Ilmu Historiografi

Historiografi adalah ilmu yang mempelajari praktik ilmu sejarah. Hal ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk mempelajari metodologi sejarah dan perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin akademik. Istilah ini dapat pula merujuk pada bagian tertentu dari tulisan sejarah. Sebagai contoh, "historiografi Indonesia mengenai Gerakan 30 September selama rezim Soeharto" dapat merujuk pada pendekatan metodologis dan ide-ide mengenai sejarah gerakan tersebut yang telah ditulis selama periode tersebut. Sebagai suatu analisis meta dari deskripsi sejarah, arti ketiga ini dapat berhubungan dengan kedua arti sebelumnya dalam pengertian bahwa analisis tersebut biasanya terfokus pada narasiinterpretasi, pandangan umum, penggunaan bukti-bukti, dan metode presentasi dari sejarawan lainnya. id.wikipedia.org 
A.    Pengertian Historiografi 
Historigrafi terbentuk dari dua akar kata yaitu history dan grafi.  Histori artinya sejarah dan grafi artinya tulisan. Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem orientedadalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian.
Historiografi merupakan tahap terakhir dalam penyusunan sejarah. Disini diperlukan kemahiran mengarang oleh seorang sejarawan. Ada cara-cara tertentu yang perlu sekali diperhatikan oleh sejarawan dalam menyusun ceritera. Dengan kata lain, penulisan atau penyusunan ceritera sejarah memerlukan kemampuan-kemampuan tertentu untuk menjaga standart mutu dari ceritera tersebut. Seperti misalnya prinsip serialisasi(cara-cara membuat urutan-urutan peristiwa), yang mana memerlukan prinsip-prinsip seperti kronologi (urutan-urutan wakutnya), prinsip kausasi (hubungan dengan sebab akibat) dan bahkan juga kemampuan imajinasi: kemampuan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terpisah-pisah menjadi suatu rangkaian yang masuk akal dengan bantuan pemgalaman, jadi membuat semacam analogi antara peristiwa diwaktu yang lampau dengan yang telah kita saksikan dengan mata kepala sendiri diwaktu sekarang, terutama bagi peristiwa-peristiwa yang sulit dicarikan dasar kronologi dan kausasih dalam perhubungannya (G.J. renier,dalam karya IG widya. Ibid: 24-25).

B.     Kelemahan Dari Historiografi
Adapun dalam penyusunan historiografi mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan oleh kelemahan dalam penulisan sejarah (historiografi) yaitu:
1)   Sikap pemihakan sejarawan kepada mazhab-mazhab tertentu.
2)   Sejarawan terlalu percaya kepada penukil berita sejarah.
3)   Sejarawan gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan keliru.
4)   Sejarawan memberikan asumsi yang tak beralasan terhadap sumber berita.
5)   Ketidaktahuan sejarawan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya.
6)   Kecenderungan sejarawan untuk mendekatkan diri kepada penguasa atau orang berpengaruh.
7)   Sejarawan tidak mngetahui watak berbagai kondisi yang muncul dalam peradaban.

C.     Kesubyektifitas Historiografi
Walaupun historiografi adalah langkah terakhir dalam sebuah penelitian yang menggunakan metode sejarah, namun menurut Soedjatmoko dalam bukunya An Introduction to Indonesia Historiography (1968) seperti yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:1), historiografi adalah langkah terberat karena dalam langkah terakhir ini lah pembuktian metode sejarah sebagai suatu bentuk disiplin ilmiah. Adapun menurut Arthur Marwick dalamThe Nature of History (1971) dalam Poespoprodjo (1987:1), hingga historiografi, langkah-langkah metodologis yang dikerjakan oleh sejarawan pada umumnya diterima sebagai langkah yang memiliki validitas objektivitas ilmu. Tapi, langkah selanjutnya disebut art atau seni sehingga sejarah sesungguhnya tidak mungkin objektif. Padahal sejarah sebagai sebuah ilmu dituntut memiliki objektivitas.
Mengapa sejarah tak mungkin objektif? Karena sejarah sudah memakai interpretasi dan seleksi. Interpretasi dapat berarti sejarah menurut pendapat seseorang dan seleksi dilakukan dalam memilih fakta-fakta sejarah yang akan dikaji dalam sebuah penelitian dengan metode sejarah. Interpretasi dan seleksi mau tak mau  harus melibatkan pendirian pribadi peneliti. Fakta sejarah yang dibutuhkan dalam historiografi harus diolah terlebih dahulu oleh peneliti sejarah dari data-data sejarah. Dalam hal ini E.H. Carr dalam bukunyaWhat is History (1970), mengungkapkan fakta sejarah tidak mungkin dapat objektif karena kumpulan data sejarah hanya dapat disebut sebagai fakta sejarah apabila diberi arti oleh peneliti. Maka, dalam sebuah penelitian yang memakai metode sejarah, subjektivitas tidak dapat dielakkan.
Poespoprodjo (1987) mengungkapkan subjektivitas dalam sebuah penulisan sejarah adalah ‘halal’ karena tanpa subjektivitas maka tidak akan pernah ada objektivitas. Lebih lanjut, Poespoprodjo menyatakan yang tidak diperbolehkan mempengaruhi sebuah penulisan sejarah adalah adanya unsur subjektivisme. Ia mengingatkan perlunya memisahkan arti dari subjektivitas yang akan mengarah pada objektivitas dengan subjektivisme. Menurutnya, dalam subjektivisme, objek tidak dinilai sebagaimana harusnya, namun dipandang sebagai ‘kreasi’, ‘konstruksi’ akal budi. Berpikir disamakan dengan menciptakan, bukan membantu kebenaran keluar dari ketersembunyiannya (Pospoprodjo, 1987:23). Agar lebih mudah dimengerti, subjektivisme adalah kesewenangan subjek dalam mengadakan seleksi, interpretasi, dalam menyusun periodisasi, namun kesewenangan tersebut tidak bertumpu pada dasar yang dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan subjektivitas sangat erat hubungannya dengan kejujuran hati dan kejujuran intelektual. Hal inilah yang akan membuat seorang peneliti sejarah membuat simpulan-simpulan dan hipotesis berdasarkan argumentasi yang kuat. Salah satu contoh subjektivitas yaitu ketika peneliti sejarah melakukan kritik ekstern dan intern terhadap sumber atau pengarang/pembuat dokumen. Dalam kegiatan heuristik dan kritik, serta melakukan perbandingan dengan sumber lainnya, seorang peneliti sejarah akan memakai teori-teori. Hal ini lah yang dimaksud dengan subjektivitas.
Poespoprodjo (1987:39) mengungkapkan ada tiga hal yang dapat mempengaruhi subjektivitas peneliti sejarah yang akan membantu menuju objektivitas yakni :
1.      Peranan Human Richness
Keberhasilan sebuah karya sejarah sangat bergantung pada seluruh disposisi intelektual sejarawan atau peneliti sejarah tersebut. Oleh karena itu merupakan sebuah syarat bahwa seorang peneliti sejarah atau sejarawan mempunyai suatu filsafat manusia yang sehat, terbuka terhadap nilai kemanusiaan, dan terbuka terhadap segala koreksi (Poespoprodjo, 1987:40).
Seorang sejarawan atau peneliti sejarah dalam penelitiannya tidak hanya bertemu dengan beribu fakta, a matter of indicative, tetapi juga beribu nilai, imperatif. Untuk dapat menangkapnya dengan tepat, seorang peneliti sejarah harus mampu mendalami permasalahan, masalah nilai, sehingga dapat diperoleh skala yang tepat mengenai nilai-nilai moral, budaya, politik, religius, teknik, artistik, dan sebagainya (Pospoprodjo, 1987:41).
Jika seorang peneliti sejarah tidak peka terhadap beragam hal yang berasal dari beragam bidang dan sektor kehidupan, maka bukan tidak mungkin ia tidak akan bisa menangkap peristiwa sejarah tersebut sebagaimana mestinya, maka objektivitas pun akan sulit dicapai. Maka, benarlah apa yang dikatakan oleh  Jaques Maritain bahwa semuanya berpulang pada kekayaan intelektual yang dimiliki oleh indicidu peneliti sejarah atau sejarawan.
2.      Titik Berdiri
Cara seseorang untuk memandang sebuah objek akan berbeda satu sama lain akibat titik berdiri yang berbeda. Masing-masing akan melihat dan memberikan persepsi terhadap objek sesuai dengan apa yang ia lihat dari titik di mana ia berdiri. Dalam hal ini, masing-masing persepsi tentunya akan berbeda dan tidak akan ada yang salah dan yang benar. Dengan mengidentifikasi titik di mana kita beridri, kita juga akan bisa mengidentifikasi sikap dalam keadaan titik berdiri tertentu itu. Adalah diri kita sendiri yang tahu tentang argumentasi kita mengapa akhirnya kita bersikap seperti itu dalam titik bediri tertentu.
Hubungan ilustrasi di atas dengan kegiatan penelitian sejarah bahwa kegiata interpretasi bukan kegiatan yang dilakukan atas kesewenangan subjek. Ketajaman dan kecermatan subjek dalam melakukan interpretasi harus terpenuhi agar dapat mencapai objektivitas. Menurut Gordon Leff dalam History and Social Theory (1969:126) yang dikutip dalam Poespoprodjo (1987:48), interpretasi yang dapat diterima dan memenuhi obejktivitas harus memenuhi tiga syarat.
3.      Mengenal Sumber Distorsi
Seorang peneliti sejarah atau sejarawan seharusnya mengenali sumber-sumber distorsi yang dapat mengganggu subjektivitas dirinya. Sumber distorsi yang berasal dari dalam diri sendiri dapat diketahui dengan mempertanyakan kedalaman subjektivitas diri.
Dengan mengenal diri sendiri, maka niscaya tersadarilah bahwasanya subjektivitas merupakan simpang jalan dunia subjek dan dunia objek. Ini merupakan kesadaran utama. Jika kita tatap lebih lanjut, maka kita kana memasuki kedalaman subjektivitas, yakni kedalaman kemerdekaan (untuk mengakui atau menolak, apakah saya merdeka betul tidak diikat oleh sesuatu sehingga bisa mengatakan sesuatu sebagaimana mestinya dan sebagainya), kedalaman kritik diri (apakah saya tidak membohong, memutarbalikkan kenyataan yang ada, apakah tahu betul apa yang dihadapi, apakah reserve tidak perlu dibuat dan sebagainya), penyesuaian pada tuntutan-tuntutan objek (objek tertentu hhanya dapat dijumpai dengan semestinya bila menggunakan metode tertentu, objek yang eenmalig contingent, lain dengan objek yang dapat direproduksi sewaktu-waktu, dan sebagainya) (Poespoprodjo, 1987:56).

