DINASTI IDRISIYAH Masa Disintegrasi Dinasti Abbasiyah
Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)
Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)
Dinasti ini didirikan oleh seorang penganut Syi’ah, yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H./789 M. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukkan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus.
Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW., yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam syi,ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun 169/789, dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zeneta di Maroko menerimanya sebagai pemimipin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, Dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Paling tidak, ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukkannya.
Pada masa Kekhalifaan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, (menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, faktor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatif lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehinngga Sulaiman mampu membunuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Terbunuhnya Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan yang merdeka dan independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba itu melahirkan, kaum Barbar memberikan nama bayi tersebut dengan nama Idris dan mengikrarkan sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (Idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris II.
Idris ibn Idris ibn Abdullah (Idris II) datang menggantikan ayahnya sebagai amir (177 H./793M.). Pada masa kepemimpinannya Dinasti Idrisi berkembang pesat. Pusat pemerintahan yang semula dari Walila dipindahkan ke Fes sebagai ibukota baru (192 H.). Dengan demikian, Idris II inilah yang dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya Dinisi Idris.
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran Arab yang berasal dari Spanyol dan Tripolotania di bawah satu kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M.), Dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walaupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supremasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya. Setelah ia memerintah selama masa yang cukup tenang, putranya yang bernama Ali menggantikannya sebagai raja.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849M.), terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ketangan saudaranya sendiri, yaitu Yahya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gedung-gedung megah. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah masjid Qairawan dan masjid Andalusia. Tapi ada pendapat lain bahwa di kota tersebut didirikan pula sebuah masjid yang diberi nama masjid Fathima yang merupakan benih dari masjid dan Universitas Qairawan yang terkenal pada tahun 859 M. tepat pada tahun 863 M., Yahya bin Muhammad meninggal dan kekuasaannya berpindah ke tangan putranya yaitu Yahya II.
Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya, sehinnga terjadilah pembagian wilayah kekuasaan. Keluarga Umar bin Idris I tetap memerintah wilayahnya, sedangkan Dawud mendapat wilayah yang lebih luas kea rah timur kota Fez. Keluarga Kasim menerima sebagian dari sebelah kota Fez bersama-sama dengan pemerintah wilayah suku Luwata dan Kutama. Husain (paman Yahya II), menerima bagian wilayah selatan kota Fez sampai ke pegunungan Atlas. Di samping ketidakmampuan mengatur pemerintahannya, Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnyapada tahun 866 M.
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyir (Qairawan) dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya. Menurut cerita lain bahwa setelah Yahya II diusir oleh penduduk kota Fez, Ali bin Umar (paman dari ayah tiri Yahya) diangkat untuk menduduki tahta yang tak lama kemudian harus dilepaskan lagi akibat satu pemberontakan.
Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi tentram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintah dalam waktu cukup lama, ia terpaksa harus menyerahkan kekuasaan kepada teman kerabatnya yang diberi nama Yahya IV.
Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuatan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan Dinasti Bani Fatimiah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara. Sebagaimana diketahui bahwa dinasti tersebut mempunyai aliran yang berbeda, yang satu beraliran Sunni (Bani Umayah), sementara yang satunya lagi (Bani Fatimiyah) beraliran Syi’ah. Kedua kekuatan tersebut, secara hati-hati menghindari bentrokan sehingga Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi daerah pertikaian mereka.
Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehinnga kekuasaannya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 962 M., sedangkan anak-anaknya dan saudara-saudaranya mengundurka diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara). Di sana, keluarga Idris dari kelompok Bani Muhammad mendirikan benteng di atas bukit yang diberi nama Hajar An-Nashr. Di benteng tersebut, mereka bertahan sampai lima puluh tahun sambil mengamat-amati kubu pertahanan Daulah Umawiyah dan Daulah Fatimiah.
Ada juga riwayat yang menerangkann bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebabkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara politis. Perpecahan tersebut merupakan faktor yang membahayakan keberadaan Dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, dating pula serangan dari Dinasti Fatimiah.
Pada masa kepemimpinan Yahya III, Dinasti Idrisiyah ditaklukan oleh Fatimiyah dan yahya terusir dari kerajaan hinnga wafatnya di Mahdiyah. Dengan akhirnya Yahya, berakhir pula dinasti Idrisiyah.
Bahwasanya Dinasti Idris didirikan oleh Idris bin Abdullah yang merupakan cucu Hasan, putra Ali bin Abi Thalib yang juga mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar, maka lahirlah Dinasti Idrisiyah dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Adapun mengenai status dan hubungan Idrisi dengan pemerintahan pusat tidak pernah memperoleh pengakuan dan tidak banyak mencatat keunggulan-keunggulan dimasa pemerintahannya, bukan berarti sama sekali dia tidak mempunyai andil terhadap Islam, namun dalam aspek dakwah Idrisi telah membawa Islam dan meyakinkannya kepada penduduk Maroko dan sekitarnya. Melalui dinasti ini suku Barbar yang dulunya hidup secara tidak teratur,akhirnya dapat membangun suatu pemerintahan sendiri.
https://youchenkymayeli.blogspot.co.id/2013/12/dinasti-idrisiyah-789-926-m.html
Sekilas Sejarah Dinasti Idrisiyah
Sejarah Terbentuknya Daulah Idrisiyyah.
Islam telah mencapai puncak kejayaannya pada masa Daulah Abasiyah, yang berlangsung kurang lebih selama 500 tahun. Mulai dari tahun 132 H s/d 656 H. Atau dari tahun 750 M s/d 1258 M. Pada masa ini Islam menjadi pusat dunia dalam berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan; mulai dari bidang ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, ilmu pengetahuan dll.
Tetapi tidak dipungkiri dibalik itu semua tersimpan persoalan politik yang pada akhirnya bermuara pada persoalan disintegrasi daulah tersebut. Masalahnya ada pada kebijakan pemerintahan Daulah Abasiyah yang lebih menitikberatkan terhadap pembinan peradaban dan kebudayaan. Sedangkan masalah politik yang sebenarnya tak boleh diabaikan karena ini menyangkut integritas sebuah bangsa. Masalah politik yang didalamnya ada ekpansi, kebijakan politis, dsb. tidak disentuh sehingga mempercepat pelepasan wilayah-wilayah tertentu yang berada jauh dari pantauan pemerintah pusat Daulah Abbasiyah.
Dalam sejarah Politik Islam, disintegrasi politik tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak berakhirnya pemerintahan Bani Ummayah. Ada perbedaan mendasar diantara dua pemerintahan tersebut. Pada Masa Bani Ummayah, wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai dari awal berdirinya sampai akhir kehancurannya). Sedangkan pada masa Pemerintahan Abbasiyah ada sebagian wilayah kekuasaan yang tidak pernah diakuinya seperti di daerah Spanyol dan Afrika utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar bahkan kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah.
Dan seperti diketahui bahwa salah satu faktor yang mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah keberhasilan mereka membentuk solidaritas dari berbagai kalangan yang merasa senasib dalam ketertindasan melawan Dinasti Umaiyyah . Di antara kelompok yang bersekutu dengan daulah Abbas ketika itu dan membantu mereka untuk menumbangkan Dinasti Umaiyyah adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Bani Abbas mengkhianati mereka, bahkan cenderung memusuhi mereka, utamanya ketika al-Hadi menduduki tahta kekhalifahan (785). Al-Hadi menganut politik yang bertolak belakang dengan bapaknya, al-Mansur, yang banyak memperhatikan dan menarik simpati golongan non Abbasiyah, utamanya dari kalangan Umaiyyah dan Syi’ah. Al-Hadi bahkan mengejar-ngejar, menangkapi dan memenjarakan para petinggi-petinggi Umaiyyah dan Syi’ah dengan tuduhan tidak loyal. Kondisi tersebut membuat kelompok-kelompok yang dulunya pro terhadap Bani Abbas kecewa dan menjadi kelompok oposisi, bahkan berusaha melakukan pemberontakan.
