Kesultanan Campa di Vietnam
Kerajaan Champa
Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Sejarah pendirian
Sebelum terbentuknya Kerajaan Champa, di daerah tersebut terdapat Kerajaan Lin-yi (Lam Ap), akan tetapi saat ini belum diketahui dengan jelas hubungan antara Lin-yi dan Champa. Lin-yi diperkirakan didirikan oleh seorang pejabat lokal bernama Ku-lien yang memberontak terhadap Kekaisaran Han pada tahun 192 masehi, yaitu di daerah kota Huế sekarang. Penguasa Champa pertama yang namanya diketahui secara pasti dan tertulis dalam prasasti adalah Bhadravarman I, yang memerintah antara tahun 380-413 M.
Bangunan menara Po Sa Nu (Pho Hai), dekat Phan Thiết, Vietnam dan Makam Putri Campa di Trowulan(foto diambil pada tahun 1870-1900)
Wilayah kekuasaan
Daerah Champa meliputi area pegunungan di sebelah barat daerah pantai Indochina, yang dari waktu ke waktu meluas meliputi wilayah Laos sekarang. Akan tetapi, bangsa Champa lebih berfokus pada laut dan memiliki beberapa kota berbagai ukuran di sepanjang pantai.
Setelah abad ke-7, Champa melingkupi wilayah provinsi-provinsi modern Quảng Nam, Quảng Ngãi, Bình Định, Phú Yên, Khánh Hòa, Ninh Thuận, dan Bình Thuận di Vietnam.
Budaya dan agama
Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
Sebelum penaklukan Champa oleh by Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India. Islam mulai memasuki Champa setelah abad ke-10, namun hanya setelah invasi 1471 pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke-17 keluarga bangsawan para tuanku Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama Islam.
Kebanyakan orang Cham saat ini beragama Islam, namun seperti orang Jawa di Indonesia, mereka mendapat pengaruh besar Hindu. Catatan-catatan di Indonesia menunjukkan pengaruh Putri Darawati, seorang putri Champa yang beragama Islam, terhadap suaminya, Kertawijaya, raja Majapahit ketujuh sehingga keluarga kerajaan Majapahit akhirnya memeluk agama Islam. Makam Putri Campa dapat ditemukan di Trowulan, situs ibukota Kerajaan Majapahit.
Perdagangan
Champa merupakan jalur penghubung penting dalam Jalur Rempah-rempah (Spice Road) yang dimulai dari Teluk Persia sampai dengan selatan Tiongkok; dan kemudian ia juga termasuk dalam jalur perdagangan bangsa Arab ke Indochina, yang merupakan pemasok aloe.
Champa memiliki hubungan perdagangan dan budaya yang erat dengan kerajaan maritim Sriwijaya, serta kemudian dengan Majapahit di kepulauan Melayu. Dalam Babad Tanah Jawi, dikatakan bahwa raja Brawijaya V memiliki istri bernama Anarawati (atau Dwarawati), seorang putri dari Kerajaan Champa.
Demikian pula, terdapat hubungan yang erat antara Kerajaan Champa dan Kerajaan Kamboja. Meskipun sering terjadi peperangan, kedua kerajaan juga mengadakan pertukaran kebudayaan dan perdagangan; dimana sering terjadi pernikahan keluarga kerajaan di antara keduanya.
Konfederasi kota
Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5 kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di India:
- Indrapura - Kota Indrapura saat ini disebut Dong Duong, tidak jauh dari Da Nang dan Huế sekarang. Da Nang dahulu dikenal sebagai kota Singhapura, dan terletak dekat lembah My Son dimana terdapat banyak reruntuhan candi dan menara. Wilayah yang dikuasai oleh kepangeranan ini termasuk provinsi-provinsi Quảng Bình, Quảng Trị, dan Thừa Thiên–Huế sekarang ini di Vietnam.
- Amaravati - Kota Amaravati menguasai daerah yang merupakan provinsi Quảng Nam sekarang ini di Vietnam.
- Vijaya - Kota Vijaya saat ini disebut Cha Ban, yang terdapat beberapa mil di sebelah utara kota Qui Nhon di provinsi Bình Định di Vietnam. Selama beberapa waktu, kepangeranan Vijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah provinsi-provinsi Quang-Nam, Quang-Ngai, Binh Dinh, dan Phu Yen.
- Kauthara - Kota Kauthara saat ini disebut Nha Trang, yang terdapat di provinsi Khánh Hòa sekarang ini di Vietnam.
- Panduranga - Kota Panduranga saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di provinsi Ninh Thuận sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang ditaklukkan oleh bangsa Vietnam.
Di antara kepangeranan-kepangeranan tersebut terdapat dua kelompok atau suku: yaitu Dua dan Cau. Suku Dua terdapat di Amaravati dan Vijaya, sementara suku Cau terdapat di Kauthara dan Panduranga. Kedua suku tersebut memiliki perbedaan tata-cara, kebiasaan, dan kepentingan, yang sering menyebabkan perselisihan dan perang. Akan tetapi biasanya mereka berhasil menyelesaikan perselisihan yang ada melalui perkawinan antar suku.
Penaklukan Vietnam
Tahun 1451 Kerajaan Islam Champa diserang kerajaan Buddha dari pedalaman.[4] Para penguasa Champa di Panduranga (Nagar Champa) yang terbentuk pada pertengahan abad ke-15, melakukan perlawanan terhadap Vietnam dan pada tahun 1695 melalui perundingan memperoleh status kepangeranan otonom (Tran Thuan Thanh) di bawah Dinasti Nguyen dari Cochinchina. Kerajaan Champa kemudian menjadi negara bawahan yang setia dari Kaisar Gia Long dari dinasti Nguyen, namun pada akhirnya kedaulatannya dibubarkan pada tahun 1832 oleh anak Kaisar Gia Long, yaitu Kaisar Minh Mạng. Pada masa peperangan dengan Vietnam, banyak penduduk Champa termasuk para aristokratnya yang mencari perlindungan di Kamboja, dan mendapatkan kedudukan yang tinggi.
Legenda Minangkabau
Di dalam legenda atau tambo dari Minangkabau (Sumatera Barat), terdapat seorang tokoh pendekar yang bergelar Harimau Campo atau "Harimau Champa", selain nama-nama lainnya. Harimau Campo ini bersama dengan Datuak Suri Dirajo, Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim merumuskan konsep dari bela diri Minangkabau yang dinamakan silek atau (silat). Kambiang Hutan dan Anjiang Mualim sama statusnya dengan Harimau Campo, mereka adalah pendatang dari negeri asing ke daerah Minangkabau pada masa dahulunya. Sampai saat sekarang, nama Harimau Campo tetap disebut-sebut dalam sasaran silek (padepokan silat) di Minangkabau sebagai salah satu basis dari gerakan silat mereka.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Champa
Asal Usul Wali Songo
Kerajaan Islam Champa yang Hampir Tak Berbekas di Vietnam
Pemakaman Muslim di Cham Village, Vietnam (Bram Marantika/d'Traveler)
Chau Doc - Perkampungan Muslim Cham Village bisa ditemukan di Vietnam. Kampung ini dihuni keturunan Kerajaan Champa. Kerajaan yang berkaitan dengan Wali Songo ini berjaya di masa lampau, namun kini telah hilang hampir tak berbekas.
Kerajaan Islam Champa pernah menguasai wilayah Vietnam dan sekitarnya. Sayangnya, kerajaan ini telah hancur. Suku Cham yang menjadi keturunan kerajaan tersebut kini ada yang tinggal di delta Sungai Mekong, termasuk di Cham Village, Vietnam, tapi reruntuhan bangunan atau peninggalan lainnya hampir tak berbekas lagi di sana.
"Itu (sisa-sisa Kerajaan Champa-red) saya enggak lihat. Kalau di Vietnam saya enggak nemu. Enggak ada informasi juga bahwa ini Kerajaan Champa. Kalau di Kamboja bekas kerajaan banyak, tapi ya belum tentu Champa itu," ujar Bram Marantika, seorang traveler yang pernah berkunjung ke Cham Village, dalam perbincangan dengan detikTravel, Selasa (7/7/2015).
Bram sempat berkeliling di Cham Village, menyaksikan bagaimana budaya Islam dan Melayu yang melekat pada Suku Cham di sana. Namun ia tak melihat adanya sisa-sisa dari Kerajaan Champa. Informasi untuk turis mengenai kerajaan yang dulu berkuasa itu pun tidak ditemukan.
Berdasarkan dari penelitian doktoral Ahti R Westphal, dari Universitas Minnesota, AS, warga Kerajaan Cham merupakan pelaut yang tangguh dan pandai berdagang. Sekitar abad ke-5 hingga awal abad ke-19, Kerajaan Champa sempat menguasai wilayah Vietnam tengah dan selatan hingga mencapai Laos. Mereka berdagang dengan Tiongkok sampai bangsa Arab.
Sumber sejarah lainnya menuliskan bahwa Kerajaan Champa merupakan saingan berat dari Kerajaan Khmer di Kamboja dan Dai Viet, sebuah kerajaan yang ada di sebelah utara Vietnam. Sekitar abad ke-12, peperangan antara Champa dan Khmer mulai terjadi.
Di zaman peperangan antara kerajaan itu, terselip pula sejarah Wali Songo. Namun memang di lokasi bekas Kerajaan Champa di Cham Village misalnya, tak tersedia informasi lengkap. Bram yang pernah berkunjung ke sana pun mengaku tak tahu menahu mengenai kaitan Wali Songo dengan Kerajaan Champa.
"Enggak pernah dengar, di sana saya juga enggak fokus wisata religi. Tapi saya memang pernah dengar orang Cham punya keterkaitan dengan Indonesia," kata Bram.
Champa berubah menjadi kerajaan Islam sejak Raja Che Bo Nga diislamkan oleh Sayyid Hussein Jumadil Kubro. Namanya menjadi Sultan Zainal Abidin. Sultan Zainal Abidin berkuasa tahun 1360 dan kemudian meninggal dalam perang dengan bangsa Viet tahun 1390.
Christopers Buyer melalui website The Royal Ark menyusun silsilah Kesultanan Kelantan dengan merangkum 14 buku sejarah. Lewat hubungan perkawinan, Kerajaan Champa bersaudara dengan Kerajaan Chermin di Kelantan, Malaysia. Ini menyebabkan keturunan Champa dan Chermin berhak atas tahta satu sama lain. Ketika Jiddah, ibukota Chermin habis digempur Siam tahun 1467, keluarga Kerajaan Chermin pindah semua ke Champa.