D.    Jenis-jenis Historiografi
1.   Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah karya tulis sejarah yang dibuat oleh para pujangga dari suatu kerajaan, baik itu kerajaan yang bernafaskan Hindu/Budha maupun kerajaan/kesultanan yang bernafaskan Islam tempo dulu yang pernah berdiri di Nusantara Indonesia. Seperti kita ketahui di Nusantara Indonesia, bahwa sejak awal bangsa Indonesia memasuki zaman sejarah, diiringi pula dengan berdirinya kerajaan-kerajaan terutama yang dominan dipengaruhi oleh budaya Hindu dan Budha.
Ø  Ciri-Ciri Historiografi Tradisional
1.      Regio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluargaraja (keluarga istana).
2.      Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya dan tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segisosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat.
3.      Regio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
4.      Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan hal-hal yang nyata.
5.      Bersifat regio-sentris/etnosentrisme (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut.
6.      Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma.
7.      Sebagai ekspedisi budaya maksudnya sebagaisarana legitimasi tentang jati dirinya dan asal-usulnya yang dapat menerangkan keberadaannya dan memperkokoh nilai-nilai budaya yang dianut.
8.      Oral tradition Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan redaksionalnya.
9.      Anakronistik Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan-kesalahan, pernyataan waktu dengan fakta sejarah termasuk di dalamnyapenggunaan kosa kata penggunaan kata nama dll. Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha penulisan sejarahnyacontohnya seperti Kitab Mahabrata dan Ramayana. Sedangkan pada masakerajaan-kerajaan Islam sudah dihasilkan karya sendiri, bahkan sudahmenerapkan sistem kronologi dalam penjelasan peristiwa sejarahnya.
Ø  Tujuan dari Historiografi Tradisional adalah:
1.      Untuk menunjukkan kesinambungan yang kronologis
2.      Untuk meningkatkan solidaritas dan integrasi di bawah kekuasaan pusat
3.      Untuk membuat simbol identitas baruUntuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja.

2. Historiografi Kolonial
Historiografi Kolonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris, yang berasal darikarya-karya yang ditulis orang-orang Belanda.
Ø  Ciri-ciri Historiografi Kolonial
1.      Penulisan sejarahnya biasanya berisi tentang kisah perjalanan atau petualangan untuk menemukan daerah-daerah baru untuk dijadikan kolonialnya (jajahannya).
2.      Tulisan mereka lebih merupakan sarana propaganda untuk kepentingan mereka (Belanda) dan sekaligus untuk mengendurkasemangat perlawanan bangsa Indonesia.
3.      Bersifat Belanda Sentris, kepentingan kolonial sangat mewarnaiinpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Tujuan Historiografi kolonial adalah semata-mata untuk memperkokoh kekuasaan Belanda di Indonesia.
 3. Historiografi Nasional
Historiografi Nasional penulisan setelah Indonesia merdeka,bangsa Indonesia berusaha untuk menulis sejarah nasionalnya sendiri.
Ø  Ciri-ciri Historiografi Nasional
1.      Memanfaatkan semua sumber sejarah baik yang bersal dari penulisan sejarah tradisional (karya bangsa Indonesia) maupun sumber-sumber yang berasal dari pemerintah kolonial untuk melakukan rekontruksi ulang menjadi sejarah nasional yang berorientasi kepada kepentingan nasional.
2.      Objek penelitian sejarah nasional meliputi berbagai aspek dengan menggunakan pendekatan multidemensional, baik aspek ekonomi,politik, ideologi, sosial budaya, sistem kepercayaan.
3.      Lebih mengutamakan kepentingan nasional Indonesia atau bersifat Indonesia-sentris. 
Ø  Tujuan Historiografi Nasional
1.      Untuk memberikan legitimasi pada keberadaan bangsa Indonesiasebagai bangsa yang merdeka.
2.      Untuk menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang sederajat dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
3.      Untuk memberikan pendidikan nasionalisme kepada generasi muda sebagai warga negara dan sebagai penerus bangsa.

E.     Fungsi Historiografi
1.      Fungsi Genetis
fungsi Genetis untuk mengungkapkan bagaimana asal usul dari sebuah peristiwa. Fungsi ini terlihat pada sejumlah penulisan sejarah seperti Babad Tanah Jawi, Sejarah Melayu, dan Prasasti Kutai.
2.      Fungsi Didaktis
Fungsi Didaktis merupakan fungsi yang mendidik artinya dalam karya-karya sejarah banyak memuatpelajaran, hikmah dan suri teladan yang penting bagi para pembacanya.
3.      Fungsi Pragmatis
fungsi yang berkaitan dengan upaya untuk melegitimasi suatu kekuasaan agar terlihat kuat dan berwibawa.

F.      Tujuan Historiografi
1.      Sekedar kenangan pribadi untuk keluarga.
2.      Koreksi atau pembelaan peranan sendiri atau golongan.
3.      Kisah kepahlawanan.
4.      Sebagai apologi atau kepentingan pendidikan.

G.    Prinsip-Prinsip Historiografi
1.      Kejadian diceritakan secara kronologis, dari awal sampai akhir.
2.      Ada penentuan fakta kausal (penyebab dan akibat)
3.      Perlu adanya periodisasi berdasarkan kriteria tertentu.
4.      Perlu adanya seleksi terhadap peristiwa sejarah.
5.      Memerlukan episode-episode tertentu.
6.      Bila bersifat deskriptif maka perlu proses mengurutkan peristiwa.

7.      Bersifat deskriptif analitis.
http://rangervivahistoriabravo.blogspot.co.id/2012/11/historiografi-sejarah.html 

Historiografi Indonesia

Metode historis sebagai metode penulisan sejarah meliputi empat langkah, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Langkah keempat, yakni historiografi, merupakan wujud atau hasil karya dengan metode sejarah. Dalam materi Historiografi Indonesia kali ini akan dibahas tentang perkembangan historiografi (penulisan sejarah) di Indonesia.
Historiografi Indonesia
Karya sejarah Indonesia baik dari masa lampau sampai masa sekarang (dikenal dengan nama sejarah kontemporer) telah banyak ditulis, baik oleh sejarawan atau pemerhati sejarah bangsa kita sendiri, maupun bangsa asing. Dari berbagai penulisan sejarah Indonesia (historiografi Indonesia) dari berbagai zaman/masa, baik ditulis oleh bangsa maupun bahasa asing; maka penulisan sejarah Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni:
a. historiografi tradisional,

b. historiografi kolonial, dan

c. historiografi nasional.

a. Penulisan Sejarah Tradisional (Historiografi Tradisional)
Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Penulisan sejarah pada zaman ini berpusat pada masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa, bersifat istanasentris, yang mengutamakan keinginan dan kepentingan raja. Penulisan sejarah di zaman Hindu-Buddha pada umumnya ditulis diprasastikan dengan tujuan agar generasi penerus dapat mengetahui peristiwa di zaman kerajaan pada masa dulu, di mana seorang raja memerintah.
Dalam historiografi tradisional terjalinlah dengan erat unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan sebagai uraian peristiwa pada masa lampau, seperti tercermin dalam babad atau hikayat. Contoh-contoh historiografi tradisional di antaranya ialah sejarah Melayu, hikayat raja-raja Pasai, hikayat Aceh, Babad Tanah Jawi, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Kartasura, dan masih banyak lagi.
Adapun ciri-ciri dari historiografi tradisional adalah sebagai berikut.
  1. Religio sentris, artinya segala sesuatu dipusatkan pada raja atau keluarga raja (keluarga istana), maka sering juga disebut istana sentris atau keluarga sentris atau dinasti sentris.
  2. Bersifat feodalistis-aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal, tidak ada sifat kerakyatannya. Historiografi tersebut tidak memuat riwayat kehidupan rakyat, tidak membicarakan segi-segi sosial dan ekonomi dari kehidupan rakyat.
  3. Religio magis, artinya dihubungkan dengan kepercayaan dan hal-hal yang gaib.
  4. Tidak begitu membedakan hal-hal yang khayal dan yang nyata.
  5. Tujuan penulisan sejarah tradisional untuk menghormati dan meninggikan kedudukan raja, dan nama raja, serta wibawa raja supaya raja tetap dihormati, tetap dipatuhi, tetap dijunjung tinggi. Oleh karena itu, banyak mitos bahwa raja sangat sakti, raja sebagai penjelmaan/titisan dewa, apa yang dikatakan raja serba benar sehingga ada ungkapan "sadba pandita ratu datan kena wowawali" (apa yang diucapkan raja tidak boleh berubah, sebab raja segalanya). Dalam konsep kepercayaan Hindu, raja adalah "mandataris dewa" sehingga segala ucapan dan tindakannya adalah benar.
  6. Bersifat regio-sentris (kedaerahan), maka historiografi tradisional banyak dipengaruhi daerah, misalnya oleh cerita-cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah tersebut.
  7. Raja atau pemimpin dianggap mempunyai kekuatan gaib dan kharisma (bertuah, sakti).
b. Historiografi Kolonial
Berbeda dengan historiografi tradisional, historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas Bangsa Indonesia. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia. Sumber-sumber yang dipergunakan berasal dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta (Batavia); pada umumnya tidak menggunakan atau mengabaikan sumber-sumber Indonesia. Sesuai dengan namanya, yaitu historiografi kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebut sejarah Bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia). Mengapa demikian? Hal ini tidaklah mengherankan, sebab fokus pembicaraan adalah Bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah Bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sebabnya, sifat pokok dari historiografi kolonial ialah Eropa sentris atau Belanda sentris. Yang diuraikan atau dibentangkan secara panjang lebar adalah aktivitas Bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih), seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan tugasnya di tanah jajahan, yakni Indonesia. Aktivitas rakyat tanah jajahan (rakyat Indonesia) diabaikan sama sekali.
Contoh historigrafi kolonial, antara lain sebagai berikut.
  1. Indonesian Trade and Society karangan Y.C. Van Leur.
  2. Indonesian Sociological Studies karangan Schrieke.
  3. Indonesian Society in Transition karangan Wertheim.
c. Historiografi Nasional
Sesudah Bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan pada tahun 1945, maka sejak saat itu ada kegiatan untuk mengubah penulisan sejarah Indonesia sentris. Artinya, Bangsa Indonesia dan rakyat Indonesia menjadi fokus perhatian, sasaran yang harus diungkap, sesuai dengan kondisi yang ada, sebab yang dimaksud dengan sejarah Indonesia adalah sejarah yang mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Dengan demikian, maka muncul historiografi nasional yang memiliki sifat-sifat atau ciri-ciri sebagai berikut.
  1. Mengingat adanya character and nation-building.
  2. Indonesia sentris.
  3. Sesuai dengan pandangan hidup Bangsa Indonesia.
  4. Disusun oleh orang-orang atau penulis-penulis Indonesia sendiri, mereka yang memahami dan menjiwai, dengan tidak meninggalkan syarat-syarat ilmiah.
Contoh historiografi nasional, antara lain sebagai berikut.
  1. Sejarah Perlawanan-Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme, editor Sartono Kartodirdjo.
  2. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI, editor Sartono Kartodirdjo.
  3. Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali.
  4. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, karya A.H. Nasution.
Pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah dikaitkan dengan ketidakpuasan para sejarawan sendiri dengan bentuk-bentuk historiografi lama yang ruang lingkupnya terbatas. Historiografi baru membuka ruang cakupan yang lebih luas. Untuk itu, diperlukan penyempurnaan metodologi, yaitu penggunaan konsep-konsep ilmu sosial dalam analisis-analisisnya. Sehubungan dengan ini, maka lebih jelas dibedakan antara sejarah lama (the old history) dan sejarah baru (the new history), seperti di bawah ini.
a. Sejarah Lama (The Old History):
  1. Disebut sejarah konvensional; sejarah tradisional.
  2. Mono dimensional.
  3. Pemaparan deskriptif-naratif.
  4. Ruang cakup terbatas.
  5. Tema terbatas (sejarah politik lama atau sejarah ekonomi lama).
  6. Para pelaku sejarah terbatas pada raja-raja, orang-orang besar, pahlawan atau jenderal.
  7. Tanpa pendekatan ilmu-ilmu sosial.
b. Sejarah Baru (The New History):
  1. Disebut sejarah baru, sejarah ilmiah (scientific history atau social scientific history); sejarah total (total history).
  2. Multi dimensional.
  3. Para pelaku sejarah luas dan beragam, segala lapisan masyarakat (vertikal ataupun horisontal; top down atau bottom up).
  4. Ruang cakup luas; segala aspek pengalaman dan kehidupan manusia masa lampau.
  5. Tema luas dan beragam, sejarah politik baru, sejarah ekonomi baru, sejarah sosial, sejarah agraria (sejarah petani, sejarah pedesaan), sejarah kebudayaan, sejarah pendidikan, sejarah intelektual, sejarah mentalitas, sejarah psikologi, sejarah lokal, sejarah etnis.
  6. Pemaparan analitis-kritis.
  7. Menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu sosial (politikologi, ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, demografi, psikologi).
Catatan: Artikel "Historiografi Indonesia" ini merupakan rangkuman yang diambil dari empat buku yang diambil dari BSE karangan Wardhani, Tarunasena, Dwi ari Listyani, dan Hendrayana. Semua materi historiografi Indonesia ini masih berhubungan erat dengan materi zaman aksara di Indonesia.
Diambil dan disunting dari:
Nama situs:Sentra Edukasi
Alamat URL:http://www.sentra-edukasi.com/
Penulis:Alfiansyah
Tanggal akses:8 Mei 2013