Salah satunya adalah Maulay Idris yang ikut dalam pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan Alawiyah dan Syi`ah terhadap Musa al-Hadi, khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu
Sayidina Idris bin Abdullah bin Hasan bin Ali Bin Abi Thalib (172-177 H) :
Ketika terjadi perselihan pada masa kholifah abbasiah, Al-hadi pada tahun 169 H sehingga menjadikan dua orang saudara melarikan diri dari kepemimpinan Kholifah al-Abbasiah, yang pertama Yahya bin Abdullah bin Hassan bin Hassan bin ali yang nantinya memiliki pengaruh di daerah dailam (suku Iran) pada masa Harun al-Rosysid, yang kedua yaitu Idris bin Abdullah yang nantinya berhasil mempengaruhi orang-orang Maghrib (Maroko).
Pada tahun 172 H berdirilah daulah Idrisiah di tangan Maulay idris bin Abdullah al-alawi yang tiba di daerah Maroko beserta gurunya yaitu Rassyid setelah orang –orang Abbasiyah melakukan penindasan terhadap Ahlu al-bait al alawi, dan kebetulan kedatangannya di Maghrib di sambut baik oleh salah satu Kabilah Barbar, al-Robbah al-Barbariyah dan sekaligus sebagai pendukung pertama akan berdirinya Daulah Idrisiyyah sebagai daulah yang merdeka yang sengaja didirikan untuk menyebarkan Islam di seperempat Maghrib, keberadaaan daulah Idirisiyah semakin menguat ketika banyaknya kabilah yang berdatangan untuk bernaung di bawah naungan daulah Idrisiyah, seperti kabilah zanata, zaro'ah, meknesa, dan yang lainnya, sehingga daulah Idrisiyyah berhasil memperluas kekuasaanya sampai daerah Qoirowan, dan bahkan berhasil memperluas kekuasaanya sampai samudra atlantik ( gunung zerhon dekat meknes ).
Perkembangan yang sangat signifikan yang di raih oleh daulah Idrisiyah ini menumbuhkan ketakutan pada diri Harun al-Rasyid akan gangguan yang suatu saat bisa datang menghampirinya, di tambah lagi dengan adanya berita rencana penyerangan yang akan di lakukan oleh daulah Idrisiyyah ke daerah afrika, maka Harun al-Rosyid berniat untuk untuk melenyapkan keberadaan Daulah idrisiyah sehingga dia mengutus tentara yang sangat banyak untuk mensukseskan niatnya itu, akan tetapi di tengah perjalanan Harun al-Rasyid mengubah strateginya itu, dengan membatalkan pemberangkatan para tentara, di karenakan kesulitan yang akan mereka hadapi sebelum sampai di tanah Maghrib dengan kondisi perjalanan yang sangat sulit, melainkan harun al-rasyid mengganti rencananya itu dengan memberikan perintah kepada Yahya al-Barmaki untuk mendatangkan laki-laki yang terkenal dengan lemah-lembutnya sehingga mampu untuk masuk ke dalam kawasan daulah Idrisiyyah tanpa di ketahui asal-usulnya sehingga bisa membunuh Idris bin Abdullah, dan pada akhirnya Harun ar-Rosyid menemukannya dan langsung mengutus Rosyid sulaiman bin jarir yang masih merupakan kerabat dari daulah Fatimiah (al Mahdi) untuk berjalan menuju Maghrib sampai bertemu dengan khalifah Idris awal, dan di karenakan Rosyid sulaiman bin jarir ini di kenal sebagi dokter yang berfaham ahlul bait maka Maulay idris pun sangat menghormati keberadaanya, dan karena penghormatan yang dia terima akhirnya dia pun berhasil mencari kesempatan untuk membunuh maulay Idris awal.
Adapun mengenai kematian Khalifah Idris bin Abdullah banyak sekali riwayat yang tersebar, mulai dari riwayat yang mengatakan bahwa Rosyid berhasil membunuhnya dengan cara menumbuk racun yang di campurkan dengan obat, atau ada riwayat lain yang mengatakan bahwa dia mencampurkan racun dengan alat siwak yang setelah itu di berikan kepada Idris bin Abdullah yang sedang merasa sakit gigi, dan adapun riwayat yang terakhir mengatakan bahwa ia menyajikan anggur yang sudah di campur dengan racun.
Sayidina Idris Tsani (Al Mutsanna) (177-213 H)
Ketika maulay Idris awal meninggal dunia, dia pun meninggalkan putranya yang masih dalam kandungan dan masyarakat barbar yang bernaung di bawah kekuasaanya, oleh karena pengharapan dari masyerakat akan kembalinya sosok seperti Idris awal dan setelah dua bulan idris awal meninggal dunia putra laki-lakinya pun lahir maka masyarakat barbar langsung memberikan nama dengan nama ayahnya, yaitu Idris tsani, dan dialah yang mendirikan kota fes, bahkan banyak anggapan yang me ngatakan bahwa dia pendiri sejati Daulah idrisiyah karena peran yang telah di lakukannya.
Ketika usia idris tsani mencapai 11 tahun masyarakat barbar membai'atnya pada bulan Robi'ul awal tahun 177 H di kota walailah, dan di ikuti oleh semua kabilah di Maghrib, salah satunya adalah kabilah Zanatah,al-Robbah,Shonhajjah dan Musomadah. Dan pada tahun 192 H Idris tsani mulai melanjutkan pembangunan kota fes sehingga mencapai kesempurnaanya pada tahun setelahnya sehingga fes di jadikannya sebagai ibu kota dari Maghrib, atau ketika itu dari Daulah Idrisiyyah,dan setelah Idris II berhasil membangun kota fes, idris tsani pun mengalihkan perhatiannya, untuk memerangi kabilah Shifriyah, salah satu kabilah yang merupakan bagian dari sekte Khowarij.
Idris tsani Wafat pada bulan Jumadil akhir tahun 213 H ketika umur 36 tahun, yang kemudian di gantikan oleh putranya Muhammad bin idris. Pada masanya ini pemerintahan idrisiyah mengalami perpecahan sehingga keluarlah Isa bin idris untuk menyendiri di kota Azmur dengan tidak menta'ati kembali kholifah Muhammad bin idris dan menobatkan dirinya sebagai kholifah yang baru . maka untuk memeranginya Muhammad bin idris meminta bantuan kepada saudaranya al qosim, pemimpin tanger, namun permintaan itu pun di tolak, kemudian kholifah meminta pertolongan lagi kepada saudara yang lain yaitu umar, pemimpin meknes dan dia menanggapi permintaan Muhammad bin idris untuk memerangi isa dan tentaranya yang kebanyakan menggunakan tentara barbar, akhirnya kholifahpun berhasil meraih kemenangan sehingga dapat mengusir isa dan pergerakan kholifah pun tidak berhenti sampai di sini saja, karena ternyata kholifah muhammad bin idris masih terus memperluas kekuasaanya sampai ke daerah Tanger.
Sayidina Ali Bin Umar Bin Idris Tsani (221-234H)
Pada bulan Robi'ul Tsani di tahun 221 H Muhammad bin idris tsani meninggal dunia, maka putranya Ali bin Muhammad degan terpaksa menggantikannya pada Tahun 221H ketika masih berumur 9 tahun dan masyarakat menjulukinya dengan julukan yang pernah di terima oleh ali bin abi tholib ya itu “Haidaroh”. Karena usia umurnya yang masih belia itu, kekuasaan pun untuk sementara di serahkan kepada saudaranya yaitu Yahya bin Muhammad bin Idris, dan pada masa Yahya inilah kerajaan mencapai masa keemasan dengan keberhasilannya dalam memperluas wilayah dan pengaruhnya, di tambah lagi dengan perkembangan pembangunan di kota fes yang sudah terbukti dengan terciptanya tempat pemandian, perhotelan dan benteng di bagian luar, sehingga menjadikan banyak masyarakat Maghrib yang datang menuju kota fes. Dan Ali bin Muhammad pun meninggal pada bulan rajab tahun 235H.
