaligus terharu mendengar permintaan yang tergolong nekad itu. Bagaimana tidak, amanah itu harus dilakukan dengan mengarungi samudera. Namun karena yang hendak menjalani adalah orang yang dikenal berani, kaisar oke saja.
Ekspedisi Pelayaran Laksama Cheng Ho
Berangkatlah armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho (1405). Terlebih dahulu rombongan besar itu menunaikan shalat di sebuah masjid tua di kota Quanzhou (Provinsi Fujian). Pelayaran pertama ini mampu mencapai wilayah Asia Tenggara (Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa). Tahun 1407-1409 berangkat lagi dalam ekspedisi kedua. Ekspedisi ketiga dilakukan 1409-1411. Ketiga ekspedisi tersebut menjangkau India dan Srilanka. Tahun 1413-1415 kembali melaksanakan ekspedisi, kali ini mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur ini diulang kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433) berhasil mencapai Laut Merah.
Cheng Ho berlayar ke Malaka pada abad ke-15. Saat itu, seorang putri Tiongkok, Hang Li Po (atau Hang Liu), dikirim oleh kaisar Tiongkok untuk menikahi Raja Malaka (Sultan Mansur Shah). Pada tahun 1424, kaisar Yongle wafat. Penggantinya, Kaisar Hongxi (berkuasa tahun 1424-1425, memutuskan untuk mengurangi pengaruh kasim di lingkungan kerajaan. Cheng Ho melakukan satu ekspedisi lagi pada masa kekuasaan Kaisar Xuande (berkuasa 1426-1435).
Kapal yang ditumpangi Cheng Ho disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang (138 m) dan lebar 18 zhang (56 m). Lima kali lebih besar daripada kapal Columbus. Menurut sejarawan, JV Mills kapasitas kapal tersebut 2500 ton.
Model kapal itu menjadi inspirasi petualang Spanyol dan Portugal serta pelayaran modern di masa kini. Desainnya bagus, tahan terhadap serangan badai, serta dilengkapi teknologi yang saat itu tergolong canggih seperti kompas magnetik. Cheng Ho melakukan ekspedisi ke berbagai daerah di Asia dan Afrika, antara lain:
Pelayaran Laksamana Cheng Ho |
- Vietnam
- Taiwan
- Malaka / bagian dari Malaysia
- Sumatra / bagian dari Indonesia
- Jawa / bagian dari
Advertisement
Indonesia
Sri Lanka
India bagian Selatan
Persia
Teluk Persia
Arab
Laut Merah, ke utara hingga Mesir
Afrika, ke selatan hingga Selat Mozambik
Karena beragama Islam, para temannya mengetahui bahwa Cheng Ho sangat ingin melakukan Haji ke Mekkah seperti yang telah dilakukan oleh almarhum ayahnya, tetapi para arkeolog dan para ahli sejarah belum mempunyai bukti kuat mengenai hal ini. Cheng Ho melakukan ekspedisi paling sedikit tujuh kali dengan menggunakan kapal armadanya.
Armada ini terdiri dari 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal laut. Terdiri dari kapal besar dan kecil, dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan buah. Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beragam termasuk binatang seperti sapi, ayam dan kambing yang kemudian dapat disembelih untuk para anak buah kapal selama di perjalanan. Selain itu, juga membawa begitu banyak bambu Tiongkok sebagai suku cadang rangka tiang kapal berikut juga tidak ketinggalan membawa kain Sutera untuk dijual.
Dalam ekspedisi ini, Cheng Ho membawa balik berbagai penghargaan dan utusan lebih dari 30 kerajaan - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada kaisar Tiongkok. Pada saat pulang Cheng Ho membawa banyak barang-barang berharga diantaranya kulit dan getah pohon Kemenyan, batu permata (ruby, emerald dan lain-lain) bahkan beberapa orang Afrika, India dan Arab sebagai bukti perjalanannya. Selain itu juga membawa pulang beberapa binatang asli Afrika termasuk sepasang jerapah sebagai hadiah dari salah satu Raja Afrika, tetapi sayangnya satu jerapah mati dalam perjalanan pulang.
Majalah Life menempatkan Cheng Ho sebagai nomor 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.
Cheng Ho adalah penjelajah dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia yang pernah tercatat. Juga memiliki kapal kayu terbesar dan terbanyak sepanjang masa hingga saat ini. Selain itu beliau adalah pemimpin yang arif dan bijaksana, mengingat dengan armada yang begitu banyaknya beliau dan para anak buahnya tidak pernah menjajah negara atau wilayah dimanapun tempat para armadanya merapat.
Semasa di India termasuk ke Kalkuta, para anak buah juga membawa seni beladiri lokal yang bernama Kallary Payatt yang mana setelah dikembangkan di negeri Tiongkok menjadi seni beladiri Kungfu. Sebagai orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata 'haji'.
Bulan Ramadhan adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 sesudah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia tenggelam dalam kegiatan keagamaan sampai Idul Fitri tiba.
Setiap kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA. Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.
Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar. Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.
Selama hidupnya Cheng Ho memang sering mengutarakan hasrat untuk pergi haji sebagaimana kakek dan ayahnya. Obsesi ini bahkan terbawa sampai menjelang ajalnya. Sampai-sampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah untuknya. Muslim pemberani ini meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India), dalam pelayaran terakhirnya.
Cheng Ho dan Indonesia
Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di museum Banda Aceh. Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana. Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.
Armada ini terdiri dari 27.000 anak buah kapal dan 307 (armada) kapal laut. Terdiri dari kapal besar dan kecil, dari kapal bertiang layar tiga hingga bertiang layar sembilan buah. Kapal terbesar mempunyai panjang sekitar 400 feet atau 120 meter dan lebar 160 feet atau 50 meter. Rangka layar kapal terdiri dari bambu Tiongkok. Selama berlayar mereka membawa perbekalan yang beragam termasuk binatang seperti sapi, ayam dan kambing yang kemudian dapat disembelih untuk para anak buah kapal selama di perjalanan. Selain itu, juga membawa begitu banyak bambu Tiongkok sebagai suku cadang rangka tiang kapal berikut juga tidak ketinggalan membawa kain Sutera untuk dijual.
Dalam ekspedisi ini, Cheng Ho membawa balik berbagai penghargaan dan utusan lebih dari 30 kerajaan - termasuk Raja Alagonakkara dari Sri Lanka, yang datang ke Tiongkok untuk meminta maaf kepada kaisar Tiongkok. Pada saat pulang Cheng Ho membawa banyak barang-barang berharga diantaranya kulit dan getah pohon Kemenyan, batu permata (ruby, emerald dan lain-lain) bahkan beberapa orang Afrika, India dan Arab sebagai bukti perjalanannya. Selain itu juga membawa pulang beberapa binatang asli Afrika termasuk sepasang jerapah sebagai hadiah dari salah satu Raja Afrika, tetapi sayangnya satu jerapah mati dalam perjalanan pulang.
Majalah Life menempatkan Cheng Ho sebagai nomor 14 orang terpenting dalam milenium terakhir. Perjalanan Cheng Ho ini menghasilkan Peta Navigasi Cheng Ho yang mampu mengubah peta navigasi dunia sampai abad ke-15. Dalam buku ini terdapat 24 peta navigasi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, dan berbagai pelabuhan.
Cheng Ho adalah penjelajah dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah dunia yang pernah tercatat. Juga memiliki kapal kayu terbesar dan terbanyak sepanjang masa hingga saat ini. Selain itu beliau adalah pemimpin yang arif dan bijaksana, mengingat dengan armada yang begitu banyaknya beliau dan para anak buahnya tidak pernah menjajah negara atau wilayah dimanapun tempat para armadanya merapat.
Semasa di India termasuk ke Kalkuta, para anak buah juga membawa seni beladiri lokal yang bernama Kallary Payatt yang mana setelah dikembangkan di negeri Tiongkok menjadi seni beladiri Kungfu. Sebagai orang Hui (etnis di Cina yang identik dengan Muslim) Cheng Ho sudah memeluk agama Islam sejak lahir. Kakeknya seorang haji. Ayahnya, Ma Hazhi, juga sudah menunaikan rukun Islam kelima itu. Menurut Hembing Wijayakusuma, nama hazhi dalam bahasa Mandarin memang mengacu pada kata 'haji'.
Bulan Ramadhan adalah masa yang sangat ditunggu-tunggu Cheng Ho. Pada tanggal 7 Desember 1411 sesudah pelayarannya yang ke-3, pejabat di istana Beijing ini menyempatkan mudik ke kampungnya, Kunyang, untuk berziarah ke makam sang ayah. Ketika Ramadhan tiba, Cheng Ho memilih berpuasa di kampungnya yang senantiasa semarak. Dia tenggelam dalam kegiatan keagamaan sampai Idul Fitri tiba.
Setiap kali berlayar, banyak awak kapal beragama Islam yang turut serta. Sebelum melaut, mereka melaksanakan shalat jamaah. Beberapa tokoh Muslim yang pernah ikut adalah Ma Huan, Guo Chongli, Fei Xin, Hassan, Sha'ban, dan Pu Heri. "Kapal-kapalnya diisi dengan prajurit yang kebanyakan terdiri atas orang Islam," tulis HAMKA. Ma Huan dan Guo Chongli yang fasih berbahasa Arab dan Persia, bertugas sebagai penerjemah. Sedangkan Hassan yang juga pimpinan Masjid Tang Shi di Xian (Provinsi Shan Xi), berperan mempererat hubungan diplomasi Tiongkok dengan negeri-negeri Islam. Hassan juga bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan dalam rombongan ekspedisi, misalnya dalam melaksanakan penguburan jenazah di laut atau memimpin shalat hajat ketika armadanya diserang badai.