Historiografi Tradisional 


Historiografi terbentuk dari dua akar kata yaitu history (sejarah) dan graph (tulisan).  Jadi historiografi artinya adalah tulisan sejarah, baik itu yang bersifat ilmiah (problem oriented) maupun yang tidak bersifat ilmiah (no problem oriented). Problem oriented artinya karya sejarah ditulis bersifat ilmiah dan berorientasi kepada pemecahan masalah (problem solving), yang tentu saja penulisannya menggunakan seperangkat metode penelitian. Sedangkan yang dimaksud dengan no problem oriented adalah karya tulis sejarah yang ditulis tidak berorientasi kepada pemecahan masalah dan ditulis secara naratif, juga tidak menggunakan metode penelitian.
Secara lebih luas, Louis Gottschalk menyebutkan arti historiografi sebagai berikut :
1. Historiografi merupakan bentuk publikasi, baik dalam bentuk tulisan maupun secara lisan, yang sengaja memberi pertelaan mengenai suatu peristiwa atau kombinasi peristiwa-peristiwa pada masa lampau
2. Historiografi diartikan sebagai hasil karya berupa tulisan atau bacaan mengenai sejarah yang meliputi juga sejarah lisan
3. Historiografi adalah proses penulisan sejarah sebagai penerapan aspek serba interpretatif dalam metode sejarah untuk menyusun sintetis sejarah yang dilandasi oleh penelitian yang seksama melalui heuristik, kritik terhadap sumber-sumber sejarah dan seleksi terhadap fakta-fakta sejarah.
4. Historiografi merupakan kegiatan dalam kerja keilmuan di bidang sejarah yang menghasilkan tulisan-tulisan sebagai kategori pemikiran teoritis dan metodologis mengenai masalah-masalah dalam penelitian danproses penelitian sejarah.
Perkembangan historiografi Indonesia tidak terlepas dari pertumbuhan historiografi dan ilmu sejarah pada umumnya. Persoalan yang langsung menyangkut historiografi Indonesia, antara lain diferensiasi dalam bidang-bidang sejarah, seperti sejarah gerakan sosial, hubungan internasional, struktur sosial, jadi hubungan yang semakin erat antara sejarah dengan ilmu pengetahuan sosial, sedangkan metodologi mengambil peranan yang semakin penting. Perkembangan historiografi seiring dengan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia, baik melalui upaya-upayanya maupun setelah mendapat pengaruh dari kebudayaan lain dan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Pada masa perkembangan historiografi tradisional, yaitu corak penulisan  sejarah  yang  banyak  ditulis  oleh para  pujangga  kraton,  karya-karya  mereka  bertujuan   untuk   melegitimasi   kedudukan   raja.   Dengan   demikian, historiografi pada masa ini mempunyai ciri-ciri magis, religius,  bersifat  sakral,  menekankan  kultus,  dewa  raja  dan mitologi, bersifat anakronisme,  etnosentrisme,  dan  berfungsi  sosial  psikologis  untuk  memberi  kohesi  pada  suatu masyarakat tentang kebenaran-kebenaran kedudukan suatu dinasti.
Selanjutnya Soedjatmoko (1965) mengemukakan bahwa  historiografi tradisional nusantara, kita kenal dengan sejumlah istilah seperti babad, serat kanda, sajarah, carita, wawacan, hikayat, sejarah, tutur, salsilah, cerita-cerita manurung. Semuanya naratif dalam bentuk prosa maupun puisi (syair). Kartodirdo (1982) menyebutkan historiografi tradisional itu berkembang setelah suatu kelompok dalam masyarakat Indonesia membentuk suatu kesatuan politik. Dengan timbulnya kerajaan atau kehidupan bangsa dalam suatu kesatuan politk, dibina pula historiografi yang menghasilkan naskah sebgai karya sastra sejarah. Pembinaan historiografi diselenggarakan di pusat kerajaan di berbagai daerah di Indonesia. Karya sastra sejarah yang dihasilkan terdiri dari naskah-naskah dalam bahasa-bahasa daerah dan sejarah di dalamnya masih difungsikan sebagai mitos.
Karya-karya sejarah yang ditulis oleh para pujangga dari lingkungan keraton ini hasil karyanya biasa disebut Historigrafi Tradisional. Contoh karya sejarah yang berbentuk historiografi tradisional bercorak Hindu/ Buddha sebagai berikut : 1. Babad Tanah Pasundan, 2. Babad Parahiangan, 3. Babad Tanah Jawa, 4. Pararaton, 5. Nagarakertagama, 6. Babad Galuh, 7. Babad Sriwijaya. Sedangkan karya historiografi tradisional yang bercorak Islam diantaranya : 1. Babad Cirebon yaitu karya dari Kerajaan Islam Cirebon, 2. Babad  Banten yaitu karya dari Kerajaan Islam Banten,    3. Babad Dipenogoro yaitu karya yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro, 4. Babad Demak yaitu karya tulis dari Kerajaan Islam Demak,  5. Babad Aceh dan lain-lain.
Karakteristik Historiografi Tradisional adalah sebagai berikut :
1) Bersifat istana/kraton sentris, dimana karya-karya didalamnya banyak mengungkapkan sekitar kehidupan keluarga istana/keraton, dan ironisnya rakyat jelata tidak  mendapat tempat didalamnya, dengan alasan rakyat jelata dianggap a-historis.
2) Bersifat Religio-magis, artinya dalam historigrafi tradisional seorang raja ditulis sebagai manusia yang memiliki kelebihan secara batiniah, dianggap memiliki kekuatan gaib. Tujuannya agar seorang raja mendapat apresiasi yang luar biasa di mata rakyatnya, sehingga rakyat takut, patuh, dan mau melaksanakan perintahnya. Rakyat akan memandang, bahwa seorang raja keberadaannya di muka bumi merupakan sebagai perwujudan atau perwakilan dari Tuhan.
3) Bersifat regio-sentrisme dimana cerita sejarah berpusat kepada kedudukan sentral raja, sehingga menimbulkan raja-sentrisme. Sebagai contoh, ada historiografi tradisional dengan secara vulgar memakai judul dari nama wilayah kekuasaannya,seperti Babad Cirebon, Babad Bugis, Babad Banten.
4) Bersifat etnosentris artinya dalam historiografi tradisional ditulis dengan penekanan pada penonjolan/egoisme terhadap suku bangsa dan budaya yang ada dalam wilayah kerajaan.
5) Bersifat psiko-politis sentrisme, artinya historiografi tradisional ditulis oleh para pujangga sangat kental dengan muatan-muatan psikologis seorang raja, sehingga karya historiografi tradisional dijadikan sebagai alat politik oleh sang raja dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Tidak perlu terlampau heran kalau karya historiografi tradisional oleh masyarakat setempat dipandang sebagai kitab suci yang didalamnya penuh dengan fatwa para pujangga dalam pengabdiannya terhadap sang raja.
Karena banyaknya pengaruh oleh faktor budaya saat naskah penulisan sejarah budaya dibuat, maka naskah tersebut dapat menjadi suatu hasil kebudayaan di masyarakat dan banyak dipengaruhi oleh alam pikiran penulis naskah atau masyarakatnya. Melukiskan kenyataan jauh dari fakta yang sesungguhnya sehingga lemah dalam hal ketepatan fakta. Namun historiografi tradisional dalam batas-batas tertentu dapat dijadikan sumber untuk penulisan sejarah karena masih dapat mengambil nama tokoh, nama wilayah/daerah dan tahun kejadian.
http://penasejarah.com/historiografi-tradisional/

Historiografi 


Historiografi
 
Pendahuluan
Rangkuman yang berjudul “HISTORIOGRAFI” adalah rangkuman yang menjelaskan tentang historiografi dan tahap-tahap perkembangan historiografi di Indonesia.