Ketika Ali bin Muhammad bin idris meninggal dunia lalu kemudian di gantikan oleh putranya Yahya bin ali bin Muhammad bin idris, dan pada masa itu kerajaan pun mengalami kekacauan sehingga pada saat itu di nyatakan sebagai masa kelam, dengan di awali lahirnya revolusi yang di mulai dari penyebaran fitnah yang berasal dari tanah andalus sehingga menjadikan sang khalifah Yahya Bin Ali bin Muhammad meninggal dunia, lalu fes pun akhirnya di kuasai oleh Abdurrahman bin abi sahl yang telah berhasil memprofokatori lahirnya revolusi.
Namun Istri dari Sang Khalifah Yahya bin ali bin Muhammad tidak tinggal diam dengan apa yang sedang terjadi di negrinya melainkan terus mencari bantuan untuk ikut meredam terjadinya konflik dengan menulis surat kepada ayahnya Ali bin umar bin idris penguasa kota Riff, sekaligus masih saudara dengan sang kholifah Yahya bin Ali yang nasabnya bertemu di Khalifah Idris tsani, untuk datang ke kota fes dan meredam terjadinya revolusi, sehingga datanglah Ali bin umar bin idris ke kota fes dan berhasil menguasainya, maka terputuslah silsilah kepemimpinan daulah idrisiah dari jalur Muhammad bin idris tsani menjadi Umar bin idris tsani penguasa kota Riff, dan pada masa yang lain beralih juga ke al-Qosim bin idris al-zahid.
Namun sebelum seluruh penduduk Maroko ta'at terhadap kepemimpinan Ali bin umar bin idris, datanglah Abdul Rozak al-fihri, ulama dari golongan Shifriyah, salah golongan dari aliran khowarij untuk kembali menyerang Ali bin Umar dengan di ikuti oleh masyarakat yang tunduk di bawahnya yang berada di sekitar fes sehingga menjadikan Ali bin umar melarikan diri menuju daerah Aurobbah.
Lalu ada sebagian dari penduduk fes yang mengutus delegasi mereka untuk menghadap kepada Yahya bin Kosim bin Idris tsani yang masih saudara dari Ali bin Umar agar berkenan datang ke fes untuk kembali memerangi Abdul Rozak al-Fihri, dan setelah Yahya bin Idris tsani datang, masyarakat dan orang-orang andalus dari daerah Ribbiddinpun bersama-sama membai'atnya untuk berperang melawan Abdul Rozak al-Fihri dan memaksanya untuk keluar dari tanah Maghrib dan Andalus, sehinga setelah itu Yahya bin Idris tsani menghabiskan waktunya untuk memerangi kaum Khawarij al-sifriyah sampai terjadi banyak sekali kejadian di antara dua pihak di bawah kepemimpinan Yahya bin Qasim bin Idris tsani, sampai dia terbunuh oleh Robi' bin sulaiman pada tahun 292 H.
Syekh Salawi berkata bahwa setelah kematian Yahya bin Muhammad bin Idris tsani atau bisa di sebut juga Yahya I pada tahun 234 H, Sampai kematian Yahya bin Qosim bin idris tsani atau bisa di sebut juga Yahya III pada tahun 292 H, banyak sekali terjadi kejadian di Maghrib yang di sebabkan oleh meluasnya kekacauan yang lebih di akibatkan oleh peperangan antara keturunan Maulay Idris dan Khowarij al-Sifriah, sehingga mempengaruhi kondisi perekonomian dan kemasyarakan daulah Idrisiyah itu sendiri, di tambah lagi pada saat itu terjadi kekeringan, tidak adanya makanan pokok dan banyaknya kematian yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan Pada tahun 267 H pernah juga terjadi gempa yang sangat besar yang belum pernah terjadi sebelumnya sehingga berhasil menghancurkan benteng, merobohkan dinding atap rumah dan meruntuhkan batu batuan dari pegunungan yang menjadikan masyarakat menjauh dari kota dan gempa itu pun terasa sampai ke daerah Andalus,Tilmisan Tanger dan lain sekitarnya.
Pada tahun 267 H, Maghrib akhirnya mencapai tingkat kekacauan yang paling akut yang menjadikan daulah Idrisiyah terpecah belah, sehingga Ibnu Kholdun ssendiri, Sejarawan islam ternama yang berasal dari Maghrib tidak mampu untuk menggambarkan permulaan dan berakhirnya dinasti Idrisiyyah.
Yahya IV bin idris bin amr (292-310 H ).
Pada saat Yahya bin Qosim bin Idris tsani terbunuh, Yahya bin Idris bin Amr bin Idris tsani menggantikan kekuasaanya setelah di baiat oleh masyarakat, dan pada masanya dia berhasil memperluas kekuasaan ke semua wilayah Maghrib bagian utara.
Yahya bin Idris bin Amr bin Idris tsani Atau bisa juga di sebut Yahya IV, adalah pemimpin yang mampu untuk bersikap adil, pemberani, bijaksana, tidak cinta kepada hal-hal materi dan kekutamaan-keutamaan yang lainnya salah satunya adalah kealimannya dalam bidang fiqih, hadits nabawi dan lain sebagainya. Dan Yahya IV berkuasa selama 15 tahun sampai munculnya daulah Fathimiah di afrika pada akhir abat 3 H yang berhasil menyebarkan pengaruh dan kekuasaanya di Maghrib.
Dan pada tahun 300 H pemimpin Bani Fathimiah yaitu Ubaidillah al-Mahdi berhasil menguasai dan menundukkan Yahya IV, sehingga Yahya IV dengan terpaksa meminta perdamaian dengan syarat yang siap untuk di laksanakannya yaitu menyerahkan upeti dan bai'at kepada Abdullah al Mahdi dan dari sinilah pengaruh daulah Fathimiah mulai meluas. Dan yahya IV meninggal dunia pada tahun 332H setelah 20 tahun di kurung di dalam penjara, dan ketika dia di kurung ini, al-Hassan bin Muhammad pun menggantikannya dan berkuasa selama dua tahun (310-312).
Dan daulah idrisiyyah pun terus berjalan dengan berbagai macam masanya, mulai dari masa keemasan dan masa keruntuhanya sehingga kerajaan ini pun runtuh setelah berkuasa selama dua abad 3o tahun, (172-375).
Penguasa Dinasti Idrisiyyah
- Idris I – (788–791)
- Idris II – (791–828)
- Muhammad bin Idris – (828–836)
- Ali bin Muhammad dikenal sebagai "Ali I" – (836–848)
- Yahya bin Muhammad, dikenal sebagai "Yahya I" – (848–864)
- Yahya bin Yahya, dikenal sebagai "Yahya II" – (864–874)
- Ali bin Umar, dikenal sebagai "Ali II" – (874–883)
- Yahya bin Al-Qassim, dikenal sebagai "Yahya III" – (883–904)
- Yahya bin Idris bin Umar, dikenal sebagai "Yahya IV" – (904–917)
- Dibawah kekuasaan Fatimiyah – (917-925)
- Al-Hajjam al-Hasan bin Muhammad bin al-Qassim – (925–927)
- Al-Qasim Gannum – (937-948)
- Abu al-Aisy Ahmad – (948-954)
- Al-Hasan bin Guennoun, dikenal sebagai "Hassan II" – (954–974) (tidak terkait dengan Hassan II yang lahir pada tahun 1929)
Daulah Idrisiyyah
Idrisiyah (bahasa Arab: الأدارسة al-Idārisah) adalah sebuah kerajaan Zaidiyah, yang terletak di Maroko yang berkuasa tahun 788 sampai dengan 974. Kerajaan ini dinamakan sesuai dengan nama pendiri, Idris I, yang merupakan keturunan Hasan bin Ali, Secara tradisional dinasti Idrisiyah dianggap sebagai pendiri negara Maroko.