Kemakmuran masjid juga tak pernah dilupakan Cheng Ho. Tahun 1413 dia merenovasi Masjid Qinging (timur laut Kabupaten Xian). Tahun 1430 memugar Masjid San San di Nanjing yang rusak karena terbakar. Pemugaran masjid mendapat bantuan langsung dari kaisar. Beberapa sejarawan meyakini bahwa petualang sejati ini sudah menunaikan ibadah haji. Memang tak ada catatan sejarah yang membuktikan itu, tapi pelaksanaan haji kemungkinan dilakukan saat ekspedisi terakhir (1431-1433). Saat itu rombongannya memang singgah di Jeddah.
Selama hidupnya Cheng Ho memang sering mengutarakan hasrat untuk pergi haji sebagaimana kakek dan ayahnya. Obsesi ini bahkan terbawa sampai menjelang ajalnya. Sampai-sampai ia mengutus Ma Huan pergi ke Mekah agar melukiskan Ka'bah untuknya. Muslim pemberani ini meninggal pada tahun 1433 di Calicut (India), dalam pelayaran terakhirnya.
Cheng Ho dan Indonesia
Cheng Ho mengunjungi kepulauan di Indonesia selama tujuh kali. Ketika ke Samudera Pasai, ia memberi lonceng raksasa "Cakra Donya" kepada Sultan Aceh, yang kini tersimpan di museum Banda Aceh. Tahun 1415, Cheng Ho berlabuh di Muara Jati (Cirebon), dan menghadiahi beberapa cindera mata khas Tiongkok kepada Sultan Cirebon. Salah satu peninggalannya, sebuah piring yang bertuliskan ayat Kursi masih tersimpan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Pernah dalam perjalanannya melalui Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada Cheng Ho) sakit keras. Wang akhirnya turun di pantai Simongan, Semarang, dan menetap di sana. Salah satu bukti peninggalannya antara lain Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu) serta patung yang disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong. Cheng Ho juga sempat berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan raja Wikramawardhana.
http://www.biografiku.com/2009/09/biografi-laksamana-cheng-ho.html
VIVA.co.id - Klenteng Sam Poo Kong di Semarang, Jawa Tengah, berhubungan dengan muhibah atau perjalanan Laksamana Cheng Ho. Menurut inskripsi di Klenteng Sam Poo Kong yang ditulis dalam tiga bahasa, Inggris, China, dan Indonesia, tercatat Cheng Ho telah dua kali datang ke Kota Semarang, yakni pada 1406 dan 1416 M.
Asal nama Sam Poo Kong diceritakan berasal dari nama Cheng Ho. Laksamana Cheng Ho merupakan sidasida (pria yang dikebiri dan mengabdikan diri pada istana) yang berasal dari Yunan dan biasa disebut San Pau. Sementara, orang-orang dari daerah Fukien menyebutnya dengan nama Sam Po. Diketahui, orang-orang China perantauan di Simongan berasal dari Fukien.
“Cheng Ho disebut Sam Po Tay Djien atau Sam Po Tao Lang yang berarti Tuan Besar Sam Po,” ujar Djawahir Muhammad, Budayawan Semarang.
Dalam buku Laksamana Cheng Ho dan Klenteng Sam Po Kong; diceritakan tentang asal usul Cheng Ho. Ia dilahirkan di Desa He Dai, Kabupaten Kunyang, Provinsi Yunan, pada tahun Hong Wu ke-4 (1371 M). Keluarganya bermarga Ma, dari suku Hui yang mayoritas beragama Islam.
Saat itu ekspedisi Cheng Ho mengerahkan armada raksasa. Pada muhibah pertama, tercatat sebanyak 62 kapal besar dan belasan kapal kecil dengan 27.800 ribu awak dikerahkan. Kapal yang ditumpangi Cheng Ho sendiri yang disebut 'kapal pusaka' merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya 44,4 zhang (138 meter) dan lebar 18 zhang (56 m).
Armada Tiongkok di bawah komando Cheng Ho itu pun berangkat pada tahun 1405. Armada itu singgah di Pelabuhan Bintang Mas (kini Tanjung Priok) dan di Muara Jati (Cirebon). Saat menyusuri Laut Jawa, Wang Jinghong (orang kedua dalam armada itu) sakit keras. Mereka mendarat di Pantai Simongan, Semarang, dan tinggal sementara di sana.
Wang, yang kini dikenal sebagai Kiai Jurumudi Dampo Awang, akhirnya menetap dan menjadi cikal bakal warga Tionghoa di sana. Wang juga mengabadikan Cheng Ho menjadi sebuah patung (disebut Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po Kong), dan membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu.
Walau Laksamana Cheng Ho beragama Islam, warga China non–Muslim tetap memujanya. Sosok Cheng Ho sangat dihormati tak hanya oleh warga Tionghoa, namun juga warga setempat.
Setiap malam Jumat Kliwon, mereka berkunjung ke Sam Poo Kong. Dengan membawa bunga, mereka mendatangi patung Cheng Ho layaknya mendatangi makam wali atau sunan. Hal tersebut tak beda jauh dengan apa yang dilakukan warga Tionghoa yang menyembah Cheng Ho layaknya dewa. Meski telah diketahui secara jelas bahwa Cheng Ho beragama Islam, namun tak menyurutkan masyarakat Tionghoa untuk menyembah dan memujanya.
Penyembahan tersebut berawal dari salah kaprah menyikapi patung yang dibuat orang-orang pendahulu. Berawal satu dua orang yang menyebut keinginannya di depan patung Cheng Ho, namun ternyata terkabul.
Kabar pun berkembang. Warga Tionghoa mulai percaya patung Cheng Ho dapat menjadi perantara doa mereka kepada Tuhan. Mereka pun mulai menyembahnya.
“Sebenarnya pembuatan patung Cheng Ho oleh pemukim China bersama Juru Mudi Cheng Ho yang beragama Islam tidaklah ditujukan untuk menyembah laksamana besar itu. Patung Cheng Ho dibuat sebagai penghormatan,” tambahnya.
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/646736-kisah-laksamana-cheng-ho-muslim-yang-disembah-nonmuslim
Rekam Jejak Ekspedisi Kemaritiman Laksamana Cheng Ho
Laksamana Cheng Ho merupakan seorang pelaut ulung yang berasal dari negeri Tiongkok. Karir kemiliteran pemimpin besar yang memiliki nama asli Ma He ini, kian bersinar cerah ketika dia mengabdi (kasim) kepada Raja Zhu Di di istana Beiping (kini Beijing). Tak hanya mashur di negerinya, Cheng Ho juga sosok yang dikenal dunia, karena cukup sering mengarungi samudera. Dari berbagai catatan, Rekam jejak ekspedisi kemaritiman Laksamana Cheng Ho mengharumkan pula namanya sebagai jenderal besar yang sangat arif.
Laksamana Cheng Ho berasal dari suku Hui, suku bangsa yang secara ciri-ciri fisik hampir sama dengan suku Han. Cheng Ho merupakan anak kedua dari pasangan Ma Hazhi dan Wen yang lahir pada tahun Hong Wu keempat atau 1371 Masehi.
Sejak Kaisar ketiga (Kaisar Yongle) dari Dinasti Ming berkuasa (1403-1424) setelah menaklukan Dinasti Yuan yang sebelumnya mengasai Yunnan, Ma He yang baru menginjak usia 12 tahun beserta pemuda lainnya ditangkap dan dikebiri, lalu dibawa ke Nanjing dijadikan seorang kasim atau abdi di Istana. Ketika masa ini ia dikenal dengan nama kasim San Bao. Di lingkungan kekaisaran Cheng Ho disebut San Po, Sam Poo, atau Sam Po, dialek Fujian yang biasa disebutkan oleh orang-orang yang hidup di masa Dinasti Ming.
Bersama pemuda-pemuda yang dahulunya merupakan para tawanan Dinasti Ming, Cheng Ho telah menunjukkan keahlian militernya saat memimpin serangan militer melawan Kaisar Zhu Yunwen (Dinasti Ming). Serangan militer tersebut berhasil menumbangkan kekuasaan Kaisar Zhu Yuwen, yang akhirnya digantikan Zhu Di sebagai Kaisar barunya. Dari sini pula Cheng Ho semakin mendapat sorotan dan simpati dari Kaisar Zhu Di.
Pada kematangan usianya, Cheng Ho pun menawarkan pelayaran muhibah ke berbagai negeri di seberang daratan China. Hal tersebut dimaksudkan untuk memperkenalkan Dinasti Ming ke berbagai penjuru dunia. Secara esensi, pelayaran atau ekspedisi tersebut adalah untuk mengembalikan kejayaan mariitim Tiongkok setelah keruntuhan Dinasti Mongol (1368), yang merupakan penakluk dunia salah satunya dalam aspek pelayarannnya.
Dengan penuh kepercayaan, akhirnya Kaisar Zhu Di menyetujui usulan Cheng Ho untuk melakukan ekspedisi kemaritiman yang membawa nama Dinastinya tersebut. Dengan ratusan kapal yang dipimpin oleh Cheng Ho, berangkatlah ia bersama pasukan-pasukannya mengarungi lautan untuk misi perdamaian itu.
Dalam sebuah sumber menyebutkan bahwa armada kapal yang dikomandoi Cheng Ho berjumlah 307 armada kapal laut dan membawa sebanyak 27.000 anak buah kapal (ABK).
Pelayaran pertama yang dilakukan Cheng Ho pada tahun 1405-1407 yang membawa mereka sampai pada wilayah Asia Tenggara, yakni Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Jawa. Cheng Ho berangkat lagi mengarungi ganasnya samudera dalam ekspedisi kedua pada tahun 1407-1409. Berikutnya, Cheng Ho lakukan lagi ekspedisi ketiganya pada tahun 1409-1411 yang menjangkau India dan Srilanka.