Historiografi
Historiografi berarti karya sejarah dari masa lampau sampai masa sekarang (dikenal dengan  nama sejarah kontemporer). Di dalamnya tercakup pula pendekatan yang dipakai para sejarawan yang menulisnya. Karya sejarah Indonesia banyak ditulis oleh sejarawan atau pemerhati sejarah bangsa kita sendiri maupun dari luar Indonesia.
Penulisan sejarah Indonesia di muali pada zaman Kerajaan Kediri, Singasari, dan Majapait (dalam bentuk babad, hikayat, kronik, tambo, dll). Yang lazim disebut historiografi tradisional. Penulisan sejarah Indonesia berlanjut pada zaman kolonial, yang disebut jugahitoriografi kolonial, lalu pada masa pasca-kolonial, disebut juga historiografi nasional, dan sekarang ini atau disebut juga historiografi modern atau biasa disebut historiografi kritis atau historiografi ilmiah.
Penulisan sejarah Indonesia ditandai dua hal :
·       Bersifat politis dan ideologis, kurang ilmiah. Kecuali pada karya sejarawan Husein Djajaningrat pada tahun 1913 berjudulTinjauan Kritis Sejarah Banten.
·       Menunjukan unsur kejayaan dan kebesaran dari struktur kekuasaan yang dominan.

Historiografi Indonesia Modern dimulai pada tanggal 14-18 Desember 1957. Pelopor sejarah ilmiah atau sejarah kritis adalahSartono Kartodirjo, melalui majalah Lembaran Sejarah yang yang deterbitkan oleh Jurusan Sejarah fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM).

Tahap-tahap perkembangan historiografi Indonesia berikut ini :

1.        Historiografi Tradisional
Fase historiografi tradisional dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Budha sampai pada masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia. Menurut Taufik Abdullah, pada fase historiografi tradisional, penulisan sejarah yang dilakukan lebih merupakan ekspresi budaya dan pantulan keprihatinan sosial masyarakat atau kelompok sosial yang menghasilkannya daripada usaha untuk merekam peristiwa masa lalu.Jenis karya yang dapat dikategorikan dalam historiografi tradisional adalah prasasti (pada masa Hindu-Budha), babad, dan hikayat.

Ciri-ciri Historiografi Tradisional :
1)   Istana-sentris, artinya berpusat pada keinginan dan kepentingan raja.
2)   Feodalis-aristokratis, artinya berfokus pada kehidupan kaum bangsa feodal, bukan kehidupan rakyat.
3)   Subjektivitas tinggi, sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan atas permintaan sang raja.
4)   Tujuannya melegitimasi dan melanggengkan kekuasaan serta kedudukan raja.
5)   Banyak mengandung anakronisme dalam penyusunannya.
6)   Umumnya penulisannya tidak disusun secara ilmiah, serta sering kali datanya bercampur-campur antara unsur mitos dan realitas.
7)   Sumber-sember datanya sulit untuk ditelusuri, bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan. Dengan kata lain, fakta sejarahnnya sulit debuktikan.
8)   Regio-sentris, artinya banyak dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat tempat naskah itu ditulis.
Contoh Historiografi Tradisional :
·         Babad Tanah Pasundan
·         Babad Parahiangan
·         Babad Tanah Jawa
·         Pararaton
·         Nagarakertagama
·         Babad Galuh
·         Babad Sriwijaya
·         Babad Cirebon (karya dari Kerajaan Islam Cirebon)
·         Babad Banten (karya dari Kerajaan Islam Banten)
·         Babad Dipenogoro (karya yang mengisahkan kehidupan Pangeran Diponegoro
·         Babad Demak (karya tulis dari Kerajaan Islam Demak
·         Babad Aceh

2.        Historiografi Kolonial
Historiografi tradisional adalah karya-karya sejarah (tulisan sejarah) yang dengan ciri khas Eropa-sentris atau Belanda-sentris. Karya-karya ini umumnya, ditulis pada saat pemerintahan kolonial, terutama Belanda dan Inggris ketika berkuasa di Indonesia, sejak zaman VOC (1600) sampai ketika pemerintah Hindia Belanda berakhir dan takluk kepada Jepang (1942). Penulisnya juga adalah orang-orang Belanda atau Eropa. Tidak semua karya sejarah pada masa ini digolongan sebagai hitoriografi kolonial.
Fokus utama historiografi kolonial adalah kehidupan warga Belanda di Indonesia di Hindia Belanda : aktivitas-aktivitas warga Belanda, pemerintah kolonial, pegawai kompeni, dan kegiatan para gubernur jendral dalam menjalankan tugasnya di Hindia Belanda. Kondisi rakyat yang terjajah tidak mendapat perhatian. Itu semua dilakukan  tidak lain demi tujuan politis-ideologis, dengan memberi pembenaran, melegitimasi penjajah serta melanggengkan eksistensi belanda di Indonesia.

Ciri-ciri Historiografi Kolonial :
·         Belanda Sentrisme artinya sejarah Indonesia di tulis dari sudut pandang kepentingan orang-orang Belanda yang sedang berkuasa di Nusantara Indonesia saat itu.
·         Eropasentrisme, artinya ditulis dari sudut pandang kepentingan orang Belanda, dan kepentingan bangsa Eropa pada umumnya.
·         Mitologisasi, artinya banyak kejadian yang tidak didasarkan pada kejadian yang sebenarnya.
Contoh karya historiografi kolonial yang paling populer adalah :
·         Geschiedenis van Indonesie (Sejarah Indonesia) karya H.J. de Graaf
·         Geschiedenis van de Indischen Archipel (Sejarah Nusantara) karya B.H.M. Vlekke
·         Schets eener economische Geschiedenis van Neterlands-Indie (Sejarah Ekonomi Hindia Belanda) karya G. Gonggrijp
·         History of Java (1817) karya Thomas S. Raffles (masa penjajahan Inggris).

3.        Historiografi Nasional
Historiografi nasional adalah penulisan sejarah Indonesia yang bersifat Indonesia-sentris. Sebagaimana dikemukakan oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo, viisi dasar historiografi nasional adalah menempatkan rakyat Indonesia sebagai pemeran serta pelaku utama dari sejarah sendiri (history from within). Artinya, sejarah Indonesai ditulis berdasarkan pengalaman serta sudut pandang orang Indonesia sendiri, bukan berdasarkan pengalaman serta sudut pandang bangsa penjajah.
Secara ringkas, isi historiografi nasional ditandai beberapa hal sebagai berikut.
(i)          banyak istilah dari bahasa Belanda diindonesiakan;
(ii)         penulisan diarahkan untuk kepentingan bangsa Indonesia;
(iii)        orang Indonesia menjadi subjek sejarah, bukan lagi objek pelengkap atau penderitaan sebagaimana pada historiografi kolonial;
(iv)        karakteristik dan watak tokoh sengaja dipertukarkan dan diganti.
Kalau dalam historiografi kolonial para para tokoh Belanda adalah pahlawan, kalau dalam historiografi nasional mereka adalah penjahat dan tokoh Indonesia adalah pahlawan. Muhammad Yamin, berpendapat bahwa penulisan sejarah Indonesia dari perspektif nasionalisme diperlukan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Ia adalah penulis dari Gadjah MadaDiponegoro, dan6000 Tahun Sang Merah Putih. Historiografi nasional juga bersifat politis dan ideologis, yaitu mempertebal jiwa nasionalisme dan patriotisme di kalangan bangsa Indonesia.

Karya-karya lain yang dapat dikelompokan ke dalam Historiografi Nasional adalah sebagai berikut :
·       Biografi para pahlawan, seperti Teuku Umar, Imam Bonjol, dan Diponegoro.
·       Sejarah perlawanan terhadap para penjajah, seperti Perang Padri dan Perang Diponegoro
·       Biografi tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Sutomo, Kartini, Abdul Rivai, dan Wahid Hasyim.
Umumnya Hitoriografi Nasional memiliki beberapa acuan :
·       sejarah sebagai suku banasa yang ada di Indonesia,
·       memanfaatkan berbagai sumber yang ada, baik sumber lisan, tulisan, maupun benda,
·       objek penelitian mengacu pada beberapa aspek kehidupan seperti ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Ciri-ciri Historiografi Nasional :
·       Bersifat Indonesia sentrisme, penulisan sejarah di Indonesia diinterpretasikan sebagai sejarah nasional dan ditulis dari sudut kepentingan rakyat Indonesia.
·       Bersifat metodologis, artinya penulisan sejarah Indonesia menggunakan pendekatan ilmiah berdasarkan teknik penulisan ilmiah untuk ilmu sosial.
·       Bersifat kritis historis, berarti substansi penulisan sejarah Indonesia secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan
Contoh Historiografi Nasional :
·       Sejarah Perlawanan-Perlawanan terhadap Kolonialismedan Inperialisme (editor: Sartono Kartodirdjo)
·       Sejarah Nasional Indonesia, Jilid I sampai dengan VI (editor: Sartono Kartodirdjo).
·       Peranan Bangsa Indonesia dalam Sejarah Asia Tenggara, karya R. Moh. Ali.
·       Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, Jilid I sampai dengan XI, karya A.H. Nasution.

4.        Historiografi Modern
Historiografi modern adalah penulisan sejarah Indonesia yang bersifat kritis atau memenuhi kaidah-kaidah ilmiah. Banyak tulisan yang salah interpretasi dengan mendefinisikan historiografi modern sebagai penulisan sejarah Indonesia setelah Indonesia merdeka. Padahal, sebelum Indonesia merdekapun, kita memiliki karya sejarah yang sengat tepat yaitu historiografi modern. Contohnya Cristiche Beschouwing van de Sadjarah Banten (Tinjauan Kritis tentang Sejarah Benten) yang merupakan karya dari Dr. Hoesein Djajadiningrat (1886-1960).