Dalam rombongan itu ada Sayyid Ali Nurul Alam, anak Jumadil Kubro yang menjabat semacam patih di bawah kordinasi dengan Mahapatih Gajah Mada, karena Chermin adalah negara bagian Majapahit waktu itu. Anaknya kemudian meneruskan jabatan Raja Champa tahun 1471-1478, namanya adalah Sultan Maulana Sharif Abdullah Mahmud Umdatuddin alias Wan Bo Tri Tri. Dia melahirkan anak bernama Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati.
Sebelum itu, anak Jumadil Kubro yang lain yaitu Ibrahim Zainuddin Al Akbar As Samarqandiy alias Ibrahim Asmoro menikah dengan puteri Raja Champa yang bernama Candra Wulan. Lahirlah Sunan Ampel di Champa, dia dalam garis silsilah adalah paman terhadap Sunan Gunung Jati.
Sementara, kondisi peperangan dengan Khmer dan Viet terus memburuk. Mereka membakar kampung-kampung yang dihuni warga Cham, sawah dan berbagai bangunan. Banyak warga Champa yang mengungsi ke Kelantan dan Aceh. Sampai sekarang bahasa Cham dan Aceh masih serumpun. Sedangkan semua orang Malaysia dengan nama Che, Nik dan Wan dipastikan keturunan Champa.
Penjajahan Prancis, Jepang, pembagian negara Kamboja dan Vietnam serta Perang Vietnam akhirnya membuat warisan budaya Champa hancur tak bersisa, tinggal desa-desa muslim Cham saja yang bertahan di delta Sungai Mekong.
Nah, jika ingin merasakan sisa-sisa wilayah Kerajaan Champa serta Wali Songo ini, Anda bisa berwisata religi dengan datang langsung ke Cham Village Vietnam atau perkampungan Suku Cham lainnya seperti di Provinsi Kampong Cham, Kamboja. Dari Ho Chi Minh, wisatawan bisa naik perahu selama 6 jam dari muara Sungai Mekong sampai ke Chau Doc untuk melihat Cham Village.
Kerajaan Islam Champa pernah menguasai wilayah Vietnam dan sekitarnya. Sayangnya, kerajaan ini telah hancur. Suku Cham yang menjadi keturunan kerajaan tersebut kini ada yang tinggal di delta Sungai Mekong, termasuk di Cham Village, Vietnam, tapi reruntuhan bangunan atau peninggalan lainnya hampir tak berbekas lagi di sana.
"Itu (sisa-sisa Kerajaan Champa-red) saya enggak lihat. Kalau di Vietnam saya enggak nemu. Enggak ada informasi juga bahwa ini Kerajaan Champa. Kalau di Kamboja bekas kerajaan banyak, tapi ya belum tentu Champa itu," ujar Bram Marantika, seorang traveler yang pernah berkunjung ke Cham Village, dalam perbincangan dengan detikTravel, Selasa (7/7/2015).
Bram sempat berkeliling di Cham Village, menyaksikan bagaimana budaya Islam dan Melayu yang melekat pada Suku Cham di sana. Namun ia tak melihat adanya sisa-sisa dari Kerajaan Champa. Informasi untuk turis mengenai kerajaan yang dulu berkuasa itu pun tidak ditemukan.
Berdasarkan dari penelitian doktoral Ahti R Westphal, dari Universitas Minnesota, AS, warga Kerajaan Cham merupakan pelaut yang tangguh dan pandai berdagang. Sekitar abad ke-5 hingga awal abad ke-19, Kerajaan Champa sempat menguasai wilayah Vietnam tengah dan selatan hingga mencapai Laos. Mereka berdagang dengan Tiongkok sampai bangsa Arab.
Sumber sejarah lainnya menuliskan bahwa Kerajaan Champa merupakan saingan berat dari Kerajaan Khmer di Kamboja dan Dai Viet, sebuah kerajaan yang ada di sebelah utara Vietnam. Sekitar abad ke-12, peperangan antara Champa dan Khmer mulai terjadi.
Di zaman peperangan antara kerajaan itu, terselip pula sejarah Wali Songo. Namun memang di lokasi bekas Kerajaan Champa di Cham Village misalnya, tak tersedia informasi lengkap. Bram yang pernah berkunjung ke sana pun mengaku tak tahu menahu mengenai kaitan Wali Songo dengan Kerajaan Champa.
"Enggak pernah dengar, di sana saya juga enggak fokus wisata religi. Tapi saya memang pernah dengar orang Cham punya keterkaitan dengan Indonesia," kata Bram.
Champa berubah menjadi kerajaan Islam sejak Raja Che Bo Nga diislamkan oleh Sayyid Hussein Jumadil Kubro. Namanya menjadi Sultan Zainal Abidin. Sultan Zainal Abidin berkuasa tahun 1360 dan kemudian meninggal dalam perang dengan bangsa Viet tahun 1390.
Christopers Buyer melalui website The Royal Ark menyusun silsilah Kesultanan Kelantan dengan merangkum 14 buku sejarah. Lewat hubungan perkawinan, Kerajaan Champa bersaudara dengan Kerajaan Chermin di Kelantan, Malaysia. Ini menyebabkan keturunan Champa dan Chermin berhak atas tahta satu sama lain. Ketika Jiddah, ibukota Chermin habis digempur Siam tahun 1467, keluarga Kerajaan Chermin pindah semua ke Champa.
Dalam rombongan itu ada Sayyid Ali Nurul Alam, anak Jumadil Kubro yang menjabat semacam patih di bawah kordinasi dengan Mahapatih Gajah Mada, karena Chermin adalah negara bagian Majapahit waktu itu. Anaknya kemudian meneruskan jabatan Raja Champa tahun 1471-1478, namanya adalah Sultan Maulana Sharif Abdullah Mahmud Umdatuddin alias Wan Bo Tri Tri. Dia melahirkan anak bernama Syarif Hidayatullah yang kelak menjadi Sunan Gunung Jati.
Sebelum itu, anak Jumadil Kubro yang lain yaitu Ibrahim Zainuddin Al Akbar As Samarqandiy alias Ibrahim Asmoro menikah dengan puteri Raja Champa yang bernama Candra Wulan. Lahirlah Sunan Ampel di Champa, dia dalam garis silsilah adalah paman terhadap Sunan Gunung Jati.
Sementara, kondisi peperangan dengan Khmer dan Viet terus memburuk. Mereka membakar kampung-kampung yang dihuni warga Cham, sawah dan berbagai bangunan. Banyak warga Champa yang mengungsi ke Kelantan dan Aceh. Sampai sekarang bahasa Cham dan Aceh masih serumpun. Sedangkan semua orang Malaysia dengan nama Che, Nik dan Wan dipastikan keturunan Champa.
Penjajahan Prancis, Jepang, pembagian negara Kamboja dan Vietnam serta Perang Vietnam akhirnya membuat warisan budaya Champa hancur tak bersisa, tinggal desa-desa muslim Cham saja yang bertahan di delta Sungai Mekong.
Nah, jika ingin merasakan sisa-sisa wilayah Kerajaan Champa serta Wali Songo ini, Anda bisa berwisata religi dengan datang langsung ke Cham Village Vietnam atau perkampungan Suku Cham lainnya seperti di Provinsi Kampong Cham, Kamboja. Dari Ho Chi Minh, wisatawan bisa naik perahu selama 6 jam dari muara Sungai Mekong sampai ke Chau Doc untuk melihat Cham Village.
Masjid di Cham Village, Vietnam (Bram Marantika/d'Traveler)
Berbagai peninggalan kesultanan campa
Pintu Bledeg 1
Pintu Bledeg 2
Dampar Kencana dan Piring puteri campa
https://travel.detik.com/read/142712/2963604/1520/kerajaan-islam-champa-yang-hampir-tak-berbekas-di-vietnam
Campa Negara Islam Pertama di Asia Tenggara
Kerajaan Champa atau biasa ditulis Campa meninggalkan begitu banyak jejak sejarah di Indonesia, meskipun kerajaan ini berpusat di wilayah yang kini menjadi Vietnam, namun dari sisi tinjauan sejarah, Campa merupakan kerajaan pertama yang pernah muncul di Asia Tenggara, Campa juga merupakan kerajaan Islam pertama di kawasan ini. interaksi negeri Campa dengan Nusantara sudah terjadi sejak berdirinya kerajaan pertama di Indonesia yakni kerajaan Kutai di Kalimantan Timur hingga ke Sunan Gunung Jati di Cirebon yang merupakan wali terahir dari jajaran wali Sembilan di tanah jawa.
Perjalanan sejarah kerajaan Campa memang cukup panjang, kerajaan ini telah berdiri di abad ke 2 masehi dan baru mengalami keruntuhan secara total di awal abad ke 19[1]. Kerajaan Campa pertama kali berdiri tahun 197 Masehi didahului dengan berdirinya kerajan Lin-yi atau Lâm Ấp (dalam bahasa Vietnam) sebagai sebuah kerajaan Hindu dengan pengaruh yang sangat besar dari India meski sangat kental dengan kepercayaan setempat.
Berbagai sumber sejarah menjelaskan bahwa keislaman etnis Champa ini dapat dirunut silsilahnya hingga ke ayah mertua dari Nabi Muhammad SAW, yaitu Jahsy bin Ri’ab, ayah dari Zainab binti Jahsy R.A. Muslim Champa yakin garis keturunan mereka terhubung hingga ayah mertua Rasulullah SAW, Jahsy bin Ri’ab. Hal tersebut dikaitkan dengan arus kedatangan para sahabat di Indo-Cina pada 617-618 dari Abyssinia melalui jalur laut.Ada pula sumber yang mengatakan jika masuknya Islam ke wilayah Champa karena dibawa oleh utusan Khalifah Usman bin Affan pada tahun 650 M.
Kejayaan Kerajaan Campa turut mewarnai sejarah negeri ini termasuk jasanya terhadap pengenalan dan penyebaran Islam di wilayah Nusantara. “Pernikahan politik antara putri putri bangsawan keraton kerajaan Campa dengan raja raja Jawa telah terjadi sejak era Singosari, Majapahit Hingga ke keraton Cirebon.
Peninggalan sejarah terbesar dari kerajaan Campa di Indonesia dapat dirunut sejak awal berdirinya kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Kerajaan Kutai bernama lengkap Kutai Martadipura merupakan kerajaan pertama di Nusantara, berdiri di abad ke 4 masehi sebagai kerajaan Hindu di Muara Kaman, tepian sungai Mahakam, provinsi Kalimantan Timur. Didirikan oleh Mulawarman, anak dari Aswawarman, cucu dari Kudungga. Kudungga adalah seorang pembesar dari Kerajaan Campa pada era Hindu.