Tahun 1413-1415 Cheng Ho kembali melaksanakan ekspedisi yang keempat dan berhasil mencapai Aden, Teluk Persia, dan Mogadishu (Afrika Timur). Jalur pelayaran pada ekspedisi keempat tersebut dilalui kembali pada ekspedisi kelima (1417-1419) dan keenam (1421-1422). Ekspedisi terakhir (1431-1433), armada yang dikomandoi Cheng Ho berhasil mencapai Laut Merah.
Dari perjalanan panjang ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan armada kolosal Cheng Ho, ia telah berhasil menemui berbagai negeri lain di berbagai belahan dunia. Wilayah-wilayah tersebut yakni, Vietnam; Taiwan; Malaka (Malaysia), Sumatera dan Jawa (Indonesia); Sri Lanka; India bagian Selatan; Persia; Teluk Persia; Arab; Laut Merah ke utara hingga Mesir dan Afrika ke selatan hingga Selat Mozambik.
Ekspedisi dengan ratusan kapal itu dipimpin oleh satu kapal besar yang ditumpangi Laksamana Cheng Ho. Kapal itu disebut ‘Kapal Pusaka’, yang merupakan kapal terbesar pada abad ke-15. Panjangnya mencapai 44,4 zhang atau 138 meter dan lebar 18 zhang atau 56 meter. Lima kali lebih besar daripada kapal yang digunakan Columbus. Menurut seorang sejarahwan JV Mills, kapasitas kapal yang digunakan Cheng Ho berbobot hingga 2500 ton.
http://angkasa.co.id/sejarah/rekam-jejak-ekspedisi-kemaritiman-laksamana-cheng-ho/
Kisah Laksamana Cheng Ho Sang Penemu Benua
Pada tahun 1421 Armada Cina dengan ribuan kapal raksasanya telah memulai penjelajahan menjangkau ujung-ujung bumi yang lain, jauh sebelum penemu benua dari bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lain memulainya. Dengan membawa misi damai, mereka berangkat ke seluruh dunia, berpuluh-puluh tahun sebelum hal itu terpikirkan oleh para penemu benua dari Eropa. Bahkan satu abad sebelum Colombus mengelilingi dunia, orang Cina sudah lebih dulu memulainya. Siapa yang memimpin Armada besar Cina menjelajahi dunia pada masa itu? Dialah Cheng Ho, seorang nahkoda muslim yang membawa pesan perdamaian dan toleransi dalam setiap pelayarannya ke berbagai tempat di dunia. Kali ini, saya ingin menulis kisah Cheng Ho ini dengan sudut pandang sedikit berbeda dari kisah-kisah mengenai Cheng Ho yang dapat kita baca dari berbagai ragam buku sejarah. Saya berkeinginan menulis kembali tentang si Cheng Ho ini, sebetulnya adalah karena untuk kesekian kalinya saya menyempatkan diri berkunjung ke Semarang, dan lagi-lagi Kelenteng peninggalan Cheng Ho mesti saya kunjungi, namanya Sam Poo Kong. Maka terbesitlah keinginan untuk kembali menuangkan kisah Cheng Ho ini lewat tulisan. Kalau tulisan ini lumayan panjang, karena memang butuh kedalaman untuk dapat meresapi kisah Cheng Ho ini. Menurut catatan sejarah, Cheng Ho lahir tahun 1371 di desa He Dai di provinsi Yunnan. Nama yang pertama kali diberikan orang tuanya pada saat lahir adalah Ma He. Ayahnya adalah seorang petugas desa, dan keturunan mereka berasal dari suku Hui yang dikenal kebanyakan adalah beragama Islam. Sewaktu muda, ayahnya si Cheng Ho (Ma He) itu sudah pernah naik haji, dan sejak kecil pun Cheng Ho sudah diajari bahasa Arab sampai mahir. Mereka adalah muslim yang taat dan berjiwa besar. Semasa Cheng Ho kecil, pemerintahan Cina dikuasai oleh bangsa Mongol. Namun pada masa itu rupa-rupanya telah terjadi banyak pemberontakan terhadap suku Mongol, dan salah satu yang terhebat adalah pemebrontakan Zhu Yuanzhang di sekitar tahun 1352. Akhirnya, pemberontakan tersebut membuahkan hasil juga, alhasil pada tahun 1368 Zhu Yuanzhang berhasil menguasai Ta-Tu, ibukota Mongol. Setelah berhasil mengusir penguasa Mongol, maka dengan segera Zhu Yuanzhang mengangkat dirinya menjadi kaisar baru, dan tentu saja ia juga mendirikan dinasti baru, yang kemudian diberi nama Dinasti Ming. Pada saat menjadi kaisar, Zhu Yuanzhang memiliki seorang anak bernama Zhu Di. Anak inilah yang kelak akan membuat banyak perubahan besar di Cina, bersama-sama dengan Ma He alias Cheng Ho. Bertahun-tahun kemudian, di usia yang masih sangat muda yaitu 21 tahun, Zhu Di sudah memimpin pasukannya untuk menyerang pusat kekuatan Mongol yang masih cukup kuat di Yunnan saat itu. Ia ditugasi ayahnya untuk maju pada setiap pertempuran hebat. Yunnan sendiri adalah tempat dimana Cheng Ho dan seluruh keluarganya tinggal. Pada penyerangan tersebut semua tentara dewasa Mongol dibunuh, lalu kemudian para tawanan anak-anak sebagian besar dikebiri dan diharuskan untuk ikut ‘wajib militer’ pada saat itu. Entah sebagai tentara Cina, ataupun harus menjadi pelayan di kekaisaran dan di istana. Salah seorang anak yang ditawan dan dilatih adalah si Cheng Ho ini. Kelak anak ini juga akan menjadi orang terlatih dan kepercayaannya Zhu Di, bersama-sama mengubah Cina dan meninggalkan nama besar untuk dikenang dunia. Cheng Ho dibawa ke rumah Zhu Di ketika ia baru berusia 12 tahun. Di rumah itu ia lantas dijadikan pelayan. Saat itu Zhu Di sudah berusia 23 tahun dan telah diangkat menjadi Pangeran Yen, lalu dialah yang memerintah di Provinsi Utara Cina di ibu kota Mongol terdahulu yaitu Ta-Tu, dan kemudian dalam perjalannnya ia mengganti nama kota tersebut menjadi Beijing. Kemanapun Zhu Di pergi, Cheng Ho selalu diajaknya. Cheng Ho bertumbuh semakin besar dan menjadi kepercayaannya Zhu Di. Ia ikut dalam banyak pertempuran dan belajar tentang banyak hal. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah perkasa. Seiring berjalannya waktu, banyak masalah mulai muncul dalam kehidupan Zhu Di. Masalah terberat adalah ketika pihak kekaisaran yang tidak lagi menyukai Zhu Di sangat ingin menangkapnya hidup-hidup. Hal ini terjadi ketika ayahnya yang mantan kaisar itu sudah meninggal dunia, dan yang menjadi kaisar setelahnya adalah saudara tirinya sendiri. Pada saat itu ia memang sudah mendapat informasi bahwa pihak istana mengincar untuk segera menangkap dirinya. Atas nasehat orang-orang kepercayaannya akhirnya ia menyamar sebagai pengemis dan gelandang untuk supaya dapat terhindar dari kejaran pasukan kekaisaran. Hal ini tidak bisa diterima akal sehatnya, dan tentu saja kejadian tersebut membuat amarah meluap dalam diri Zhu Di. Bayangkan saja ayahnya adalah mantan seorang kaisar, namun setelah ayahnya meninggal ia lalu diperlakukan seperti itu. Sikap hatinya tidak menerima diperlakukan seperti itu, ia pun berpikir untuk melakukan sesuatu. Singkat cerita ia pun mempersiapkan pasukannya secara diam-diam untuk menyerang kekaisaran. Cheng Ho sendiri, sebagai orang kepercayaan Zhu Di saat itu sudah mempersiapkan sekitar 800 laki-laki yang diperlengkapi dengan senjata dan baju besi. Mereka siap menyerang istana kapan saja diperintahkan. Namun rupa-rupanya persiapan mereka sudah tercium oleh Sang Kaisar baru, Zhu Yunwen. Kaisar baru itu pun tentu saja tidak tinggal diam, ia memerintahkan dan mengirim sekitar 500.000 pasukan untuk menumpas Zhu Di, saudara tirinya itu. Dalam perjalanan mereka menuju Beijing, cuaca dingin menjadi penghambat utama, dan oleh karena kurang persiapan maka ada banyak pasukan Zhu Yunwen yang mati kedinginan. Sesampainya mereka di Beijing, kedatangan mereka langsung saja disambut pasukan Zhu Diyang sudah siap sedia. Pasukan Zhu Di memenangkan pertempuran itu dengan mudah. Lima tahun kemudian Zhu Di menyerang ke Nanjing, dan dengan segala kekuatan yang pasukannya miliki ia kemudian berhasil merampas istana. Setelah perampasan itu ia lalu mengangkat dirinya menjadi kaisar dengan gelar Yong Le. Belum berapa lama menjadi kaisar ia langsung mengangkat orang-orang terdekatnya untuk menjadi abdi-abdi kepercayaan di istananya, termasuk Cheng Ho tentunya. Cheng Ho bahkan diangkat menjadi kepala rumah tangga istana. Sebetulnya nama Cheng Ho berawal dari pemberian nama oleh Zhu Di setelah dia menjabat kaisar. Sebelumnya nama yang dipakai tetaplah Ma He sampai suatu ketika nama Cheng Ho itu diberikan, tatkala Zhu Di sudah resmi menjadi kaisar. Kita semua mungkin hanya mengenalnya sebagai Cheng Ho saja. Cheng Ho dan Pelayarannya Dalam menjalankan pemerintahannya, maka Kaisar Zhu Di sangatlah menekankan