Karakteristik utama Historiografi Modern ada 3 :
·         Pertama, upaya menuntut ketepatan metodologi dalam usaha untuk mendapatkan fakta sejarah secermat mungkin, mengadakan rekonstruksi sebaik mungkin, serta menerangkannya setepat mungkin sesuai kaidah-kaidah ilmiah.
·         Kedua, historiografi modern mengkritik historiografi nasional yang dianggap bertendensi “menghilangkan” peran unsur asing dalam proses membentuk keindonesiaan (dekolonialisasi sejarah).
·         Ketiga, historiografi modern juga memunculkan suatu terobosan baru, yaitu munculnya peranan-peranan rakyat kecil sebagai pelaku sejarah.
Contoh Historiografi Modern :
·         Indonesia Historiography, 2001
·         Modern Indonesia, Tradition and Transformation, 1984
·         Ratu Adil, 1984
·         Protest Movement in Rural Java, Oxford University, 1973
·         The Peasant Revolt of Banten in 1888, 1966
http://rafazky.blogspot.co.id/2014/12/historiografi_3.html 

PERKEMBANGAN HISTORIOGRAFI INDONESIA  


Penulisan Sejarah
                Penulisan sejarah menjadi sarana mengkomunikasikan hasil-hasil penelitian yang diungkap, diuji, dan diinterpretasi. Sesuai dengan tugas  penelitian sejarah untuk merekonstruksi sejarah masa lampau, maka rekonstruksi itu hanya akan menjadi eksis apabila hasil-hasil penelitian tersebut ditulis.
Penulisan sejarah tidak semudah dalam penulisan ilmiah lainnya, tidak cukup dengan menghadirkan informasi dan argumentasi. Penulisan  sejarah, walaupun terikat pula oleh aturan-aturan logika dan bukti-bukti empirik, tidak boleh dilupakan bahwa ia adalah juga karya sastera yang menuntut kejelasan struktur dan gaya bahasa, aksentuasi serta nada retorika tertentu.
Perkembangan Historiografi Indonesia dan Problematika Sumber
Arah baru perkembangan historiografi Indonesia sejak tahun 1970an dan 1980an bermula. Tema-tema bergeser dari sejarah orang-orang besar, tradisi besar ke sejarah orang-orang kecil atau rakyat biasa. Disertasi Sartono Kartodirdjo mengenai pemberontakan Banten tahun 1888 dengan perspektif yang Indonesia sentris selain membawa perubahan dramatis terhadap pendekatan dan sumber-sumber yang digunakan, juga telah  memperoleh banyak pengikut, terutama dari para muridnya di universitas Gajah mada dan para sejarawan Indonesia yang dididik di Belanda dalam program kerjasama Indonesia Belanda.  Sejarah pedesaan dengan berbagai tema bermunculan, seperti gerakan petani, gerakan mesianis, peranan para bekel, tanam paksa, dan studi berbagai komoditi pertanian seperti lada, tembakau, kopi, untuk menyebut beberapa di antaranya, cukup memberikan variasi dan diversifikasi yang kaya mengenai sejarah pedesaan Indonesia, Jawa dan luar Jawa. Walaupun demikian, periodesasi yang dipilih cendrung periodesasi kolonial dengan penggunaan sumber-sumber Belanda yang cukup dominan, tetapi dengan pendekatan Indonesia sentris.
Kecendrungan menjadikan pedesaan sebagai objek penelitian juga dilakukan oleh para Indonesianis baik yang ada di Belanda, Australia, Amerika dan Jepang sendiri. Baik dalam rangka memberikan respon terhadap teori involusinya Geertz mengenai petani Jawa maupun reaksi terhadap pendekatan yang lebih sosiologis dari Jan Breman mengenai desa-desa di Jawa yang statis, yang jelas tema-tema seperti kehidupan masyarakat petani di perkebunan tebu oleh Robert Elson, kaitan pemetaan geografis Jawa, lingkungan, dengan produksi pertanian, dan penduduk, oleh van der Eng, konjunktur produksi tanaman pokok, perkembangan demografis dan ekonomi pedesaan, diversifikasi ekonomi pedesaan Jawa oleh Boomgaard, kaitan antara kemunculan elit dengan komersialisasi pertanian kopi di Sumatera Barat oleh Elizabeth Graves, kontrol dan mobilisasi petani masa pendudukan Jepang oleh Aiko Kurasawa, patut diakui sebagai arah baru yang kaya dalam perkembangan historiografi Indonesia di era tahun 1980an. Apa yang patut dicatat dari hasil-hasil penelitian mereka ini adalah tidak berlakunya involusi bagi seluruh petani Jawa, dan melumpuhkan generalisasi yang dibuat sosiolog Belanda mengenai masyarakat pedesaan Jawa yang tertutup dan statis sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda.
Tema-tema lain seperti sejarah intelektual Islam dan perubahan sosial oleh Taufik Abdullah di Sumatera Barat tahun 1930an, juga menandai diversifikasi historiografi Indonesia di era tahun 1970an. Pengikutnya kalau boleh dikatakan demikian, sebagian besar juga telah melakukan berbagai studi perkembangan intelektual Islam di berbagai daerah. Disertasi Azumardi Azra mengenai jaringan  tokoh-tokoh gerakan modernis Islam di Sumatera Barat dengan dunia Arab, dan gerakan modernis Islam di Palembang oleh Jeroen Peter (Belanda) misalnya cukup memberikan pengayaan mengenai tema sejarah intelektual Islam Indonesia.
Dipelopori oleh A.B. Lapian, sejarah maritim mulai dikembangkan. Sejarah mengenai bajak laut, raja laut dan seterusnya kini sudah mengalami pergeseran yang lebih bervariatif dari sudut permasalahan dan wilayah. Studi tentang bajak laut kini sudah mulai mencakup kawasan Asia Tenggara dengan diterbitkannya buku Piracy in South East Asia Tenggara tahun 2005 oleh Institut Asia Tenggara di Singapura. Tema-tema juga mengalami variasi. Misalnya tema organisasi produksi nelayan di Jawa oleh Masyhuri, di Pekalongan oleh Pudjo Semedi, dan sekelompok sejarawan Semarang yang meneliti mengenai berbagai pelabuhan seperti perdagangan di pelabuhan Makassar oleh Edward Polinggomang, buruh pelabuhan Makassar oleh M.Rasyid A, pelabuhan Cilacap oleh Susanto Zuhdi, dan oleh sekelompok sejarawan dari Universitas Diponegoro, Semarang (Singgih, Agus Supriyono, Endang Susilowati dan Indrianto) telah dan sedang mempelajari peranan  Laut Jawa, pelabuhan Semarang, Banjarmasin, dan Surabaya. Dilihat dari tema, wilayah dan periodesasi, pergeseran sudah mulai terjadi, meskipun masih kecil, tidak hanya berfokus pada periode kolonial, akan tetapi juga melampaui batas regim. Sebuah studi longue duree masyarakat maritim, masyarakat nelayan dan masyarakat pelabuhan, sudah muncul.
Tema-tema lain seperti sejarah perburuhan baik buruh di sektor pertambangan, perkebunan, buruh perkotaan, dan buruh di perusahaan-perusahaan lain, studi tentang gender untuk menyebut beberapa di antaranya, mulai dikembangkan di Indonesia. Misalnya  proyek penelitian Urban Workers: Change and Continuity in Indonesia (1930-1965) yang sedang dalam proses penyelesaian akhir, kerjasama dengan Nederlands Instituut  voor Oorlog Documentatie, Belanda. Fokus perhatian tidak hanya pada buruh di sektor formal, akan tetapi juga pada orang-orang yang bekerja di sektor informal seperti pembantu, dan tukang becak. (Saptari 2005; Erwiza Erman 2005). Sayangnya dalam paper yang terbatas ini penulis tidak akan memetakan seluruh perkembangan historiografi Indonesia mutakhir secara rinci berdasarkan tema-tema, periodesasi, pendekatan yang digunakan serta sumber-sumber yang dipakai.
Persoalannya kemudian tidak hanya pada masalah bagaimana memperoleh sumber informasi baik tertulis maupun lisan, akan tetapi juga terletak pada bagaimana merumuskan pertanyaan-pertanyaan. Nampaknya pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap sumber informasi atau terhadap karya-karya sejarah yang sudah diterbitkan masih konvensional. Persoalan merumuskan pertanyaan juga menyangkut persoalan pendekatan atau metodologis. Pertanyaan-pertanyaan baru akan bisa muncul, jika para sejarawan juga berdialog dengan ilmuwan sosial yang lain. Sayangnya, kondisi seperti itu jarang terjadi di kalangan sejarawan, tidak hanya di Indonesia, akan tetapi juga di negeri Belanda. Dialog antar disiplin kurang berkembang. Di dalam komunitas ilmuwan Belanda yang lebih luas khususnya ilmuwan sosial-tetap ada pikiran bahwa sejarah terdiri dari pekerjaan meluruskan fakta, sejenis pekerjaan jurutulis tingkat tinggi. Kini di Indonesia, diskusi-diskusi mengenai ‘meluruskan sejarah’ sedang berkembang, khususnya sejak jatuhnya rezim Orde Baru dan bermulanya era reformasi. Meluruskan sejarah terutama dari kelompok yang kalah dan dirugikan pada masa peralihan politik Orde Lama ke Orde Baru, kini sedang berlangsung oleh kelompok tersebut dan juga menjadi debat-debat di kalangan sejarawan profesional sendiri yang ikut sebagai jurutulis tingkat tinggi dan yang tidak.
Terlepas dari problem meluruskan fakta sejarah atau semacam  pekerjaan jurutulis tingkat tinggi, tema-tema baru yang nampak dalam perkembangan historiografi Indonesia sejak akhir tahun 1980an dan 1990an menuntut informasi yang lebih bervariasi yang belum tentu dapat ditemukan dalam sumber-sumber tertulis. Penggunaan sumber-sumber lisan merupakan alternatif penting. Sebelum menjelaskan penggunaan sumber-sumber lisan dalam historiografi Indonesia umumnya dan problem yang dihadapi, uraian di bawah ini akan memfokuskan perhatian pada perkembangan historiografi sejarah lisan baik di luar dan di Indonesia sendiri.
Perkembangan Historiografi Sejarah Lisan
Perkembangan historiografi sejarah lisan tidak memperlihatkan sebuah garis yang linear. Di Eropa sampai abad ke 19, boleh dikatakan historiografi sejarah lisan, marginal. Para sejarawan profesional mendasarkan informasi pada arsip-arsip primer dan sumber-sumber dokumenter lainnya. Penggunaan dan validitas pembuktian informasi lisan baru muncul setelah abad ke-19 dan kemudian meningkat sejak Perang Dunia Kedua, seiring dengan meningkatnya teknologi rekaman melalui tape recorder. Waktu dan pola kebangkitan sejarah lisan ini tentu saja berbeda dari suatu negara dengan negara lain. Di Amerika Serikat, pada tahun 1948 kegiatan sejarah lisan dipelopori oleh Universitas Colombia, yang memfokuskan perhatian pada elite, sementara di Inggris dalam tahun 1950an dan 1960an, lebih tertarik merekam pengalaman ‘ordinary working people’. Pilihan subjek semacam ini tidak bisa dilepaskan dari komitmen politik negara itu. Proyek sejarah lisan di negara ini dipelopori oleh para sejarawan sosial yang melihat sejarah dari bawah. 
