Lakon Bale Sigala Gala
Bale Sigala-Gala
Di hadapan sang raja, Bimasena tidak mengisahkan peristiwa yang sebenarnya menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah hutan Pramanakoti. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar tidak a...da dendam yang tersisa di hatinya. Ia teringat nasihat Naga Aryaka ”Bima, janganlah engkau membalas kejahatan saudara tuamu dengan kejahatan pula, karena hal tersebut tidak menyelesaikan masalah. Serahkan masalahmu kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Serahkan kepada Dia perbuatan jahat Sengkuni dan Kurawa. Jika pun ada hukuman, biarlah Dia yang menghukumnya.” Dan Bimasena telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai telah menolong, menyelamatkan dan bahkan memberikan anugerah Tirta Rasakundha kepada dirinya.
Prabu Destarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang disembunyikan Bimasena, maka pada kesempatan lain Deatarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Pada kesempatan tersebut, Sang Prabu Destarastra melampiaskan amarahnya kepada Sengkuni.
“Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau telah meniupkan kabar bohong kepadaku yang adalah raja Hastinapura.”
“Ampun Sang Prabu Destarastra, waktu itu memang benar, saya melihat dengan mata kepala sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena saking banyaknya minum tuak, Bimasena jalan sempoyongan dan masuk ke kedung sungai Gangga. Para perajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong jika sewaktu-waktu Bimasena timbul dari kedung tersebut. Namun hingga sampai dengan hari ke tiga, anak ke dua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Salahkah jika kemudian aku menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”
“Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!!
Bentakan Destarastra membuat semua yang ada di pisowanan tersebut tertunduk diam. Tidak ada satupun yang berani mengeluarkan kata-kata. Destarastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Bahkan ia memberi isyarat kepada Gendari agar dituntunnya meninggalkan pisowanan terbatas.
Sengkuni semakin terbakar atas nasib baik yang dialami Bimasena. Api kebencian yang menyala-nyala di hati Sengkuni memang ingin sungguh-sungguh diwujudkan untuk membakar, tidak hanya Bimasena tetapi juga Kunti dan ke lima anaknya.
Untuk sebuah rencana besar tersebut, Sengkuni tidak mau gagal lagi. Ia memerintahkan Purucona, arsitek nomor satu di Hastinapura untuk membuat sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegunungan di luar kotaraja Hastinapura. Bangunan semi permanent tersebut dirancang kusus. Tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu dan minyak yang mudah terbakar.
Kunti dan Anak-anaknya memang bukan tipe pendendam. Di hati mereka telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepada siapapun tak terkecuali, termasuk kepada mereka yang telah menganiaya dirinya. Karena dengan demikian hatinya tidak ditumbuhi dendam yang menggerogoti dan meracuni hidupnya.
Oleh karenanya, sekali lagi, bujuk rayu Sengkuni dan Duryudana berhasil mengajak Ibu Kunti, Puntadewa, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa untuk merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak pegunungan.
Dua pekan lagi, saat purnama sidhi, Kunti dan ke lima anaknya berjanji akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Kurawa dalam acara andrawina di Bale Sigalgala. Mendengar rencana tersebut Sang Paman Yamawidura, orang yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat buruk yang harus dihindari. Maka ia memanggil Kanana abdinya, yang ahli membuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelidiki Pesanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamatan jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera melaksanan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa sosok Yamawidura adalah titisan Bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia mempunyai kelebihan dan tak tertanding di negara Hastinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Raja Sendiri mengakui kelebihan adiknya yang sangat disayanginya itu. Maka Kanana meyakini bahwa bakal terjadi huru-hara besar, dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura, benar-benar akan menjadi sarana untuk jalan penyelamatan. Kurang dari dua pekan Terowongan yang panjangnya lebih dari 400 langkah tersebut telah selesai. Kanana benar-benar menunjukan kualitasnya.
Pada malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala, tepat pada tabuh ke sebelas Yama Widura mengidungkan mantra-syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga dalam doa dan pujian, untuk memohon keselamatan, jauh dari segala yang jahat.
Kunti dan Bima belum tidur. Mereka terhanyut oleh syair-syair yang dikidungkan Yamawidura. Batin yang cerdas dapat menangkap bahwa melalui Kidung malam tersebut Yamawidura ingin mengingatkan agar Kunti dan Anak-anaknya yang besok sore akan memenuhi undangan para Kurawa di Bale Sigala-gala jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa mohon terhindar dari segala mara bahaya.
Lewat tengah malam, Yamawidura menyelesaikan pembacaan mantra yang di kidungkan. Hampir bersamaan, Kunti dan Bimasena terlelap dalam tidur, menyusul Puntadewa, Herjuna, Sadewa, Nakula dan juga Padmarini isteri Yamawidura dan kedua anaknya Sanjaya dan Yuyutsuh.
Malam merambat pelan dilangit Panggombakan. Seakan enggan menemui pagi. Mungkin karena ia tidak sampai hati menyaksikan tragedi besar yang akan terjadi di rumah indah dan asri yang bernama Bale Sigala-gala.
Kicau burung bersautan di pagi itu. Langit Panggombakan biru cerah. Tak ada sedikit pun awan yang menggelantung. Kunthi dan anak-anaknya merasakan pula cerahnya hari itu. Secerah hati mereka yang tidak pernah terhalang awan dendam dan kebencian, kendati mereka menjadi sasaran irihati. Seperti yang terjadi belum lama ini, para Kurawa gagal membunuh Bimasena di hutan Pramanakoti. Dikarenakan dari pihak Pandawa mudah melupakan perbuatan jahat yang dilakukan Sengkuni dan para Kurawa maka Pandawa tidak menaruh curiga seikitpun atas undangan pesta di Bale Sigala-gala nanti sore. bahkan bagi Pandhawa kesempatan tersebut dapat menjadi sarana untuk merekatkan hubungan persaudaraan.
Lain yang dirasakan para Pandhawa, lain pula yang dirasakan Yama Widura. Sejak Kunthi dan para Pandhawa merencakan akan datang pesta memenuhi undangan warga Korawa di Bale Sigala-gala, Yama Widura, paman dari para Pandhawa itu gelisah. Semalaman ia tidak dapat tidur. Kidung mantra tulak bala, memohon keselamatan mengalun hingga tenggah malam. Sementara malam yang tersisa digunakan untuk berdoa di sanggar pamujan. Apa yang telah dilakukan Yama Widura, termasuk juga pembuatan terowongan yang dikerjakan oleh Kanana, adalah semata-mata demi keselamatan Kunti dan para Pandhawa.
Pagi itu, Yama Widura menerima Kunthi dan anak-anaknya yang hendak berpamitan pergi ke gunung Waranawata menghadiri undangan pesta di Bale Sigala-gala
“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan. Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan Ibu dan saudara-saudaramu.”
Dihantar oleh tatapan cemas Yamawidura. Kunthi dan ke lima anaknya meninggalkan Panggombakan.
Sejak pagi Bale Sigala-gala menampakan kesibukannya. Aneka bunga dan umbul-umbul menghias halaman dan ruangan. Sebagian besar warga Kurawa telah hadir di situ. Bale Sigala-gala nampak indah mempesona. Purucona dengan bangga melihat karyanya yang istimewa. Semua yang melihat bangungan tersebut selalu berdecak kagum. Nama Purucona yang sudah dikenal menjadi semakin terkenal.
Namun tiba-tiba hati Purucona berdesir tatkala membayangkan bahwa nanti malam Bale yang indah menawan akan berubah menjadi kobaran api. Dan api tersebut akan membakar Kunti dan anak-anaknya.
“Purucona!!! Engkau harus mencegah agar Bale Sigala-gala tidak menjadi alat untuk membunuh orang yang tak berdosa.”
Puruncona merasa bersalah. Ia gelisah sepanjang hari. Hingga menjelang pesta kegelisahan Purucona semakin menjadi-njadi. Satu persatu tamu yang datang menambah rasa bersalah semakin berat menekan hati sang arsitek nomor satu di Hastinapura.
Ketika sayup terdengar bunyi kenthongan tujuh kali, tamu undangan telah memenuhi ruangan pesta. Namun Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Kurawa belum menampakan kelegaan. Dikarenakan tamu istimewa yang ditunggu-tungu belum datang, yaitu Kunti dan anak-anaknya. Jika para Pandawa tidak datang apalah artinya pesta yang menelan biaya sangat banyak ini?.
Kunthi dan Pandhawa seharusnya sudah sampai di tempat pesta, namun sebelum memasuki lokasi pesta mereka ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan rahasia disampaikan khususnya kepada Bimasena, seperti yang telah diisyaratkan Jamawidura; “Jangan tinggalkan kewaspadaan! Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan mereka” Bimasena meminta Kanana untuk berterus terang apa yang akan terjadi dan tindakan apa yang seharusnya aku lakukan. Namun Kanana tergesa untuk pergi, karena takut diketahui oleh Patih Sengkuna dan warga Kurawa.
Sejak Kanana menyelesaikan terowongan rahasia yang berada di ruang paling belakang, ia menyamar sebagai tenaga kasar yang ikut mempersiapkan perlengkapan pesta. Hal tersebut dilakukan supaya ia dapat menjaganya agar keberadaan terowongan rahasia teresebut tidak diketahui oleh para Kurawa.
Menjelang tabuh ke delapan, Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna dan si kembar Sadewa dan Nakula datang. Duryudana mendekati Sengkuni sambil berbisik. Sengkuni menolehkan mukanya kegerbang masuk. Patih Sengkuni dan Duryudana tergopoh-gopoh menyambut mereka.
Keramahtamahan Sengkuni memang berlebihan, membuat risi tamu-tamu yang hadir, selain warga Kurawa. Namun tidak untuk Kunti dan Pandawa sikap Sengkuni dan warga Kurawa dirasakan merupakan perhomatan khusus sesama saudara.
Pesta itu sungguh meriah. Para petugas yang mengurusi makanan, minuman dan acara pesta, menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan pesta mbanyu mili, mengalir tak pernah henti. Demikian juga acara yang dipentaskan, berganti-ganti penuh variasi.
Suasana gembira, acara meriah dan makanan melimpah, menyihir para penikmat pesta untuk terhanyut dalam suasana memabukan. Satu persatu kewaspadaan mereka hilang, Para Kurawa kecuali Patih Sengkuni, Duryudana dan Dursasana sudah tidak dapat mengontrol diri sendiri. Melihat suasana yang semakin memabukan, pemuka pesta terpaksa menghentikan satu acara yang masih tersisa, karena sudah tidak mendapat perhatian.