Campa telah menjalin hubungan dengan Sriwijya di abad ke 7 ketika kota kota pelabuhan Campa mulai menjadi pusat perdagangan dunia. Dalam sejarahnya Sriwijya memang berkali kali melancarkan serangkaian serbuan ke berbagai daerah pantai Indocina sampai ahirnya kota Indrapura di tepian Sungai Mekong (kini Kamboja) menjadi wilayah Sriwijaya yang berpusat di Palembang di abad ke 8 dan bertahan menjadi wilayah Sriwijaya, sampai kemudian berdirinya kerajaan Khmer dibawah raja Jayavarman II.
Campa muncul dalam sejarah Singosari di abad ke 13 Masehi. Ketika raja Kertanegara berkuasa di Singosari, tahun 1275M beliau menggagas ekspedisi militer ke tanah melayu dalam upaya penaklukan Sriwijaya dan menjalin persekutuan dengan Campa. Ekspedisi militer yang terkenal dengan nama “Ekspedisi Pamalayu” tersebut selain berhasil menghancurkan Sriwijaya, melakukan ekspansi wilayah dengan menguasai Sumatera, Bakulapura (Kalimantan Barat), Sunda (Jawa Barat), Madura, Bali, dan Gurun (Maluku), Kertanegara juga berhasil memperluas pengaruhnya di Campa melalui perkawinan adik perempuannya dengan raja Campa.
Masih di abad ke 13, dalam catatan sejarah Aceh disebutkan bahwa sebagian besar penduduk dan raja kerajaan Melayu Islam Campa di Vietnam migrasi ke Aceh karena diserang oleh kerajaan China. Raja dan rakyat Campa diterima dengan baik di Kerajaan Pasai yang kemudian diperkenankan mendirikan Kerajaan Jeumpa yang beribukota di Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Bireun, NAD. Hingga kini bekas bekas kerajaan Jeumpa masih dapat dijumpai di daerah tersebut. Tahun 2011 lalu Sejararawan Aceh, M. Adli Abdullah bersama Stasiun TV Al-Hijrah dari Malaysia menelurusuri Jejak Keraan Campa di tanah Aceh untuk kemudian di di dokumentasikan dalam rangkaian film dokumenter.
Berdasarkan studi linguistik di sekitar Aceh ditemukan bahwa budaya Campa memiliki pengaruh yang sangat kuat dengan budaya setempat begitupun sebaliknya. Ditemukan indikasi penggunaan bahasa Campa Aceh sebagai bahasa utama di sepanjang pantai Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Aceh Jaya.
Di abad ke 15 ketika majapahit dibawah kekuasaan Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi, beliau menikah dengan seorang putri muslimah dari kerajaan Campa dan menjadikannya sebagai permaisuri, Putri Darawati namanya. Prabu Brawijaya V adalah penguasa terahir kerajaan Majapahit, seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro oleh Raden Fatahyang tak lain adalah putra Prabu Brawijaya V sendiri dari istrinya yang berasal dari China. Makam Putri Dawawati atau lebih dikenal dengan nama Putri Campa berada di situs kerajaan Majapahit di Trowulan, Propinsi Jawa Timur.
Merujuk kepada timeline sejarah di situs Belanda, arcengel’s hompage, Prabu Brawijaya V adalah Kertawijaya, saudara dari Suhita, naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1447 dan kemudian masuk Islam atas pemintaan Istrinya Putri Darawati, seorang putri dari Kesultanan Campa (kini Vetnam).
Tahun 1680-1682 Sultan Campa mengutus duta besarnya ke Batavia sebagai perwakilan nya di tanah Jawa yang kala itu dikuasai oleh Belanda (Dutch East India Company) serta mengontrol perdagangannya dengan Malaka. Namun di tahun 1697 kerajaan Dang Trong di Vietnam bagian selatan berhasil menguasai pelabuhan Champa terahir dan sekitar lima ribuan muslim Campa mengungsi ke Kerajaan Budha Kamboja termasuk para keluarga kerajaan Campa. Hingga hari ini keturuanan mereka masih menggunakan aksara Campa dan sebagian dari mereka masih menjalankan Peribatan Islam dengan pengaruh hindu yang sangat kental.
Gelombang imigrasi muslim Campa ke Kamboja terjadi lagi tahun 1790. Tahun 1813 muslim Campa di Kamboja mendirikan Masjid yang begitu terkenal di Kamboja, yakni Masjid Noor Al-Ihsan di daerah Chrang Chamres, tujuh Kilometer sebelah utara Kota Phnom Pen. Masjid ini lebih dikenal dengan nama masjid KM-7. Tahun 1832 kekuatan kaisar Vietnam ahirnya mencaplok sisa sisa wilayah Campa. Sampai kemudian antara tahun 1858 dan 1867 pasukan penjajahan Prancis di Indocina menguasai bagian selatan Vietnam dan menjadikan Kamboja sebagai wilayah Protektorat Kolonial di tahun 1863.
Prahara politik yang menghantam Kamboja di tahun 1975-1979, pasukan Khmer Merah dibawah pimpinan Pol Pot sang jagal Indocina melakukan pembantaian luar biasa terhadap penduduknya sendiri termasuk muslim Campa di Kamboja, mengakibatkan kengerian yang tak pernah tebayangkan dalam sejarah Indocina. Selama empa tahun berkuasa Khmer Merah telah membunuh dua juta penduduk Kamboja termasuk di dalamnya sekitar 500 ribu muslim.
Untuk kedua kalinya Muslim Campa yang tak tahan lagi terhadap penindasan harus mengungsi ke berbagai negara tetangganya. Sebagian dari mereka mengungsi ke Laos dan menetap disana, namun lagi lagi kemudian harus mengungsi manakala rezim komunis Pathet Lao mengobarkan pemberontakan terhadap raja Laos.
Kisah panjang kerajaan Campa yang bermula sebagai sebuah kerajaan Hindu, Budha sampai ahirnya menjadi sebuah kerajaan Islam terbesar dalam sejarah Indocina kini tenggelam dalam garis garis batas wilayah negara negara Indocina merdeka, termasuk di dalamnya Vietnam, Kamboja dan Laos. Muslim Campa pun terdiaspora ke berbagai negara. Namun sejarah kebesaran mereka tak kan pernah sirna termakan zaman.
http://bujangmasjid.blogspot.co.id/campa-negara-islam-pertama-di-asia.html
Negeri Champa adalah Samudera Pasal, bukan Kamboja/Vietnam?
Banyak sejarah kerajaan Nusantara yang berkaitan dengan nama kerajaan Campa. Campa. Nama itu begitu akrab di telinga kita. Bila mendengar nama itu akan selalu menyambung dengan istilah Harimau Campo di ranah Minang, Bungong Jeumpa di Aceh, makam Islam di Leran, Gresik, Jawa Timur, dan para Wali Sanga penyebar Islam di tanah Jawa. Begitulah yang sering didapat dalam buku-buku pelajaran sejarah di sekolah
Kerajaan Campa ini diasosiasikan dengan nama Kamboja atau negara Kamboja sekarang. benarkah?
Mari kita cermati beberapa nukilan Sejarah berkaitan dengan Champa atau Cepa/Cempo berikut ini...
Di wilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. (Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. (Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.
Diceriiakan bahwa Raja Majapahit Prabu Braijaya (Bhre Wijaya) menikahi Putri Cempo (Champa) bernama Anarawati (Amarawati/Amaravati) atau Daravati/Darawati.
Nukilan kisah putera Maharaja Pajajaran, Siliwangi (Sri Baduga Maharaja) yang berkaitan dengan kerajaan Campa/San po/Cempa
... setelah hampir tiga bulan lamanya tinggal di Mekah, Haji Abdullah Iman (Walangsungsang) kembali ke Jawa. Dalam perjalanan pulang, ia singgah di Cempa (Champa) dan berguru syariat islam kepada Maolana Ibrahim Akbar atau Syekh Maulana Jatiswara. Haji Abdullah Iman dikawinkan dengan putrinya yang bernama Nyai Retna Rasajati dan mempunyai tujuh orang putri: Nyai Laraskonda, Nyai Lara Sajati, Nyai Jatimerta, Nyai Jamaras, Nyai Mertasinga, Nyai Cempa, dan Nyai Rasamalasih (Cerita Purwaka Caruban Nagari).
dan banyak lagi kisah sejarah kerajaan di Nusantara yang berkaitan dengan kerajaan Champa.
Benarkah Champa adalah di Kamboja?
Beberapa sejarah menyebutkan bahwa Champa sekarang menjadi wilayah Kamboja yang disebut Kampung Champa. Menarik memang. Tapi bila kita membaca Wikipedia, di Kamboja hanya ada Kapong Cham, bukan Champa. Sekarang menjadi Propinsi Kampong Cham di sebelah timur negara Kamboja. Lokasinya di lembah dekat dengan sungai Mekong.
Perlu diingat juga bahwa Kampong dalam bahasa Kamboja (Khmer) bukan berarti Kampung dalam bahasa Indonesia sebagai daerah kecil di desa. Kampong Cham dapat kita terjemahkan sebagai "Port or harbour of Cham" atau pelabuhan Cham. Ini menunjukkan pelabuhan sungai mekong di Cham, Kamboja.
Diwilayh Kampong Cham Kamboja tidak tercatat adanya sebuah kerajaan.
Champa berdasarkan beberapa rujukan TIDAK menunjukkan nama negeri Kamboja. Mari kita lihat Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi (Sriwijaya?) memiliki 15 daerah bawahan, yaitu
- Che-lan (Kamboja),
- Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang),
- Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand),
- Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand),
- Ki-lan-tan (Kelantan),
- Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya),
- Tong-ya-nong (Terengganu),
- Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang),
- Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya),
- Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya),
- Pong-fong (Pahang),
- Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang),
- Kien-pi (Jambi),
- Pa-lin-fong (Palembang),
- Sin-to (Sunda),
Dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat. Nama Kamboja, menurut Naskah tersebut bernama Che-Lan, bukan Cam-Pa. Jadi Cam-pa negeri mana?
Catatan: untuk nama San-fo-tsi yang diterjemahkan sebagai Sriwijaya masih memerlukan kajian. Ada dua kerajaan (Sriwijaya dan Malayu) yang disebut San-fo-tsi. Patut diingat, kronik Cina sering menyebut suatu negeri atau kerajaan dengan nama pulaunya. Sebelum abad ke-15 Pulau Sumatera bernama Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi, artinya ‘pulau emas’. Wajar jika berita tentang San-fo-tsi ada yang cocok untuk Sriwijaya-Palembang dan ada yang cocok untuk Malayu-Jambi. Kedua kerajaan ini sama-sama disebut San-fo-tsi karena memang terletak di Sumatera. Seperti halnya kerajaan-kerajaan di Jawa disebut She-po (transliterasi dari nama Jawa). Kita bahas secara khusus untuk kerajaan Sriwijaya.