Meskipun kemunculan sejarah lisan dan pola-pola perkembangannya bervariasi dari satu negara ke negara lain, tetapi ide-ide dan debat-debat tentangnya terbukti sangat kritis dalam membentuk pendekatan kontemporer untuk sejarah lisan dan terbukti juga sangat mempengaruhi para sejarawan sejarah lisan di berbagai belahan dunia. Di era 1970an, muncul kritik terhadap sejarah lisan mengenai keakuratan pembuktian sumber-sumber lisan. Mereka beragumen bahwa memori tidak dapat digunakan sebagai sumber sejarah yang akurat. Kritik-kritik semacam ini ditangkis oleh Paul Thompson dengan menerbitkan buku yang berjudul The Voice of the Past: Oral History yang menjadi buku standar untuk para sejarawan lisan di berbagai belahan dunia. Buku ini diterbitkan pada tahun 1978. Ia beragumen bahwa sejarah lisan telah membawa pergeseran dalam fokus dan membuka areal penelitian baru, dan juga menemukan informasi baru yang tak ada dalam sumber-sumber lisan. Sebagai seorang sejarawan sosialis Inggris, Thompson menghasilkan sebuah buku ‘The making of English Working Class’, yang membahas tidak hanya masalah disiplin kerja, akan tetapi juga pengalaman-pengalaman buruh Inggris dan budaya mereka dengan informasi yang diperoleh dari wawancara. Buku ini kemudian menjadi buku pegangan bagi para peneliti sejarah buruh, karena membuka tabir mengenai pengalaman-pengalaman budaya yang memberikan referensi terhadap politik buruh di tempat kerja.
Di Amerika Serikat, beberapa sejarawan yang mendasarkan penelitiannya pada sumber-sumber lisan, menemukan bahwa sejarah lisan menjadi ‘alat yang kuat untuk  menganalisa dan mengevaluasi sifat dari proses memori sejarahArtinya bagaimana orang mengartikan masa lalunya, bagaimana mereka menghubungkan pengalaman individu dan konteks sosialnya, bagaimana masa lalu menjadi bagian dari masa kini, dan bagaimana orang menggunakan sumber-sumber lisan untuk menginterpretasikan kehidupan mereka dan dunia yang mengitarinya.Pendekatan-pendekatan baru dalam sejarah lisan ini disampaikan dalam sebuah seminar internasional pertama yang diadakan di Essex, Inggris pada tahun 1979, dan diterbitkannya sebuah jurnal internasional mengenai sejarah lisan pada tahun 1980. Sejarah sebagaimana selalu disitir oleh para sejarawan konvensional sebagai ‘sesuatu yang sebenarnya terjadi’ di sini mengalami transformasi. Penulisan sejarah dan pendekatan terhadap sejarah lisan bukan lagi semata-mata sebagai pekerjaan mencari keakuratan data, seperti tanggal, tempat dan sebagainya, akan tetapi yang penting juga adalah mencari peranan subjektivitas dalam sejarah, seperti pengertian-pengertian yang sadar dan tidak sadar mengenai pengalaman sebagaimana dihidupkan, dan diingat. Sejarah lisan juga memperlihatkan bagaimana pengaruh budaya publik dan ideologi atas memori individu atau memori kolektif yang bisa saja diungkapkan dalam bentuk diam dalam wawancara. Pendekatan-pendekatan semacam ini menandai perkembangan baru dalam sejarah lisan yang digagas oleh sejarawan Itali, Luisa Passerini.  Alessandro Portelli yang juga sejarawan Itali memberikan argumentasi terhadap eksistensi penggunaan sejarah lisan yang tetap dikritik keakuratannya. Apa yang membuat sejarah lisan berbeda menurutnya adalah pada hubungan antara pewawancara dan yang diwawancarai yang semuanya itu lebih merupakan kekuatan, sumber informasi daripada memperlihatkan kelemahan dan problematikanya.
Perkembangan historiografi sejarah lisan pada tahap berikutnya juga mengalami kritik dari segi pendekatan. Memori dari kelas buruh Turin di Italy yang direkam oleh Passerini juga mendapat kritik, terutama dari kelompok sejarawan yang bekerja di Centre for Contemporary Cultural Studies’ di Birmingham, Inggris. Meskipun Passerini mampu menganalisa pengalaman subjektif dari kelas buruh untuk ‘mengungkapkan dirinya’, tetapi ia tidak melihat bagaimana memori kelas buruh yang tertekan ini dipengaruhi oleh sejarah-sejarah dominan. Karena itu informasi yang diperoleh dari sumber-sumber lisan kelas buruh ini memerlukan intrepretasi yang kritis. Memori-memori perorangan itu semestinya ditempatkan dalam proses yang lebih luas dari produksi sosial dari memory atau memori perorangan juga harus ditempatkan dalam konteks popular memory. Karena itu ada kaitan erat antara kesaksian-kesaksian lisan yang diperoleh dari memori perorangan dan memori sosial.
Dilihat dari sudut pendekatan, perkembangan historiografi sejarah lisan kemudian menjadi semakin kompleks, karena dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan metodologis dan teoritis ilmu sosial seperti pendekatan post-strukturalis dan post-modernis. Perkembangan-perkembangan ini membawa perubahan dalam pendekatan sejarah lisan.Isu-isu di seputar hubungan-hubungan sejarah lisan dan interkoneksi antara ‘language, power and meaning’ didiskusikan.  Joan Sangster, sejarawan Kanada telah menjelaskan misalnya debat-debat feminis mengenai konstruksi sosial dari memori, dilema-dilema etik sejarah lisan, dilema-dilema teoritis yang dilakukan dengan pendekatan post-strukturalis dan post-modernis. Tanpa dasar yang kuat, katanya, narasi-narasi lisan dalam konteks sosial dan materialnya, pemahaman mengenai bentuk narasi dan tentang representasi bisa jadi tak ada kaitan dengan kritik terhadap penindasan dan ketidaksamaan, misalnya di kalangan buruh dan antara buruh perempuan dan laki-laki. Disadari atau tidak, pendeknya semakin banyak kritik dan pendekatan-pendekatan baru dalam penggarapan sejarah lisan pada gilirannya semakin memerlukan pendekatan yang kompleks pula, interdisiplin. Pendekatan-pendekatan untuk melakukan wawancara dan menginterpretasikan hasil wawancara membutuhkan alat dari berbagai disiplin ilmu sosial lain, apakah itu dari studi-studi budaya, bahasa, antropologi dan studi-studi komunikasi atau karya-karya yang berkaitan, misalnya dalam mencari informasi dan menginterpretasikan hasil informasi lewat sejarah lisan, misalnya mengenai identitas, memori dan narasi perorangan.
Pertanyaannya kini adalah sejauhmana perkembangan historiografi sejarah lisan di Indonesia? Di Indonesia, proyek sejarah lisan baru dikembangkan di bawah koordinasi Arsip Nasional pada tahun 1970an. Mengikuti perkembangannya di Amerika, fokus perhatian sejarah lisan ini lebih pada kelompok elit, bekas menteri, para pemimpin partai politik, militer, dan para pemimpin PRRI/Permesta. Selain itu, periode pendudukan Jepang pada tahun 1980an, juga menjadi fokus perhatian. Persoalan-persoalan seperti Tonarigumi, Keibodan, Seinendan, Fujinkai dan Gyugun, menjadi fokus perhatian para peneliti sejarah lisan. Ada usaha-usaha untuk melebarkan sayap sejarah lisan ke daerah-daerah, akan tetapi sejauhmana usaha-usaha itu dicapai, kurang diketahui. Sayangnya, penulis tidak memiliki informasi yang memadai sejak tahun 1988, ketika tidak lagi berkecimpung dalam proyek sejarah lisan ARNAS-RI, untuk mengetahui seberapa jauh pemilihan tema dan pendekatan-pendekatan metodologis terhadap sejarah lisan.
Perkembangan sejarah lisan akhir-akhir ini agaknya cukup menggembirakan, karena selain Arsip Nasional, ada berbagai organisasi sosial atau institusi yang mencoba mengembangkan sejarah lisan untuk berbagai tema. Tema yang kini banyak diminati misalnya tentang sejarah lisan kelompok korban PKI, dan mengenai romusha yang dilakukan oleh periset dari Yale University bekerja sama dengan beberapa peneliti di Yogyakarta, dan kelompok sejarawan di Makassar mengenai periode masa pendudukan Jepang. Selain itu ada lagi kelompok sejarawan yang tergabung dalam proyek Indonesian Across Orders yang didanai oleh Institut Perang dan Dokumentasi Belanda dengan berbagai tema, seperti simbolisme kota, buruh perkotaan, prostitusi, pembantu, dan tukang becak, penenun Yogyakarta, untuk menyebut beberapa di antaranya, yang pada dasarnya  memperlihatkan keberagaman tema dan kelompok dan kelas sosial.
Dilihat dari perkembangan historiografi Indonesia dan sekaligus historiografi sejarah lisan Indonesia, nampak ada pergeseran tema dari yang berfokus pada elit ke kelompok sosial kelas bawah. Dengan begitu, manusia tanpa sejarah seperti diistilahkan oleh Eric Wolf  akan memiliki sejarahnya sendiri dan bukan lagi sebagai sebuah kelompok sosial yang memiliki ‘hidden history’. Sudah tidak diragukan lagi bahwa keberagaman tema dan fokus perhatian pada berbagai kelompok sosial tidak saja menandai arah baru dalam perkembangan historiografi Indonesia, juga menandai perubahan radikal dalam penggunaan sumber-sumber lisan. Sejauhmana kajian subaltern history atau sejarah kelompok bawah dari perspektif orang bawah diungkapkan dalam penulisan sejarah Indonesia, nampaknya masih jauh dari harapan, apalagi dibandingkan dengan tetangga sesama Asia, India.  
Pertanyaan kini dapat diajukan adalah seberapa jauh pendekatan metodologis memberikan dasar terhadap pelaksanaan dan penggunaan sejarah lisan tersebut, belumlah diketahui. Bagian di bawah ini akan melihat penggunaan sejarah lisan.
Penggunaan Sejarah Lisan: Antara Objek dan Konteks