prinsip persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi ia juga punya mimpi besar untuk dapat memperkenalkan Cina sampai ke ujung bumi. Salah satu ambisi besarnya adalah untuk memiliki armada laut yang besar serta kuat, dan armada tersebut kelak akan dikirim sampai ke ujung bumi, untuk menemukan benua-benua lain. Cheng Ho diangkat menjadi kepala komandan salah satu armada perangnya. Misi besar tersebut harus terlaksana. Cheng Ho juga dipilih untuk menuntaskan misi besar itu. Persiapan besar pun segera dilakukan. Atas komando dan pimpinan Cheng Ho maka pasukan Zhu Di dapat membuat sekitar 250 kapal harta, 1350 kapal prajurit, 1350 kapal tempur, 400 kapal barang, dan ratusan kapal kecil dan besar lainnya. Ini semua akan dipakai untuk mewujudkan mimpi besar Kaisar Zhu Di atau Yong Le tersebut. Setelah siap, dimulailah pelayaran pertama armada besar Cina itu. Dan tentu yang memimpin pelayaran itu adalah Laksamana Cheng Ho. Ia tak lupa juga mengikutsertakan para penulis, termasuk penulis hebat kenalannya. Penulis yang kelak akan mengabadikan apapun yang terjadi dalam perjalanan tersebut lewat tulisan-tulisannya. Penulis kenalan yang dipakai Cheng Ho menemani dirinya bernama Ma Huan. Nah, sebelum melakukan perjalanan panjang dan penuh resiko itu, Cheng Ho menyempatkan diri untuk kembali ke Yunnan demi menyambangi makam ayahnya di sana. Cheng Ho memang sangat mengagumi sosok ayahnya itu. Di atas nisan pada makam ayahnya, Cheng Ho pun menulis demikian, “…Ayah Ma tidak tertarik pada kekuasaan ataupun kedudukan. Ia puas hidup seperti orang kebanyakan. Juga berani dan tegas dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ia menemukan mereka yang tidak beruntung, ia secara rutin menawarkan mereka perlindungan dan bantuan…” Setelah itu, ia langsung kembali untuk segera menyiapkan perjalanan panjang mengarungi samudera. Apa tujuan lain ekspedisi Cheng Ho ini sebetulnya? Banyak. Ada ambisi niaga, ekspansi diplomasi politik dan kebanggaan teknologi Tiongkok di bidang maritim, kedokteran, farmasi, pangan, tekstil dan keramik. Tetapi sebenarnya tujuan paling utama dan dhasyat dari Cheng Ho sendiri adalah “Bangsa-bangsa lain kami temui” seperti yang tertulis di atas prasastinya. Juga tentunya, “Budaya-budaya bangsa lain kami pelajari”. Akhirnya perjalanan pun dimulai. Kapal besar yang dinahkodai Cheng Ho itu memiliki panjang mencapai tak kurang dari 146 meter dan lebarnya sekitar 50 meter. Ukuran kapal tersebut hampir 7 kali lipat lebih besar dari kapal yang dipakai Vasco Da Gama, yaitu dengan panjang hanya sekitar 23 meter dan lebar tak lebih dari 5 meter. Di kapalnya Cheng Ho, telah disediakan juga 60 kamar khusus untuk para pengiring yang ikut, seperti orang-orang penting kerajaan termasuk juga buat para pejabat dan ‘duta besar’ bangsa lain yang ikut serta dalam pelayaran itu. Dalam alur perjalanannya, Cheng Ho ini telah menempuh tujuh ekspedisi maritim untuk menemukan benua-benua. Kebanyakan buku sejarah hanya mencatat nama penjelajah lain semisal Christopher Colombus dan Vasco da Gama. Padahal Cheng Ho juga sudah ada satu abad lebih dulu dari Colombus. Kapal Cheng Ho sepuluh kali lebih panjang dari kapal Colombus. Armada Cheng Ho seratus kali lebih besar dari armada Colombus. Dampak yang ditimbulkan juga berbeda. Ekspedisi Cheng Ho berbuah persahabatan dan pertukaran ilmu pengetahuan, sedangkan ekspedisi Colombus menularkan penyakit dan menimbulkan penjajahan. (Baca juga tulisan sejenis di sini:Potensi Budaya Dapat kita telusuri bahwa sejumlah kapal yang dibawa Cheng Ho turut bersamanya memang sangat besar dan sudah sangat siap. Ada kapal harta yang diperuntukkan bagi pejabat kerajaan, diperkirakan dapat menampung muatan seberat 7000 ton. Ada Kapal Kuda, kapal ini dipakai untuk mengangkut kuda bagi para pasukan berkuda, selain itu juga kapal ini membawa banyak barang-barang keperluan lainnya dalam perjalanan, termasuk upeti-upeti. Kapal Perbekalan juga turut dibawa. Ribuan ton makanan, daging, sayuran dan berbagai bahan makanan dibawa di kapal ini. Ada juga kapal prajurit yang tentu saja berisi prajurit tempur. Selain itu ada juga Kapal Tempur yang ikut serta, kapal ini berfungi menjaga semua armada bawaan Cheng Ho dari segala macam gangguan yang sekiranya muncul atau menghadang. Kapal Pengangkut Air membawa persediaan air bersih dan air minum untuk persediaan seluruh armada selama dalam perjalanan masuk dalam rombongan besar ini. Ada juga beberapa kapal dayung kecil yang turut ikut serta, berfungis sebagai kapal penarik bila nanti dibutuhkan. Untuk ikut bersamanya selama dalam perjalanan panjang itu, Cheng Ho juga tak lupa mempersiapkan bgeitu banyak orang. Ada sekitar 30.000 pelaut, ratusan pejabat Ming, 180 tabib, ahli feng shui, pembuat layar, pandai besi, tukang kayu, penjahit, navigator, pembuat peta, ahli perbintangan, koki, ahli tanaman, serta juga para penerjemah dengan berbagai latar belakang dan beragam agama. Lalu, berangkatlah mereka semua mengarungi samudera luas, siang dan malam berada di lautan lepas. Pelayaran yang dilakukan Cheng Ho ternyata tidak memakan waktu 1 bulan saja, bahkan setelah berbulan-bulan berlayar barulah mereka menemukan daratan pertama. Mereka mendarat pertama kali di Kerajaan Campa di Vietnam. Ini adalah diplomasi dan perdagangan pertama oleh armada Cheng Ho di belahan dunia selain Cina.Terjadilah perdagangan dan tukar menukar cindera mata. Hubungan diplomatik pun mulai terbangun. Mereka disambut hangat di sana. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju dan sampai ke beberapa kerajaan lain, seperti di Kerajaan Siam, kemudian mereka juga singgah di Kelantan dan Pahang di Kerajaan Malaka. Setelah mengetahui bahwa wilayah di sekitar kerajaan Malaka banyak juga dihuni oleh orang Islam, Cheng Ho pun membantu mereka mendirikan beberapa Mesjid di sana. Bahkan ada beberapa awak kapal Cheng Ho yang kemudian tinggal menetap di Malaka oleh karena menikah dengan warga setempat, tentu ini semua atas seijin Cheng Ho. Dari Kerajaan Malaka, kini armada yang dipimpin Cheng Ho menuju Pulau Jawa di bagian Timur. Namun di Pulau Jawa ini, armada dan pasukan Cheng Ho mendapat sambutan tidak bersahabat. Ketika mereka merapat di bibir pantai, tanpa diduga mereka langsung diserang pasukan setempat. Usut punya usut ternyata saat itu sementara terjadi pertikaian hebat di wilayah yang mereka darati tersebut. Ada sekitar 170 orang awak kapal Cheng Ho yang mati terbunuh. Pada saat itu ada pertikaian antara pasukan Raja Wirabumi dan pasukan Raja Wikramawardhana. Karena kesalahpamahan tersebut Raja Wikramawardhana akhirnya meminta maaf kepada Cheng Ho, pada saat itu pasukannya mengira awak kapal Cheng Ho adalah pasukannya Raja Wirabumi. Setelah kapal Cheng Ho mendarat, ia dan awak kapalnya kembali melakukan perdagangan dan diplomasi. Cheng Ho menyebarkan agama Islam kepada rakyat setempat. Selanjutnya Cheng Ho meneruskan perjalanannya sampai mencapai kawasan Palembang. Di sana ia kemudian bertemu dengan keturunan Cina lainnya yang sudah terlebih dahulu menetap di sana selama beberapa generasi. Dari sana, Cheng Ho meneruskan perjalanan sampai ke Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Di Aceh ia bertemu orang-orang Islam yang sudah ada di sana sejak lama. Habis dari Aceh, Cheng Ho mengarungi lautan berbulan-bulan lamanya, sampai akhirnya tibalah dia di Kerajaan Ceylon (Srilanka). Ia mendirikan tugu di sana dengan tiga bahasa yaitu Cina, Tamil, dan Persia. Ini adalah simbol toleransi dan perdamaian. Setelah hampir setahun berlayar, Cheng Ho mencapai Calicut di India. Dari India Cheng Ho dan pasukannya bersiap-siap untuk kembali ke Cina melaporkan semua hasil perjalanan mereka kepada Kaizar Zhu Di. Setelah pelayaran pertama itu menuai sukses, Kaisar Zhu Di memerintahkan mereka untuk memulai pelayaran yang ke dua. Nah, pelayaran yang kedua ini dilakukan mereka dengan tetap menempuh jalur yang sama dengan pelayaran pertama. Pada tahun 1409 Cheng