Benarkah Champa di Vietnam?
Menurut Wikipedia, Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab (Masa kekhalifahan Abasia Bagdad) ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
Sebelum penaklukan Champa oleh Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India.
Islam mulai memasuki Champa setelah abad ke-10, namun hanya setelah invasi Vietnam tahun 1471 pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke-17 keluarga bangsawan para bangsawan Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama Islam.
Pemimpin Muslim Cham, Katip Suma dididik di Kelantan dan kembali ke Champa untuk menyatakan Jihad melawan Vietnam setelah aneksasi Kaisar Minh Mang ke Champa. Orang-orang Vietnam memaksa orang-orang Cham makan kadal dan babi daging untuk Muslim Cham dan daging sapi untuk Cham Hindu menjadi pantangan bagi mereka (haram atau pantang/tabu) untuk menghukum mereka dan mengasimilasi mereka dengan budaya Vietnam.
Champa memiliki hubungan perdagangan dan budaya yang erat dengan kerajaan maritim Sriwijaya, serta kemudian dengan Majapahit di kepulauan Melayu.
Champa adalah peradaban India yang berkembang di sepanjang pantai yang sekarang tengah dan selatan Vietnam untuk kira-kira periode seribu tahun antara 500 dan 1500 Masesi. Campa asli yang mungkin koloni dari pulau-pulau Indonesia, yang diadopsi sebagai sebutan untuk orang-orang dalam perdagangan, pelayaran, dan pembajakan. pada rute perdagangan penting yang menghubungkan India, Cina dan pulau-pulau Indonesia.
Sejarah Champa diwarnai konflik intermiten dan kerja sama dengan orang Jawa -Majapahit, Khmer Angkor di Kamboja dan Dai Viet (Vietnam utara). Setelah Champa masuk ke wilayah ke Dai Viet (Vietnam) Champa akhirnya kehilangan kemerdekaannya.
Meskipun sejarah Champa di Vietnam erat kaitannya dengan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya tidak ada bukti bahwa Champa tunduk dan bayr pajak ke Kerajaan Majapahit. Dalam sistem Politik "Mandala" tidak berarti hubungan antar kerajaan adalah penunjuk bahwa wilayah kerajaan tersebut tunduk. Mandala yang diterapkan hampir di seluruh kerajaan di Asia Selatan - Asia tengah yang menganut adama Syiwa (Hindu), termasuk Champa, Sriwijaya dan Majapahit. Kita akan bahas pada kesempatan lain Sistem Mandala dalam perpolitikan Majapahit.
Bukti-bukti tentang agama Islam yang dianut Bangsawan Kerajaan Champa Vietnam ini masih dipertanyakan para Ahli sejarah.
Ada beberapa konsentrasi kajian tentang Champa
Mari kita simak sejarah pada abad ke 13, tentang sejarah Aceh. Dalam catatan sejarah Aceh disebutkan bahwa sebagian besar penduduk dan raja kerajaan Melayu Islam Campa di Vietnam migrasi ke Aceh karena diserang oleh kerajaan China. Raja dan rakyat Campa diterima dengan baik di Kerajaan Pasai yang kemudian diperkenankan mendirikan Kerajaan Jeumpa yang beribukota di Blang Seupeung, Kecamatan Jeumpa, Bireun, NAD. Hingga kini bekas bekas kerajaan Jeumpa masih dapat dijumpai di daerah tersebut.
Tahun 2011 lalu Sejararawan Aceh, M. Adli Abdullah bersama Stasiun TV Al-Hijrah dari Malaysia menelurusuri Jejak Keraan Campa di tanah Aceh untuk kemudian di di dokumentasikan dalam rangkaian film dokumenter.
Berdasarkan studi linguistik di sekitar Aceh ditemukan bahwa budaya Campa memiliki pengaruh yang sangat kuat dengan budaya setempat begitupun sebaliknya. Ditemukan indikasi penggunaan bahasa Campa Aceh sebagai bahasa utama di sepanjang pantai Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Aceh Timur, Aceh Barat, Aceh Barat Daya, dan Aceh Jaya.
Di abad ke 15 ketika majapahit dibawah kekuasaan Prabu Brawijaya V atau Bhre Kertabhumi, beliau menikah dengan seorang putri muslimah dari kerajaan Campa dan menjadikannya sebagai permaisuri, Putri Darawati namanya. Prabu Brawijaya V adalah penguasa terahir kerajaan Majapahit, seiring dengan berdirinya kerajaan Islam Demak Bintoro oleh Raden Fatah yang tak lain adalah putra Prabu Brawijaya V sendiri dari istrinya yang berasal dari China. Makam Putri Dawawati atau lebih dikenal dengan nama Putri Campa berada di situs kerajaan Majapahit di Trowulan, Propinsi Jawa Timur.
Jadi.. Benarkah Champa di Aceh/Samudera Pasai bukan di Kamboja-Vietnam?
Mari kita telisik tentang lahirnya Sunan Ampel di Champa. Sunan Ampel adalah salah seorang wali di antara Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Ia lahir 1401 di Champa.
Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa.
Menurut beberapa riwayat, orang tua Raden Rahmat, nama lain Sunan Ampel, adalah Maulana Malik Ibrahim (?) (menantu Sultan Champa dan ipar Dwarawati). Dalam catatan Kronik Cina dari Klenteng Sam Po Kong, Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa oleh Sam Po Bo. Sedangkan Yang Mulia Ma Hong Fu - menantu Haji Bong Tak Keng ditempatkan sebagai duta besar Tiongkok di pusat kerajaan Majapahit, sedangkan Haji Gan En Cu juga telah ditugaskan sebagai kapten Cina di Tuban. Haji Gan En Cu kemudian menempatkan menantunya Bong Swi Hoo sebagai kapten Cina di Jiaotung (Bangil).
Jadi....?
Negeri Champa yang sering berkaitan dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Champa Kamboja/Vietnam atau Jeumpa di Aceh?
Kapan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai belum bisa dipastikan dengan tepat dan masih menjadi perdebatan para ahli sejarah. Namun, terdapat keyakinan bahwa Kesultanan Samudera Pasai berdiri lebih awal dibanding Dinasti Usmani di Turki yang pernah menjadi salah satu peradaban adikuasa di dunia. Jika Dinasti Ottoman mulai menancapkan kekuasaannya pada sekitar tahun 1385 Masehi, maka Kesultanan Samudera Pasai sudah menebarkan pengaruhnya di wilayah Asia Tenggara sejak tahun 1297 Masehi.
Sejumlah ahli sejarah dan peneliti dari Eropa pada masa pendudukan kolonial Hindia Belanda telah beberapa kali melakukan penyelidikan untuk menguak asal-usul keberadaan salah satu kerajaan terbesar di bumi Aceh ini. Beberapa sarjana dan peneliti dari Belanda, termasuk Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lainnya, menyepakati perkiraan bahwa Kesultanan Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke-13 serta menempatkan nama Sultan Malik Al Salih sebagai pendirinya (Rusdi Sufi & Agus Budi Wibowo, 2006:50). Nama Malik Al Salih sendiri dikenal dengan sebutan dan penulisan yang berbeda, antara lain Malik Ul Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik Al Salih, atau Malik Ul Saleh.
Sebelum memeluk agama Islam, nama asli Malik Al Salih adalah Marah Silu atau Meurah Silo. “Meurah” adalah panggilan kehormatan untuk orang yang ditinggikan derajatnya, sementara “Silo” dapat dimaknai sebagai silau atau gemerlap. Marah Silu adalah keturunan dari Suku Imam Empat atau yang sering disebut dengan Sukee Imuem Peuet, yakni sebutan untuk keturunan empat Maharaja/Meurah bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh sebelum masuk dan berkembangnya agama Islam.
Leluhur yang mendirikan kerajaan-kerajaan Hindu/Buddha di Aceh tersebut di antaranya adalah Maharaja Syahir Po-He-La yang membangun Kerajaan Peureulak (Po-He-La) di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mengibarkan bendera Kerajaan Jeumpa (Champa) di Peusangan (Bireuen), Syahir Poli (Pau-Ling) yang menegakkan panji-panji Kerajaan Sama Indra di Pidie, serta Syahir Nuwi sebagai pencetus berdirinya Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa Marah Silu berayahkan Marah Gadjah dan ibunya adalah Putri Betung. Marah Silu memiliki seorang saudara laki-laki bernama Marah Sum. Sepeninggal orang tuanya, dua bersaudara ini meninggalkan kediamannya dan mulai hidup mengembara. Marah Sum kemudian menjadi penguasa di wilayah Bieruen, sedangkan Marah Silu membuka tanah di hulu Sungai Peusangan yang terletak tidak jauh dari muara Sungai Pasai hingga akhirnya ia menjadi pemegang tahta Kerajaan Samudera.
Kembali ke catatan Raffles, bahwa Sunan Ampel dikenal sebagai Bong Swi Hoo, cucu dari Haji Bong Tak Keng - seorang Tionghoa (suku Hui beragama Islam mazhab Hanafi) yang ditugaskan oleh Cheng Ho (San Po Bo) sebagai Pimpinan Komunitas Cina di Champa
Champa di bawah kerajaan Majapahit?
Kerajaan Champa masih dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Bre Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya V (raja ke-11 Majapahit) semenjak tahun 1453 Masehi.
Dengan demikian, pernikahan Brawijaya dengan Putri Champa menjadi sangat mungkin.
Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya V naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya V untuk dinikahi. Hal ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan antara Kerajaan Majapahit dengan Kekaisaran Tiongkok.
Kesimpulan
Tidak ada yang menyadari bahwa sejarawan yang mempelajari kejatuhan Majapahit di sekitar 1400 tahun Saka (1478 Masehi) telah melakukan suatu kesalahan besar paralel. Masalahnya berasal dari kegagalan pada identifikasi Putri Champa, disebut Anarawati atau Dwarawati (Darawati), istri muslim dari Brawijaya V, Majapahit Raja memerintah di 1474-1478 M. Makam Islam Putri Champa dapat ditemukan di Trowulan, Mojokerto dekat, lokasi ibukota Kerajaan Majapahit.
Dalam bahasa Jawa, Putri Champa dieja sebagai Putri "Cempa". Kebanyakan orang, termasuk sejarawan terkemuka Belanda seperti Snouck Hurgronje, salah ketika mengidentifikasi sang putri berasal dari Champa, bagian dari apa yang sekarang Kamboja-Vietnam. Dan sejarawan Indonesia telah mengambil begitu saja.