Keadaan menjadi lebih hening. Yang tersisa tinggal beberapa suara gemelintingnya gelas minuman dan piring makanan. Karena sebagian besar yang lain sudah menghentikan makannya karena sudah tidak ada sedikitpun ruang perut yang kosong.
Jika semula pesta ini dirancang untuk membawa Kunti dan anak-anaknya terhanyut dalan suasana pesta yang memabukan dan lupa akan dirinya, sehingga mudah diperdaya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Justru para Kurawa yang seharusnya berpura-pura, malah lebih dahulu terhanyut dalam haru birunya pesta.
Sengkuni menjadi binggung. Bagaimana akan melaksanakan rencananya. Dalam keadaan mabuk, ia kesulitan membawa warga Kurawa keluar dari Bale Sigala-gala.
Suasana berangsur-angsur hening. Dentingan perkakas yang saling beradu diantara sendok dengan gelas, mangkuk dan piring, sudah tidak terjadi lagi. Para petugas yang mengontrtol makanan dan minuman sudah berhenti melakukan panambahan hidangan. Dikarenakan makanan memang masih cukup ada, masih cukup untuk tamu yang ada. Bahkan mereka mulai mencicil untuk menyingkirkan aneka perkakas yang sudah kotor oleh sisa-sisa makanan dan minuman. Bersamaan dengan itu, datanglah rombongan petapa yang sengaja mampir untuk meminta makanan. Jumlahnya enam orang lima orang putra dan satu orang putri. Kedatangannya disambut hangat oleh para Pandawa, mereka dipersilakan menikmati makanan yang masih terhidang dengan leluasa.
Sementara itu Sengkuni dan Duryudana dibuat geram. Warga Kurawa telah gagal melaksanakan tugasnya. Semula diharapan warga Kurawa ikut berpesta tersebut hanya untuk membuat suasana pesta meriah. Dengan berpura-pura ikut makan dan minum sebanyak-banyaknya, agar para Pandhawa terpancing untuk ikut makan dan minum sampai mabuk dan tak sadarkan diri, sehingga dengan mudah Sengkuni dapat melaksanakan rencananya yaitu membakar Bale Sigala-gala beserta Kunthi dan para Pandhawa
Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para warga Kurawa lah yang tidak dapat menahan diri. Mereka terlalu banyak makan dan minum sehingga menjadi mabuk Perilaku warga Kurawa tersebut secara tidak sadar telah menghambat rencananya sendiri, rencana warga Kurawa yang diprakarsai oleh Patih Sengkuni. Tentunya tidaklah mungkin untuk menunggu mereka yang mabuk sadar kembali. Sengkuni dan Duryudana harus berpacu dengan waktu. Jangan sampai fajar mulai merekah diufuk Timur, Bale-Sigala-gala masih utuh berdiri.
Maka dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi Kunthi dan anak-anaknya, Duryudana dibantu oleh para hulubalang dan tenaga kasar yang lain, memapah keluar para pemabuk yang tak sadarkan diri. Setelah semua warga Kurawa dan beberapa orang yang mabuk di amankan di tempat yang jauh dari Bale Sigala-gala, Sengkuni mempersilakan Kunthi dan Nakula untuk beristirahat dan tidur di ruang yang telah disediakan, tepatnya di belakang ruang pesta, menyusul Bimasena, Arjuna dan Sadewa. Ketika Kunthi dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka melihat ke enam Petapa tidur nyenyak sekali di lantai, tidak seberapa jauh dengan pintu ruang belakang. Mereka sangat kecapaian. Dewi Kunthi menyapa lembut, dengan tanpa mengharap balasan. “Selamat malam sang petapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”
Malam merambat menuju pagi. Dari kejauhan, terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali, mengisyaratkan bahwa waktu telah menunjukan pukul dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunthi melihat Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Yang mengejutkan Kunthi bahwa diantara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekatnya Yamawidura yang ahli membuat terowongan, bernama Kanana. Ada apa dengan Kanana?
Dengan wajah serius Kanana memohon agar diberi kesempatan menjelaskan hal rahasia dengan tanpa didengar oleh orang lain selain Dewi Kunthi dan dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup perlahan sekali, mereka memusatkan perhatian dan pandangannya pada Kanana yang akan membeberkan hal penting penuh rahasia.
“Mohon maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan para Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-saudaranya, sewaktu bencana yang di kawatirkan benar-benar terjadi. Inilah pitu terowongan itu.
Kunthi dan para Pandawa ternganga. Mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas permadani di ruang itu dapat dibuka dengan mudah. Setelah dibuka oleh Kanana ternyata dari lobang tersebut ada tangga yang menuju ke pintu terowongan. “Jika terjadi sesuatu, terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit dengan selamat”
Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Hawa panas dengan cepat merambat ke seluruh tubuh mereka.
“Kebakaran! Kebakaran! Kebakaran!
Kunthi teringat kepada ke enam petapa yang tidur tidak jauh dari pintu ruangan ini. Tetapi ketika akan membuka pintu, ternyata pintu tersebut telah dikancing dari luar. Kunthi sempat berteriak “ Selamat malam Sang Petapa” Kunthi berusaha untuk membuka pintu, namun sebelum berhasil ia telah disaut oleh Bimasena dan bersama para Pandhawa dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah Kunthi dan anak-anaknya dipastikan telah masuk terowongan
Kunthi bersama lima anaknya telah masuk terowongan rahasia, menyusul peristiwa kebakaran hehat di Bale Sigala-gala. Namun pikiran dan hatinya masih tertinggal di ruangan tempat ke enam petapa tidur. Ia membayangkan bahwa keenam brahmana yang tidur nyenyak, tidak akan mampu menyelamatkan diri dari kepungan api yang merambat teramat cepat. Betapa dahsyatnya kebakaran itu. Hawa panasnya mampu menembus beberapa langkah dari mulut terowongan. Bima menggendong Nakula dan Sadewa berjalan paling belakang menyusuri terowongan, menjauhi pintu trowongan yang terasa semakin panas. Mereka mengikuti cahaya putih yang berjalan paling depan. Bima berusaha menenangkan Ibu dan saudara-saudaranya, terutama si kembar Nakula dan Sadewa yang menangis ketakutan.
Siapakah cahaya putih di depan itu? Dialah Kanana? abdi Paman Yamawidura yang ahli membuat terowongan? Pertanyaan Dewi Kunthi dan anak-anaknya rupanya tidak membutuhkan jawaban. Bagi mereka yang penting adalah bahwa cahaya putih itu akan menuntunnya keluar dari terowongan ini menuju tempat yang aman, jauh dari kobaran api Bale Sigala-gala, api yang dinyalakan dari kobaran hati yang penuh dendam dan kebencian.
Sebenarnya apa yang terjadi di Bale Sigala-gala? Bale artinya bangunan rumah, Gala adalah jabung. bahan yang bisa menjadi keras seperti semen, namun mudah terbakar. Itulah alasan Patih Sengkuni menggunakan jabung sebagai bahan utama untuk membuat bangunan. Ditambah lagi dengan tiang-tiang penyangga bangunan, yang telah diisi dengan sendawa dan gandarukem, bahan sejenis mesiu yang bisa meledak. Dengan demikian jadilah pesanggrahan “Bale Sigala-gala” yang siap dibakar dan diledakan. Sengkuni yakin, bahwa Bale Sigala-gala akan mampu mengubah tulang daging Kunthi dan Pandawa menjadi abu dan arang.
Purucona cepat bakar! bakar! Bakar!!! Perintah tersebut terdengar keras, namun walaupun begitu tidak ada seorang pun diantara Kunthi dan para Pandhawa yang bisa menyelamatkan diri keluar dari Bale Sigala-gala. Apalagi ruangan yang ditempati Kunti dan anak-anaknya telah dikancing dari luar. Sehingga dipastikan bahwa mereka terbakar di dalam ruangan.
Api berkobar ganas, disusul suara ledakan ledakan keras dari tiang-tiang bangunan yang diisi sendawa dan gandarukem. Malang bagi Purocana, undagi nomor satu di Hastinapura tersebut sengaja dijadikan tumbal untuk peristiwa Balesigala-gala ini Ia, setelah menyulut Bale Sigala-gala dilempar paksa ke dalam api oleh beberapa perajurit yang ditugaskan Senkuni. Karena jika tidak, dikhawatirkan Purucona akan membeberkan rekayasa kebakaran di Bale Sigala-gala.
Patih Sengkuni, Duryudana, Dursasana dan para Korawa yang lain, serta para perajurit dan pekerja pesta, dari kejauhan memandangi lidah-lidah api yang menimbulkan asap hitam pekat. Tanpa berkedip Patih Sengkuni memandangi Bale Sigala-Gala yang dibakar, untuk memastikan bahwa tidak ada seorangpun diantara Kunthi dan anak-anaknya menyelamatkan diri, keluar dari kobaran api. Artinya bahwa Kunthi dan ke lima anaknya hangus terbakar. Karena memang hanya tinggal enam orang yang masih berada di dalam bangunan Bale Sigala-gala, karena yang lainnya telah diajak keluar sebelum kebakaran terjadi. Yah tinggal enam orang. Kunthi, Puntadewa. Bimasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Dan pasti tubuh mereka telah menjadi arang dan abu. Demikian pikir Sengkuni
Wajah Sengkuni dan warga Kurawa nampak lega dan senang. Karena dengan tewasnya para Pandawa, tidak ada lagi yang menghalangi Duryudana menduduki tahta Hastinapura.
Namun bagi yang tidak tahu menahu rencana dibalik semua itu, termasuk para pekerja pesta, peristiwa kebakaran di Bale Sigala-gala itu sungguh mengherankan. Pasalnya bahwa warga Kurawa dan perajuritnya. tidak berusaha untuk memadamkan api Juga perihal evakuasi. Semua warga Kurawa yang mabuk, telah dibawa keluar dari Bale Sigala-gala sesaat sebelum kebakaran terjadi. Sepertinya ada rencana sebelumnya bawa Bale Sigala-gala sengaja dibakar. Tanda-tanda adanya kesengajaan dalam peristiwa kebakaran tersebut semakin dikuatkan ketika menjelang deti-detik terjadinya kebakaran, terdengar teriakan ‘cepat bakar!’