Ho dan pasukannya menyelesaikan pelayaran ke dua mereka. Di tahun yang sama tersebut mereka juga masih terus melanjutkan dengan pelayaran ke tiga, namun dengan rute yang tetap sama. Cheng Ho terus membina hubungan baik dan bersahabat dengan raja-raja di setiap kawasan yang ia kunjungi. Pada tahun 1411, ketika pelayaran ketiganya akan berakhir, ia menyempatkan diri menyerahkan patung Budha ke sejumlah tempat ibadah kerajaan-kerajaan Budha yang sempat ia singgahi. Ini tentu saja menunjukkan sikap Cheng Ho yang penuh toleransi dan penghargaan tinggi pada agama-agama lain, kendatipun ia sendiri adalah seorang muslim. Pulang ke Cina tahun 1411 tersebut, Cheng Ho dan orang-orangnya menulis lalu membukukan semua hasil perjalanan mereka. Catatan mengenai sejarah, geografi, adat istiadat, dan juga kebudayaan-kebudayaan bangsa lain dibukukan. Ada juga ratusan novel sudah dihasilkan di ibukota Beijing, padahal bangsa Eropa baru memulainya 30 tahun kemudian. Budaya berkembang pesat dalam pemerintahan kekuasaan Zhu Di. Cina semakin terbuka dan berkembang pesat. Zhu Di memang brilian. Ia juga yang memerintahkan pembangunan Kota Terlarang untuk menjadi area khusus kekaisaran, yang tetap bertahan sampai saat ini. Kaisar yang berpikiran maju ini juga memerintahkan untuk membangun kembali tembok Cina yang sudah sempat rusak karena serangan rakyat Mongol bertahun-tahun yang lalu sebelum mereka menguasai Cina. Ditengah-tengah usahanya Kaisar Zhu Di menyatukan wilayah-wilayah Cina, maka Cheng Ho dan pasukannya kembali melanjutkan ekspedisi ke empat mengarungi samudera raya pada tahun 1413. Pada pelayaran kali ini, Cheng Ho dan pasukannya berhasil mencapai kawasan baru yang berbeda dari perjalanan mereka sebelumnya, yaitu melintasi Laut Arab dan singgah di kota Hormuz di Iran. Setelah ekspedisi ke empat ini usai, Cheng Ho masih melanjutakannya dengan pelayaran yang ke lima. Pada pelayaran ini, ia dan pasukannya berhasil mencapai Pantai Swahili di Afrika. Setelah ekspedisi ke lima selesai, mereka semua kembali ke Beijing pada tahun 1419 dan menetap cukup lama tanpa ada pelayaran apapun. Setelah vakum cukup lama, Kaisar Zhu Di kemudian menugaskan Cheng Ho untuk melakukan ekspedisi paling besar dalam sejarahnya. Ia menghendaki Cheng Ho dan pasukannya mengelilingi seluruh dunia, tidak hanya pada rute-rute tertentu saja, seperti sebelum-sebelumnya. Cheng Ho menyanggupinya. Maka dengan sigap Cheng Ho mengumpulkan laksamana-laksamana handal dan utama di bawahnya, dan lalu ia membagi tugas buat mereka semua. Kali ini mereka akan berlayar secara berpencar untuk mencapai belahan dunia yang berbeda-beda. Ada 4 laksamana handal dan paling hebat yang dipilih Cheng Ho. Ada yang ditugasi berlayar ke Barat Laut, kemudian yang lain ditugaskan mengambil jalur Khatulistiwa Barat Daya, sementara laksamana yang lainnya lagi ditugaskan untuk pergi ke Samudera Hindia sampai ke Utara Afrika. Komando Utama tetap ada di tangan Laksamana Agung Cheng Ho. Setelah waktu yang sudah ditentukan tiba, Cheng Ho dan armadanya kembali melalui jalur pelayaran mereka yang biasa, sampai mencapai Mogadishu di Afrika.Setelah mencapai Samudera Hindia, Cheng Ho dan ketiga armada bawahannya berpisah jalan untuk menempuh jalur yang sudah ditentukan sejak awal. Dalam perjalanan kali ini banyak sekali hal baru yang mereka jumpai. Umpamanya, dalam perjalanan tersebut mereka menemukan penunjuk Bintang Selatan, yaitu Bintang Canopus dan lalu menemukan juga Bintang Crucis Alpha yang menjadi penunjuk Garis Bujur. Para kartografer dan ahli-ahli yang ikut dalam pelayaran itu juga mencatat serta melukiskan hewan-hewan khas yang mereka jumpai tatkala mendarat di Australia, hewan khas itu adalah Kanguru. Banyak hal-hal baru juga yang mereka catat dan dokumentasikan. Setelah ekspedisi ke enam usai mereka pun kembali ke Cina. Cheng Ho semakin bertambah tua usianya. Namun semangatnya tak pernah patah. Sepulangnya ke Cina, ternyata di Cina telah terjadi pergantian kaisar, dan Zhu Di tidak lagi menjabat. Kaisar yang baru tidak menghendaki adanya ekspedisi laut apapun. Padahal dalam hati Cheng Ho masih menyisahkan satu impian lagi, ia masih mau melakukan satu ekspedisi lagi sebagai ekpedisi ke tujuh dan yang terakhirnya. Lama ia harus menunggu sampai waktunya tiba. Pada tahun 1431, ketika usianya sudah semakin menua dan sudah lanjut usia, kesempatan itupun akhirnya dating juga. Ia dapat melakukan ekspedisi terakhirnya. Dalam ekspedisi terakhirnya ini Cheng Ho mengatakan kepada Ma Huan, penulis yang senantiasa menemani dirinya itu satu keinginan hati. Katanya kepada Ma Huan, “Dalam perjalanan terakhir ini, ada satu hal yang sangat ingin aku penuhi. Aku ingin melihat ka’bah untuk yang pertama dan terakhir kalinya….Aku ingin kita berlayar sampai ke negeri itu.” Tetapi ia lalu mengatakan kepada Ma Huan bahwa sebagai pemimpin yang bertanggungjawab ia tidak dapat meninggalkan kapal yang ia pimpin barang sedetik saja. Jadi ia tidak dapat meninggalkan kapal untuk turun pergi melihat ka’bah meskipun hatinya sangat ingin melakukan itu. Makanya ia membawa Ma Huan kali ini dengan tugas khusus untuknya. Cheng Ho mengatakan bahwa pada saat kapalnya mencapai Afrika dan akan kembali pulang ke Cina, ia bermaksud berlayar melewati Tanah Arab sekali lagi. Pada saat mencapai Arab ia menyuruh Ma Huan untuk pergi ke Mekkah dan melukiskan ka’bah bagi dirinya. Setelah berbulan-bulan berlayar Cheng Ho mencapai Swahili di Afrika. Dalam perjalanan pulang itulah dia kemudian menugaskan Ma Huan untuk pergi ke Mekkah dan melukiskan Ka’bah untuk dirinya. Di Mekkah, Ma Huan menulis dan menggambarkan kondisi kota tersebut, ia juga pergi ke Masjidil Haram dan menggambarkan ka’bah yang akan dipersembahkan kepada Laksamana Agung Cheng Ho ketika pulang nanti. Pada usia 62 tahun Cheng Ho meninggal dunia dalam perjalanan pulangnya dari ekspedisi terakhirnya. Ia dimakamkan di laut sebagaimana layaknya seorang pelaut besar dimakamkan. Sisa armada yang dipimpinnya kembali pulang ke Cina dengan hati bersedih karena baru saja kehilangan seorang pemimpin besar. Seorang laksamana agung. Setelah Cheng Ho meninggal, Cina dan kekaisaran Ming semakin menutup diri dari dunia luar. Catatan pelayaran dan banyak catatan penting peninggalan Kaisar Zhu Di dimusnahkan dan dibakar. Ini tentu menyebabkan dunia tak banyak mengetahui jasa besar Cheng Ho dan semua armada kapal yang dipimpinnya itu. Cheng Ho meninggalkan sejumlah peninggalan penting, baik bagi rakyat Cina maupun bagi seluruh dunia. Ia meninggalkan sebuah sistem navigasi, arah pelayaran, dan juga berbagai penemuan penting lainnya. Ia mewariskan sikap toleransi dan persahabatan antar bangsa. Peninggalan Cheng Ho di berbagai kawasan yang pernah disinggahi dan tinggali juga masih terus ada sampai sekarang. Mesjid-mesjid, Kelenteng, Kuil, prasasti-prasasti yang dibangunnya beberapa diantaranya bahkan masih ada sampai sekarang. Kebaikan hatinya, pengabdiannya yang luar biasa, ketulusan hatinya akan tetap tinggal di hati setiap mereka yang pernah mengetahui kisah hidupnya, perjalanannya dan semua ekspedisi hebatnya. Tujuh kali Cheng Ho berlayar bolak-balik dalam kurun waktu 1405-1432. Di tiap negeri ia mempelajari seluk-beluk budaya setempat. Menurut catatan hariannya, di Semarang ia terpesona menonton wayang kulit namun terkejut melihat keris di pinggang para pria. Di Surabaya ia terheran-heran melihat burung yang berbicara seperti manusia. Di Palembang dan Banda Aceh ia juga mendapatkan pengalaman budaya yang unik bagi dirinya. Ia juga mengamati kehidupan agama-agama. Ia memperkenalkan agama Islam, namun penuh toleran terhadap agama lain. Di berbagai tempat ia membangun rumah ibadah untuk agama-agama lain. Di Sri Lanka terdapat prasasti doa Cheng Ho yang lintas agama. Data Ekspedisi Cheng Ho antara lain dapat dibaca lengkap di buku setebal lima ratus halaman berjudul 1421—The Year China Discovered the World tulisan Gavin Menzies, seorang kapten kapal Inggris. Salah satu prasasti Di Liu – Chia – Chang tertulis demikian, “…Kami telah melintasi lautan luas dari 10.000 Li dan telah menyaksikan gelombang tinggi seperti gunung di lautan yang menjulang tinggi ke langit. Kami telah mengamati wilayah barbar yang jauh, tersembunyi dalam transparansi cahaya asap biru, sementara layar kapal kami, dengan angkuh membentang bagai awan. Siang dan malam melanjutkan perjalanan, cepat bagaikan bintang, melintasi ombak yang ganas itu…” ---Michael Sendow--- --- (Dari berbagai sumber data) Ilustrasi: alshafa.files.wordpress.com
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/michusa/kisah-laksamana-cheng-ho-sang-penemu-benua
Pada tahun 1421 Armada Cina dengan ribuan kapal raksasanya telah memulai penjelajahan menjangkau ujung-ujung bumi yang lain, jauh sebelum penemu benua dari bangsa Eropa dan bangsa-bangsa lain memulainya. Dengan membawa misi damai, mereka berangkat ke seluruh dunia, berpuluh-puluh tahun sebelum hal itu terpikirkan oleh para penemu benua dari Eropa. Bahkan satu abad sebelum Colombus mengelilingi dunia, orang Cina sudah lebih dulu memulainya. Siapa yang memimpin Armada besar Cina menjelajahi dunia pada masa itu? Dialah Cheng Ho, seorang nahkoda muslim yang membawa pesan perdamaian dan toleransi dalam setiap pelayarannya ke berbagai tempat di dunia. Kali ini, saya ingin menulis kisah Cheng Ho ini dengan sudut pandang sedikit berbeda dari kisah-kisah mengenai Cheng Ho yang dapat kita baca dari berbagai ragam buku sejarah. Saya berkeinginan menulis kembali tentang si Cheng Ho ini, sebetulnya adalah karena untuk kesekian kalinya saya menyempatkan diri berkunjung ke Semarang, dan lagi-lagi Kelenteng peninggalan Cheng Ho mesti saya kunjungi, namanya Sam Poo Kong. Maka terbesitlah keinginan untuk kembali menuangkan kisah Cheng Ho ini lewat tulisan. Kalau tulisan ini lumayan panjang, karena memang butuh kedalaman untuk dapat meresapi kisah Cheng Ho ini. Menurut catatan sejarah, Cheng Ho lahir tahun 1371 di desa He Dai di provinsi Yunnan. Nama yang pertama kali diberikan orang tuanya pada saat lahir adalah Ma He. Ayahnya adalah seorang petugas desa, dan keturunan mereka berasal dari suku Hui yang dikenal kebanyakan adalah beragama Islam. Sewaktu muda, ayahnya si Cheng Ho (Ma He) itu sudah pernah naik haji, dan sejak kecil pun Cheng Ho sudah diajari bahasa Arab sampai mahir. Mereka adalah muslim yang taat dan berjiwa besar. Semasa Cheng Ho kecil, pemerintahan Cina dikuasai oleh bangsa Mongol. Namun pada masa itu rupa-rupanya telah terjadi banyak pemberontakan terhadap suku Mongol, dan salah satu yang terhebat adalah pemebrontakan Zhu Yuanzhang di sekitar tahun 1352. Akhirnya, pemberontakan tersebut membuahkan hasil juga, alhasil pada tahun 1368 Zhu Yuanzhang berhasil menguasai Ta-Tu, ibukota Mongol. Setelah berhasil mengusir penguasa Mongol, maka dengan segera Zhu Yuanzhang mengangkat dirinya menjadi kaisar baru, dan tentu saja ia juga mendirikan dinasti baru, yang kemudian diberi nama Dinasti Ming. Pada saat menjadi kaisar, Zhu Yuanzhang memiliki seorang anak bernama Zhu Di. Anak inilah yang kelak akan membuat banyak perubahan besar di Cina, bersama-sama dengan Ma He alias Cheng Ho. Bertahun-tahun kemudian, di usia yang masih sangat muda yaitu 21 tahun, Zhu Di sudah memimpin pasukannya untuk menyerang pusat kekuatan Mongol yang masih cukup kuat di Yunnan saat itu. Ia ditugasi ayahnya untuk maju pada setiap pertempuran hebat. Yunnan sendiri adalah tempat dimana Cheng Ho dan seluruh keluarganya tinggal. Pada penyerangan tersebut semua tentara dewasa Mongol dibunuh, lalu kemudian para tawanan anak-anak sebagian besar dikebiri dan diharuskan untuk ikut ‘wajib militer’ pada saat itu. Entah sebagai tentara Cina, ataupun harus menjadi pelayan di kekaisaran dan di istana. Salah seorang anak yang ditawan dan dilatih adalah si Cheng Ho ini. Kelak anak ini juga akan menjadi orang terlatih dan kepercayaannya Zhu Di, bersama-sama mengubah Cina dan meninggalkan nama besar untuk dikenang dunia. Cheng Ho dibawa ke rumah Zhu Di ketika ia baru berusia 12 tahun. Di rumah itu ia lantas dijadikan pelayan. Saat itu Zhu Di sudah berusia 23 tahun dan telah diangkat menjadi Pangeran Yen, lalu dialah yang memerintah di Provinsi Utara Cina di ibu kota Mongol terdahulu yaitu Ta-Tu, dan kemudian dalam perjalannnya ia mengganti nama kota tersebut menjadi Beijing. Kemanapun Zhu Di pergi, Cheng Ho selalu diajaknya. Cheng Ho bertumbuh semakin besar dan menjadi kepercayaannya Zhu Di. Ia ikut dalam banyak pertempuran dan belajar tentang banyak hal. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan dan gagah perkasa. Seiring berjalannya waktu, banyak masalah mulai muncul dalam kehidupan Zhu Di. Masalah terberat adalah ketika pihak kekaisaran yang tidak lagi menyukai Zhu Di sangat ingin menangkapnya hidup-hidup. Hal ini terjadi ketika ayahnya yang mantan kaisar itu sudah meninggal dunia, dan yang menjadi kaisar setelahnya adalah saudara tirinya sendiri. Pada saat itu ia memang sudah mendapat informasi bahwa pihak istana mengincar untuk segera menangkap dirinya. Atas nasehat orang-orang kepercayaannya akhirnya ia menyamar sebagai pengemis dan gelandang untuk supaya dapat terhindar dari kejaran pasukan kekaisaran. Hal ini tidak bisa diterima akal sehatnya, dan tentu saja kejadian tersebut membuat amarah meluap dalam diri Zhu Di. Bayangkan saja ayahnya adalah mantan seorang kaisar, namun setelah ayahnya meninggal ia lalu diperlakukan seperti itu. Sikap hatinya tidak menerima diperlakukan seperti itu, ia pun berpikir untuk melakukan sesuatu. Singkat cerita ia pun mempersiapkan pasukannya secara diam-diam untuk menyerang kekaisaran. Cheng Ho sendiri, sebagai orang kepercayaan Zhu Di saat itu sudah mempersiapkan sekitar 800 laki-laki yang diperlengkapi dengan senjata dan baju besi. Mereka siap menyerang istana kapan saja diperintahkan. Namun rupa-rupanya persiapan mereka sudah tercium oleh Sang Kaisar baru, Zhu Yunwen. Kaisar baru itu pun tentu saja tidak tinggal diam, ia memerintahkan dan mengirim sekitar 500.000 pasukan untuk menumpas Zhu Di, saudara tirinya itu. Dalam perjalanan mereka menuju Beijing, cuaca dingin menjadi penghambat utama, dan oleh karena kurang persiapan maka ada banyak pasukan Zhu Yunwen yang mati kedinginan. Sesampainya mereka di Beijing, kedatangan mereka langsung saja disambut pasukan Zhu Diyang sudah siap sedia. Pasukan Zhu Di memenangkan pertempuran itu dengan mudah. Lima tahun kemudian Zhu Di menyerang ke Nanjing, dan dengan segala kekuatan yang pasukannya miliki ia kemudian berhasil merampas istana. Setelah perampasan itu ia lalu mengangkat dirinya menjadi kaisar dengan gelar Yong Le. Belum berapa lama menjadi kaisar ia langsung mengangkat orang-orang terdekatnya untuk menjadi abdi-abdi kepercayaan di istananya, termasuk Cheng Ho tentunya. Cheng Ho bahkan diangkat menjadi kepala rumah tangga istana. Sebetulnya nama Cheng Ho berawal dari pemberian nama oleh Zhu Di setelah dia menjabat kaisar. Sebelumnya nama yang dipakai tetaplah Ma He sampai suatu ketika nama Cheng Ho itu diberikan, tatkala Zhu Di sudah resmi menjadi kaisar. Kita semua mungkin hanya mengenalnya sebagai Cheng Ho saja. Cheng Ho dan Pelayarannya Dalam menjalankan pemerintahannya, maka Kaisar Zhu Di sangatlah menekankan prinsip persahabatan dengan bangsa-bangsa lain. Tetapi ia juga punya mimpi besar untuk dapat memperkenalkan Cina sampai ke ujung bumi. Salah satu ambisi besarnya adalah untuk memiliki armada laut yang besar serta kuat, dan armada tersebut kelak akan dikirim sampai ke ujung bumi, untuk menemukan benua-benua lain. Cheng Ho diangkat menjadi kepala komandan salah satu armada perangnya. Misi besar tersebut harus terlaksana. Cheng Ho juga dipilih untuk menuntaskan misi besar itu. Persiapan besar pun segera dilakukan. Atas komando dan pimpinan Cheng Ho maka pasukan Zhu Di dapat membuat sekitar 250 kapal harta, 1350 kapal prajurit, 1350 kapal tempur, 400 kapal barang, dan ratusan