Dinasti
Wilayah kekuasan Idrisiyah, sekitar tahun 820
Ibu kota | Walilli (789–808) Fez (808–927) Hajar an-Nasar (927-985) | |
Bahasa | Arab, Berber | |
Agama | Zaidiyah | |
Bentuk Pemerintahan | Monarki | |
Era sejarah | Zaman pertengahan | |
- | Didirikan | 788 |
- | Dibubarkan | 974 |
Penguasa
- Idris I – (788–791)
- Idris II – (791–828)
- Muhammad bin Idris – (828–836)
- Ali bin Muhammad dikenal sebagai "Ali I" – (836–848)
- Yahya bin Muhammad, dikenal sebagai "Yahya I" – (848–864)
- Yahya bin Yahya, dikenal sebagai "Yahya II" – (864–874)
- Ali bin Umar, dikenal sebagai "Ali II" – (874–883)
- Yahya bin Al-Qassim, dikenal sebagai "Yahya III" – (883–904)
- Yahya bin Idris bin Umar, dikenal sebagai "Yahya IV" – (904–917)
- Dibawah kekuasaan Fatimiyah – (917-925)
- Al-Hajjam al-Hasan bin Muhammad bin al-Qassim – (925–927)
- Al-Qasim Gannum – (937-948)
- Abu al-Aisy Ahmad – (948-954)
- Al-Hasan bin Guennoun, dikenal sebagai "Hassan II" – (954–974) (tidak terkait dengan Hassan II yang lahir pada tahun 1929)
DINASTI IDRISIYAH (788-922)
1. Sejarah Terbentuknya
Dinasti Idrisiyah merupakan dinasti pertama yang beraliran Syi’ah, terutama di daerah Magrib (Maroko) dan Afrika Utara. Sebelum Dinasti Idrisiyah berkuasa, daerah tersebut selalu didominasi oleh aliran Khawarij.
Nama Dinasti Idrisiyah adalah diambil dari nama pendirinya, Idris bin Abdullah bin al-Hasan, seorang pengikut golongan Syi’ah yang Alawiy, cucu al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, didirikan pada tahun 172 H/789 M.
Seperti diketahui bahwa salah satu faktor yang mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah keberhasilan mereka membentuk solidaritas (‘a¡abiyyah) dari berbagai kalangan yang merasakan diri senasib dalam ketertindasan melawan Dinasti Umaiyyah . Di antara kelompok yang bersekutu dengan bani Abbas dan membantu mereka untuk menumbangkan Dinasti Umaiyyah adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Bani Abbas mengkhianati mereka, bahkan cenderung memusuhi mereka, utamanya ketika al-Hadi menduduki tahta kekhalifahan (785). Al-Hadi menganut politik yang bertolak belakang dengan bapaknya, al-Mansur, yang banyak memperhatikan dan menarik simpati golongan non Abbasiyah, utamanya dari kalangan Umaiyyah dan Syi’ah. Al-Hadi bahkan mengejar-ngejar, menangkapi dan memenjarakan para petinggi-petinggi Umaiyyah dan Syi’ah dengan tuduhan tidak loyal. Kondisi tersebut membuat kelompok-kelompok yang dulunya pro terhadap Bani Abbas kecewa dan menjadi kelompok oposisi, bahkan berusaha melakukan pemberontakan.
Idris telah ikut dalam pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan Alawiyah dan Syi`ah terhadap Musa al-Hadi, khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu. Dalam suatu pertempuran, kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh saudara sepupu Idris, al-Husain bin Ali al-Hasan, dikalahkan oleh tentara Abbasiyah dan terbunuh di suatu tempat di dekat Mekah, pada tanggal 3 Zulhijjah 169 H/11 Juni 786 M.
Setelah peristiwa tersebut, Idris menghilang beberapa saat, dan pada akhirnya muncul di Mesir, kemudian dari sana berhasil melarikan diri ke Maroko. Di Maroko ia disambut oleh Ishaq bin Muhammad, pemimpin salah satu suku dari bangsa Barbar, yaitu suku Aurabah. Pada bulan Ramadan 172 H, atas kehendak Ishaq, Idris dipilih menjadi pemimpin suku Aurabah, kemudian diikuti oleh kabilah-kabilah lain yang menghuni kawasan yang sekarang dikenal dengan Marakisy.
Nampaknya kesediaan kalangan Barbar menerima Idris bin Abdullah – yang beraliran Syi’ah (Alawiyah) – adalah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dibanding faktor agama (aliran), karena terbukti bahwa suku-suku tersebut dulunya adalah penganut aliran Khawarij. Akan tetapi karena kondisi intern Barbar terjadi perpecahan, artinya tidak ada orang yang berhasil mempersatukan mereka. Masing-masing suku ingin tampil sebagai pemimpin, sehingga mereka menerimanya sebagai pemersatu.
Selain faktor tersebut, yang sangat menentukan adalah kemampuan Idris meyakinkan orang-orang Barbar bahwa dirinya merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib.
Setelah terpilih jadi pemimpin bangsa Barbar, Idris kemudian melakukan penyerangan terahadap kabilah-kabilah Yahudi, Nasrani, dan paganisme yang mendiami daerah Tamisna, dan berhasil mengalahkan kabilah-kabilah tersebut dengan mudah. Kemudian sekitar tahun 173 atau 174 H (789 atau 790 M) dia melakukan invasi ke arah timur, dimana berhasil menundukkan kota Tilmisan (Agadir) yang pada saat itu dipimpin oleh Muhammad bin Khayir. Idris kemudian menetap beberapa waktu di Tilmisan, dan pada bulan Safar 174 H, ia membangun sebuah masjid, dimana mimbar masjid tersebut yang di atasnya terukir namanya masih ada hingga zaman Ibn Khaldun.
Namun ketika ia kembali ke ibu kota, Walily (Volubilis), ia diracuni oleh seorang yang bernama Sulaiman al-Syammakh. Konon peristiwa itu atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid, pada awal Rabi‘ al-¤±niy 177 H/16 Juli 793 M.
Dengan berdirinya Dinasti Idrisiyah di Afrika Utara, maka pusat kekuasaan Islam telah terbagi kepada tiga kawasan: 1. Bani Umaiyyah di Spanyol, 2. Syi’ah di Magrib (Maroko), dan 3. Abbasiyah di daerah sisanya di Timur Tengah.
2. Masa Kemajuannya
Kurang lebih satu setengah abad Dinasti Idrisiyah berkuasa di Maroko, dan telah dipimpin oleh sembilan orang raja, yaitu Idris I (788-793), Idris II (793-828), Muhammad al-Muntasir (828-836), Ali I (836-849), Yahya I, Yahya II, Ali II, dan Yahya III (849-904), Yahya IV (904-922).
Masa kemajuan Dinasti Idrisiyah mulai tercapai pada masa pemerintahan Idris I dan Idris II. Keberhasilan yang dicapai pada masa itu adalah penyebaran Islam ke seluruh masyarakat dengan mudah. Di samping itu, pertahanan dan keamanan cukup kuat, terbukti adanya Idris dan pasukannya dapat menahan pasukan Romawi dan mempertahankan wilayahnya.
Setelah Idris II meninggal pada tahun 828, ia meninggalkan pemerintahan yang stabil dan telah menguasai sebagian besar muslim Barbar. Tiga raja berikutnya, Muhammad, Ali I, dan Yahya I adalah penguasa-penguasa yang kuat, yang lebih memapankan pemerintahan Idrisiyah. Sepanjang pemerintahan Yahya I, Fez telah mencapai puncak kemakmurannya dengan menjadi salah satu pusat perdagangan yang menghubungkan antara Afrika dan Eropa. Selama pemerintahan Yahya yang damai, banyak imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya berdatangan ke Fez. Kota ini lalu berkembang dengan pesat, baik dari segi penduduk maupun pembangunan gedung-gedungnya. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah dua masjid, Qarawiyyin dan Andalusia, yang didirikan pada tahun 859 M. Kota Fez kemudian dianggap sebagai kota suci, tempat tinggal kaum syorfah (kaum syurafa’ atau orang-orang mulia) keturunan istimewa Nabi.
Ira M. Lapidus mengatakan, bahwa meskipun wilayah pemerintahannya relatif kecil, Dinasti Idrisiyah merupakan negara Maroko-Islam yang pertama, dan merupakan pusat perjuangan Islam yang aktif.