Lepas dari sekenario yang dilakukan, peristiwa kebakaran Bale Sigala-gala merupakan tragedi kemanusiaan yang memilukan. Rakyat pedusunan yang berada dibawah bukit pesanggrahan terbangun karenanya. Mereka tidak tahu-menahu latar belakang dan penyebab kebakaran Bale Sigala-gala. Namun mata hati mereka menatap pilu api yang berkobar menjilat angkasa pada dini hari itu. Dibenak mereka muncul gambaran yang memilukan. Adhuh, Dewi Kunthi dan para Pandawa ada di sana. Tadi siang lewat di dusun ini. Dielu-elukan oleh warga dusun. Disambut sebagai calon raja pengganti Pandudewanata. Rakyat berharap, pada saatnya nanti, ketika Raden Puntadewa menjadi raja akan mampu merubah nasib mereka.
Namun saat ini, ketika api telah membakar Bale Sigala-gala, mereka menangis. Para Pandhawa yang mereka cintai dan mereka harapkan akan menjadi raja yang adil bijaksanan telah hangus terbakar. Seperti harapan mereka akan kesejahteraan dan ketenteraman. Telah lenyap ditelan asap.
Dini hari yang naas itu akan segera berlalu, dan kidung malam pun tak terdengar lagi, namun rupanya fajar masih enggan menyinarkan cahayaNya, sebelum yang bertikai membuka cedela hati.
Pesanggrahan Bale Sigala-gala yang indah megah, tak mampu bertahan lama dari amukan api. Purucona seorang undag...i atau ahli bangunan terkemuka di Hastinapura. termasuk juga menjadi korban keganasan api. Ia dipaksa untuk menyulut Bale Sigala-gala yang ia bangun dengan bahan yang mudah terbakar. Ketika api mulai ganas menyala, Purucona dilemparkan ke dalam api oleh beberapa pengawal yang telah dipersiapkan. Sungguh malang nasibnya si Purucona. Ia sengaja dijadikan tumbal untuk rencana besar ini. Awal tragedi Purucona adalah ketika Patih Sengkuni menemui dirinya dan memerintahkan untuk membangun sebuah pesanggrahan yang indah menawan. Kepercayaan langsung dari Patih Hastinapura kepada dirinya membuat Purucona benar-benar merasa bangga dan gembira. Oleh karena kepercayaan yang diberikan kepadanya Purucona ingin menunjukkan bahwa dalam waktu yang relatif pendek ia mampu menciptakan sebuah karya bangunan yang indah.
Konsep bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala adalah ‘Pradah’ artinya ruang-ruang yang ada dibuat terbuka. Dengan desain yang sedemikian rupa Purucona menginginkan setiap ruangan yang ada mampu mempunyai daya undang bagi siapa saja untuk masuk. Setelah mereka masuk, mereka akan dimanjakan dengan ruangan yang nyaman, udara yang segar dan hidangan yang lezat. Sehingga semua orang yang datang, masuk ruangan dan menikmati hidangan yang disajikan akan menjadi lupa terhadap beban hidup yang berat.
Semula tidak terlintas sedikitpun dibenaknya bahwa pada akhirnya bangunan itu dibuat demi sebuah sarana untuk melenyapkan Pandhawa lima dari muka bumi. Para Pandawa diundang masuk menikmati hidangan pesta agar menjadi lupa, sehingga meninggalkan kewaspadaan dan akhirnya tidak tahu akan datangnya bahaya api yang meluluh-lantakan semuanya.
Maka pada malam itu Purucona menjadi shock setelah mengetahui bahwa Bale Sigala-gala karyanya akan dijadikan sarana untuk membunuh Pewaris tahta Hastinapura yang sah. Sekarang semuanya telang berlangsung amat cepat. Arsitek nomor satu di Hastinapura benar-benar tekah luluh lantak menjadi arang dan abu, bersama dengan karya terakhirnya yang sebelumnya sangat mempesona. Selain Purucona, ada enam orang yang mengalami nasib seperti Purucona. Mereka ditemukan di depan pintu ruang belakang.
Siapa lagi kalau bukan Kunthi dan ke lima anaknya.
Ketika matahari mulai meninggi, bukit letak pesanggrahan Bale Sigala-gala dibangun, penuh sesak. Orang-orang pada datang untuk memastikan apakah Raden Yudhisthira dan saudara-saudaranya dan juga Ibunya dapat menyelamatkan diri?
“Inilah mayat Kunthi, walaupun sudah menjadi arang, masih kelihatan bahwa ini adalah mayat seorang wanita. Dan yang lima ini adalah anak-anaknya, yaitu: Yudhisthira, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa.”
Dengan penuh kelegaan Sengkuni menyakinkan bahwa ke enam mayat yang ada, adalah Kunthi dan Pandhawa lima. Dan rupanya keyakinan Sengkuni tersebut tak terbantahkan, karena ada bukti yang ditunjukan. Para rakyat bersedih. Para kawula menangis, melihat ke enam mayat yang diyakinkan Sengkuni adalah mayat Kunthi dan anak-anaknya. Tidak ada yang menyuruh, para kawula pedesan yang datang, bersimpuh mengelilingi keenam mayat tersebut. Rasa hormat dan rasa cinta yang begitu tinggi yang ditunjukkan oleh rakyat Hastinapura kepada Pandawa, walaupun sudah menjadi abu, membuat Sengkuni dan Para Kurawa panas hatinya. Maka segeralah Patih Sengkuni memberikan perintah untuk membubarkan para kawula pedesaan itu. Satu persatu mereka meninggalkan puing-puing Bale Sigala-gala dengan kepala tunduk. Tanpa disadari kaki mereka menginjak-injak abu Purucona sang Arsitek yang malang
Para kawula yang diusir Patih Sengkuni menjauh dari puing-puing kebakaran, namun mereka enggan untuk meninggalkan halaman Bale Sigala-gala. Jika pun ada yang keluar halaman, mereka berpencar tidak jauh dari pagar halaman Bale Sigala-gala. Diantara para kawula Hastinapura yang masih berada disekeliling Bale Sigala-gala, terdapat istri dan anak Purucona.. Ibu dan anak tersebut datang dari kotaraja ingin menyaksikan secara langsung keindahan Pesanggrahan Bale Sigala-gala, hasil karya Purucona. Sampai di tempat pesta isteri dan anak arsitektur nomor satu negara Hastinapura tersebut memandang kagum Bangunan pesanggrahan Bale Sigala-gala. Kekaguman mereka tidak sendiri. Karena hampir sebagian besar para tamu undangan yang hadir mengagumi karya Purucona.
Namun keindahan bangunan tersebut dalam sekejap berubah dengan cepat. seperti mimpi rasannya. Kini pesanggrahan yang indah telah hangus terbakar. Tak terbayangkan bahwa pesanggrahan yang dibangun ayahnya siang malam dengan susah payah tak kenal lelah, telah lenyap dalam seketika. Bahkan Purucona ikut lenyap bersama bangunan karyanya.
Rasa cemas dan kawatir semakin memuncak, ketika sampai siang hari, ibu dan anak tersebut tidak mendapati orang yang amat disayangi.
Tidak! Purucona tidak mati! Ia masih hidup pada waktu yang amat panjang.. Buktinya bahwa karya bangunan yang dihasilkan tersebar di seluruh penjuru negeri Hastinapura. Ilmu-ilmunya tentang bangunan sudah diberikan kepada murid-muridnya, anak buahnya, tukang-tukangnya. Lihatlah banyak bangunan yang berdiri di kotaraja Hastinapura yang disebut gaya Purucanan. Dan kemudian ilmu-ilmu arsitektur Purucanan tersebut telah tumbuh dan berkembang bahkan hingga ke manca negara.
Ibu dan anak itu berusaha menyangkal bahwa Purucona tidak mati hangus bersama bangunan karyanya. Mereka masih mengharapakan bahwa Purucona hidup dan tinggal bersama-sama dengan keluarga dalam damai, dan penuh kasih sayang.
Namun harapan tersebut semakin tipis. Purucona sudah tidak tampak lagi. Menurut dua tamu yang hadir pada malam pesta, mereka menyaksikan, ketika ada api berkobar dan langsung menjadi besar, empat perajurit menghalangi Purucona yang hendak menyelamatkan diri dari kobaran api. Bahkan yang lebih mengerikan, keempat perajurit tersebut melemparkan Purucona ke dalam kobaran api. Purucona menjerit keras-keras. Namun suara jeritannya tenggelam oleh suara ledakan tiang-tiang yang berisi sendawa.
“Ayah! Betapa malang nasibmu. Engkau dipakai sebagai alat konspirasi tingkat tinggi. Awalnya ia diberi kesempatan untuk berjalan di depan tetapi kemudian ditusuk dari belakang. Patih Sengkuni, si jahanam akan kubunuh engkau.”
“Jangan anakku! Jangan! jika kau lakukan, ibarat sulung masuk api, tak ada gunanya. Engkau akan mati sia-sia. Aku tidak mau kehilangan engkau.”
Anak Purucona tidak meneruskan niatnya. Benar apa yang dikatakan ibunya. Jika ia menuruti emosinya dan berusaha membunuh Patih Sengkuni, entah berhasil ataupun tidak, maka akibatnya ia sendiri yang akan dibunuh. Dan jika hal itu yang terjadi, ibunya pasti akan lebih menderita. Sudah kehilangan suami dan kemudian kehilangan anak satu-satunya.
“Ibu kita tinggalkan tempat ini dengan segera”.
Peristiwa Bale Sigala-gala menjadi sejarah hitam-pekat bagi keluarga Purucona. Walaupun di kotaraja mereka mempunyai rumah besar, megah dan asri, mereka tidak mau lagi kembali ke Hastinapura. Bagi mereka negaranya tidak dapat diandalakan untuk mengayomi warganya. Para penguasa negeri itu bersikap arogan. Ambisi pribadi dikedepankan. Kekuasaan dipakai sebagai alat untuk menguasai. Kedudukan hanya menjadi sarana untuk menginjak-injak rakyat dan memperlakukan rakyat sesuka hatinya. Jika untuk kepentingan diri sendiri, yang benar dapat disalahkan dan yang lurus diadili.
“Huh! Tidak sudi lagi aku menginjakan kakiku di kotaraja, sebelum Patih Sengkuni dan begundalnya lengser dari jabatannya.
Anak Purucona dan Ibunya berjalan tanpa tujuan. Mereka mempunyai hasrat yang sama, yaitu menjauhi Kotaraja Hastinapura, tempat para penguasa memperlakukan dan membunuh ayahnya sedemikian keji
Peristiwa Bale Sigala-gala sangat menggemparkan seluruh kawula Hastinapura. Bukan karena bangunan yang elok asri itu ludes terbakar, tetapi terutama karena Anak-anak Pandudewanata calon raja yang didambakan rakyat menjadi korban. Pandita Durna yang pada waktu kejadian belum berperan banyak selain sebagai guru dari warga Pandawa dan warga Korawa, ikut prihatin dan bersedih, pasalnya karena dua murid terbaiknya yakni Bimasena dan Herjuna menjadi korban.
Jika oleh banyak orang peristiwa Bale Sigala-gala dicatat sebagai tragedi pilu umat manusia, namun tidak oleh Patih Sengkuni. Ludesnya Bale Sigala-gala sama artinya dengan sirnanya penghalang yang merintangi ambisinya untuk mendudukan Doryudana di tahta Hastinapura. Oleh karenanya patut disambut dengan sukaria. Tetapi benarkah Sengkuni berhasil menyingkirkan para Pandawa? Memang sementara ini kawula Hastinapura mempercayai bahwa warga Pandawa telah mati.
“Telah Mati!? Ucapkan sekali lagi Sengkuni dengan sejelas-jelasnya!
“Ampun Kakanda Prabu, memang benarlah adanya. Kami tidak dapat berbuat apa-apa. Api terlalu cepat berkobar dan menghabiskan Pesanggrahan Bale-Sigala se isisnya. Termasuk Kakang Mbok Kunthi, dan ananak-anaknya, juga Purucona sang arsitek itu.’
Destarastra menyesali dirinya yang dilahirkan buta. Karena dengan tidak dapat melihat, banyak kendala-kendala yang dihadapi dalam memerintahkan negara besar seperti Hastinapura ini. Ia selama ini hanya mengandalkan laporan-laporan yang sering tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan tidak jarang yang merah dilaporkan hijau dan yang kuning dilaporkankan putih. Tergantung dari kepentingan yang melaporkan. Sedih rasa menjadi raja tidak dapat mengerti kondisi yang sebenarnya dari rakyatnya. Kalau tidak karena rasa cintanya kepada Pandu adiknya, sesungguhnya ia tidak mau menduduki tahta Hastinapura. Jika pun dirinya berambisi menjadi raja, tentunya sebagi anak sulung laki-laki dari Prabu Kresnadwipayana, raja Hastinapura sebelumnya. ia akan bersikeras menduduki tahta. Namun karena menyadari keterbatasannya, dengan tulus ia merelakan tahta Hastinapura kepada adiknya.
Namun yang terjadi selanjutnya adalah bahwa tahta kembali pada dirinya. Pandu telah wafat akibat kutukan Resi Kimindama. Destarastra memerintah negara Hastinapura dengan segala keterbatasannya. Satu hal yang masih dipegang teguh oleh Destarastra, yaitu bahwa tahta Hastinapura ini adalah titipan Pandu untuk diwariskan kepada anak-anaknya. Tinggal menunggu waktu. Yamawidura adik bungsu Destarastra ditugaskan untuk mendampingi anak-anak Pandu dan mempersiapkan lahir batin, agar pantas menjadi raja.
Selang waktu mulai dari meninggalnya Pandudewanata hingga sampai para Pandhawa tumbuh dewasa dan siap menjadi raja inilah yang dimanfaat oleh Patih Sengkuni dan Gendari. Mereka menyusun rencana untuk mendudukan Duryudana menjadi raja. Salah satunya usaha yang dilakukan mereka adalah menjebak Destarastra dengan undang-undang kerajaan yang berbunyi bahwa setiap anak sulung laki-laki raja yang usianya sudah mencukupi, wajib diwisuda menjadi Putra Mahkota. Destarastra menolak. Ia tahu kelicikan Patih Sengkuni dan Gendari, isterinya. Jika Destarsatra mewisuda Duryudana sebagai Putra Mahkota, sama halnya dengan menjilat ludahnya sendiri, menarik tahtanya dari Pandu dan memberikannya kepada Duryudana anaknya.
Cara kasarpun pernah dilakukan, yaitu dengan meracun Bimasena yang menjadi kekuatan Pandawa. Namun gagal. Dan sekarang dengan cara yang lebih kasar dan keji, yaitu dengan membakar para pandawa dalam arena pesta.
Oleh karenanya Destarastra dapat menangkap kelicikan dan kepalsuan melalui laporan Patih Sengkuni peri hal tragedi Bale Sigala-gala. Destarastra marah besar. Ia tak kuasa mengendalikan dirinya ketika mendengar kabar kematian Kunti dan Pandawa. Destarastra tak kuasa mengeluarkan kata-kata, badannya bergetar, giginya gemeretak. Dari kedua tangannya muncul asap tipis berwarna merah.
“Lebur Sekethi!” Sengkuni gemetar ketakutan, ia bergeser menjauh dari Prabu Destarastra. Para Abdi, Kerabat, Punggawa, Senapati dan Permaisuri panik ketakutan. Telapak tangan Prabu Destarastra yang telah berisi aji Lebur Sekethi diarahkan ke tempat Patih Sengkuni duduk.
“Dhuaaarr”
Suara menggelegar menggema di sitihinggil. Kursi kepatihan lebur jadi debu, dan menyisakan lobang di lantai yang cukup besar dan dalam
Semua diam, tak ada yang berani mengeluarkan suara. Prabu Destarastra tersengal napasnya. Ia duduk lemas di kursi raja, kursi yang banyak direbutkan orang. Pandangannya seakan menerawang jauh dan jauh sekali. Benarkah Kunthi dan anak-anaknya telah mati? Rasanya tidak mungkin. Bukankah masih ada tugas yang harus dikerjakan? Diantaranya adalah menyeimbangkan negara Hastinapura dari perilaku yang tidak baik dan perilaku yang baik
Gendari tahu persis bagaimana harus mendampingi Destarastra. Setelah cukup lama Sang Prabu dibiarkan terbang dengan pikirannya dan menyelam dalam perasaannya, Gendari mendekati Sang Prabu dan meraba dadanya dengan penuh kelembutan.
“Sang Prabu, hari menjelang senja, perlulah kiranya Sang Prabu mandi agar badan menjadi segar dan pikiran menjadi dingin.”
Destarastra tidak menolak, ketika dirinya dituntun oleh isterinya yang walaupun tidak suka dengan perilakunya, namun sebenarnya sangat ia sayangi.
http://caritawayang.blogspot.co.id/destarastra-menyesali-dirinya-karena.html
Bale Sigala-gala
Raden Pinten dan Raden Tangsen adalah ksatria kembar. Kembar rupa, suara, maupun pakaian.. Itulah sebabnya mereka sering dipanggil dengan sebutan “Kembar”. Keduanya putra Prabu Pandudewanata (raja Hastina) dengan Dewi Madrim, putri dari negeri Mandaraka (adik Raden Narasoma/Prabu Salya). Raden Pinten dan Raden Tangsen merupakan bagian dari Pandawa, menempati urutan keempat dan kelima. Urutan selengkapnya sebagai berikut: 1. Raden Dwijakangka, 2. Raden Bratasena, 3. Raden Premadi, 4. Raden Pinten, 5. Raden Tangsen. Pandawa dari akar kata Pandu + Hawa, artinya Putra Pandu.
Dalam lakon Bale Sigala-gala, usia Pinten dan Tangsen masih kanak-kanak. Mereka telah ditinggal wafat ayah dan ibunya. Selanjutnya mereka dalam asuhan Dewi Kuntitalibrata. Meskipun bukan anak kandungnya, namun Dewi Kunti sangat menyayangi mereka seperti menyayangi anak sendiri.
Sepeninggal Prabu Pandu, negara Hastina diperintah oleh Prabu Destarata. Prabu Destarata ini berputra seratus orang yang disebut Kurawa. Kurawa selalu bermusuhan dengan Pandawa. Suatu hari Patih Sengkuni memerintahkan Purocana membangun pasanggrahan di hutan Waranawata. Setelah bangunan selesai, Pandawa diundang ke Waranawata dengan iming-iming Prabu Destarata. Sebelum pergi ke Waranawata, Adipati Yamawidura (adik Prabu Pandu) berpesan agar Pandawa berhati-hati. Bratasena disuruh menjaga saudara-saudaranya dan ibunya. Jika dijamu minuman keras (tuak, anggur) dilarang minum. Kalau tiba-tiba terjadi kebakaran, harus menyelamatkan diri melalui terowongan di dalam tanah. Jauh sebelumnya, Adipati Yamawidura telah mencium gelagat yang tidak baik. Sengkuni bermaksud
melenyapkan Pandawa. Maka Yamawidura memerintahkan Kanana (abdinya) untuk menggali tanah, membuat terowongan di dalam tanah sampai ke bangunan yang nantinya akan ditempati Pandawa.
Tengah malam tiba, pada saat Pandawa dan ibunya tidur pulas, balai tempat tinggal Pandawa dibakar oleh Purocana. Bratasena yang terkantuk-kantuk mengetahuinya. Purocana disambarnya, lalu dilemparkan
dalam kobaran api. Dengan cepat Bratasena menyelamatkan ibu dan saudara-saudaranya, melewati lorong dalam tanah. Kemudian dengan bantuan musang (Jw: garangan) berbulu putih, Bratasena sampai di
kahyangan Saptapratala. Sementara waktu tinggal di kahyangan tersebut. Setelah meninggalkan Saptapratala, Pandawa dan ibunya hidup di hutan belantara. Di sinilah Pinten dan Tangsen menangis karena lapar.
Dewi Kunti sangat sedih. Sambil berlinang air mata, ia berkata, “O, anakku Pinten Tangsen. Andaikata rambutku ini dapat kujual, akan kupotong, kutukar dengan makanan untuk membuat kenyang perut kalian.”