kapal kecil dan besar lainnya. Ini semua akan dipakai untuk mewujudkan mimpi besar Kaisar Zhu Di atau Yong Le tersebut. Setelah siap, dimulailah pelayaran pertama armada besar Cina itu. Dan tentu yang memimpin pelayaran itu adalah Laksamana Cheng Ho. Ia tak lupa juga mengikutsertakan para penulis, termasuk penulis hebat kenalannya. Penulis yang kelak akan mengabadikan apapun yang terjadi dalam perjalanan tersebut lewat tulisan-tulisannya. Penulis kenalan yang dipakai Cheng Ho menemani dirinya bernama Ma Huan. Nah, sebelum melakukan perjalanan panjang dan penuh resiko itu, Cheng Ho menyempatkan diri untuk kembali ke Yunnan demi menyambangi makam ayahnya di sana. Cheng Ho memang sangat mengagumi sosok ayahnya itu. Di atas nisan pada makam ayahnya, Cheng Ho pun menulis demikian, “…Ayah Ma tidak tertarik pada kekuasaan ataupun kedudukan. Ia puas hidup seperti orang kebanyakan. Juga berani dan tegas dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ia menemukan mereka yang tidak beruntung, ia secara rutin menawarkan mereka perlindungan dan bantuan…” Setelah itu, ia langsung kembali untuk segera menyiapkan perjalanan panjang mengarungi samudera. Apa tujuan lain ekspedisi Cheng Ho ini sebetulnya? Banyak. Ada ambisi niaga, ekspansi diplomasi politik dan kebanggaan teknologi Tiongkok di bidang maritim, kedokteran, farmasi, pangan, tekstil dan keramik. Tetapi sebenarnya tujuan paling utama dan dhasyat dari Cheng Ho sendiri adalah “Bangsa-bangsa lain kami temui” seperti yang tertulis di atas prasastinya. Juga tentunya, “Budaya-budaya bangsa lain kami pelajari”. Akhirnya perjalanan pun dimulai. Kapal besar yang dinahkodai Cheng Ho itu memiliki panjang mencapai tak kurang dari 146 meter dan lebarnya sekitar 50 meter. Ukuran kapal tersebut hampir 7 kali lipat lebih besar dari kapal yang dipakai Vasco Da Gama, yaitu dengan panjang hanya sekitar 23 meter dan lebar tak lebih dari 5 meter. Di kapalnya Cheng Ho, telah disediakan juga 60 kamar khusus untuk para pengiring yang ikut, seperti orang-orang penting kerajaan termasuk juga buat para pejabat dan ‘duta besar’ bangsa lain yang ikut serta dalam pelayaran itu. Dalam alur perjalanannya, Cheng Ho ini telah menempuh tujuh ekspedisi maritim untuk menemukan benua-benua. Kebanyakan buku sejarah hanya mencatat nama penjelajah lain semisal Christopher Colombus dan Vasco da Gama. Padahal Cheng Ho juga sudah ada satu abad lebih dulu dari Colombus. Kapal Cheng Ho sepuluh kali lebih panjang dari kapal Colombus. Armada Cheng Ho seratus kali lebih besar dari armada Colombus. Dampak yang ditimbulkan juga berbeda. Ekspedisi Cheng Ho berbuah persahabatan dan pertukaran ilmu pengetahuan, sedangkan ekspedisi Colombus menularkan penyakit dan menimbulkan penjajahan. (Baca juga tulisan sejenis di sini:Potensi Budaya Dapat kita telusuri bahwa sejumlah kapal yang dibawa Cheng Ho turut bersamanya memang sangat besar dan sudah sangat siap. Ada kapal harta yang diperuntukkan bagi pejabat kerajaan, diperkirakan dapat menampung muatan seberat 7000 ton. Ada Kapal Kuda, kapal ini dipakai untuk mengangkut kuda bagi para pasukan berkuda, selain itu juga kapal ini membawa banyak barang-barang keperluan lainnya dalam perjalanan, termasuk upeti-upeti. Kapal Perbekalan juga turut dibawa. Ribuan ton makanan, daging, sayuran dan berbagai bahan makanan dibawa di kapal ini. Ada juga kapal prajurit yang tentu saja berisi prajurit tempur. Selain itu ada juga Kapal Tempur yang ikut serta, kapal ini berfungi menjaga semua armada bawaan Cheng Ho dari segala macam gangguan yang sekiranya muncul atau menghadang. Kapal Pengangkut Air membawa persediaan air bersih dan air minum untuk persediaan seluruh armada selama dalam perjalanan masuk dalam rombongan besar ini. Ada juga beberapa kapal dayung kecil yang turut ikut serta, berfungis sebagai kapal penarik bila nanti dibutuhkan. Untuk ikut bersamanya selama dalam perjalanan panjang itu, Cheng Ho juga tak lupa mempersiapkan bgeitu banyak orang. Ada sekitar 30.000 pelaut, ratusan pejabat Ming, 180 tabib, ahli feng shui, pembuat layar, pandai besi, tukang kayu, penjahit, navigator, pembuat peta, ahli perbintangan, koki, ahli tanaman, serta juga para penerjemah dengan berbagai latar belakang dan beragam agama. Lalu, berangkatlah mereka semua mengarungi samudera luas, siang dan malam berada di lautan lepas. Pelayaran yang dilakukan Cheng Ho ternyata tidak memakan waktu 1 bulan saja, bahkan setelah berbulan-bulan berlayar barulah mereka menemukan daratan pertama. Mereka mendarat pertama kali di Kerajaan Campa di Vietnam. Ini adalah diplomasi dan perdagangan pertama oleh armada Cheng Ho di belahan dunia selain Cina.Terjadilah perdagangan dan tukar menukar cindera mata. Hubungan diplomatik pun mulai terbangun. Mereka disambut hangat di sana. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menuju dan sampai ke beberapa kerajaan lain, seperti di Kerajaan Siam, kemudian mereka juga singgah di Kelantan dan Pahang di Kerajaan Malaka. Setelah mengetahui bahwa wilayah di sekitar kerajaan Malaka banyak juga dihuni oleh orang Islam, Cheng Ho pun membantu mereka mendirikan beberapa Mesjid di sana. Bahkan ada beberapa awak kapal Cheng Ho yang kemudian tinggal menetap di Malaka oleh karena menikah dengan warga setempat, tentu ini semua atas seijin Cheng Ho. Dari Kerajaan Malaka, kini armada yang dipimpin Cheng Ho menuju Pulau Jawa di bagian Timur. Namun di Pulau Jawa ini, armada dan pasukan Cheng Ho mendapat sambutan tidak bersahabat. Ketika mereka merapat di bibir pantai, tanpa diduga mereka langsung diserang pasukan setempat. Usut punya usut ternyata saat itu sementara terjadi pertikaian hebat di wilayah yang mereka darati tersebut. Ada sekitar 170 orang awak kapal Cheng Ho yang mati terbunuh. Pada saat itu ada pertikaian antara pasukan Raja Wirabumi dan pasukan Raja Wikramawardhana. Karena kesalahpamahan tersebut Raja Wikramawardhana akhirnya meminta maaf kepada Cheng Ho, pada saat itu pasukannya mengira awak kapal Cheng Ho adalah pasukannya Raja Wirabumi. Setelah kapal Cheng Ho mendarat, ia dan awak kapalnya kembali melakukan perdagangan dan diplomasi. Cheng Ho menyebarkan agama Islam kepada rakyat setempat. Selanjutnya Cheng Ho meneruskan perjalanannya sampai mencapai kawasan Palembang. Di sana ia kemudian bertemu dengan keturunan Cina lainnya yang sudah terlebih dahulu menetap di sana selama beberapa generasi. Dari sana, Cheng Ho meneruskan perjalanan sampai ke Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Di Aceh ia bertemu orang-orang Islam yang sudah ada di sana sejak lama. Habis dari Aceh, Cheng Ho mengarungi lautan berbulan-bulan lamanya, sampai akhirnya tibalah dia di Kerajaan Ceylon (Srilanka). Ia mendirikan tugu di sana dengan tiga bahasa yaitu Cina, Tamil, dan Persia. Ini adalah simbol toleransi dan perdamaian. Setelah hampir setahun berlayar, Cheng Ho mencapai Calicut di India. Dari India Cheng Ho dan pasukannya bersiap-siap untuk kembali ke Cina melaporkan semua hasil perjalanan mereka kepada Kaizar Zhu Di. Setelah pelayaran pertama itu menuai sukses, Kaisar Zhu Di memerintahkan mereka untuk memulai pelayaran yang ke dua. Nah, pelayaran yang kedua ini dilakukan mereka dengan tetap menempuh jalur yang sama dengan pelayaran pertama. Pada tahun 1409 Cheng Ho dan pasukannya menyelesaikan pelayaran ke dua mereka. Di tahun yang sama tersebut mereka juga masih terus melanjutkan dengan pelayaran ke tiga, namun dengan rute yang tetap sama. Cheng Ho terus membina hubungan baik dan bersahabat dengan raja-raja di setiap kawasan yang ia kunjungi. Pada tahun 1411, ketika pelayaran ketiganya akan berakhir, ia menyempatkan diri menyerahkan patung Budha ke sejumlah tempat ibadah kerajaan-kerajaan Budha yang sempat ia singgahi. Ini tentu saja menunjukkan sikap Cheng Ho yang penuh toleransi dan penghargaan tinggi pada agama-agama lain, kendatipun ia sendiri adalah seorang muslim. Pulang ke Cina tahun 1411 tersebut, Cheng Ho dan orang-orangnya menulis lalu membukukan semua hasil perjalanan mereka. Catatan mengenai sejarah, geografi, adat istiadat, dan juga kebudayaan-kebudayaan bangsa lain dibukukan. Ada juga ratusan novel sudah dihasilkan di ibukota Beijing, padahal bangsa Eropa baru memulainya 30 tahun kemudian. Budaya berkembang pesat dalam pemerintahan kekuasaan Zhu Di. Cina semakin terbuka dan berkembang pesat. Zhu Di memang brilian. Ia juga yang memerintahkan pembangunan Kota Terlarang untuk menjadi area khusus kekaisaran, yang tetap bertahan sampai saat ini. Kaisar yang berpikiran maju ini juga memerintahkan untuk membangun kembali tembok Cina yang sudah sempat rusak karena serangan rakyat Mongol bertahun-tahun yang lalu sebelum mereka menguasai Cina. Ditengah-tengah usahanya Kaisar Zhu Di menyatukan wilayah-wilayah Cina, maka Cheng Ho dan pasukannya kembali melanjutkan ekspedisi ke empat mengarungi samudera raya pada tahun 1413. Pada pelayaran kali ini, Cheng Ho dan pasukannya berhasil mencapai kawasan baru yang berbeda dari perjalanan mereka sebelumnya, yaitu melintasi Laut Arab dan singgah di kota Hormuz di Iran. Setelah ekspedisi ke empat ini usai, Cheng Ho masih melanjutakannya dengan pelayaran yang ke lima. Pada pelayaran ini, ia dan pasukannya berhasil mencapai Pantai Swahili di Afrika. Setelah ekspedisi ke lima selesai, mereka semua kembali ke Beijing pada tahun 1419 dan menetap cukup lama tanpa ada pelayaran apapun. Setelah vakum cukup lama, Kaisar Zhu Di kemudian menugaskan Cheng Ho untuk melakukan ekspedisi paling besar dalam sejarahnya. Ia menghendaki Cheng Ho dan pasukannya mengelilingi seluruh dunia, tidak hanya pada rute-rute tertentu saja, seperti sebelum-sebelumnya. Cheng Ho menyanggupinya. Maka dengan sigap Cheng Ho mengumpulkan laksamana-laksamana handal dan utama di bawahnya, dan lalu ia membagi tugas buat mereka semua. Kali ini mereka akan berlayar secara berpencar untuk mencapai belahan dunia yang berbeda-beda. Ada 4 laksamana handal dan paling hebat yang dipilih Cheng Ho. Ada yang ditugasi berlayar ke Barat Laut, kemudian yang lain ditugaskan mengambil jalur Khatulistiwa Barat Daya, sementara laksamana yang lainnya lagi ditugaskan untuk pergi ke Samudera Hindia sampai ke Utara Afrika. Komando Utama tetap ada di tangan Laksamana Agung Cheng Ho. Setelah waktu yang sudah ditentukan tiba, Cheng Ho dan armadanya kembali melalui jalur pelayaran mereka yang biasa, sampai mencapai Mogadishu di Afrika.Setelah mencapai Samudera Hindia, Cheng Ho dan ketiga armada bawahannya berpisah jalan untuk menempuh jalur yang sudah ditentukan sejak awal. Dalam perjalanan kali ini banyak sekali hal baru yang mereka jumpai. Umpamanya, dalam perjalanan tersebut mereka menemukan penunjuk Bintang Selatan, yaitu Bintang Canopus dan lalu menemukan juga Bintang Crucis Alpha yang menjadi penunjuk Garis Bujur. Para kartografer dan ahli-ahli yang ikut dalam pelayaran itu juga mencatat serta melukiskan hewan-hewan khas yang mereka jumpai tatkala mendarat di Australia, hewan khas itu adalah Kanguru. Banyak hal-hal baru juga yang mereka catat dan dokumentasikan. Setelah ekspedisi ke enam usai mereka pun kembali ke Cina. Cheng Ho semakin bertambah tua usianya. Namun semangatnya tak pernah patah. Sepulangnya ke Cina, ternyata di Cina telah terjadi pergantian kaisar, dan Zhu Di tidak lagi menjabat. Kaisar yang baru tidak menghendaki adanya ekspedisi laut apapun. Padahal dalam hati Cheng Ho masih menyisahkan satu impian lagi, ia masih mau melakukan satu ekspedisi lagi sebagai ekpedisi ke tujuh dan yang terakhirnya. Lama ia harus menunggu sampai waktunya tiba. Pada tahun 1431, ketika usianya sudah semakin menua dan sudah lanjut usia, kesempatan itupun akhirnya dating juga. Ia dapat melakukan ekspedisi terakhirnya. Dalam ekspedisi terakhirnya ini Cheng Ho mengatakan kepada Ma Huan, penulis yang senantiasa menemani dirinya itu satu keinginan hati. Katanya kepada Ma Huan, “Dalam perjalanan terakhir ini, ada satu hal yang sangat ingin aku penuhi. Aku ingin melihat ka’bah untuk yang pertama dan terakhir kalinya….Aku ingin kita berlayar sampai ke negeri itu.” Tetapi ia lalu mengatakan kepada Ma Huan bahwa sebagai pemimpin yang bertanggungjawab ia tidak dapat meninggalkan kapal yang ia pimpin barang sedetik saja. Jadi ia tidak dapat meninggalkan kapal untuk turun pergi melihat ka’bah meskipun hatinya sangat ingin melakukan itu. Makanya ia membawa Ma Huan kali ini dengan tugas khusus untuknya. Cheng Ho mengatakan bahwa pada saat kapalnya mencapai Afrika dan akan kembali pulang ke Cina, ia bermaksud berlayar melewati Tanah Arab sekali lagi. Pada saat mencapai Arab ia menyuruh Ma Huan untuk pergi ke Mekkah dan melukiskan ka’bah bagi dirinya. Setelah berbulan-bulan berlayar Cheng Ho mencapai Swahili di Afrika. Dalam perjalanan pulang itulah dia kemudian menugaskan Ma Huan untuk pergi ke Mekkah dan melukiskan Ka’bah untuk dirinya. Di Mekkah, Ma Huan menulis dan menggambarkan kondisi kota tersebut, ia juga pergi ke Masjidil Haram dan menggambarkan ka’bah yang akan dipersembahkan kepada Laksamana Agung Cheng Ho ketika pulang nanti. Pada usia 62 tahun Cheng Ho meninggal dunia dalam perjalanan pulangnya dari ekspedisi terakhirnya. Ia dimakamkan di laut sebagaimana layaknya seorang pelaut besar dimakamkan. Sisa armada yang dipimpinnya kembali pulang ke Cina dengan hati bersedih karena baru saja kehilangan seorang pemimpin besar. Seorang laksamana agung. Setelah Cheng Ho meninggal, Cina dan kekaisaran Ming semakin menutup diri dari dunia luar. Catatan pelayaran dan banyak catatan penting peninggalan Kaisar Zhu Di dimusnahkan dan dibakar. Ini tentu menyebabkan dunia tak banyak mengetahui jasa besar Cheng Ho dan semua armada kapal yang dipimpinnya itu. Cheng Ho meninggalkan sejumlah peninggalan penting, baik bagi rakyat Cina maupun bagi seluruh dunia. Ia meninggalkan sebuah sistem navigasi, arah pelayaran, dan juga berbagai penemuan penting lainnya. Ia mewariskan sikap toleransi dan persahabatan antar bangsa. Peninggalan Cheng Ho di berbagai kawasan yang pernah disinggahi dan tinggali juga masih terus ada sampai sekarang. Mesjid-mesjid, Kelenteng, Kuil, prasasti-prasasti yang dibangunnya beberapa diantaranya bahkan masih ada sampai sekarang. Kebaikan hatinya, pengabdiannya yang luar biasa, ketulusan hatinya akan tetap tinggal di hati setiap mereka yang pernah mengetahui kisah hidupnya, perjalanannya dan semua ekspedisi hebatnya. Tujuh kali Cheng Ho berlayar bolak-balik dalam kurun waktu 1405-1432. Di tiap negeri ia mempelajari seluk-beluk budaya setempat. Menurut catatan hariannya, di Semarang ia terpesona menonton wayang kulit namun terkejut melihat keris di pinggang para pria. Di Surabaya ia terheran-heran melihat burung yang berbicara seperti manusia. Di Palembang dan Banda Aceh ia juga mendapatkan pengalaman budaya yang unik bagi dirinya. Ia juga mengamati kehidupan agama-agama. Ia memperkenalkan agama Islam, namun penuh toleran terhadap agama lain. Di berbagai tempat ia membangun rumah ibadah untuk agama-agama lain. Di Sri Lanka terdapat prasasti doa Cheng Ho yang lintas agama. Data Ekspedisi Cheng Ho antara lain dapat dibaca lengkap di buku setebal lima ratus halaman berjudul 1421—The Year China Discovered the World tulisan Gavin Menzies, seorang kapten kapal Inggris. Salah satu prasasti Di Liu – Chia – Chang tertulis demikian, “…Kami telah melintasi lautan luas dari 10.000 Li dan telah menyaksikan gelombang tinggi seperti gunung di lautan yang menjulang tinggi ke langit. Kami telah mengamati wilayah barbar yang jauh, tersembunyi dalam transparansi cahaya asap biru, sementara layar kapal kami, dengan angkuh membentang bagai awan. Siang dan malam melanjutkan perjalanan, cepat bagaikan bintang, melintasi ombak yang ganas itu…” ---Michael Sendow--- --- (Dari berbagai sumber data) Ilustrasi: alshafa.files.wordpress.com
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/michusa/kisah-laksamana-cheng-ho-sang-penemu-benua
Komentar
Posting Komentar