Pada periode waktu, sebagian besar orang Champ yang Budha dan Islam hidup berdampingan di sana, tidak disebutkan Raja dan bangsawan muslim. Seorang wanita yang memenuhi syarat untuk menjadi pengantin dari Raja perkasa seperti yang dari Majapahit harus berasal dari keluarga bangsawan atau berkedudukan tinggi di masyarakat, yang pada kenyataannya tidak pernah ada sampai abad ke-17. Namun, jika itu terjadi, tidak ada bahkan satu catatan baik di Champa atau Majapahit pada seperti pernikahan dinasti lintas batas penting mengikat keluarga kerajaan dari dua negara berdaulat yang berbeda.
Ejaan Jawa "Cempa" lebih erat dengan Jeumpa daripada Champa. Jeumpa adalah wilayah pesisir di dekat Samudra Pasai (sekarang Bireun), salah satu kota Islam pertama di Aceh berkembang dari abad ke sekitar 7. Ini interpretasi geografi Cempa didukung oleh Stamford Raffles tapi mengejutkan tidak ada dari sejarawan Indonesia yang mendukung ini.
Jeumpa karena situs yang sangat strategis terletak di ujung utara pulau Sumatera, telah lama menjadi perdagangan penting dan pelabuhan transit kapal yang akan berlayar ke laut terbuka dari Cina ke India, Persia atau Semenanjung Arab dan visa-versa.
Bersama dengan Barus, Fansur dan Lamuri, Jeumpa memiliki komoditas unggulan seperti Kafur (kapur barus) yang populer disebut Kafur [dari] Barus, identik dengan kemewahan yang dinikmati oleh para bangsawan orang dari negara-negara beradab seperti Arab, Persia, India dan China, melambungkan wilayah sebagai bagian integral dari kemajuan peradaban.
Banyak orang Aceh adalah keturunan dari perkawinan antara orang-orang asing "imigran" dan penduduk setempat. Selama kejayaan Pasai, keindahan dan kecerdasan perempuan Jeumpa menjadi legenda di kalangan masyarakat Perlak, Pasai, Malaka, bahkan di Jawa.
Dan Putri Cempa, yaitu sebagai Darawati, adalah salah satu wanita Jeumpa yang dinikahi Brawijaya V. Ketika Raja bertemu dengan putri yang datang bersama dengan rombongannya yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim dan para bangsawan dari Pasai, ia terpesona karena kecantikannya.
Hal itu diceritakan dalam Hikayat (Chronicle) Banjar Dan Kotawaringin bahwa Raja Majapahit memerintahkan menterinya untuk melamar Putri Pasai (Jeumpa) dengan membawa 10 kapal ke Pasai sebagai mahar [dan tentu saja disertai para pengawal]. Sebagai pemimpin Kesultanan Islam, Sultan Pasai awalnya enggan menerima lamaran Raja mempertimbangkan risiko dan bahaya jika ia menolak usulan tersebut.
a. Snouck Hurgronje, menjadi seorang Islamolog yang mempelajari Aceh pasti tahu tentang Jeumpa, dekat dengan Samudra [Pasai] sebagai asal mula kemungkinan Putri Cempa bukan Champa (Kamboja-Vietnam). Atau.. memang bukan?
b. Champa (Kamboja-Vietnam) selama periode waktu (1360-1390) diperintah oleh Che Bong Nga, yang dikenal sebagai Raja Merah (Red King), yang terakhir dan paling kuat di Champa. Tidak ada catatan bahwa dia muslim atau terkait dirinya atau keluarga kerajaan apapun dengan Islam. Memang benar bahwa Islam mulai membuat kemajuan di antara orang-orang Cham sejak abad ke-10, yang intensif setelah 1471 M. Namun, abad ke-17 bahwa keluarga bangsawan di Kerajaan Cham mulai beralih ke Islam. Pada saat aneksasi akhir mereka dengan Vietnam, mayoritas orang-orang Cham telah masuk Islam.
c. Raffles tahu dengan baik tentang Jeumpa dan Samudra Pasai, lama berkembang perdagangan dan transit pelabuhan di Aceh Utara, yang bertujuan untuk mengganti dengan Singapura (Singapore).
d. Di bawah pemerintahan Ratu Tribuwanatunggadewi, Majapahit memperluas wilayahnya di seluruh Nusantara (Nusantara). Adityawarman, sepupunya, memiliki darah Melayu dikirim untuk menaklukkan sisa Sriwijaya dan Melayu kerajaan. Kemudian ia ditempatkan sebagai "uparaja" (wakil Raja) dari Majapahit di Sumatera. Ekspansi teritorial dilanjutkan di bawah pemerintahan Hayam Wuruk untuk menyertakan Lamury di ujung Barat dan Wanin di Timur. Negarakertagama jelas menyatakan bahwa Samudra (Jeumpa), Lamuri dan Barus berada di bawah yurisdiksi Majapahit.
e. Naskah yang juga dikenal sebagai Naskah Lambung Mangkurat, bagian akhir yang ditulis pada tahun 1663. Detail dari cerita yang berhubungan dengan Majapahit tidak begitu akurat, tapi setidaknya cerita itu sejalan dengan versi Raffles 'Putri Champa adalah dari Pasai (Jeumpa), bukan dari daerah yang yang sekarang Kamboja-Vietnam. Salah satu yang mungkin dipercaya keaslian cerita sebagai penulis Banjar yang pasti lebih objektif daripada penulis Jawa (Babad Tanah Jawi, serat Kandha dan serat Darmogandul) yang masih memiliki keterikatan emosional dengan Kejawyaan Majapahit.
Dari uraian di atas, Saya sebagai pemerhati sejarah lebih sepakat bahwa Putri Champa yang dinikahi oleh Prabu Brawijaya adalah Putri (baca: perempuan) dari Champa. Dan Campa sendiri mengacu pada Kerajaan yang berpengaruh di bagian Utara Asia tenggara yaitu Champa yang kini bagian dari Vietnam. Pernikahan ini maksudnya memperkuat federasi (persekutuan) kerajaan di Utara dan Selatan (Majapahit).
Putri dari Champa ini jangan kita artikan sebagai Princess is a doughter of the king, anak dari seorang raja, tetapi seorang wanita bangsawan terhormat, mungkin kita mengenalnya sebagai Lady. Saat itu Raja Champa Jaya Simhavarman III dengan permaisurinya Putri Huyen. Kalangan bangsawan Champa telah banyak yang muslin dan melakukan hubungan baik dan mempereratnya dengan pernikahan antar bangsawan Champa dengan bangsawan atau raja-raja di Jawa. Lihat literatur Transnationalism in Ancient and Medieval Societies: The Role of Cross-Border Trade and Travel (2012) Oleh Michael C. Howard
http://hystoryana.blogspot.co.id/negeri-champa-adalah-samudera-pasal.html
Sejarah Kerajaan Champa
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang penentuan tahun masuknya Islam ke Vietnam, namun mereka sepakat bahwa Islam telah sampai ke tempat ini pada adab ke 10 dan 11 Masehi melalui jamaah dari India, Persia dan pedagang Arab, dan menyebar antara jamaah cham sejak adanya perkembangan kerajaan mereka di daerah tengah Vietnam dan dikenal dengan nama kerajaan Champa.
Kerajaan Champa didirikan di Vietnam oleh orang-orang Cham yang secara etnis tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang Vietnam. Ketika kerajaan Funan yang berada sebelah selatan Champa dipengaruhi oleh Cina, kerajaan Champa selama 1600 tahun juga mendapatkan pengaruh dari Cina.
Akibat dari hal itu, Champa harus mengimbangi kekuatan di antara dua negara tetangganya dalam hal jumlah penduduknya dan pola militer : Vietnam di utara dan Khmer (Kamboja) di selatan. Seperti Funan, kerajaan Champa menerapkan kekuatan perdagangan pelayaran laut yang berlaku hanya di wilayah yang kecil.
Pertengahan abad VIII merupakan waktu yang kritis bagi Champa, seperti Kamboja, Champa harus bertahan atas sejumlah serangan dari Jawa. Tetapi bahaya Jawa segera berlalu pada awal abad IX karena Champa sendiri juga melakukan serangan-serangan. Dibawah Hariwarman I, Champa menyerang propinsi-propinsi Cina sebelah utara dengan mendapat kemenangan.
Champa juga melakukan penyerangan ke Kamboja dibawah pimpinan Jayawarman II, yaitu pendiri dinasti Angkor. Serangan tersebut dibalas oleh Indrawarman II.
Di bawah Indrawarman II (854-893), didirikan ibu kota Indrapura di propinsi Quang Nam. Ia memperbaiki hubungan baik dengan Cina. Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang damai, terutama dengan dengan dirikannya bangunan-bangunan besar Budha, sebuah tempat suci, yang reruntuhannya terdapat di Dong-duong, di sebelah tenggara Mison. Ini adalah bukti pertama adanya Budha Mahayana di Champa.
Indrawarman II mendirikan enam dinasti dalam sejarah Champa. Raja-rajanya lebih aktif daripada yang sebelumnya dalam perhatiannya pada kehidupan di negeri itu. Mereka bukan saja mendirikan tempat-tempat suci baru, tetapi juga melindungi bangunan-bangunan keagamaan itu dari para perampok dan memperbaikinya kembali jika rusak.
Selama pemerintahan pengganti Indrawarman, Jayasimhawarman I, hubungan dengan Jawa menjadi erat dan bersahabat. Seorang keluarga permaisurinya berziarah ke Jawa dan kembali dengan memegang jabatan tertinggi dengan sejumlah raja dibawahnya. Hubungan ini menjelaskan pengaruh Jawa pada kesenian Champa.
Selama abad X terjadi banyak peristiwa penting di Champa. Tahun 907 dinasti T’ang jatuh di Cina dan orang Annam mengambil kesempatan itu untuk maju dan mendirikan kerajaan Dai-co-viet (Annam dan Tong-King) tahun 939. Awalnya perubahan ini hanya berpengaruh sedikit pada Champa akan tetapi kemudian timbul keributan antara Champa dengan kerajaan-kerajaan baru itu. Kemudian Champa dikuasai dan mulai mencari pengakuan dari Cina. Tahun 988 terjadi pembalasan oleh Champa dibawah raja Vijaya (Binh-dinh). Setelah masa damai yang singkat, ia mendapat jaminan pengakuan dari Cina dan memperbaiki ibukota Indrapura.
Abad XI merupakan masa kehancuran Champa. Champa kehilangan propisinya karena direbut oleh Annam. Mereka mengirim misi ke Cina berturut-turut dan tahun 1030 bersekutu dengan Suryawarman I dari Angkor. Tahun 1044 Annam melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Champa dan Champa mengalami kehancuran. Ibukota Vijaya direbut dan Raja Jayasimhawarman II dinaikan pangkatnya.
Dinasti VIII, didirikan oleh seorang pemimpin perang yang bergelar Parameswaraman I dan mulai menghidupkan kembali kerajaannya. Ia menekan pemberontakan di propinsi bagian selatan dan berusaha mengembangkan hubungan baik dengan kedua Annam dan Cina dengan sering-sering mengirim misi.
Seorang pangeran bernama Thang mendirikan dinasti IX. Beliau mengambil gelar Hariwarman IV dan segera memperlihatkan kekuasaannya dengan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh penyerangan dan membangkitkan kesejahteraan negerinya. Kebangkitan Champa sangat cepat, setelah berhasil mengusir Annam dari Champa, selanjutnya menghancurkan serangan Khmer dan membalasnya dengan mengirim pasukan penyerang memasuki Kamboja.
Politik Hariwarman IV memelihara hubungan yang lebih baik dengan Annam. Sejak itu dengan sedikit keraguan kemudian ia bersekutu dengan Cina dan merencanakan penyerangan terhadap Annam. Ketika gagal, ia bertanggungjawab melindungi dari kemarahan orang Annam dengan mengirimkan tawaran perdamaian yaitu dengan memberi upeti kepada Annam secara teratur.
Khmer juga mulai menyerang Champa, bagian utara Champa telah berada dibawah kekuasaan Khmer. Tetapi di bagian selatan Panduranga, seorang raja baru, Jaya Hariwarman I, bangkit tahun 1147. Kemudian setelah mendesak keluar pasukan Khmer, ia terus menyerang dan mengembalikan Wijaya dan menyatukan kembali kerajaan.
Kesulitan Jaya Hariwarman I belum teratasi, tahun 1155 Panduranga mulai memberontak. Tetapi ia dapat memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan karena perang dengan menggunakan sebagian barang jarahannya untuk memperbaiki candi-candi dan membangun yang baru. Beliau juga mengirim utusan ke Cina dan menenangkan Annam dengan membayar upeti secara teratur.
Ketika Jaya Hariwarman I mangkat, ia digantikan oleh seorang avontutir yang cerdik bernama Jaya Indrawarman IV yang telah merebut tahta dari putera Jaya Hariwarman I. Kemauannya yang besar ialah membalas dendam dengan menyerang Kamboja yang telah menyerang Champa oleh Suryawarman. Akan tetapi penyerangan tersebut gagal. Setelah melakukan persiapan lama, Jayawarman VII, pendiri Angkor Thom, melancarkan serangan besar-besaran terhadap Champa. Sekali lagi Champa jatuh ke tangan Kamboja. Suryawarman memutuskan untuk bersekutu dengan Kamboja.
Kemudian Khmer menyerang Champa lagi, dan Champa dikuasai oleh Khmer selama 17 tahun. Karena beberapa alasan yang tidak disebut dalam catatan, pasukan Khmer meninggalkan negeri itu dan memberikan kendali pemerintahannya secara sukarela. Banyak yang berpendapat mengenai sebab pengunduran Khmer secara tiba-tiba tersebut. Kesimpulan Maspero oleh Coedes, adalah bahwa tekanan T’ai atas kerajaan besar Khmer telah sedemikian keras hingga Angkor dipaksa meninggalkan cita-citanya menjadikan Champa sebagai daerah taklukannya.
Kemengan-kemenangan Mongol di Cina juga dianggap sebagai penyebab berhentinya perang antara Annam dan Champa. Dalam hal Champa, masalahnya sampai pada puncaknya ketika tahun 1281, yaitu saat kesabaran Kublai Khan telah habis dan beliau mengirim marsekal “Sogatu” untuk mendesak pemerintahan Mongol di negeri itu.
Seorang raja baru, Jaya Simhawarman III didesak untuk bersekutu dengan Annam. Tahun 1301 ia menerima kunjungan dari Tran Naon-Ton, yang telah menyerahkan dengan senang hati tahtanya kepada puteranya Tran Anh Ton, dan pura-pura mencari kebajikan dengan berziarah keliling tempat suci di negeri-negeri tetangganya. Ia menjanjikan pada raja Champ salah seorang putrinya untuk dijadikan istri raja Cham.
Dalam pertalian perkawinan itu, ia terbujuk untuk menyerahkan dua buah propinsi Cham di utara Col des Nuages sebagai nilai tukar penyerahan seorang saudara perempuan Tra Anh-Ton. Kemudian ketika pemerintahannya digantikan oleh putranya Che-Chi, putranya harus menanggung perbuatan bodohnya itu. Tahun 1312, Annam menyerbu Champa, menurunkan Jaya Simbhawarman IV dari tahtanya dan menggantinya dengan adiknya. Cue Nang.
Champa sekarang menjadi propinsi Annam yang rajanya diangkat sebagai “pangeran pembayar pajak kelas dua”. Tetapi Che Nang tetap setia kepada Champa dan tidak mau menyerahkan pada kekuasaan Annam. Ia memberontak dan berusaha mengembalikan dua propinsi yang telah diserahkan oleh ayahnya.
Che Anan ialah pendiri dinasti XII dalam sejarah Cham yang berkuasa sampai tahun 1390. Ini merupakan pembuka bagi kebangkitan Cham dengan mengambil manfaat atas berdirinya dinasti Ming di Cina. Dengan mulai serangkaian serangan-serangan yang sukses di Annam. Negeri itu tetap dalam keadaan teror terus menerus sampai tahun 1390, raja Cham terbunuh dalam perang di laut. Kemudian Champa kehilangan propinsi Indrapura (Quang Nam). Tahun 1441, pemerintahan Jaya Simhawarman V berakhir.
Di tahun 1471, tentara Vietnam Dinasti Le menaklukan kerajaan Champa. Sekitar 60.000 orang tentara Champa terbunuh, termasuk Raja Champa dan keluarganya dan sekitar 60.000 orang lainnya diculik untuk dijadikan budak.
Kerajaan Champa diperkecil wilayahnya, yang sekarang dikenal dengan nama Nha Trang. Pada tahun 1720 terjadi serangan baru dari tentara Vietnam yang mengancam kerajaan Champa. Seluruh bangsa Cham beremigrasi ke arah barat daya, ke wilayah utara danau Tonle Sap yang sekarang merupakan Kamboja.
Dengan kejatuhan Vijaya pada 1471 maka keluasan Negara Champa semakin mengecil dan ibu negara Champa berpindah untuk kesekian kalinya. Kali ini jauh ke selatan ke Panduranga. Mengikut sejarah, semenjak perlantikan Po Tri Tri sebagai raja untuk keseluruh Champa dan dengan perpindahan beliau ke Panduranga untuk menubuhkan kerajaan yang baru, maka bermulalah perkembangan Islam secara besar-besaran di Champa. Bahasa Sanskrit yang selama ini menjadi bahasa rasmi Champa juga tidak digunakan lagi.
Semenjak era inilah Champa bertukar corak. Tidak pasti sama ada Champa terus menerus diperintah oleh raja Islam sehingga kejatuhannya ke Vietnam, akan tetapi berdasarkan kepada keunikan sistem pentadbiran yang diamalkan di Champa di mana terdapat berbagai kerajaan dalam satu wilayah pada masa yang sama, maka berkemungkinan bahwa ada raja-raja Islam yang memerintah Champa pada zaman tiga abad setelah kejatuhan Vijaya.
Keunikan sistem pemerintahan Champa adalah karena Champa terdiri dari persekutuan berbagai kaum yang dikenal majemuk sebagai ‘Urang Champa’. Selain kaum Cham sendiri, penduduknya juga terdiri dari berbagai kaum etnik daripada rumpun lain yang juga merupakan rumpun bahasa Austronesia yaitu puak bukit (hill tribes) yang terdiri daripada kaum-kaum Chru, Edê, Hroy, Jörai, Rhade (Koho),dan Raglai dan termasuk juga dari rumpun bahasa Austroasiatic seperti kaum Dera atau montanagards yang terdiri dari kaum-kaum Ma, Sré dan Stieng.
Meskipun terdapat raja, yang memerintah Champa secara keseluruhannya, terdapat juga raja-raja kecil misalnya Raja Bao Dai, yang menjadi raja untuk kaum etnik yang tertentu. Ini mempunyai persamaan dengan kaum Batak dan Mandiling di Indonesia, misalnya, yang mempunyai raja-raja mereka sendiri, tetapi semata-mata sebagai raja adat. Dalam mengkaji sejarah Champa mungkin pengkaji sejarah tidak memahami kedudukan raja pada kaum masing-masing dan hal ini telah menimbulkan kekeliruan di sebabkan dalam satu zaman yang sama akan terdapat rujukan kepada dua atau tiga raja yang berlainan nama.
Dalam tradisi pemerintahan Champa, hanya raja yang mempunyai kekuatan tentara dan kekuasaan politik negara sebagai ‘Raja kepada Raja-raja (‘Rajatiraja’) Champa’ (“King of Kings of Champa”). Berdasarkan kepada manuskrip-manuskrip yang terdapat berkemungkinan besar setelah kejatuhan Vijaya, kekuasaan ini pernah dipegang oleh raja yang beragama Islam.
Kerajaan Champa merupakan kerajaan maritim sehingga pandai dalam pelayaran. Pelabuhan utama Champa ialah Phan Rang dan Nha Trang. Pelabuhan tersebut merupakan pemasok utama pendapatan kerajaan ini. Karena Quang Nam menawarkan pelabuhan yang lebih baik daripada pelabuhan yang lain, dimana kapal pedagang dari India, Sumatra, Jawa, dan Cina bisa mendapatkan persediaan air bersih di pelabuhan ini.
Sejarah Kerajaan Campa
Campa terletak di seberang laut sebelah selatan propinsi Goangdong (Tiongkok Selatan) demikian menurut catatan Ma Huan dalam bukunya Ying Yang Sheng Lan (pemandangan indah di sebrang samudra) orang berlayar menuju ke sebelah barat daya dari kabupaten Chang Le, propinsi Fujian (Tiongkok Selatan) bila ada angin buritan kapal akan sampai di Campa pada hari ke-10. Di sebelah selatan Campa terdapat kerajaan tetangga bernama Kamboja. Di sebelah barat berbatasan dengan dengan Laos. Di sebelah laut timur adalah laut besar.
Di bagian timur laut Campa terdapat sebuah pelabuhan, Xinzhaou (Qoui-Nho) di pantai terdapat sebuah menara batu. Di sana tempat berlabuh kapal-kapal yang berdatangan. Kampungnya bernama Sri Vijaya dan dipimpin oleh dua kepala kampong yang mengurus 50-60 kepala keluarga. Kota Campapura sebagai ibu kota Kerajaan Campa terletak kira-kira 100 li (puluhan kilometer) di sebelah barat daya kampong itu. Di kota Campapura terdapat istana sang raja. Tembok kotanya terbuat dari batu dan berpintu empat. Pintu gerbangnya dijaga ketat.
Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-Yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-Yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Kerajaan Lin-Yi merupakan inti pertama negri Campa yang masuk sejarah pada akhir abad ke-2. Sumber-sumber Cina memberitakan pendiriannya sekitar tahun 192. Pembentukan kerajaan Lin-Yi pada tahun 192 didahului setengah abad sebelumnya, yakni pada tahun 137, dengan usaha penyerbuaan pertama terhadap Siang-Lin oleh segerombolan orang Bar-Bar yang kira-kira 1000 jumlahnya yang datang dari luar perbatasan Jen-Nan.
Sebelum terbentuknya Kerajaan Champa, di daerah tersebut terdapat Kerajaan Lin-Yi (Lam Ap), akan tetapi saat ini belum diketahui dengan jelas hubungan antara Lin-Yi dan Champa. Lin-Yi diperkirakan didirikan oleh Seorang pegawai peribumi yang bernama K’iu-Lien mengambil keuntungan dari merosotnya kekuasaan Dinasti Han akhirnya untuk membentuk wilayahnya dari sebagian wilayah militer Cina, kemudian menyatakan diri raja di Sianglin, wilayah yang paling selatan secara kasar dapat disamakan dengan bagian selatan yaitu di daerah kota Huế yang sekarang menjadi provinsi Vietnam: Thuathien. Mula-mula Lin-Yi, “ibu kota Lin disangka kependekan dari Siam-lin Yi, ibu kota-Siang-Lien. Tetapi akhir-akhir ini dikemukakan Menurut Stein kemungkinannya sebagai nama suku bangsa.
Wilayah Kekuasaan
Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5 kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di India:
Indrapura – Kota Indrapura saat ini disebut Dong Duong, tidak jauh dari Da Nang dan Huế sekarang. Da Nang dahulu dikenal sebagai kota Singhapura, dan terletak dekat lembah My Son dimana terdapat banyak reruntuhan candi dan menara. Wilayah yang dikuasai oleh kepangeranan ini termasuk propinsi-propinsi Quảng Bình, Quảng Trị, dan Thừa Thiên–Huế sekarang ini di Vietnam.
Amaravati – Kota Amaravati menguasai daerah yang merupakan propinsi Quảng Nam sekarang ini di Vietnam.
Vijaya – Kota Vijaya saat ini disebut Cha Ban, yang terdapat beberapa mil di sebelah utara kota Qui Nhon di propinsi Bình Định di Vietnam. Selama beberapa waktu, kepangeranan Vijaya pernah menguasai sebagian besar wilayah propinsi-propinsi Quang-Nam, Quang-Ngai, Binh Dinh, dan Phu Yen.
Kauthara – Kota Kauthara saat ini disebut Nha Trang, yang terdapat di propinsi Khánh Hòasekarang ini di Vietnam. Panduranga – Kota Panduranga saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di propinsi Ninh Thuận sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang ditaklukkan oleh bangsa Vietnam.
Diantara kepangeranan-kepangeranan tersebut terdapat dua kelompok atau suku: yaitu Dua dan Cau. Suku Dua terdapat di Amaravati dan Vijaya, sementara suku Cau terdapat di Kauthara dan Panduranga. Kedua suku tersebut memiliki perbedaan tata-cara, kebiasaan, dan kepentingan, yang sering menyebabkan perselisihan dan perang. Akan tetapi biasanya mereka berhasil menyelesaikan perselisihan yang ada melalui perkawinan antar suku.
Kedatangan Islam Di Campa
Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan Tiongkok, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
Sebelum penaklukan Champa oleh by Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India. Islam mulai memasuki Champa setelah abad ke-10, namun hanya setelah invasi 1471 pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke-17 keluarga bangsawan para tuanku Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama Islam.
Kebanyakan orang Cham saat ini beragama Islam, namun seperti orang Jawa di Indonesia, mereka mendapat pengaruh besar Hindu. Catatan-catatan di Indonesia menunjukkan pengaruh Putri Darawati, seorang putri Champa yang beragama Islam, terhadap suaminya, Kertawijaya, Raja Majapahit ketujuh sehingga keluarga Kerajaan Majapahit akhirnya memeluk agama Islam. Makam Putri Campa dapat ditemukan di Trowulan, situs ibukota Kerajaan Majapahit.
Kedatangan Islam di Campa dibuktikan dengan adanya dua buah prasasti kufi yang di temukan di Phanrang/ pahanri (Panduranga). Dalam prasasti tersebut bertarikh 1039 M, dan yang saytu bertarikh 1035- 1039 M, ini menunjukkan bahwa orang Islam telah datang dan menetap di Campa semenjak pertengahan abad ke-10. Dalam cerita lain disebutkan bahwa telah ada hubungan antara Campa dengan Islam sekitar tahun 1000 hingga tahun 1036 M. Jadi, Raja Campa pergi ke Makkah selama kurang lebih 37 tahun kemudian kembali lagi ke Campa. Adapun mengenai siapa orang Islam pertama yang datang dan menetap di Campa, Fatimi dan Ravaise berpendapat bahwa kebanyakan orang Islam yang datang ke Campa adalah orang-orang dari Parsi. Sebagai buktinya ialah pengembaran orang-orang Cina yang bernama I-Ching yang menaiki sebuah kapal Po-see (Parsi) pada tahun 671.
Dari kedua ukiran tulisan prasasti kufi di atas dikatakan bahwa keduanya ini berasal dari Syi’ah yang di tulis oleh orang Parsi/ orang Islam Parsi, salah satu diantara keduanya yaitu bertuliskan Abu Kamil. Yang mempunyai tujuan sama seperti orang Persia dan Iraq datang ke Campa diduga untuk mencari kekayaan. Mengenai prasasti yang kedua Fatimi dan Ravaise juga berpendapat bahwa prasasti tersebut telah ditulis oleh orang Parsi juga yang bertuliskan Mahmud Ghaznawi yang pada waktu itu memerintah hampir seluruh Persia. Selain itu petunjuk lain mengenai Islam di Campa ini adalah adanya upacara-upacara Cam Bani misalnya upacara menamai bayi yang hampir semuanya rata-rata bernama Ali, Ibrahim atau Muhammad untuk bayi laki-laki dan Fatimah untuk bayi perempuan, ini menandakan pengaruh dari unsur Syiah atau Parsi. Pada masa ini juga dunia Melayu sedang mengalami Islamisasi. Jadi, Islam mulai sepenuhnya berkembang di Cam setelah mereka berhubungan dengan dunia Melayu.
Seperti yang telah dijelaskan diatas orang Islam dikawasan Panduranga memanggil diri mereka Cam Bani yang diambil dari bahasa Arab “Bani” artinya anak atau keturunan. Dan Kebanyakan para pegawai Bani ini memahami bahasa Arab dan memiliki beberapa salinan Al- Qur’an. Masjid menghadap ke Makkah dan ditutup hampir sepanjang tahun kecuali pada bulan Ramadhan. Ramadhan yang di kenal sebagai Ramadon atau bulan ok (bulan berpuasa) adalah yang diperuntukan kepada ahli-ahli agama Bani yang akan berpuasa mewakili semua komuniti. Namun mereka hanya berpuasa hanya tiga hari pertama bulan tersebut. Khutbah sembahyang Jum;at terdiri dari Syarahan (kajian) yang dipetik dari beberapa ayat Al-Qur’an, diikuti dengan jamuan makan. Meskipun Campa ini merupakan Islam dan Allah disertakan dalam imannya tetapi dalam pelaksanaannya berbeda dengan Islam. Yang didalamnya terdapat beberapa kesan tentang kepercayaan primitife Melayu-Polinesia yang bercampur aduk dengan unsur- unsur Brahmanisme. Menurut mereka meskipun beragama Islam namun tidak salah apabila melibatkan “Po Yang” (kesucian) yang dipandang tinggi oleh orang kafir. Mereka menyambut satu upacara pemujaan khas yang dipandang sebagai semangat bayi yang meninggal ketika masih bayi atau keguguran. Mereka percaya bahwa semangat ini menunggu untuk dihidupkan kembali.
Islam Dan Kerajaan Campa
Islam masuk dan berkembangnya di Vietnam, khususnya Islam pada tahap awal tidak bisa dilepaskan dari kehadiran kerajaan dan etnis Campa, uraian tentang Islam di Vietnam diawali dengan uraian sejarah keberadaan Campa Kuno dan Etnis Campa.
Campa, menurut literatur Cina dari negeri bernama Lin-Yi (yang muncul pada 192 M), terletak dibagian tengah negeri Vietnam sekarang, antara Gate Of Annam (Hoanh Son) di uatara dan sungai Donnai selatan. Penduduk Lin-Yi bertutur dalam bahasa Cham dari rumpun Austronesia. Sejak awal Lin-Yi negeri yang takluk pada china dan membayar upeti kepada China. Nama “Campa” disebut dan dipakai pertama kali dalam dua buah inskkripsi bahasa sansekerta, satunya bertarikh 658 M yang ditemukan bagian tengah Vietnam. Dan satu lagi ditemukan pada 668 M di kamboja. Abad VIII merupakan puncak kerajaan Campa, yang ditandai dengan kekuasaan wilayahnya daan kemajuan peradabannya. Pada masa ini, Campa merupakan sebuah kerajaan persekutuan yang terdiri dari kerajaan negeri : Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara dan Pandurangan yang masing-masing mempunyai pemerintah yang otonom dengan ibu negara Indrapura (Quang Nam sekarang). Kerajaan Campa mempunyai hubungan dengan kerajaan-kerajaan tetangganya, dengan China dan Vietnam diuatara,Kamboja dibarat, dan Nusantara di selatan. Contoh secara teratur mengirim utusan-utusan dan mengadakan hubungan ekonomi dan keagamaan dengan China.
Ajaran agama yang dianut masyarakat Campa pada abad VIII dan IX adalah buddha mahayana, yang merambah Campa melalui sami (Pendeta Buddha) yang datang dari Cina. Adapun relasinya dengan nusantara bermula ketika terjadi perompakan besar-besaran oleh orang Jawa penghujung abad VIII. Hubungan itu kemudian menjadi lebih baik dalm bentuk hubungan perdagangan dan persahabatan.
Pada abad IX, terjadi peralihan orientasi Campa dari China. Mulai jaman ini kebudayaan Campa termasuk sistem sosial keagamaan dan lain sebagainya, dipengaruhi oleh budaya India dan agama Hindu dan Budha. Pada 939 M, muncul kekuatan baru di wilayah ini, yakni Dai Viet (kemudian menjadi Vietnam). Mulai sejak itu terjadi peperangan yang berkepanjangan antara Vietnam dan Campa. Pada 982 M, Vietnam berhasil menghancurkan ibu kota Indrapuraraja Campa memindahkannya jauh ke selatan, yakni ke Vijaya (Binh Dinh sekarang).
Namun pada 1044, Dai Viet (Vietnam) bahkan berhasil menduduki kota Vijaya dan membunuh rajanya..berbagai usaha pernah dilakukan raja-raja Campa untuk membalas dendam dan menyerang Vietnam yang semakin dapat memperbesar wilayahnya dan mencaplok Campa. Suatu kali kerajaan Campa pernah kembali pada masa kejayaannya, meski hanya dalam durasi singkat, yaitu ketika diperintah oleh Che Bong Nga (1360-1390), dialah yang berhasil dalam usaha mengembalikan wilayah yang dirampas Vietnam dan dalam memerintah dengan cukup adil serta berjaya memerangi para perampok.
Pada 1471, Raja Vietnam Le Thanh Tong menyerang Campa secara besar-besaran, dan menghancurkan Vijaya, membunuh lebih 40.000 penduduk, mengusir lebih dari 30.000 lainnya dari bumi Campa, bahkan lebih jauh lagi dia telah menghancurkan sisa-sisa kebudayaan Campa yang dipengaruhi Hindu/Buddha dan kemudian menggantikannya dengan kebudayaan China/Vietnam. Dengan kemenangan Le Thanh Tong 1471 itu, tamatlah riwayat kerajaan Campa belahan utara, khususnya Indrapura, Amarawati, Vijaya.
Selanjutnya yang bertahan adalah sisa-sisa kerajaan Campa belahan selatan, yaitu Kauthara dan Panduranga, yang diperintahi oleh Bo Tri Tri dan pengganti-penggantinya. Kerajaan Campa mulai menerima kebudayaan melayu serta Islam yang masuk melalui pelabuhan Panduranga dan Kauthara, dan juga meningkatkan hubungan dengan negeri-negeri di Melayu dan Nusantara. Bahkan dikabarkan bahwa raja Campa yang bernama Po Klau Halu (1579-1603) sudah memeluk Islam dan pernah mengirim tentaranya untuk membantu Sultan Johor di Semenanjung Malaka untuk berperang menentang Portugis pada 1511.
Bagaimanapun Raja Ngunyen dari Vietnam menaklukan Khautara (1659) dan Panduranga (1697). Akibatnya, Raja Pandurangan terakhir, Po Chei Brei terpaksa mengungsi meninggalkan negereinya bersama ribuan pengikutnya menuju Rong Damrei di Kamboja. Pada 1832 penguasa Vietnam Minh Menh melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap sisa-sisa terakhir penduduk Campa Panduranga, dan merampas seluruh sawah ladang mereka serta memasukkan wilayah Pandurangan menjadi bagian Vietnam. Hal ini menandai lenyapnya sisa-sisa kerajaan Campa terakhir dari peta bumi untuk selamanya, walaupun kebudayaan dan etnis Campa tetap berlanjut dipengungsian yakni Kamboja.
Seperti telah diuraikan sebelumnya banyak orang Campa yang meninggalkan tanah airnya karena desakan Nan Tien atau pergerakan orang-orang Vietnam ke selatan. Untuk menyelamatkan diri mereka Hijrah ke Kamboja. Di Kamboja mereka bertemu dengan kelompok Melayu yang datang dari Nusantara. Akulturasi budaya yang terjadi karena persamaan agama dan rumpun bahasa Austronesia tersebut membentuk sebuah komunitas masyarakat baru yang di sebut Melayu-Campa atau Java-Campa.
Mazhab Yang Diikuti
Terdapat dua mazhab besar umat Islam di Vietnam: mazhab Sunni dan mazhab Bani. Adapun mazhab Sunni tersebar diseluruh penjuru negara kecuali dua tempat antara Tuan Han dan Ninh Thuan, dan mayoritas mereka menganut mazhab Syafi’i. Adapun mazhab Bani tersebut di daerah Ninh Thuan dan Binh Thuan, dan mazhab ini tidak banyak dikenal oleh umat Islam di dunia; karena memiliki ciri khusus domistik dan memiliki pengaruh kuat warisan dari India yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang benar, seperti menjadikan pemimpin untuk shalat mewakili jamaah, tidak ada perhatian dari para pemimpin dengan jamaah mereka sehingga menyebar di tengah mereka ajaran-ajaran syirik, dan tersebar di tengah mereka aktivitas yang tidak sesuai dengan aqidah yang benar oleh karena kebodohan, sedikitnya ulama dan para dai. Dan ketika datang bulan Ramadhan mereka memisahkan diri dari istri-istri mereka sejak awal bulan hingga akhir, karena mereka tinggal di masjid selama bulan Ramadhan, dan banyak lagi permasalahan lainnya yang ada di sana. Boleh jadi phenomena terjadi oleh karena kebodohan mereka terhadap Islam dan ajaran-ajaran yang sebenarnya, dan terputusnya hubungan mereka dengan dunia Islam dalam waktu lama sehingga mereka memiliki keyakinan apa yang dalam Islam dan bahkan hingga mencapai pada tuduhan bahwa mazhab sunni adalah bid’ah. Sebagaimana yang terjadi di sana adanya perselisihan dan perdebatan tentang tema antara mereka dan mazhab Sunni.
Pada tahun 1959 sebagai mereka umat Islam bagian selatan, khususnya umat Islam di kota Shai Ghon, dan terjadi perkenalan dan dialog di tengah mereka tentang Islam sehingga mereka memahami bahwa jamaah mereka jauh dari hakikat Islam, dan mereka mulai belajar dari mereka ajaran yang benar, dan juga memperbaharui keislaman mereka dan memperbaikinya. Kemudian kelompok ini pulang ke negeri mereka dan mengajak masyarakat pada ajaran Islam yang bersih dan benar, maka dakwah itupun berhadapan dengan berbagai bentuk penolakan, pendustaan dan tuduhan dari warga dan menganggapnya sebagai bid’ah dan khurafat. Namun berkat karunia Allah SWT, mampu memenangkan agama dari keyakinan yang menyimpang dan agama yang batil yang diacuhkan kecuali Allah mampu menyempurnakan cahaya-Nya sehingga sebagian mereka menerima dakwah ini dengan penuh kepuasan dan kerelaan, dan akhirnya mereka memperbaharui dan memperbaiki keislaman mereka.
Dan melalui ini terjadi titik tolak penting dalam sejarah berupa bersinar kembali cahaya Islam di tengah mereka setelah sebelumnya mengalami kejahilan di negeri mereka dalam waktu yang lama, dan akhirnya setiap hari terus bertambah orang-orang yang memperbaharui keislaman mereka. Dan bertambah pula 4 pembangunan masjid di daerah tersebut, karena keberadaan mereka dalam masjid-masjid yang ada dapat mengarah pada perbedaan dan perdebatan. Adapun masjid yang dimaksud adalah masjid Phuic Nhon, masjid An Xuan, masjid Van Lam, dan masjid Nho Lam, dan semuanya terdapat di propinsi Ninh Thuan.
Sementara itu gerakan pembaharuan tidak mencakup propinsi Ninh Thuan, sehingga penduduknya tetap berada pada keyakinan tersebut hingga datang pembaharuan yang dibawa oleh sebagian pemuda Islam mereka pada tahun 2006, sebagaimana sisa dari mereka menerima gerakan ini dan bertambah jumlah mereka, karena mereka betul-betul membutuhkan orang yang bisa mengajarkan Islam kepada mereka.
Kelompok-kelompok klasik umat Islam
Umat Islam Vietnam banyak yang loyal pada suku-suku beragam, dan melalui tulisan dapat kita bagi pada 3 kelompok:
1. Kelompok pertama: Muslim Tcham, yang merupakan kelompok mayoritas.
2. Kelompok kedua: umat yang berasal dari suku-suku yang beragam, mereka adalah pedagang muslim yang datang dari negeri-negeri yang beragam kemudian menikah dari anak-anak negeri tersebut, seperti Arab, India, Indonesia, Malaysia dan Pakistan, dan jumlah mereka merupakan kelompok terbesar dari jumlah umat Islam secara keseluruhan.
3. Kelompok ketiga: muslim dari warga Vietnam asli, dan mereka adalah warga Vietnam yang masuk setelah berinteraksi dengan para pedagang muslim dan komunikasi secara baik, seperti kampng Tan Buu pada bagian kota Tan An, baik dengan masuknya warga kepada Islam atau mereka masuk Islam melalui pernikahan.
Kondisi umat Islam
Umat Islam adalah bagian dari penduduk negeri, maka dari itu kondisi mereka sangat berhubungan dengan pertumbuhan negara dan kemajuannya. Dan kondisi negara Vietnam sepanjang tahun terakhir ini mengalami kemajuan yang pesat dan prestasi yang banyak yang belum pernah dialami pada pemerintahan sebelumnya. Pada tahun 2007, Vietnam resmi menjadi anggota organisasi negara perdagangan internasional, setelah mampu berpartisipasi melakukan perbaikan ekonomi dan meluas jaringannya pada beberapa tahun terakhir. Karena itulah Vietnam menjadi salah satu dari negara yang mampu membangun beberapa komponen perbaikan ekonomi dan membuka negara di hadapan investor asing dan perusahaan-perusahaan swasta dengan jumlah milyaran dollar untuk menanamkan investasinya di berbagai lini dan sektor yang beragam.
Dan jika dibandingkan dengan kondisi umat pada kurun sebelumnya umat Islam saat ini mengalami perbaikan, sehingga sebagian umat Islam mampu keluar dari sangkar kemiskinan dan ketiadaan, bahkan berubah kondisi hidup mereka. Namun jumlahnya masih terbatas, karena masih banyak dari umat Islam bahkan dalam jumlah yang begitu besar umat Islam menghadapi berbagai problema kemiskinan dan permasalahan materi khususnya yang tinggal di luar dari Ho Chi Minh City.
http://wiyonggoputih.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-champa_1.html
Kingdom of Champa (1485-1832)
Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini membawa pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
http://peutrang.blogspot.co.id/
Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-yi (Lam Ap), yang didirikan sejak 192, namun hubungan antara Lin-yi dan Campa masih belum jelas. Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke wilayah ini membawa pengaruh budaya dan agama Islam ke dalam masyarakat Champa.
http://peutrang.blogspot.co.id/
Komentar
Posting Komentar