Menyaksikan penderitaan adik-adiknya, Bratasena sangat marah. Ia bermaksud menghajar Kurawa yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa ini. Namun Dewi Kunti mencegahnya. Bratasena diharap bersabar. Dewi Kunti lalu menyuruh Premadi dan Bratasena agar mencari makanan di pedesaan.
https://wayang.wordpress.com/bale-sigala-gala/
Bale Sigala-Gala
Bimasena menghadap sanga Raja Hastinapura, Prabu Dretarastra. Namun, ia tidak menceritakan apa yang menimpa dirinya di kedung Sungai Gangga wilayah Hutam Pramanakoti. Ia teringat akan nasihat Naga Aryaka, bahwa ia tidak boleh membalas kejahatan saudara tuanya (Korawa) dengan kejahatan pula, karena hal itu tidak menyelesaikan masalah. Naga Aryaka menambahkan agar menyerahkan semua masalah kepada Sang Hyang Tunggal penguasa alam semesta. Bima pun juga telah berjanji untuk mentaati nasihat Naga Aryaka, dewa penguasa sungai yang menolongnya dari kejahatan para Korawa, bahkan ia juga diberikan anugerah Torta Rasakundha dari Naga Aryaka.
Namun Prabu Dretarastra tahu bahwa ada sesuatu kejadian buruk yang menimpa keponakannya itu. Maka pada kesempatan lain, Dretarastra memanggil beberapa orang terdekat tanpa kehadiran Bimasena dan saudara-saudaranya. Prabu Dretarastra melampiaskan kemarahannya kepada Sengkuni.
Dretaeastra : “Sengkuni, Sengkuni, sampai kapankah engkau akan mempermainkan aku? Berapa kali engkau telah memberikan kabar bohong kepadaku, yang adalah raja Hastinpura?”
Memang dasar Sengkuni, ia pun masih juga mengelak.
Sengkuni : “ Ampun Sang Prabu, waktu itu memang benar ,saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, bahwa seusai pesta, mungkin karena terlalu banyak minum tuak, Bimasena menjadi sempoyongan dan masuk ke kedung sungai Gangga. Para Prajurit berjaga-jaga di pinggir sungai, dan siap menolong jika sewaktu-waktu Bimasena muncul dari kedung tersebut. Namun hingga hari ketiga, anak kedua dari Pandudewanata tersebut tidak muncul juga. Jadi, salahkah jika hamba menyimpulkan bahwa Bimasena telah mati? Adakah seseorang yang mampu bertahan di dalam air selama tiga hari?”
Dretarastra :” Sengkuni! Nyatanya engkau salah! Bimasena masih hidup!!”
Bentakan sang raja Hastinapura itu membuat semua orang yang hadir di pisowanan tertunduk diam dan tidak ada satu orang pun yang berani mengeluarkan kata-kata. Drestrastra sendiri nampaknya sudah tidak ingin mengeluarkan kata-kata lagi, Ia pun meminta Gendari, istrinya untuk dituntun meninggalkan pisowanan tersebut.
Sengkuni menjadi semakin terbakar hatinya dengan nasib baik yang diterima Bimasena. Bahkan ia memiliki rencana baru untuk menyingkirkan Bimasen dan saudara-saudaranya beserta ibunya, Kunti.
Untuk kali ini Sengkuni tidak mau gagal lagi, ia memerintahkan Purucona, arsitek terhandal di Hastinapura untuk membuat sebuah bangunan peristirahatan yang indah dan nyaman di atas pegungungan di luar kota raja Hastinapura.
Bangunan itu dirancang khusus , tiang-tiang bangunan diisi dengan sendawa dan gandaruken, yaitu bahan yang sejenis dengan mesiu dan minyak yag mudah terbakar.
Sementara Kunti dan anak-anaknya memang bukan tipe orang yang pendendam., dihati mereka telah diajarkan bagaimana senantiasa menumbuhkan sikap nan tulus untuk mengasihi kepad siapapun tak terkecuali. Oleh karena itu, merekapun tidak memiliki hati yang ditumbuhi rasa dendam yang bisa meracuni hidup mereka.
Maka dengan mudah pula Sengkuni dan Doryudana membujuk kembali para Pandawa dan Kunti , mengajak mereka agar bisa merasakan nyamannya rumah peristirahatan yang bernama Bale Sigala-gala di puncak pegunungan.
Dua pekan lagi saat purnama sidhi, Kunthi dan kelima anaknya berjanji akan memenuhi undangan Sengkuni dan para Korawa dalam acara andrawina di Bale Sigala-gala. Sang Paman, Yamawidura yang mempunyai kelebihan dalam hal membaca kejadian yang belum terjadi, merasakan firasat buruk yang harus dihindari oleh kelima ponakan dan kakak iparnya itu. Ia kemudian memanggil Kanana abdinya, Kanana adalah orang yang ahli dalam mebuat terowongan. Kanana diperintahkan untuk menyelediki Pasanggrahan Bale Sigala-gala dan secepatnya membuat terowongan untuk jalan penyelamaran jika terjadi sesuatu atas pesanggrahan tersebut.
Kanana segera melaksanakan perintah rahasia Yamawidura dengan sebaik-baiknya, serapi-rapinya dan secepat-cepatnya. Ia tahu bahwa Yamawidura adalah titisan bathara Dharma, dewa keadilan dan kebenaran. Ia memiliki kelebihan dan tak ada tandingannya di negara Hastinapura dalam hal membaca kejadian yang akan terjadi. Prabu Dretarastra sendiri mengakui kelebihan adijnya yang sangat disayangi itu. Maka Kanana meyakini akan terjadi huru-hara besar dan terowongan yang ia buat atas perintah Yamawidura benar-benar akan menjadi sarana untuk penyelamatan. Kurang dari dua pekan, terowongan dengan panjang lebih dari 400 langkah selesai dibuat.
Malam menjelang pesta di Balai Sigala-gala , Yamawidura mengidungkan mantra syair yang isinya mengingatkan agar setiap orang selalu waspada dan berjaga-jaga, tujuannya tidak lain juga untuk mengingatkan Kunthi dan anak-anaknya agar jangan menanggalkan kewaspadaan dan selalu berdoa memohon agar terhindar dari segala mara bahaya.
Di Pagi hari yang cerah, Kunthi dan anak-anaknya berpamitan kepada Yamawidura untuk pergi ke gunung Waranawata untuk memenuhi undangan para Korawa di Bale Sigala-gala. Bagi Kunthi dan para Pandawa tidak ada sedikitpun rasa curiga di benak mereka. Namun tidak dengan Yamawidura, dia khawatir akan keselamatan Kunthi dan kelima keponakannya. Ia pun kemudian berpesan.
“Kakang Mbok Kunti dan anak-anakku Pandawa, kemeriahan pesta dapat dengan mudah membuat orang lupa. Oleh karenanya jangan tinggalkan kewaspadaan.”
“ Bimasena engkau orang yang paling perkasa diantara Ibu dan saudara-saudaramu. Padamulah aku titipkan keselamatan ibu dan saudara-saudaramu.”
Setelah berpamitan dan mendapat pesan dari Yamawidura, mereka pun berangkat meninggalkan Panggombakan menuju gunung Waranawata.
Sementara di Bale Sigala-gala, halaman dan ruangan pesta sudah dihiasi dengan bunga-bunga sehingga nampak indah mempesona. Sebagian warga Korawa telah hadir. Sang arsitek Purocana melihat karyanya dengan bangga dan namanya semakin dikenal karena karya istimewanya yang sangat menganggumkan itu.
Namun dalam hati Purucona menjadi tidak tega, jika membayangkan bahwa nanti malam Bale yang ia bangun dengan megahnya akan berubah menjadi kobaran api dan akan membakar orang-orang yang tak berdosa.
Tamu undangan telah memenuhi ruangan pesta, namun Patih Sengkuni, Doryudana, Dursasana dan para Korawa belum lega. Tamu istimewa yang mereka tunggu-tunggu belum datang, siapa lagi kalau bukan Kunti dan anak-anaknya. Karena pesta yang dibuat ini memang sengaja diadakan untuk mereka.
Sebelum memasuki lokasi pesta, Kunthi dan par Pandawa ditemui oleh Kanana, utusan Yamawidura. Ada pesan khusus yang harus ia sampaikan kepada Bimasena, tetapi sebelum Ia sempat berterus terang apa yang akan terjadi dan apa yang harus dilakukan Bimasena, ia terburu-buru pergi karena takut ketahuan Sengkuni dan warga Korawa.
Kunti, Puntadewa, Bimasena, Arjuna, Sadewa dan Nakula pun akhirnya tiba di lokasi pesta. Patih Sengkuni dan Doryudana tergopoh-gopoh menyambut kedatangan mereka. Keramahtamahan Sengkuni dan Doryudana dalam menyambut Kunti dan Pandawa memang berlebihan hingga membuat risi para tamu yang hadir. Namun tidak untuk Kunthi dan para puteranya, mereka menganggap itu adalah wujud penghormatan khusus sesame saudara.
Suasana pesta memang sungguh meriah, para petugas acara pesta menjalankan tugasnya dengan baik dan rapi. Aneka hidangan dikeluarkan tak pernah henti membuat semua yang hadir terhanyut dalam suasana yang memabukkan. Para Korawa kecuali Sengkuni, Doryudana dan Dursasana sudah tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri. Karena melihat suasana pesta yang semakin tidak terkendali, akhirnya pesta terpaksa dihentikan.
Keadaan menjadi hening, dan pesta yang semula dirancang unuk membawa Kunti dan para Pandawa terhanyut terlebih dulu dalam suasana pesta, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Para Korawa justru lebih dulu tidak berdaya karena terlalu hanyut dalam kemeriahan pesta.
Sengkuni menjadi bingung, bagaimana bisa melaksanakan rencananya, jika para Korawa justru mabuk dan sulit membawa mereka keluar dari Bale Sigala-gala.
Sementara itu Kunti dan Nakula menuju ke ruang belakang, mereka melihat enam pertapa tertidur nyenyak sekali di lantai, nampaknya mereka sangat kelelahan. Dewi Kunti menyapa mereka dengan lembut “ Selamat malam sang pertapa, selamat beristirahat dan sampai jumpa di esok hari.”
Malam merambat menuju pagi, dari kejauhan terdengar suara kentongan yang berbunyi dua kali, dan itu menandakan bahwa waktu menunjukkan pukul dua dini hari. Sampai di ruang belakang Kunti melihat Yudhistira, Bimasena, Arjuna dan Sadewa masih terjaga. Dan yang mengejutkan, di antara mereka ada seorang abdi dari Panggombakan, orang terdekat Yamawidura yaitu Kanana, sang ahli pembuat terowongan.
Kanana kemudian memohon agar diberi kesempatan untuk menjelaskan suatu hal rahasia dengan tanpa didengar orang lain, selain Dewi Kunthi dan anak-anaknya. Pintu ruangan ditutup perlahan, mereka memusatkan perhatian dan pandangan kepada Kanana.
Kanana kemudian memulai mengungkapkan apa hala rahasia itu, “ Mohon Maaf sebelumnya, Ibu Kunthi dan pra Putra, beberapa pekan lalu, saya diperintahkan untuk membuat terowongan rahasia sebagai jalan penyelamatan jika sewaktu-waktu terjadi bencana di pesta Bale Sigala-gala. Terutama kepada Raden Bimasena, Bapa Yamawidura mengingatkan agar selalu waspada dan bertindak cepat untuk menyelamatkan Ibu Kunthi beserta saudara-saudaranya, jika sewaktu-waktu bencana benar-benar terjadi, dan inilah pintu terowongannya itu.”
Kunthi dan para Pandawa ternganga mendengar penjelasan Kanana, mereka tidak menyangka bahwa lantai yang beralas permadani itu ternyata mudah dibuka. Kanana membuka pintu terowongan yang ia buat, ada tangga yang menuju ke pintu terowongan melalui lobang itu. Kemudian ia berkata, “Terowongan inilah yang akan membawa kita sampai di bawah bukit dengan selamat”.
Baru saja Kanana akan menutup pintu terowongan kembali, mereka dikejutkan oleh cahaya merah yang tiba-tiba saja menjadi besar. Bale Sigala-gala dibakar.
Saat itu Kunti teringat dengan ke enam pertapa yang tidur nyenyak tidak jauh darinya. Tetapi ketika ia akanmembuka pintu, ternyata pintu sudah dikunci dari luar. Kunti sempat berteriak, “ Selamat malam Sang Pertapa”. Kunthi masih berusaha membuka pintu tetapi ia langsung disaut oleh Bimasena, dan bersama para Pandhwa, dibawa masuk ke pintu terowongan. Kanana bergerak cepat menutup pintu, setelah ia memastikan bahwa Kunti dan para Pandawa telah masuk terowongan.
Bale Sigala-gala yang dibangun indah dan megah habis dilalap api. Purucona sang arsitek, juga menjadi korban. Ia dipaksa untuk menyulut Bale Sigala-gala yang memang dirancang dengan bahan yang mudah terbakar. Namun setelah api membesar, ia dilepar ke dalam api oleh para pengawal yang memang sudah dipersiapkan. Konsep Bale Sigala-gala yang ia bangun, sebenarnya agar para tamu yang hadir merasa nyaman dan tertarik untuk masuk ke pesanggrahan itu, tidak pernah terpikir olehnya, bahwa bangunan itu dibuat demi sarana untuk melenyapkan para Pandawa.
Selain Purucona, ada enam orang yang menjadi korban, mereka ditemukan di depan pintu runag belakang. Siapa lagi, kalau bukan Kunthi dan kelima anaknya. (Keenam mayat itu adalah mayat keenam pertapa yang tertidur nyenyak saat peristiwa kebakaran itu terjadi).
Malam sudah berganti pagi dan kini sang mentari sudah mulai meninggi. Bukit pesanggrahan Bale Sigala-gala, sudah penuh sesak orang-orang yang ingin memastikan apakah Raden Yudhistira dan keempat saudara beserta Ibunya dapat menyelamatkan diri.
“Inilah mayat Kunthi, walaupun sudah menjadi arang, masih kelihatan bahwa ini adalah mayat seorang wanita. Dan yang lima ini adalah anak-anaknya, yaitu: Yudhisthira, Bimasena, Herjuna, Nakula dan Sadewa.” Denga penuh keyakinan, Sangkuni meyakinkan bahwa keenam mayat tersebut adalah Kunthi dan Pandhawa lima.
Para rakyat bersedih, para kawula menangis, meliat keenam mayat yang diyakinkan Sengkuni adalah mayat Kunthi dan anak-anaknya. Par kawula pedesan datang, bersimpuh mengelilingi keenam mayat tersebut. Rasa hormat dan rasa cinta yang begitu tinggi yang ditunjukkan rakyat Hastinapura kepada Pandawa meskipun sudah menjadi abu, membuat Sengkuni dan Para Korawa panas hatinya. Maka, segeralah Patih Sengkuni membubarkan para kawula padesan itu.
http://dalang666.blogspot.co.id/bale-sigala-gala.html
Bale Sigala-Gala
RADEN PUNTADEWA DILANTIK SEBAGAI PANGERAN MAHKOTA
Adipati Dretarastra di Kerajaan Hastina memimpin pertemuan yang dihadiri oleh Resiwara Bisma, Dewi Gandari, Raden Yamawidura, Patih Sangkuni, Resi Druna, dan Resi Krepa. Hari itu mereka membahas tentang keberhasilan para Pandawa dalam menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana di Kerajaan Pancala. Kini, setengah dari wilayah Kerajaan Pancala telah menjadi milik Resi Druna yang disatukan dengan Padepokan Sokalima. Sementara itu, Prabu Drupada pindah ke Pancala bagian selatan dan mendirikan negara baru bernama Kerajaan Cempalareja.
Sesuai dengan kesepakatan di awal, barangsiapa bisa menangkap Prabu Drupada dan Arya Gandamana, berhak menjadi ahli waris takhta Kerajaan Hastina. Maka, pada hari itu Adipati Dretarastra dengan berat hati melantik Raden Puntadewa sebagai pangeran mahkota. Dalam hati ia sangat kecewa karena bukan putra-putranya yang berhasil menaklukkan Kerajaan Pancala.
PRABU JALASENGARA MENANTANG RAJA HASTINA
Setelah upacara pelantikan selesai, tiba-tiba Raden Suyudana datang menghadap untuk menyampaikan surat yang dikirim Prabu Jalasengara, raja negeri Pringgala. Raden Yamawidura mewakili Adipati Dretarastra menerima surat itu dan membaca isinya yang ternyata berisi tantangan untuk raja Hastina. Dalam surat tersebut Prabu Jalasengara ingin menjadikan Hastina sebagai negeri jajahan Pringgala, baik itu secara damai ataupun dipaksa dengan cara kekerasan.
Adipati Dretarastra marah mendengar isi surat tersebut. Ia pun memerintahkan Patih Sangkuni untuk mempersiapkan pasukan guna menghadapi musuh dari Kerajaan Pringgala tersebut. Raden Suyudana mengajukan diri sebagai senapati demi melindungi negara. Namun, Patih Sangkuni mengusulkan agar Raden Puntadewa saja yang memimpin pertempuran. Tentu ini menjadi kesempatan baginya sebagai calon raja untuk membuktikan apakah mampu melindungi Kerajaan Hastina.
Raden Yamawidura melarang Raden Puntadewa pergi berperang karena ia paham Patih Sangkuni pasti berniat mencelakakan keponakannya itu. Namun, Patih Sangkuni menuduh Raden Yamawidura berburuk sangka kepadanya. Ia berpendapat bahwa seorang calon raja harus bisa melindungi negara dari ancaman musuh, bukannya malah enak-enakan tinggal di istana minta dilindungi.
Raden Yamawidura berkata bahwa Raden Puntadewa tidak perlu membuktikan diri lagi, karena dia sudah terbukti mampu menaklukkan Kerajaan Pancala beberapa waktu yang lalu. Patih Sangkuni menjawab memang benar Raden Puntadewa berhasil menaklukkan Kerajaan Pancala, tetapi yang ia pimpin saat itu hanyalah adik-adiknya yang berjumlah empat orang saja. Kali ini jelas beda, karena ia harus membuktikan diri apakah mampu memimpin bala tentara yang berjumlah ribuan orang.
Raden Puntadewa menyetujui pendapat Patih Sangkuni. Ia lalu meminta Adipati Dretarastra agar menunjuk dirinya sebagai senapati menghadapi Prabu Jalasengara. Adipati Dretarastra setuju. Raden Puntadewa pun diangkat sebagai senapati, sedangkan Raden Suyudana sebagai wakilnya. Setelah mendapat restu, mereka berdua segera keluar mempersiapkan pasukan.
PATIH SANGKUNI MERENCANAKAN KEMATIAN PARA PANDAWA
Setelah Adipati Dretarastra membubarkan pertemuan, Patih Sangkuni didampingi Bambang Aswatama (putra Resi Druna) menemui para Kurawa yang menunggu di paseban luar. Raden Suyudana bertanya mengapa tadi Patih Sangkuni mencegah dirinya menjadi senapati, tetapi justru mengusulkan Raden Puntadewa saja yang memimpin pasukan. Bukankah ini justru memberi peluang kepada para Pandawa untuk semakin disukai rakyat apabila mereka nanti berhasil memenangkan pertempuran?
Patih Sangkuni menjelaskan bahwa mata-matanya telah menyelidiki siapa itu Prabu Jalasengara dari Pringgala. Konon Prabu Jalasengara memiliki kesaktian tinggi dan banyak mengalahkan raja-raja lain di seberang lautan. Kini ia berniat menaklukkan Kerajaan Hastina yang merupakan negeri terbesar di Tanah Jawa. Patih Sangkuni merasa ini adalah kesempatan untuk menyingkirkan Raden Puntadewa beserta para Pandawa lainnya. Mereka berlima pasti menemui ajal di tangan Prabu Jalasengara. Dengan demikian, Raden Suyudana memiliki peluang besar untuk dilantik sebagai pangeran mahkota yang baru.
Raden Durmagati tidak yakin para Pandawa akan binasa di tangan Prabu Jalasengara. Justru ia berpendapat raja Pringgala itulah yang akan tewas di Kerajaan Hastina. Patih Sangkuni menjawab bahwa itu hanyalah rencana pertamanya saja. Jika sampai para Pandawa berhasil mengalahkan Prabu Jalasengara, ia mengaku masih memiliki rencana kedua yang saat ini belum bisa dibicarakan.
Raden Suyudana dapat menerima penjelasan sang paman. Ia lalu memerintahkan adik-adiknya, yaitu Raden Dursasana, Raden Surtayu, Raden Durmagati, Raden Kartawarma, Raden Citraksa, dan Raden Citraksi untuk menyiagakan pasukan, pura-pura berada di bawah perintah Raden Puntadewa.
PARA PANDAWA MENUMPAS PASUKAN PRINGGALA
Sementara itu, Prabu Jalasengara telah mengerahkan pasukan Pringgala untuk menyerang, dengan didampingi Patih Purotama dan Tumenggung Purocana. Tidak lama kemudian mereka pun berhadapan dengan pasukan Hastina yang dipimpin oleh Raden Puntadewa.
Raden Bratasena (Bima) dan Raden Permadi (Arjuna) meminta izin kepada Raden Puntadewa untuk maju ke garis depan. Raden Puntadewa merestui kedua adiknya itu. Raden Bratasena lalu menyerang Prabu Jalasengara, sedangkan Raden Permadi menyerang Patih Purotama.
Pertempuran pun meletus di antara kedua pihak. Raden Permadi berhasil menewaskan Patih Purotama, sedangkan Raden Bratasena masih sibuk bertarung melawan Prabu Jalasengara. Ternyata Prabu Jalasengara memang memiliki kesaktian tinggi, sehingga tidak percuma ia berani menantang Kerajaan Hastina. Setelah matahari condong ke barat, barulah Raden Bratasena berhasil membunuh raja dari Pringgala tersebut dengan susah payah.
PATIH SANGKUNI BERENCANA MEMBAKAR PARA PANDAWA
Sementara itu, Tumenggung Purocana ketakutan melihat raja dan patihnya tewas. Ia berniat melarikan diri tetapi tertangkap oleh Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Kepada kedua Kurawa itu ia memohon ampun dan meminta agar dirinya jangan dibunuh. Patih Sangkuni muncul dan bertanya apa keuntungannya jika Tumenggung Purocana diampuni. Tumenggung Purocana menjawab bahwa dirinya ahli dalam membuat bangunan istana dari bahan apa saja. Ia berjanji akan membangun sebuah istana dari emas permata untuk Raden Suyudana.
Patih Sangkuni tidak tertarik pada istana emas permata. Ia berjanji akan mengampuni Tumenggung Purocana apabila mampu membangun sebuah istana dari bahan-bahan yang mudah terbakar di daerah Waranawata, sebelah selatan ibukota Kerajaan Hastina. Tumenggung Purocana menjawab sanggup dan segera mohon pamit untuk melaksanakan tugas tersebut, di bawah pengawasan Raden Dursasana.
Patih Sangkuni lalu berkata kepada Raden Suyudana agar mulai hari ini pura-pura bersikap baik kepada Raden Puntadewa. Atas kemenangan terhadap Prabu Jalasengara tadi, Raden Suyudana hendaknya menghadiahkan istana buatan Tumenggung Purocana kepada para Pandawa. Begitu menghuni istana tersebut, para Pandawa akan dibakar hidup-hidup di dalamnya seolah mereka mati kecelakaan. Dengan demikian, para Kurawa dapat berkuasa di Kerajaan Hastina tanpa harus dipersalahkan oleh Resiwara Bisma dan Raden Yamawidura.
Raden Suyudana bertanya bagaimana dengan Dewi Kunti yang selalu menemani anak-anaknya. Apabila para Pandawa dibakar di dalam istana Waranawata, bisa-bisa Dewi Kunti juga ikut terbakar. Dalam hal ini Raden Suyudana merasa tidak tega karena Dewi Kunti selalu menyayangi para Kurawa tidak beda dengan para Pandawa. Patih Sangkuni menjawab Dewi Kunti memang sangat baik dan welas asih. Untuk itu, lebih baik dia ikut mati bersama para Pandawa daripada hidup menderita karena berpisah dengan anak-anaknya. Jika sampai Dewi Kunti hidup sendiri tentu akan sangat menderita dan bisa-bisa menyusul bunuh diri.
Raden Suyudana akhirnya dapat menerima siasat sang paman yang keji itu. Ia pun berjanji akan menyimpan rapat-rapat rahasia ini sampai kelak waktunya tiba.
RADEN SUYUDANA MEMPERSEMBAHKAN ISTANA UNTUK PARA PANDAWA
Satu bulan kemudian Raden Dursasana mengirim laporan kepada Patih Sangkuni dan Raden Suyudana bahwa Tumenggung Purocana telah selesai membangun istana di Waranawata. Istana itu terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar, antara lain kayu kering, lilin, sendawa, damarsela, belerang, dan juga minyak gala-gala. Tumenggung Purocana menyebut istana buatannya itu dengan nama Balai Sigala-gala.
Patih Sangkuni memuji kehebatan Tumenggung Purocana yang mampu menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan. Ia pun membalas laporan Raden Dursasana agar Tumenggung Purocana tetap ditahan di Waranawata jangan boleh pergi dulu. Patih Sangkuni berjanji akan memberikan hadiah yang lebih besar setelah para Pandawa tewas.
Patih Sangkuni lalu memberi tahu Raden Suyudana bahwa rencana jahatnya sudah bisa dilaksanakan. Raden Suyudana segera berangkat menemui Raden Puntadewa. Setelah bertemu sepupunya itu, Raden Suyudana pura-pura meminta maaf karena selama ini para Kurawa sering berlaku jahat kepada para Pandawa. Kini ia sadar bahwa takhta Kerajaan Hastina memang hak milik Raden Puntadewa. Ia berjanji mulai hari ini semua Kurawa akan patuh terhadap perintah Raden Puntadewa. Sebagai bukti ketulusan hatinya, Raden Suyudana pun mempersembahkan sebuah istana indah di Waranawata sebagai tempat para Pandawa dan Dewi Kunti bertamasya.
Raden Puntadewa berterima kasih atas niat baik Raden Suyudana namun ia tidak dapat menerima pemberian istana tersebut. Raden Suyudana terus mendesak dengan mengatakan bahwa pemandangan di Kota Waranawata sangat indah. Para Pandawa sudah berjasa menaklukkan Prabu Drupada, Arya Gandamana, dan Prabu Jalasengara sehingga pantas mendapatkan libur beberapa hari untuk bertamasya dan beristirahat di istana Waranawata. Jika sampai Raden Puntadewa menolak pemberian ini maka itu akan sangat mengecewakan Raden Suyudana yang sudah berniat tulus ingin memperbaiki hubungan.
Raden Puntadewa yang pada dasarnya selalu berprasangka baik akhirnya menerima pemberian istana itu tanpa curiga sedikit pun. Ia bersedia menempati istana di Waranawata tersebut dan balik mengundang Raden Suyudana untuk ikut tamasya bersama. Raden Suyudana setuju dan menentukan pada bulan purnama nanti dirinya akan menemani para Pandawa dan Dewi Kunti pergi ke Waranawata.
RADEN PUNTADEWA MENANGKAP PESAN RAHASIA DARI RADEN YAMAWIDURA
Raden Yamawidura telah mendengar berita bahwa Raden Suyudana tiba-tiba berubah baik kepada para Pandawa dan mempersembahkan hadiah berupa istana di Waranawata. Karena curiga, ia pun mengirimkan pembantunya yang bernama Arya Jayasemedi untuk tugas rahasia menyelidiki istana tersebut. Setelah mengamati dengan seksama tanpa ketahuan, Arya Jayasemedi segera mengirim laporan kepada Raden Yamawidura bahwa istana di Waranawata itu terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar.
Raden Yamawidura menyimpulkan bahwa Raden Suyudana berniat membakar para Pandawa dan Dewi Kunti. Sayang sekali, Raden Puntadewa sudah terlanjur menerima hadiah tersebut, sehingga Raden Yamawidura tidak dapat membatalkannya. Namun demikian, pada hari ketika para Pandawa dan Dewi Kunti berpamitan kepada Adipati Dretarastra sekeluarga, Raden Yamawidura sempat menyampaikan pesan rahasia, yaitu tentang hewan tikus yang mampu menyelamatkan diri dengan memasuki lorong bawah tanah apabila terjadi kebakaran rumah. Para Pandawa tidak memahami maksud perkataan Raden Yamawidura itu, kecuali Raden Puntadewa. Diam-diam Raden Puntadewa dapat membaca pesan dari sang paman, bahwa para Kurawa berniat membakar istana Waranawata.
RADEN YAMAWIDURA MEMINTA BANTUAN RESI GUNABANTALA
Setelah para Pandawa dan Dewi Kunti berangkat menuju Kota Waranawata, diam-diam Raden Yamawidura pergi pula ditemani para panakawan menuju tempat tinggal mertuanya, yaitu Resi Gunabantala di Padepokan Argakumelun. Kepada sang mertua, Raden Yamawidura menceritakan tentang rencana para Kurawa yang ingin membakar para Pandawa dan ibu mereka di istana Waranawata. Untuk itu, ia pun memohon kepada Resi Gunabantala agar menyelamatkan para Pandawa dan Dewi Kunti sebagaimana dulu mertuanya itu pernah menyelamatkan Arya Gandamana saat dijebak Arya Suman (Patih Sangkuni) di dalam sumur upas.
Resi Gunabantala menyanggupi permintaan sang menantu. Ia pun mengheningkan cipta dan seketika wujudnya berubah menjadi seekor landak putih. Dengan cekatan hewan landak tersebut segera menggali terowongan bawah tanah menuju ke arah istana Waranawata berada.
TUMENGGUNG PUROCANA MENYEMBUNYIKAN JANDA BERANAK LIMA
Sementara itu di istana Waranawata, Tumenggung Purocana didatangi janda miskin bernama Nyai Bilasa yang meminta sedekah. Janda miskin tersebut memiliki lima anak laki-laki yang ikut mengemis bersamanya. Meskipun seorang gelandangan, namun Nyai Bilasa memiliki paras cantik dan berkulit hitam manis, membuat Tumenggung Purocana tertarik kepadanya.
Tumenggung Purocana pun berterus terang ingin menikahi Nyai Bilasa setelah dirinya mendapat hadiah dari Patih Sangkuni kelak. Ia lalu menyuruh janda miskin itu bersama kelima anaknya untuk bersembunyi di dapur istana. Mereka boleh makan dan minum sepuasnya, tetapi jangan sampai ketahuan para Kurawa dan Patih Sangkuni. Nyai Bilasa dengan senang hati bersedia menjadi istri Tumenggung Purocana. Dalam hati ia membayangkan bahwa sebentar lagi derajatnya akan meningkat luar biasa, dari seorang pengemis menjadi istri pejabat.
PATIH SANGKUNI MENGAJAK PARA PANDAWA BERPESTA
Para Pandawa dan Dewi Kunti ditemani Patih Sangkuni dan Raden Suyudana telah tiba di istana Waranawata. Mereka disambut Raden Dursasana dan Tumenggung Purocana yang telah berada di situ sejak awal pembangunan. Melihat keindahan istana yang dibangun Tumenggung Purocana hanya dalam waktu satu bulan tersebut membuat mereka merasa sangat takjub.
Malam harinya, Patih Sangkuni mengajak para Pandawa berpesta pora. Ia menghadirkan para penari serta berbagai macam makanan dan minuman untuk menjamu para Pandawa, sebagai hadiah atas kemenangan mereka menumpas Prabu Jalasengara. Dewi Kunti tidak menyukai acara tersebut dan memilih masuk ke kamar dengan ditemani si kembar Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Patih Sangkuni lalu mengajak Raden Puntadewa bermain dadu untuk menikmati indahnya malam. Raden Puntadewa mengaku tidak bisa sama sekali. Patih Sangkuni sanggup mengajarinya. Pada dasarnya Raden Puntadewa sangat cerdas, sehingga hanya belajar sebentar saja ia langsung paham.
Patih Sangkuni memulai permainan dadu sambil mengajak minum-minuman keras. Raden Puntadewa bersedia bermain, namun memilih minuman jenis lain yang tidak memabukkan. Raden Bratasena dan Raden Permadi juga demikian.
Demikianlah, Patih Sangkuni didampingi Raden Suyudana dan Raden Dursasana bermain dadu melawan Raden Puntadewa yang didampingi Raden Bratasena dan Raden Permadi. Mereka bermain sampai beberapa putaran sambil menikmati makanan dan minuman. Setelah lewat tengah malam, para Pandawa belum juga mengantuk, justru Raden Suyudana dan Raden Dursasana yang mulai mabuk akibat pengaruh minuman keras.
Patih Sangkuni gelisah karena rencana membakar istana Waranawata bisa gagal jika para Pandawa tidak segera tidur. Raden Puntadewa menyadari kegelisahan Patih Sangkuni itu. Ia pun pura-pura mengantuk. Merasa mendapat peluang, Patih Sangkuni segera menyudahi permainan dan mempersilakan para Pandawa untuk beristirahat di kamar.
PEMBAKARAN BALAI SIGALA-GALA
Setelah ketiga Pandawa masuk ke kamar, Patih Sangkuni dengan susah payah membangunkan Raden Suyudana dan Raden Dursasana. Mereka bertiga lalu keluar istana dan memulai pembakaran. Pada dasarnya istana Waranawata terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar, sehingga dalam sekejap saja api sudah membumbung tinggi dan berkobar menyala-nyala.
Tumenggung Purocana datang menemui Patih Sangkuni untuk menagih bayaran. Patih Sangkuni menjawab bahwa bayaran Tumenggung Purocana ada di dalam istana. Ia lalu memberi isyarat kepada Raden Dursasana. Tanpa ampun, Raden Dursasana pun menangkap Tumenggung Purocana, kemudian melemparkan tubuhnya ke dalam kobaran api.
Demikianlah, Patih Sangkuni telah melenyapkan saksi mata pembakaran Balai Sigala-Gala seolah-olah dia ikut mati terbakar bersama para Pandawa dan Dewi Kunti.
LANDAK PUTIH MENYELAMATKAN PARA PANDAWA DAN DEWI KUNTI
Ketika masuk ke dalam kamar tadi, Raden Puntadewa segera membangunkan Dewi Kunti dan si kembar agar mereka bersiaga. Begitu kebakaran terjadi, Raden Bratasena yang perkasa langsung menyambar ibu dan saudara-saudaranya untuk menyelamatkan diri. Dewi Kunti dipangul di pundak, Raden Puntadewa dan Raden Permadi digendong menggunakan lengan kanan, sedangkan si kembar digendong menggunakan lengan kiri. Raden Bratasena lalu berlari ke sana kemari dan sesekali melompat menghindari puing-puing bangunan yang berjatuhan karena dimakan api.
Api berkobar semakin besar. Si kembar mulai menangis ketakutan, sedangkan Raden Puntadewa tetap berdoa dengan penuh keyakinan bahwa bantuan yang dikirim Raden Yamawidura pasti segera datang. Benar juga, ketika jalan keluar sudah buntu dan hawa semakin panas, tiba-tiba muncul seekor landak putih yang bisa berbicara dari dalam tanah. Raden Bratasena teringat bahwa landak putih ini dulu pernah menolong Arya Gandamana saat terkubur di dalam sumur upas. Tanpa pikir panjang ia pun mengikuti landak putih tersebut terjun ke dalam terowongan bawah tanah sambil tetap menggendong ibu dan keempat saudaranya.
Pagi harinya, Balai Sigala-gala tinggal puing-puingnya saja. Patih Sangkuni, Raden Suyudana, dan Raden Dursasana menemukan mayat Tumenggung Purocana telah hangus menjadi arang. Mereka juga menemukan mayat seorang wanita dan lima laki-laki yang telah rusak dan tidak dapat dikenali lagi, berserakan di ruang dapur. Raden Suyudana dan Raden Dursasana pun bersorak-sorak karena yakin itu adalah mayat Dewi Kunti dan para Pandawa. Namun demikian, Patih Sangkuni menyuruh mereka pura-pura bersedih jika nanti melapor kepada Adipati Dretarastra di istana. Mereka harus mengarang cerita bahwa kebakaran ini terjadi akibat Raden Bratasena ceroboh menyenggol lampu minyak sehingga jatuh dan membakar dinding istana.
DEWI KUNTI DAN PARA PANDAWA MENOLAK PULANG KE HASTINA
Sementara itu, Raden Bratasena (sambil menggendong ibu dan saudara-saudaranya) masih berlari menelusuri terowongan bawah tanah mengikuti si landak putih. Setelah berlari lumayan jauh, mereka akhirnya sampai di permukaan, di mana Raden Yamawidura dan para panakawan telah menunggu.
Raden Yamawidura terharu dan bersyukur melihat kakak ipar dan para keponakannya selamat dari kebakaran. Namun demikian, Dewi Kunti menolak saat diajak kembali ke Kerajaan Hastina. Dewi Kunti adalah janda Prabu Pandu tetapi hidupnya dianiaya oleh Adipati Dretarastra sekeluarga. Meskipun Raden Yamawidura berniat menuntut keadilan untuk menghukum para Kurawa, tetap saja Adipati Dretarastra akan membela anak-anaknya itu. Maka, Dewi Kunti lebih baik mengajak para Pandawa hidup berkelana daripada tinggal di istana dengan perasaan tersiksa. Para Pandawa pun menyetujui keinginan sang ibu. Mereka menolak ikut sang paman pulang ke istana Hastina.
Raden Yamawidura dapat memahami perasaan kakak iparnya. Ia merasa ada baiknya para Pandawa pergi berkelana karena ini akan menambah pengalaman hidup bagi mereka. Untuk sementara ini, biarlah para Kurawa berpesta pora mengira para Pandawa dan Dewi Kunti telah meninggal dunia.
Dewi Kunti dan para Pandawa lalu berpamitan kepada Resi Gunabantala dan Raden Yamawidura. Tidak lupa mereka berterima kasih atas segala bantuan yang telah diberikan. Raden Yamawidura lalu meminta Kyai Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong agar menemani kepergian para Pandawa dan Dewi Kunti. Para panakawan itu mematuhi dan ikut pergi berkelana bersama mereka.
PERKAWINAN RADEN BRATASENA DENGAN DEWI NAGAGINI
Dewi Kunti dan para Pandawa kini memulai hidup sebagai pengembara. Di tengah jalan tiba-tiba mereka merasa dunia seperti berputar kencang dan tahu-tahu tubuh mereka sudah berada di dalam sebuah istana megah. Di dalam istana itu tampak seorang dewa yang menyambut kedatangan mereka dengan ramah.
Kyai Semar mengenali dewa tersebut tidak lain adalah Batara Anantaboga, sedangkan istana megah yang menjadi tempat tinggalnya adalah Kahyangan Saptapratala. Batara Anantaboga meminta maaf telah membawa mereka semua masuk ke dalam istananya yang terletak di bawah tanah menggunakan Aji Pameling. Ini semua karena permintaan putrinya yang bernama Dewi Nagagini. Tadi malam Dewi Nagagini bermimpi menikah dengan Raden Bratasena dan ketika bangun, ia mohon pamit kepada sang ayah untuk pergi mencari pangeran gagah tersebut. Namun, Batara Anantaboga melarang putrinya itu pergi dan ia sanggup mendatangkan Raden Bratasena beserta seluruh keluarganya di Kahyangan Saptapratala.
Melihat Dewi Nagagini yang cantik jelita ingin menjadi istrinya, Raden Bratasena merasa tidak keberatan. Namun, ia segan kepada sang kakak sulung, yaitu Raden Puntadewa jika dirinya menikah lebih dulu. Raden Puntadewa menjawab tidak masalah jika Raden Bratasena mendahului dirinya berumah tangga. Kelahiran atau perjodohan sudah menjadi suratan takdir Sang Pencipta. Seseorang yang lahir lebih dulu belum tentu bertemu jodohnya lebih dulu. Jika ada seorang adik sudah dianggap mampu dan siap untuk berumah tangga, maka sang kakak sebaiknya mendukung, bukannya menghalangi dengan berbagai macam alasan.
Batara Anantaboga memuji sifat luhur Raden Puntadewa. Ia lalu menikahkan Raden Bratasena dan Dewi Nagagini dengan upacara sederhana di Kahyangan Saptapratala.
http://albumkisahwayang.blogspot.co.id/bale-sigala-gala.html
Tokoh Batara Antaboga yang menyelamatkan Pandawa serta Dewi Kunti dari kebakaran Bale Sigala Gala & Tokoh Raden Yamawidura sebagai Ahli membuat trowongan bawah tanah yang digunakan untuk melarikan diri dari kebakaran
Tokoh Dewi Nagagini puteri Batara Antaboga yang suka kepada Bimasena lalu mereka menikah dan berputra Tokoh Raden Antareja
Komentar
Posting Komentar