Yahya I bin Muhammad meninggal pada tahun 863 M, ia kemudian digantikan oleh putranya, Yahya II, yang pemerintahannya kurang sukses. Pada masanya mulai terjadi disintegrasi dengan terjadinya pemberontakan dari bangsa Barbar yang memaksanya untuk lari bersembunyi. Dari sinilah awal kemunduran Dinasti Idrisiyah.
Kemajuan yang pernah dicapai oleh Dinasti Idrisiyah dapat mengangkat citra umat Islam pada umumnya, dan Afrika khususnya, dan telah memperlihatkan bahwa manajemen pemerintahan sangat penting untuk mengatur negara dan wilayah kekuasaan. Hal itulah yang dilakukan oleh Idris I sampai pada Yahya I, sehingga kemajuan itu dapat dicapai.
Namun setelah itu, saat kepemimpinan beralih, maka kondisinya berbeda akibat tipe pemimpin berikutnya tidak belajar dari sejarah pendahulunya, sehingga dalam sejarah dicatat bahwa setelah Yahya I, Dinasti Idrisiyah mengalami kemunduran.
3. Kemundurannya
Salah satu penyebab kemunduran Dinasti Idrisiyah adalah karena kelemahan pemerintahnya yang tidak dapat dipungkiri. Kelemahan itu kelihatan pada ketidakmampuan mengontrol daerah-daerah pedalaman dan pesisir. Akibat dari kelemahan itu, Dinasti Idrisiyah sama sekali tidak mampu, baik secara geografis maupun ideologis untuk memperlebar wilayah perbatasan yang telah dirintis dan dikoordinasi oleh Idris I.
Seperti telah dijelaskan, bahwa Yahya II tidak mampu melanjutkan kesuksesan para pendahulunya. Pemberontak Barbar telah memaksanya untuk melarikan diri ke Andalusia sampai akhir hayatnya. Setelah kematian Yahya II, keadaan pemerintahan cenderung anarki dengan terjadinya perebutan kekuasaan antara anak cucu Idris. Kondisi chaos ini diperparah dengan terjadinya pemberontakan kaum Khawarij melawan pemerintahan Idrisiyah yang Syi’ah. Perdagangan menjadi berkurang, kemakmuran mengalami decline, kemelaratan merajalela di mana-mana. Selanjutnya, pada tahun 881 sebuah gempa bumi yang dahsyat melanda negara, menghancurkan bangunan-bangunan dan mengubur banyak penduduk di bawah puing-puing bangunan, sementara itu ketakutan dan penyakit melanda desa-desa. Saat itu sungguh menjadi era miring bagi pemerintahan Dinasti Idrisiyah, yang mana kondisi politik sangat membingungkan, sehingga para sejarahwan pun sulit menentukan tahun yang pasti pada pemerintahan Idrisiyah antara Yahya I dan Yahya IV.
Pada tahun 904, Yahya IV memproklamirkan diri sebagai raja dan imam yang secara berangsur-angsur memulihkan kekuasaan (rezim) Idrisiyah. Selama masa pemerintahannya, keadaan relatif stabil dan keamanan berhasil dipulihkan di Afrika Utara, perdagangan kembali maju dan kemakmuran mulai tumbuh kembali di Fez. Namun demikian kemakmuran tersebut hanya berlangsung singkat, dengan kemunculan Dinasti Fatimiyah, gerakan Syi’ah (keturunan Ali) yang lain, di pusat Afrika Utara, di bawah pimpinan Ubaydillah al-Mahdi. Pada tahun 919, hanya lima belas tahun setelah pelantikannya sebagai pemimpin rezim Idrisiyah, Yahya IV harus berperang melawan tetangganya, Dinasti Fatimiyah. Menyadari posisinya yang lemah, Yahya IV memilih untuk mengadakan perundingan damai dengan Fatimiyah, yang telah menyetujui dirinya untuk melanjutkan pemerintahannya di Fez, tapi dengan catatan harus membayar upeti kepada khalifah Fatimiyah. Pada tahun 922, tiba-tiba Fatimiyah memutuskan untuk memecat Yahya IV dan memasukkan wilayah Magrib kedalam kekuasaannya, yang mengakhiri masa kekuasaan Dinasti Idrisiyah yang telah memerintah di Afrika Utara selama sekitar seratus empat puluh tahun.
Juga di antara faktor yang membawa kepada surutnya kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah setelah Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim bin Aglab (800-811) – pendiri bani Taglib (Dinasti Aglabiyah) – sebagai gubernur Afrika Utara yang beraliran Sunni. Ibrahim bin Aglab sengaja diangkat oleh Khalifah Harun al-Rasyid untuk membendung bahaya Dinasti Idrisiyah dan kaum Khawarij, dan selanjutnya akan dibahas pada bab berikutnya.
1. Sejarah Terbentuknya
Dinasti Idrisiyah merupakan dinasti pertama yang beraliran Syi’ah, terutama di daerah Magrib (Maroko) dan Afrika Utara. Sebelum Dinasti Idrisiyah berkuasa, daerah tersebut selalu didominasi oleh aliran Khawarij.
Nama Dinasti Idrisiyah adalah diambil dari nama pendirinya, Idris bin Abdullah bin al-Hasan, seorang pengikut golongan Syi’ah yang Alawiy, cucu al-Hasan bin Ali bin Abu Thalib, didirikan pada tahun 172 H/789 M.
Seperti diketahui bahwa salah satu faktor yang mendukung berdirinya Dinasti Abbasiyah adalah keberhasilan mereka membentuk solidaritas (‘a¡abiyyah) dari berbagai kalangan yang merasakan diri senasib dalam ketertindasan melawan Dinasti Umaiyyah . Di antara kelompok yang bersekutu dengan bani Abbas dan membantu mereka untuk menumbangkan Dinasti Umaiyyah adalah kelompok Syi’ah dan Alawiyyun.
Namun pada perkembangan selanjutnya, Bani Abbas mengkhianati mereka, bahkan cenderung memusuhi mereka, utamanya ketika al-Hadi menduduki tahta kekhalifahan (785). Al-Hadi menganut politik yang bertolak belakang dengan bapaknya, al-Mansur, yang banyak memperhatikan dan menarik simpati golongan non Abbasiyah, utamanya dari kalangan Umaiyyah dan Syi’ah. Al-Hadi bahkan mengejar-ngejar, menangkapi dan memenjarakan para petinggi-petinggi Umaiyyah dan Syi’ah dengan tuduhan tidak loyal. Kondisi tersebut membuat kelompok-kelompok yang dulunya pro terhadap Bani Abbas kecewa dan menjadi kelompok oposisi, bahkan berusaha melakukan pemberontakan.
Idris telah ikut dalam pemberontakan yang dilakukan oleh kalangan Alawiyah dan Syi`ah terhadap Musa al-Hadi, khalifah Abbasiyah yang berkuasa pada saat itu. Dalam suatu pertempuran, kelompok Syi’ah yang dipimpin oleh saudara sepupu Idris, al-Husain bin Ali al-Hasan, dikalahkan oleh tentara Abbasiyah dan terbunuh di suatu tempat di dekat Mekah, pada tanggal 3 Zulhijjah 169 H/11 Juni 786 M.
Setelah peristiwa tersebut, Idris menghilang beberapa saat, dan pada akhirnya muncul di Mesir, kemudian dari sana berhasil melarikan diri ke Maroko. Di Maroko ia disambut oleh Ishaq bin Muhammad, pemimpin salah satu suku dari bangsa Barbar, yaitu suku Aurabah. Pada bulan Ramadan 172 H, atas kehendak Ishaq, Idris dipilih menjadi pemimpin suku Aurabah, kemudian diikuti oleh kabilah-kabilah lain yang menghuni kawasan yang sekarang dikenal dengan Marakisy.
Nampaknya kesediaan kalangan Barbar menerima Idris bin Abdullah – yang beraliran Syi’ah (Alawiyah) – adalah lebih banyak dipengaruhi oleh faktor politik dibanding faktor agama (aliran), karena terbukti bahwa suku-suku tersebut dulunya adalah penganut aliran Khawarij. Akan tetapi karena kondisi intern Barbar terjadi perpecahan, artinya tidak ada orang yang berhasil mempersatukan mereka. Masing-masing suku ingin tampil sebagai pemimpin, sehingga mereka menerimanya sebagai pemersatu.
Selain faktor tersebut, yang sangat menentukan adalah kemampuan Idris meyakinkan orang-orang Barbar bahwa dirinya merupakan keturunan Ali bin Abu Thalib.
Setelah terpilih jadi pemimpin bangsa Barbar, Idris kemudian melakukan penyerangan terahadap kabilah-kabilah Yahudi, Nasrani, dan paganisme yang mendiami daerah Tamisna, dan berhasil mengalahkan kabilah-kabilah tersebut dengan mudah. Kemudian sekitar tahun 173 atau 174 H (789 atau 790 M) dia melakukan invasi ke arah timur, dimana berhasil menundukkan kota Tilmisan (Agadir) yang pada saat itu dipimpin oleh Muhammad bin Khayir. Idris kemudian menetap beberapa waktu di Tilmisan, dan pada bulan Safar 174 H, ia membangun sebuah masjid, dimana mimbar masjid tersebut yang di atasnya terukir namanya masih ada hingga zaman Ibn Khaldun.
Namun ketika ia kembali ke ibu kota, Walily (Volubilis), ia diracuni oleh seorang yang bernama Sulaiman al-Syammakh. Konon peristiwa itu atas perintah Khalifah Harun al-Rasyid, pada awal Rabi‘ al-¤±niy 177 H/16 Juli 793 M.
Dengan berdirinya Dinasti Idrisiyah di Afrika Utara, maka pusat kekuasaan Islam telah terbagi kepada tiga kawasan: 1. Bani Umaiyyah di Spanyol, 2. Syi’ah di Magrib (Maroko), dan 3. Abbasiyah di daerah sisanya di Timur Tengah.
2. Masa Kemajuannya
Kurang lebih satu setengah abad Dinasti Idrisiyah berkuasa di Maroko, dan telah dipimpin oleh sembilan orang raja, yaitu Idris I (788-793), Idris II (793-828), Muhammad al-Muntasir (828-836), Ali I (836-849), Yahya I, Yahya II, Ali II, dan Yahya III (849-904), Yahya IV (904-922).
Masa kemajuan Dinasti Idrisiyah mulai tercapai pada masa pemerintahan Idris I dan Idris II. Keberhasilan yang dicapai pada masa itu adalah penyebaran Islam ke seluruh masyarakat dengan mudah. Di samping itu, pertahanan dan keamanan cukup kuat, terbukti adanya Idris dan pasukannya dapat menahan pasukan Romawi dan mempertahankan wilayahnya.
Setelah Idris II meninggal pada tahun 828, ia meninggalkan pemerintahan yang stabil dan telah menguasai sebagian besar muslim Barbar. Tiga raja berikutnya, Muhammad, Ali I, dan Yahya I adalah penguasa-penguasa yang kuat, yang lebih memapankan pemerintahan Idrisiyah. Sepanjang pemerintahan Yahya I, Fez telah mencapai puncak kemakmurannya dengan menjadi salah satu pusat perdagangan yang menghubungkan antara Afrika dan Eropa. Selama pemerintahan Yahya yang damai, banyak imigran dari Andalusia dan daerah Afrika lainnya berdatangan ke Fez. Kota ini lalu berkembang dengan pesat, baik dari segi penduduk maupun pembangunan gedung-gedungnya. Di antara gedung yang dibangun pada masa itu ialah dua masjid, Qarawiyyin dan Andalusia, yang didirikan pada tahun 859 M. Kota Fez kemudian dianggap sebagai kota suci, tempat tinggal kaum syorfah (kaum syurafa’ atau orang-orang mulia) keturunan istimewa Nabi.
Ira M. Lapidus mengatakan, bahwa meskipun wilayah pemerintahannya relatif kecil, Dinasti Idrisiyah merupakan negara Maroko-Islam yang pertama, dan merupakan pusat perjuangan Islam yang aktif.
Yahya I bin Muhammad meninggal pada tahun 863 M, ia kemudian digantikan oleh putranya, Yahya II, yang pemerintahannya kurang sukses. Pada masanya mulai terjadi disintegrasi dengan terjadinya pemberontakan dari bangsa Barbar yang memaksanya untuk lari bersembunyi. Dari sinilah awal kemunduran Dinasti Idrisiyah.
Kemajuan yang pernah dicapai oleh Dinasti Idrisiyah dapat mengangkat citra umat Islam pada umumnya, dan Afrika khususnya, dan telah memperlihatkan bahwa manajemen pemerintahan sangat penting untuk mengatur negara dan wilayah kekuasaan. Hal itulah yang dilakukan oleh Idris I sampai pada Yahya I, sehingga kemajuan itu dapat dicapai.
Namun setelah itu, saat kepemimpinan beralih, maka kondisinya berbeda akibat tipe pemimpin berikutnya tidak belajar dari sejarah pendahulunya, sehingga dalam sejarah dicatat bahwa setelah Yahya I, Dinasti Idrisiyah mengalami kemunduran.
3. Kemundurannya
Salah satu penyebab kemunduran Dinasti Idrisiyah adalah karena kelemahan pemerintahnya yang tidak dapat dipungkiri. Kelemahan itu kelihatan pada ketidakmampuan mengontrol daerah-daerah pedalaman dan pesisir. Akibat dari kelemahan itu, Dinasti Idrisiyah sama sekali tidak mampu, baik secara geografis maupun ideologis untuk memperlebar wilayah perbatasan yang telah dirintis dan dikoordinasi oleh Idris I.
Seperti telah dijelaskan, bahwa Yahya II tidak mampu melanjutkan kesuksesan para pendahulunya. Pemberontak Barbar telah memaksanya untuk melarikan diri ke Andalusia sampai akhir hayatnya. Setelah kematian Yahya II, keadaan pemerintahan cenderung anarki dengan terjadinya perebutan kekuasaan antara anak cucu Idris. Kondisi chaos ini diperparah dengan terjadinya pemberontakan kaum Khawarij melawan pemerintahan Idrisiyah yang Syi’ah. Perdagangan menjadi berkurang, kemakmuran mengalami decline, kemelaratan merajalela di mana-mana. Selanjutnya, pada tahun 881 sebuah gempa bumi yang dahsyat melanda negara, menghancurkan bangunan-bangunan dan mengubur banyak penduduk di bawah puing-puing bangunan, sementara itu ketakutan dan penyakit melanda desa-desa. Saat itu sungguh menjadi era miring bagi pemerintahan Dinasti Idrisiyah, yang mana kondisi politik sangat membingungkan, sehingga para sejarahwan pun sulit menentukan tahun yang pasti pada pemerintahan Idrisiyah antara Yahya I dan Yahya IV.
Pada tahun 904, Yahya IV memproklamirkan diri sebagai raja dan imam yang secara berangsur-angsur memulihkan kekuasaan (rezim) Idrisiyah. Selama masa pemerintahannya, keadaan relatif stabil dan keamanan berhasil dipulihkan di Afrika Utara, perdagangan kembali maju dan kemakmuran mulai tumbuh kembali di Fez. Namun demikian kemakmuran tersebut hanya berlangsung singkat, dengan kemunculan Dinasti Fatimiyah, gerakan Syi’ah (keturunan Ali) yang lain, di pusat Afrika Utara, di bawah pimpinan Ubaydillah al-Mahdi. Pada tahun 919, hanya lima belas tahun setelah pelantikannya sebagai pemimpin rezim Idrisiyah, Yahya IV harus berperang melawan tetangganya, Dinasti Fatimiyah. Menyadari posisinya yang lemah, Yahya IV memilih untuk mengadakan perundingan damai dengan Fatimiyah, yang telah menyetujui dirinya untuk melanjutkan pemerintahannya di Fez, tapi dengan catatan harus membayar upeti kepada khalifah Fatimiyah. Pada tahun 922, tiba-tiba Fatimiyah memutuskan untuk memecat Yahya IV dan memasukkan wilayah Magrib kedalam kekuasaannya, yang mengakhiri masa kekuasaan Dinasti Idrisiyah yang telah memerintah di Afrika Utara selama sekitar seratus empat puluh tahun.
Juga di antara faktor yang membawa kepada surutnya kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah setelah Khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim bin Aglab (800-811) – pendiri bani Taglib (Dinasti Aglabiyah) – sebagai gubernur Afrika Utara yang beraliran Sunni. Ibrahim bin Aglab sengaja diangkat oleh Khalifah Harun al-Rasyid untuk membendung bahaya Dinasti Idrisiyah dan kaum Khawarij, dan selanjutnya akan dibahas pada bab berikutnya.
http://dorokabuju.blogspot.co.id/2007/11/dinasti-idrisiyah-dan-aglabiyah.html
DINASTI IDRISIYAH
Dinasti Idrisiyah (788-974) M
Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut syi'ah, yaitu Idris binAbdulla>h pada tahun 172 H / 789 M. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi'ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukan syi'ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus. Sebelum dikuasai dinasti idrisiyah wilayah tersebut didominasi oleh kaum Khawarij.
Pada tahun 785 M, Iddris ibn ‘Abdulla>h, cicit al-H>>>>>asan, ikut serta dalam satu pemberontakan sengit kelompok pengikut Ali di Madinah. Perlawanan tersebut bisa diredam dan dia menyelamatkan diri ke Maroko (al-Maghrib). Di sana dia berhasil mendirikan sebuah kerajaan yang mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788-974) M berikutnya.
Di tempat ini Idris mendapat sambutan hangat dari masyarakat Barbar, karena ia diketahui sebagai keturunan Ali ibn Abi Tha>lib. Kedua kelompok masyarakat ini menjalin kerjasama untuk merebut kekuasaan Bani Ababsiyah yang dianggap lalim. Mereka memandang bahwa pemerintah Abbasiyah telah memperlakukan bangsa Barbar seperti perlakuan bangsa Romawi. Pajak ditarik, sementara pendistribusian pajak tidak merata bahkan semua diserahkan ke pemerintah pusat di Bagdad. Masyarakat Barbar tetap menjadi budak, meskipun rezim pemerintah telah berganti, dari bangsa Romawi ke Arab Islam.
Kesamaan visi dan nasib inilah yang menjadi ikatan kuat antara Idris ibn Abdullah dengan bangsa Barbar di Afrika Utara. Bentuk kerja sama mereka dibuktikan dengan membangun basis kekuatan. Mereka menjadikan kota Fez sebagai basis kekuatan dan konsolidasi militer. Kota Fez dekat dengan kota Valubilis, kota yang pernah dikuasai bangsa Roma. Di kota ini pada 172H/788 M Idris ibn Abdulla>hdi bai’at bangsa Barbar sebagai pemimpin (imam) gerakan. Tahun pembai’atan ini kemudian dijadikan sebagai tahun berdirinya dinasti Idrisiyah, dan berpusat di Walila.
Baru beberapa tahun kemudian pusat pemerintahan dan gerakan dipindahkan ke Fez dan sekaligus dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan dinasti ini. Kemunculan dinasti ini dikenal sebagai refresentasi dari gerakan kelompok Alawiyin pertama dalam sejarah Islam.
Kemunculan dinasti ini dianggap oleh khalifah Harun al-Rasyid sebagai ancaman bagi keutuhan negara. Untuk itu, ia mengirim agen mata-mata bernama Sulaiman ibn Ja>rir yang menyamar sebagai tabib untuk mengintai gerakan kelompok ini. Usaha khalifah berhasil, bahkan Sulaiman dapat membunuh Idris pada 177 H/793 M dengan memberinya racun pada makanan yang dikonsumsi Idris ibn Abdullah.
Sepeninggal Idris ibn Abdulla>h, tampuk kekuasaan dipegang anaknya, Idris ibn Idris ibn Abdullah atau Idris II pada 177 H/93 M.
Sepeninggal Idris ibn Abdulla>h, tampuk kekuasaan dipegang anaknya, Idris ibn Idris ibn Abdullah atau Idris II pada 177 H/93 M.
Amir / Pimpinan Dinasti Idrisiyah
1. Idris Ibn Abdulla>h (788-793) M
2. Idris II ( 793-828 ) M
3. Muhammad al Muntashir ( 828-836 ) M
4. Isa Ibn Idris ( 836-849 ) M
5. Yahya Ibn Muhammad
6. Yahya Ibn Yahya
7. Ali Ibn Umar Ibn Idris II
8. Yahya Ibn Qasim Ibn Idris II
9. Yahya Ibn Idris Ibn Umar
10. Hasan Ibn al Qasim
Kejayaan dan Keruntuhan Dinasti Idrisiyah
Pada masa kepemimpinannya Idris II, dinasti Idrisiyah mengalami perkembangan cukup pesat. Hal ini terbukti ia mampu membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam sebuah pemerintahan, seperti pembangunan kembali kota Fez, istana, masjid, percetakan uang, dan pembangunan saluran air yang dikirim ke rumah-rumah penduduk. Keseriusannya membangun kota dan perangkat lainnya ini, menurut para ahli, ia dikategorikan sebagai pendiri sebenarnya dari dinasti Idrisiyah.
Selama lebih kurang sewindu berkuasa, krisis politik internal dan konflik di kalangan keluarga menyebabkan ia tak mampu mengatasinya, hingga ia wafat pada 221 H/836M. Kedudukannya pun digantikan saudaranya bernama Isa ibn Idris (221-234 H/836-849M).
Setelah itu, terjadi penggantian amir secara berturut-turut, Yahya ibn Muhammad, Yahya ibn Yahya, Ali ibn Umar ibn Idris II, Yahya ibn Qasim ibn Idris II, Yahya ibn Idris ibn Umar, dan akhirnya jabatan tertinggi dinasti ini dipegang oleh al-Htasan ibn al-Qasim.
Jatuhnya dinasti Idrisiyah diakibatkan adanya serangan dari dinasti Fathimiyah di Mesir dan Bani Umayyah di Cordova, Andalusia. Dalam sejarah tercatat, dinasti ini tidak pernah mendapat pengakuan dari Bani Abbasiyah sebagai penguasa daerah otonom di Afrika Utara, bahkan dianggap sebagai ancaman serius bagi keutuhan wilayah Islam. Persoalan ideologis, antara penguasa Bani Abbasiyah yang Sunni dengan Bani Idrisiyah yang Syi’ah, berkembang menjadi persoalan-persoalan politis.
Perseteruan ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan dinasti Idrisiyah. Karena terkepung di antara Fatimiyah Mesir dan Umayyah Spanyol, dinasti Idrisiyah akhirnya hancur oleh serangan yang mematikan yang dilancarkan seorang jendral utusan Khalifah al-Hakam II (961-967) M di Kordova.
Fez menjadi pusat kaum Syorfa atau Syurafa (bentuk jamak dari syarif,orang mulia),yakni para keturunan cucu Nabi SAW,Hasan dan Husain ibn Ali ibn Abi Thalib,yang menjadi factor penting dalam sejarah perkembangan Maroko. Kekuasaan Idrisiyah yang ada dikota-kota,tanpa menguasai desa-desa akhirnya terpecah-pecah dimasa pemimpin Muhammad al-Muntasir pada tahun (213-221) H. Kekuaaan mereka dibagi-bagikan kepada saudara-saudara al-muntasir yang banyak jumlahnya. Musuh-musuh mereka yang terdiri dari suku Berber, dengan mudah dapat memukulnya. Disamping itu muncul pula ancaman musuh yang lebih besar,yakni Daulah Fatimiyah yang dipimpin oleh Mahdi Ubaidillah.Yahya IV (292-310)Hterpaksa mengakui kekuasaan Fatimiyah, dan Fez dapat diduduki oleh dinasti barutersebut pada tahun 309. Baru menjelang akhir pemerintahannya, Idrisiyah dapat menguasai pelosok Maroko. Tetapi bani umaiyah yang berkuasa di Spanyol memukul Idrisiyah tahun 363 H dan keluarga terakhir dinasti yang kalah itu dibawa ke Cordova.
http://referensiagama.blogspot.co.id/2011/01/dinasti-idrisiyah.html
Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)
Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut syi'ah, yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H / 789 M. Dinasti ini merupakan Dinasti Syi'ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukan syi'ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus. Sebelum dikuasai dinasti idrisiyah wilayah tersebut didominasi oleh kaum Khawarij.
Pada tahun 785 M, Iddris ibn ‘Abdullah yang merupakan cicit al-Hasan, ikut serta dalam satu pemberontakan sengit kelompok pengikut Ali di Madinah. Perlawanan tersebut bisa diredam dan dia menyelamatkan diri ke Maroko (al-Maghrib).
Di tempat ini Idris mendapat sambutan hangat dari masyarakat Barbar, karena ia diketahui sebagai keturunan Ali ibn Abi Thalib. Kedua kelompok masyarakat ini menjalin kerjasama untuk merebut kekuasaan Bani Ababsiyah yang dianggap lalim. Mereka memandang bahwa pemerintah Abbasiyah telah memperlakukan bangsa Barbar seperti perlakuan bangsa Romawi.
Kesamaan visi dan nasib inilah yang menjadi ikatan kuat antara Idris ibn Abdullah dengan bangsa Barbar di Afrika Utara. Bentuk kerja sama mereka dibuktikan dengan membangun basis kekuatan.
Pembangunan basis kekuatan ini diresmikan dalam bentuk pendirian sebuah kerajaan mengabadikan namanya selama hampir dua abad (788-974) M berikutnya. Pembangunan basis kekuatan ini menjadikan kota Fez sebagai basis kekuatan dan konsolidasi militer. Kota Fez dekat dengan kota Valubilis, kota yang pernah dikuasai bangsa Roma. Di kota ini juga Idris ibn Abdullah di bai’at bangsa Barbar sebagai pemimpin (imam) gerakan. Tahun pembai’atan ini (172H/788 M) kemudian dijadikan sebagai tahun berdirinya dinasti Idrisiyah, dan berpusat di Walila.
Baru beberapa tahun kemudian pusat pemerintahan dan gerakan dipindahkan ke Fez dan sekaligus dijadikan sebagai ibu kota pemerintahan dinasti ini. Kemunculan dinasti ini dikenal sebagai refresentasi dari gerakan kelompok Alawiyin pertama dalam sejarah Islam.
Kemunculan dinasti ini dianggap oleh khalifah Harun al-Rasyid sebagai ancaman bagi keutuhan negara. Untuk itu, ia mengirim agen mata-mata bernama Sulaiman ibn Jarir yang menyamar sebagai tabib untuk mengintai gerakan kelompok ini. Usaha khalifah berhasil, bahkan Sulaiman dapat membunuh Idris pada 177 H/793 M dengan memberinya racun pada makanan yang dikonsumsi Idris ibn Abdullah. Sepeninggal Idris ibn Abdullah, tampuk kekuasaan dipegang anaknya, Idris ibn Idris ibn Abdullah atau Idris II pada 177 H/93 M.
http://bmptravel.co.id/artikel/detail_artikel/75
IDRISIYAH (172 H/789 M - 314 H/926 M)Wilayah kekuasaannya adalah Magribi (Maroko). Dinasti ini didirikan oleh Idris I bin Abdullah, cucu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan merupakan dinasti pertama yang beraliran Syiah, terutama di Maroko dan Afrika Utara. Sultan Idrisiyah terbesar adalah Yahya IV (292 H/905 M-309 H/922 M) yang berhasil merestorasi Volubilis, kota Romawi, menjadi kota Fez. Dinasti Idrisiyah berperan dalam menyebarkan budaya dan agama Islam ke bangsa Berber dan penduduk asli. Dinasti ini runtuh setelah ditaklukkan oleh Dinasti Fatimiyah pada 374 H/985 M. Dinasti Idrisiyah antara lain meninggalkan Masjid Karawiyyin dan Masjid Andalusia yang didirikan pada 244 H/859 M.
http://www.pesantren-pesbuker.xyz/2014/10/sejarah-dinasti-dan-kekuasaan-khalifah.html
Dinasti Idrisiyah (789-926 M)
Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut syi’ah, yaitu Idris bin Abdu;llah pada tahun 172 H./789 M. dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukkan syi’ah ke daerrah Maroko dalam bentuk yang sanagt halus.
Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad saw, yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786. Dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukkannya.
Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, ( menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, factor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatife lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah abbasiyah sehingga Sulaiman mampu membnuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Terbunuhnya Idris tidak dapat kekuasaan Dinati Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan meraka sebagai kerajaan yang merdeka dan independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar memberikan nama Bayi tersebt dengan nama Idris dan mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagimana yang pernah diikrarkan kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya )idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris 11.
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan duku-suku Barnbar, imigran-imigran arab yang berhasil dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M), dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supermasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849 M), terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ke tangan saudaranya sendiri, yaitu Yhaya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gudang-gudang megah.
Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya, sehingga terjadilah pembagian wilayah kekuasaan. Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya pada tahun 866 M.
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyer (qairawan) dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya.
Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi tentram dan aman.
Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnya, dan sejak itu dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuasaan besar, yaitu Bani Umayyah dari spanyol dan dinasti Bani Fatimiyah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara.
Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehingga kekuaaanya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M, sedangkan anak-anak dan saudara-saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara).
Ada juga satu riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebebkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara pilitis. Perpecahan tersebut merupakan factor yang membahayakan keberadaan dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, datang pula serangan dari dinasti Fatimiah.
Pada masa kepemimpinan Yahya III, dinasti Idrisiyah ditaklukkan oleh Fatimiyah dan Yahya terusir dari kerajaan hingga wafatnya di Madinah. Dengan berakhirnya Yahya, berakhirnya pula riwayat dinasti Idrisiyah.
Setelah Imam Ali Ibn Abi Thalib terbunuh, keturunan Ali ra. Terus berjuang untuk memperoleh kekuasaan. Di antara Husen Ibn Ali di Madinah pada zaman Dinasti Umayah. Dalam perang tersebut, Imam Husen terbunuh di Karbala; dan salah seorang keluarganya, Idris Ibn Abd Allah, melarikan diri ke Mesir dan kemudian pindah ke Maroko di kota Walilia. Di Maroko, ia bergabung dengan Ishaq Ibn ‘Abd al-Hamid (kepala suku Awraba). Kemudian Idris Ibn Abd Allah dibai’at oleh suku Awraba di Maroko sebagai pemimpin mereka; maka berdirilah dinasti Idrisi di Maroko.
Muhammad Ibn Idris sukses memimpin masyarakat Awraba di Maroko sehingga memiliki tentara dan juga dapat melakukan ekspansi ke wilayah lain. Akan tetapi, keberhasilan Muhammad Ibn Idris membuat khalifah Harun al-Rasyid di Baghdad merasa khawatir. Oleh karena itu, Harun al-Rasyid mengutus seorang mata-mata yang bernama Sulaiman Jarir. Mata-mata ini kemudian berhasil membunuh Muhammad Ibn Idris pada tahun 175 H/791 M. setelah berhasil membunuh Muhammad Ibn Idris, Harun al-Rasyid bersama suku Barbar lainnya mengangkat putra mahkota yang masih muda, Idris Ibn Idris, sebagai khalifah. Idris Ibn Idris dapat memimpin masyarakatnya dengan sukses hingga meninggal tahun 213 H/ 828 M.
Idris Ibn Idris diganti oleh anaknya, Muhammad Ibn Idris Ibn Idris. Muhammad membagi kerajaan menjadi beberapa kawasan; dan disetiap kawasan diberikan kepada saudara-saudaranya untuk dipimpin. Akan tetapi, pembagian wilayah melahirkan perang saudara di kalangan Idrisi sehingga akhirnya mereka berhasil ditaklukan oleh dinasti Fatimiah.
http://syahrur23.blogspot.co.id/2015/01/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html
Komentar
Posting Komentar