Sejarah lisan adalah salah satu sumber informasi bagi para sejarawan atau bagi para ilmuwan sosial lain yang menggunakan pendekatan sejarah untuk objek studinya. Pada saat ini sumber-sumber informasi lain selain sumber-sumber tertulis semakin beragam, seperti foto, film, peninggalan budaya materi (material culture), dapat dijadikan sumber informasi yang dapat melengkapi gambaran masa lalu lebih komprehensif. Foto dan film juga akan membantu menggali sejarah lisan lebih kaya, karena dapat membangkitkan memori individu, keluarga maupun komunitas dan mungkin sekali memori mengenai tempat, peristiwa dan sebagainya.
Sebagaimana dijelaskan dalam uraian terdahulu, bahwa perkembangan historiografi sejarah lisan pada skala internasional dan nasional telah memungkinkan kita tidak lagi semata-mata bergantung pada sumber-sumber tertulis.  dapat mengungkapkan pengalaman orang-orang yang disembunyikan dari sejarah. Pengalaman-pengalaman pribadi baik secara individu maupun keluarga dan komunitas mereka. Perkembangan historiografi Indonesia dan sekaligus perkembangan sejarah lisannya memang sudah mulai menyintuh pengalaman orang-orang yang tanpa sejarah ini. Yang penting juga adalah bahwa ada hubungan yang interaktif, tatap muka antara pewawancara dengan yang diwawancarai, suatu kesempatan yang jarang dan susah dicari. 
Kemajuan-kemajuan teknologi telah memungkinkan orang merekam sejarah dari komunitas, dan kelompok sosial manapun, baik kelompok elit maupun kalangan kelas bawah. Oleh karena sumber-sumber sejarah kelompok sosial kelas bawah ini tersembunyi dari sejarah ataupun kurang memiliki sumber-sumber tertulis, maka dengan sejarah lisan, pengalaman-pengalaman mereka dapat direkam. Karena itu, dalam beberapa kasus sejarah lisan bisa menjadi tulang punggung dari apa yang kita miliki sebagai bahan sumber. Dari pengalaman penulis meneliti sejarah sektor informal, tukang becak sekarang ini memperlihatkan bahwa sejarah lisan digunakan sebagai bahan pokok untuk menulis sejarah becak. Hal yang sama misalnya juga terjadi dengan kasus sejarah pembantu rumahtangga di Indonesia. Ranah domestik dalam sebuah rumahtangga apakah itu keluarga Belanda, Belanda Indo, Cina, Arab dan Indonesia baik periode kolonial, masa pendudukan Jepang dan kemerdekaan adalah ranah yang rahasia.
Sejumlah pertanyaan bisa diajukan, tidak hanya kepada pembantu atau tukang becak, akan tetapi juga kepada majikan atau tauke mereka. Bagaimana pembantu atau tukang becak direkrut, diatur ke dalam sebuah organisasi kerja, dan bagaimana pula disiplin kerja mereka, hubungan antara penarik dan pemilik becak, antara pembantu dengan majikan atau di kalangan pembantu atau penarik becak sendiri. Bagaimana pandangan tukang becak terhadap tauke atau sebaliknya, dan bagaimana pula pandangan mereka terhadap dirinya sendiri. Pendek kata, sejarawan bisa mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih detil mengenai pengalaman, sikap dan pandangan kelompok kelas bawah ini. Sebuah gambaran yang lebih rinci mengenai kelompok kelas bawah ini akan bisa diperoleh. Interaksi tatap muka semacam itu betul-betul tidak ada dari sumber-sumber tertulis. Karena itu, interaksi itu menawarkan kemungkinan untuk sejarawan lebih selektif dalam pengumpulan sumber-sumber informasi.
Sekurang-kurangnya ada dua hal yang nampak perlu dipertimbangkan sejarawan yang menggunakan sumber-sumber lisan ini. Pertama adalah sikap kritis, seperti halnya juga menghadapi sumber-sumber tertulis. Dalam beberapa kasus penggunaan sejarah lisan, nampak penyerapan informasi tanpa hati-hati dari sumber-sumber lisan. Sejarawan semestinya harus kritis menggunakan sumber-sumber lisan, mencek kebenaran sumber-sumber informasi yang diterima dengan sumber-sumber lain, termasuk dengan informan lain.  Selanjutnyam sejarawan juga tahu latar belakang pengkisah, fungsinya, atau tempatnya dalam sebuah keluarga, komunitas, etnisitas, agama, laki-laki-perempuan, status di tempat kerja, organisasi sosial, organisasi politik, pemerintahan dan seterusnya, karena reproduksi memori yang disampaikan tidak bisa lepas dari latarbelakangnya.
Memori yang dituangkan ke dalam rekaman adalah sebuah proses yang kompleks dan selektif. Memori bukanlah sebuah proses tindakan mental yang sederhana dan bahkan kata-kata yang digunakan untuk menguraikan tindakan (mengakui, mengingat, dan mengucapkan kembali dan menjelaskan) memperlihatkan bahwa memori dapat memasukkan apa saja mulai dari yang bersifat pribadi sampai ke yang bersifat publik. Memori yang selektif bisa dilihat dari apa yang dikatakan dan yang tidak dikatakan, apa yang senang diungkapkan dan apa yang tidak senang diungkapkan atau disembunyikan, apa yang bisa diungkapkan hari ini, dan apa yang bisa diungkapkan pada hari lain. Penyeleksian dalam pengungkapan memori masa lalu itu juga memiliki politiknya sendiri, seperti dielaskan oleh Joanne Rappaport. Kondisi semacam ini akan terlihat selama wawancara berlangsung. Sejarawan semestinya dapat membaca dengan kritis tentang hal ini. Biasanya tanda-tanda pengungkapan senang dan tidak senang misalnya dibantu dengan bahasa tubuh, dengan berbagai gerakan atau mimik dan tanda-tanda lain yang memperlihatkan sikap yang diwawancarai. Karena itu rekaman video yang berlangsung selama wawancara amat membantu menangkap suasana itu. Atau cara lain adalah dengan memberikan laporan keadaan respon yang diwawancarai baik pada waktu kontak-kontak pertama ataupun juga selama wawancara berlangsung, suasana rumah, keluarga dan lain-lain. Boleh jadi hal ini akan mempengaruhi yang diwawancarai untuk mengungkapkan pengalamannya dan pandangannya tentang sesuatu yang dialamiyakni menempatkan objek dalam konteks yang lebih luas. Kedua, adalah masalah pendekatan Ini juga merupakan permasalahan yang dihadapi sejarawan yang menggunakan sumber-sumber lisan dalam kasus tim penelitian kami. Informasi rinci yang diperoleh sejarawan bisa jadi merupakan kelemahan dan kekuatan. Kekuatannya memang terletak pada informasi yang detil. Kelemahannya adalah bahwa sejarawan akan terpuruk pada pengalaman individu yang detil, akan tetapi lupa pada konteks. Kondisi ini diibaratkan seperti mengetahui dengan rinci pohon-pohon dengan ranting, daun, bunga, buah dan seterusnya, akan tetapi lupa di hutan mana pohon itu tumbuh, berkembang dan mati. Agar tidak hilang di hutan belantara, maka jenis hutan harus diketahui. Interelasi dan interkoneksi antara objek, orang yang diwawancarai dengan konteks sosial-politik dan ekonomi yang lebih luas, baik dalam skop keluarga, tetangga, komunitas, lokal dan nasional, sepatutnya diperhatikan. Dengan begitu makna penulisan sejarah dari sumber-sumber lisan bisa dipetik.
Beberapa Catatan
Historiografi Indonesia mengalami perkembangan dari segi tema, wilayah dan periodesasi dan pendekatan. Mulai dari tema petani, pedesaan, lalu berkembang sejarah intelektual, masyarakat maritim, perkotaan, hubungan kerja di berbagai sektor ekonomi formal dan informal. Periodesasi tidak lagi semata-mata menitikberatkan pada sejarah kolonial, akan tetapi mulai melakukan pendekatan studi yang longue duree ala Braudel, dari periode kolonial sampai ke periode Orde Baru, dengan wilayah yang tidak lagi terkonsentrasi pada Jawa, akan tetapi sudah mulai merambah daerah luar Jawa.
Sementara itu, historiografi sejarah lisan juga mulai mengalami perkembangan, mula-mula dianggap marginal, kemudian setelah menerima berbagai kritik dari para sejarawan konvensional, masuk ke dalam arena yang penting sambil memperbaiki pendekatan dan sistem metodenya. Dalam kasus Indonesia, perkembangan historiografi sejarah lisan secara institusional dimulai dari Arsip Nasional, mula-mula dengan tema yang lebih elitis, dan kemudian tumbuh pusat-pusat kajian di luar instansi resmi dengan tema yang lebih bervariasi. Sejarah lisan dapat dianggap sebagai sejarah alternatif.
Penggunaan sejarah lisan nampaknya berjalan sejajar dengan perkembangan historiografi Indonesia dan historiografi sejarah lisan.Walaupun demikian, cara-cara di dalam mana sejarawan menggunakan sumber-sumber lisan, membaca memori yang sampai kepadanya masih menjadi problematis. Sikap kritis dan menempatkan objek dalam konteks yang lebih luas semestinya dipertimbangkan, agar sejarawan tidak terperosok ke dalam detil-detil yang tak bermakna.
Historiografi tradisional
            Historiografi tradisional pada merupakan ekspresi kultural dari usaha untuk merekam sejarah. Dalam historiografi tradisional ada unsur-unsur yang tidak bisa lepas yaitu sebagai karya imajinatif dan sebagai karya mitologi. Historiografi pada masa klasik diwarnai oleh aktor-aktor sentris. Menurut para sejarawan penulisan sejarah ( tidak dalam bentuk prasasti ) di Indonesia dimulai oleh Mpu Prapanca yang mengarang kitab Negara Kertagama. Seorang tokoh, yang menjadi aktor utama berperan sebagai pemimpin besar. Hasil karya historiografi tradisional antara lain Carita Parahyangan, Sajarah Melayu, dan Babad.
            Cerita Parahyangan memberikan gambaran mengenai peristiwa sejarah yang pernah terjadi di daerah Jawa Barat. Di dalamnya menceritakan kisah sanjaya yang mengalahkan banyak raja-raja di Asia Tenggara. Sedangkan sejarah Melayu sendiri menceritakan tentang Iskandar Zulkarnaen yang berkuasa di Mesopotamia selama tiga abad. Dari beberapa cerita tadi bisa diambil kesimpulan bahwa :
1. Historiografi pada masa klasik diwarnai oleh aktor-aktor sentris. Seorang tokoh, yang menjadi aktor utama berperan sebagai pemimpin besar. 
2. Historiografi pada masa tersebut sulit dilepaskan dari mitos dan hanya menceritakan kalangan istana saja ( Istana Centirs ).
3. kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam hal geneologi namun lemah dalam hal kronologi.
Corak Historiografi Tradisional
1. Mitos: Bentuk ini pada dasarnya merupakan suatu proses internalisasi dari pengalaman spiritual manusia tentang kenyataan lalu di ungkapkan melalui kisah sejarah.
2. Genealogis: Bentuk ini merupakan gambaran mengenai pertautan antara individu dengan yang lain atau suatu generasi dengan generasi berikutnya. Sil-silah sangat penting untuk melegitimasikan kedudukan mereka.
3. Kronik: Dalam penulisan ini sudah ada penulisan kesadaran tentang waktu, namun demikian juga masih di lingkungan kepercayaan yang bersifat kosmosmagis.
4. Annals: Sebenarnya bentuk ini merupakan cabang dari kronik hanya saja bentuk annals ini sudah lebih maju dan lebih jelas, sudah berusaha membeberkan kisah dalam uraian waktu.
5. Logis: Kisah yang di ungkapkan mengandung mitos, legenda, dongeng, asal usul suatu bangsa, kisah disini merupakan merupakan kisah yang merupakan suatu pembenaran berdasar emosi dan kepercayaan.
6. Supranatural: Dalam hal ini kekuatan kekuatan gaib yang tidak bisa diterima dengan akal sehat sering terdapat di dalamnya.
7. Moral tradition: Historiografi jenis ini di sampaikan secara lisan, maka tidak dijamin keutuhan redaksionalnya.
8. Anakronistik: Dalam menempatkan waktu sering terjadi kesalahan kesalahan, pernyataan waktu dengan fakta sejarah termasuk di dalamnya penggunaan kosa kata penggunaan kata nama dll.
9. Etnosentris: Penulisan selalu bersifat kedaerahan, hanya terpaut pada suku bangsa tertentu dan sangat berpusat pada kedaerahan.
• Historiografi Kolonial
Historiografi kolonial sering di sebut sebagai Eropa Sentris, Penulisan sejarah semacam ini memusatkan perhatiannya kepada belanda sebagai tempat perjalanan baik pelayaran maupun pemukiman di benua lain. Historiografi semacam ini di tulis oleh penulis-penulis orang asing di dunia timur. Mereka kebanyakan tidak memiliki ferifikasi kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena tulisan semacam ini banyak kekurangannya.
Penggunaan faham seperti ini dan sumber-sumber seperti ini mempersempit pandangan internasional terhadap Indonesia, jika di pakai sumber sejarah kekurangannya terletak pada;
  1. Mengabaikan banyak peristiwa peristiwa dari aktivitas bangsa Indonesia
  2. Terlalu sempit dan kurang lengkap
  3. Terlalu berat sebelah
Untuk menghadapi karya semacam ini dapat menulis menggunakan dan memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut;
  1. Memperluas obyek dengan memperhatikan semua aspek kehidupan masyarakat Indonesia
  2. Menggunakan pendekatan multidimensional
  3. Menggunakan konsep ilmu social sehingga memahami peristiwa peristiwa yang terjadi
  4. Menekankan mikro histori subyek tidak terlalu luas tetapi dikerjakan secara mendalam
  5. Konsep yang digunakan adalah sejarah nasional
  6. Menerapkan metode sejarah analitis.
Menjelang kemerdekaan Indonesia pada masa kemerdekaan telah muncul karya-karya yang berisi perlawanan terhadap pemerintah kolonial yang di lakukan oleh pahlawan nasional, Secara umum tulisan ini merupakan ekspresi dan semangat nasionalistis yang berkobar-kobar. Periode ini disebut sebagai periode post Revolusi atau Historiografi pada masa Pasca Proklamasi. Tokoh tokoh nasional menjadi simbol kenasionalan dan memberi identitas bagi bangsa Indonesia, Jenis sejarah semacam ini perlu di hargai sebagai fungsi sosiopolitik, yaitu membangkitkan semangat nasional
Historiografi Pasca Kemerdekaan
Penulisan sejarah pada masa pasca kemerdekaan didominasi oleh penulisan mengenai peristiwa-peristiwa yang masih hangat waktu itu, yaitu mengenai perjuangan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Pada masa ini penulisan sejarah meliputi beberapa peristiwa penting, misalnya proklamasi kemerdekaan Indonesia dan pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Kejadian-kejadian sekitar proklamasi kemerdekaan Indonesia yang meliputi sebab-sebab serta akibatnya bagi bangsa ini merupakan sorotan utama para penulis sejarah.
Fokus penulisan sejarah pada masa ini juga mengangkat tentang tokoh-tokoh pahlawan nasional yang telah berjasa dalam memperjuangkan kemerdekaan dan bahkan banyak biografi-biografi tokoh pahlawan nasional yang diterbitkan misalnya saja Teuku Umar, Pangeran Diponegoro, atau Imam Bonjol. Selain biografi tentang pahlawan nasional, banyak juga ditemui tulisan mengenai tokoh pergerakan nasional seperti Kartini, Kiai Haji Wahid Hayim. Biografi-biografi tersebut diterbitkan dimungkinkan karena alasan untuk menumbuhkan rasa nasionalisme diantara kalangan masyarakat. Pada kondisi dimana sebuah Negara besar berdiri, nasionalisme sangatlah penting mengingat masih betapa rapuhnya sebuah Negara tersebut seperti bayi yang baru lahir, sangat rentan terhadap penyakit baik dari dalam maupun dari luar. Dan nasionalisme menjaga keutuhan sebuah Negara tersebut agar tetap tegar dan tumbuh menjadi sebuah Negara yang makmur dikemudian hari.
Pada masa ini mulai muncul lagi penulisan sejarah yang Indonesia sentris yang artinya penulisan sejarah yang mengutamakan atau mempunyai sudut pandang dari Indonesia sendiri. Pada masa sebelumnya yaitu masa kolonial, penulisan sejarah sangat Eropa sentris karena yang melakukan penulisan tersebut adalah orang-orang eropa yang mempunyai sudut pandang bahwa orang Eropa merupakan yang paling baik.  Pada masa kemerdekaan ini penulisan sejarah telah dilakukan oleh bangsa sendiri yang mengenal baik akan keadaan Negara ini, jadi dapat dipastikan bahwa isi dari penulisan tersebut dapat dipercaya. Penulisan sejarah yang Indonesia sentris memang sudah dimulai jauh pada masa kerajaan-kerajaan, tetapi kemudian ketika bangsa barat masuk ke Indonesia maka era penulisan sejarah yang Indonesia sentris  mulai meredup dan digantikan oleh historiografi yang eropa sentris.
Penulisan sejarah tentu saja berisi mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, dan tentu saja sangat berkaitan erat dengan tokoh yang menjadi aktor atau pelaku sejarah tersebut. Pada peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia yang menjadi sorotan utama adalah tokoh nasional yang sering disebut sebagai Dwitunggal yaitu Soekarno dan Moh. Hatta. Dua tokoh inilah yang menjadi tokoh utama dalam peristiwa proklamasi tersebut, disamping tentu saja sangat banyak tokoh-tokoh lain yang turut berperan dalam peristiwa tersebut.
Historiografi Indonesia Modern
Historiografi Indonesia mengalami perkembangan dari segi tema, wilayah dan periodesasi dan pendekatan. Mulai dari tema petani, pedesaan, lalu berkembang sejarah intelektual, masyarakat maritim, perkotaan, hubungan kerja di berbagai sektor ekonomi formal dan informal. Periodesasi tidak lagi semata-mata menitikberatkan pada sejarah kolonial, akan tetapi mulai melakukan pendekatan studi yang longue duree ala Braudel, dari periode kolonial sampai ke periode Orde Baru, dengan wilayah yang tidak lagi terkonsentrasi pada Jawa, akan tetapi sudah mulai merambah daerah luar Jawa.
Historiografi Indonesia modern dimulai sejak diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia di Yogyakarta dimulai pada tahun 1957. Semenjak itu penulisan sejarah Indonesia mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri. Sehingga dengan demikian dapat dilihat perkembangan Indonesia-sentris yang mulai beranjak. Tentu saja hal ini sangat berpengaruh bagi perkembangan sejarah itu sendiri. Berbagai peristiwa yang terjadi di Indonesia ditulis oleh orang Indonesia sendiri, dengan demikian tentu saja objektivitasnya dapat dipertanggung jawabkan karena yang menulis sejarah adalah orang yang berada pada saat peristiwa tersebut terjadi atau setidaknya
Pada masa ini juga terdapat terobosan baru, yaitu munculnya peranan-peranan rakyat kecil atau wong cilik sebagai pelaku sejarah yang bisa dibilang diperopori oleh Prof. Sartono kartodirjo. Semenjak itu khasanah historiografi Indonesia bertambah luas. Selama ini penulisan sejarah boleh dikatakan didominasi oleh para tokoh-tokoh besar saja seperti para pahlawan kemerdekaan, ataupun tokoh politik yang berpengaruh. Hal tersebut tentu saja tidak jelek, karena pada masa itu yaitu sekitar kemerdekaan, bisa dibilang historiografi dipakai sebagai pemicu rasa nasionalisme ditengah-tengah masyarakat yang baru tumbuh. Oleh karena itu pada masa itu historiografi hanya berisi mengenai biografi dan penulisan tentang tokoh-tokoh besar saja.
Perpindahan pandangan penulisan sejarah yang semula Eropa-sentris menuju Indonesia-sentris tentu saja sangat berpengaruh bagi perkembangan historiografi selanjutnya. Karena pada masa penjajahan Belanda historiografi Indonesia memiliki ciri Eropa-sentris yaitu lebih memadang bangsa Eropa sebagai yang paling baik, dan bangsa diluar tersebut adalah tidak baik. Tetapi dengan berubahnya pandangan menjadi Indonesia-sentris memungkinkan bangsa Indonesia tidak lagi dipandang sebagai bangsa rendahan. Perkembangan yang terlihat pada penulisan sejarah Indonesia adalah kata-kata pemberontakan yang dahulu sering ditulis oleh para sejarawan Eropa kini berganti menjadi perlawanan atau perjuangan hal tersebut logis karena sebagai bangsa yang terjajah tentu saja harus melawan untuk mendapatkan kemerdekaan dan kebebasan. 
Tetapi pada perkembangan setelah Seminar Sejarah tahun 1957 muncul beberapa permasalahan yang tampaknya cukup mengganggu, yaitu para sejarawan cenderung hanya mengekor pada tradisi historiografi kolonial, dalam artian para sejarawan tidak dapat memanfaatkan tradisi keilmuan sosial dalam melakukan penelitian sejarah. Pada permasalahan selanjutnya adalah sejarawan seringkali hanya memfokuskan pada persoalan Indonesia saja, padahal ada persoalan besar yang berkaitan dengan dunia secara global. Tetapi tentu saja hal tersebut kemudian menjadi bahan refleksi untuk perkembangan historiografi selanjutnya.
http://andhian.blogspot.co.id/p/perkembangan-historiografi-indonesia.html  

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer