Kisah di Balik Makam Ki Agung Makukuhan Kedu, Temanggung dan Misteri Pohon Walitis di Hutan Rasamala

Kisah di Balik Makam Ki Agung Makukuhan Kedu, Temanggung
Gedung tempat terdapatnya makam Ki Ageng Makukuhan Kedu. (photo : Syaifud Adidharta)
Gedung tempat terdapatnya makam Ki Ageng Makukuhan Kedu. (photo : Syaifud Adidharta)

Disalah satu tempat di Kabupaten Temanggung terdapat sebuah tempat yang sering kali menjadi tempat wisata relegi oleh banyak masyarakat dari berbagai daerah di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa yang tedapat di Indonesia.
Tempat itu berada tepatnya di Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Temanggung. Sebut saja salah satunya adalah kawasan pemakaman yang dianggap keramat dan bisa membawa keberkahan menurut sebagian masyarakat yang berjiarah.
Kawasan itu adalah area pemakaman Ki Ageng Makukuhan. Di tempat inilah ada salah satu makam yang banyak dikunjungi masyarakat untuk berjiarah dan mengirim doa, selain itu terkadang tidak sedikit pula penjiarah memintah keberkahan di makam keramat tersebut. Lalu siapakan Ki Ageng Makukuhan tersebut?. Dan mengapa menjadi legenda serta menjadikan sebuah nama yang begitu di agungkan banyak masyarakat Temanggung pada khususnya, Ki Ageng Makukuhan?.
Alkisahnya sebagai berikut, istilah Wali dalam masyarakat Jawa merupakan sebuah nama yang sangat terkenal dan mempunyai arti khusus, yakni digunakan untuk menyebut nama nama tokoh yang dipandang sebagai awal mula penyiar agama Islam di Tanah Jawa. Mengenai asal-usul para Wali tersebut sampai sekarang masih belum terdapat keseragaman pendapat. Namun, dapat ditarik kesimpulan bahwa para Wali yang ada di negara kita mempunyai darah campuran dari bangsa Arab, Cina, dan Jawa.
Akan tetapi ketidakjelasan asal-usul para Wali nampak pada Ki Ageng Makukuhan yang disebut juga dengan nama Syeikh Maulana Taqwim, Jaka Teguh dan Maha Punggung. Di samping itu, ia juga dinamakan Sunan Kedu karena telah menyebarkan agama Islam di daerah Kedu yang sekarang bertempat di Desa Kedu, Kecamatan Kedu, Kabupaten Temanggung.
Sementara itu Ki Ageng Makukuhan adalah seorang wali yang ikut tergabung dalam anggota Dewan Santri konon dari generasi penerus Walisanga. Ia adalah seorang wali yang hidup sejaman dengan Walisanga yang memegang peranan penting dalam menyebarkan agama Islam di Daerah Kedu (Temanggung).
Pintu gerbang utama memasuki kawasan pemakaman Ki Ageng Makukuhan Kedu. (photo : Saifud Adidharta)
Pintu gerbang utama memasuki kawasan pemakaman Ki Ageng Makukuhan Kedu. (photo : Saifud Adidharta)
Salah satu bukti ia pernah berguru kepada Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Ia telah merubah masyarakat Kedu yang semula masih menganut kepercayaan  hingga menjadi masyarakat yang beragama Islam. Berkat Ki Ageng Makukuhan seluruh masyarakat Temanggung dan sekitarnya sekarang menjadi makmur khususnya dalam bidang pertanian.
Alkisah berawal dari  masa berdirinya Kerajaan Demak. Ada seorang pemuda ber-etnis Tionghoa, yang sedang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Glagahwangi pimpinan Sunan Kudus. Nama pemuda tersebut MA KUW KWAN, namun oleh Sunan Kudus, dia diberi nama baru yakni Syarif Hidayat. Meski demikian, Sunan Kudus masih sering memanggil dengan nama aslinya, karena dia memang merupakan salah satu santri kesayangan Sunan Kudus.
Karena selain memang mereka berasal dari etnis yang sama, Ma Kuw Kwan merupakan salah satu dari sembilan santri Sunan Kudus yang paling tinggi ilmunya. Dalam perjalanan hidupnya, Ma Kuw Kwan juga pernah menimba ilmu dari Sunan Kalijaga.
Disaat Ma Kuw Kwan harus melarikan diri dari Prajurit Kerajaan Capiturang pimpinan Gagaklodra yang hendak membunuhnya. Untuk menghilangkan jejak, saat itu Ma kuw Kwan menggunakan nama samaran Jaka Teguh. Selain mendapat tambahan ilmu agama, Ma Kuw Kwan juga diajari cara bercocok tanam oleh Sunan Kalijaga, juga beberapa ilmu kanuragan, termasuk ilmu untuk terbang.
Selain itu Sunan Kalijaga sengaja mengajarkan cara bercocok tanam, agar Ma Kuw Kwan menyebarkan agama Islam melalui media pertanian. Sedangkan ilmu kanuragan, memang diperlukan untuk menjaga diri selama melakukan perjalanan. Setelah dirasa cukup ilmu yang diberikan, Sunan Kalijaga menugaskan Ma Kuw Kwan untuk menyebarkan agama di daerah Kedu, hingga akhirnya Ma Kuw Kwan bermukim di Desa Pendang. Disini Ma Kuw Kwan mulai aktif menyebarkan agama Islam.
Ma Kuw Kwan menjalankan penyebaran agama Islam dirinya selalu menyesuaikan segala petunjuk Sunan Kalijaga, Ma Kuw Kwan lebih banyak mengajarkan cara bercocok tanam yang baik. Sedangkan dalam mengajarkan agama Islam, dia lebih banyak memberikan contoh. Misalnya, saat tiba waktu dhuhur di sawah, Ma Kuw Kwan tak segan-segan untuk meminta air wudhu dari warga dan sengaja melaksanakan sholat di tempat terbuka.
Dan saat ada orang yang penasaran dan bertanya tentang yang dilakukannya. Ma Kuw Kwan menjelaskan bahwa yang dilakukannya adalah berdoa, memohon berkah dari Tuhan yang Maha Kuasa agar diberikan hasil panen yang melimpah. Warga memang tak langsung mengikutinya, tetapi saat hasil panen Ma Kuw Kwan benar-benar melimpah, tak sedikit warga yang minta diajari sholat dan memeluk agama Islam. Dengan cara yang santun dan membawa manfaat langsung seperti tersebut diatas, banyak warga yang bersimpati dan mengikuti ajaran Ma Kuw Kwan.
Sehingga dalam waktu singkat dia mendapatkan banyak pengikut, nama Ma Kuw Kwan makin disegani sebagai pemimpin agama yang juga mengajarkan pertanian. Oleh para pengikutnya, dia mendapat julukan Ki Ageng Kedu, atau juga sering disebut dengan nama aslinya, Ki Ageng Ma Kuw Kwan, namun lebih mudah dengan menyebut KI AGENG MAKUKUHAN.
Dan akhirnya nama harum Ki Ageng Makukuhan akhirnya terdengar oleh telinga Sunan Kudus. Mengetahui tanah di Kedu sangat subur, Sunan Kudus mengutus salah satu santrinya yang bernama Bramanti untuk mengirimkan bibit padi jenis Rajalele dan Cempa, serta bibit tanaman tembakau.
Bukti pemerintah Kabupaten Temanggun mengakui adanya situs makam sejarah Ki Ageng Makukuhan dengan adanya prasasti di pemerintah daerah Temanggung. (photo : Syaifud Adidharta)
Bukti pemerintah Kabupaten Temanggun mengakui adanya situs makam sejarah Ki Ageng Makukuhan dengan adanya prasasti di pemerintah daerah Temanggung. (photo : Syaifud Adidharta)
Akan tetapi  setelah sampai di Kedu dan menyerahkan bibit tanaman yang diberikan Sunan Kudus, Bramanti tak mau pulang ke Pondok Pesantren Glagahwangi, tetapi memilih mengabdi pada Ki Ageng Makukuhan. Setelah beberapa waktu, Ki Ageng Makukuhan mempercayakan Bramanti untuk menggarap tanah di Desa Balongan atau Mbalong, serta menyebarkan agama disana.
Bramanti menyebarkan agama Islam di daerah Parakan. Seperti halnya Ki Ageng Makukuhan, Bramanti dengan cepat mendapatkan banyak pengikut hingga oleh para pengikutnya Bramanti diberi gelar Ki Ageng Parak. Seiring berjalannya waktu, lahan pertanian Ki Ageng Makukuhan makin luas. Padi jenis Rajalele dan Cempa yang ditanamnya telah banyak digemari oleh warga masyarakat karena selain pulen, rasanya juga enak.
Sedangkan tembakau digunakan untuk menyelingi tanaman padi saat musim kemarau. Pada saat Ki Ageng Makukuhan sedang menanam tembakau, sekali lagi datang utusan Sunan Kudus yang menyampaikan pesan agar Ki Ageng Makukuhan datang menghadap Sunan Kudus, untuk melaporkan perkembangan penyebaran agama di Kedu, serta hasil panen dari bibit yang diberikannya. Namun karena bibit tembakau yang belum ditanam masih cukup banyak, dan khawatir akan layu jika ditinggalkan dalam waktu yang lama, maka Ki Ageng Makukuhan terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaannya, baru kemudian memenuhi undangan Sunan Kudus. Karena merasa telah terlambat, Ki Ageng Makukuhan tidak menempuh jalan darat, melainkan terbang menggunakan ilmu yang diajarkan Sunan Kalijaga.
Sesampai di Pondok Pesantren Glagahwangi, Ki Ageng Makukuhan tak langsung turun, melainkan terbang mengelilingi masjid untuk mencari tempat pendaratan yang aman. Namun aksinya keburu dilihat oleh Sunan Kudus. Mengira Ki Ageng Makukuhan sedang pamer ilmu, Sunan Kudus menyuruh salah satu santrinya untuk melemparkan nyiru/tampah yang berada didekatnya. Namun bukannya menghindar, Ki Ageng Makukuhan justru menaiki nyiru tersebut untuk terbang.
Marahlah Sunan Kudus melihat kelakuan muridnya itu. Beliau mengambil kerikil dan dilemparkan kearah Ki Ageng Makukuhan hingga jatuh. Ki Ageng Makukuhan merasa malu dan memohon maaf pada Sunan Kudus, sembari menjelaskan duduk persoalannya. Untunglah, Sunan Kudus memaklumi dan memaafkannya. Malamnya, setelah Ki Ageng Makukuhan melaporkan perkembangan penyebaran agama yang dilakukannya, beliau juga sempat menjelaskan bahwa bibit padi yang diberikan oleh Sunan Kudus telah menjadi tanaman yang sangat diminati para petani. Namun tembakau yang beliau tanam di daerah Kedu, kurang menghasilkan rasa yang mantab sehingga harga jualnyapun kurang bagus.
Ki Ageng Makukuhan meminta petunjuk Sunan Kudus untuk masalah ini. Sunan Kudus membantu Ki Ageng Makukuhan mencarikan lokasi yang baik untuk bercocok tanam tembakau. Beliau mengambil sebuah RIGEN, yaitu anyaman bambu yang tidak terlalu rapat, berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran.
Kemudian Rigen tersebut dilamparkan oleh Sunan Kudus ke arah Kedu dengan ilmu panuragannya, lalu menjelaskan bahwa lokasi sekitar jatuhnya Rigen tersebut merupakan tempat yang sangat baik untuk menanam tembakau. Sunan Kudus juga menjelaskan, jika setelah tembakau ditanam, malam harinya dari tanah tersebut seperti memancarkan sinar, maka hasil panen dari sawah yang memancarkan sinar ini akan memiliki kualitas yang sangat istimewa. Belakangan, Rigen digunakan oleh masyarakat untuk menjemur tembakau yang sudah di rajang tipis-tipis. Dan warga menyebut sawah yang memancarkan sinar sebagai Ndaru Rigen.
Karena mereka beranggapan bahwa tanah mendapatkan berkah dari rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Setelah kembali ke Kedu, Ki Ageng Makukuhan mencari lokasi jatuhnya rigen yang dilemparkan Sunan Kudus. Ternyata, rigen tersebut jatuh di lereng Gunung Sumbing. Saking tingginya ilmu kesaktian Sunan Kudus, tanah tempat jatuhnya rigen yang dilemparkannya sampai melesak ke dalam bahasa. Jawa adalah LEGOK, kini makin banyak warga yang bermukim di lokasi tersebut dan telah menjadi sebuah kampung yang diberi nama LEGOKSARI.
Sekarang Legoksari masuk kedalam wilayah desa Lamuk Kecamatan Tlogomulya Temanggung. Di sinilah Ki Ageng Makukuhan pertama kali membuka lahan pertanian tembakau di Lereng Gunung Sumbing - Sindoro. Saat pertama kali akan memulai/wiwit penanaman tembakau, Ki Ageng Makukuhan mengajak warga sekitar untuk bersama-sama berkumpul di sawah, karena hendak diajari cara bercocok tanam tembakau, maklumlah, warga memang belum mengenal tanaman ini sebelumnya.
Ki Ageng Makukuhan sebelum mengajarkan cara bercocok tanam, terlebih dahulu Ki Ageng Makukuhan mengajak warga untuk mengadakan selamatan, yaitu berdoa bersama memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa, agar tembakau yang mereka tanam bisa memberikan hasil panen yang memuaskan. Acara dilanjutkan dengan makan bersama sambil menikmati jajanan pasar, buah-buahan dan kopi kental, minuman kegemaran Ki Ageng Makukuhan.
Hal ini sengaja dilakukan sekaligus untuk menyebarkan agama Islam, tujuan utama Ki Ageng Makukuhan. Sampai kini, warga masih selalu melakukan acara WIWIT, selain untuk melestarikan apa yang telah dicontohkan oleh Ki Ageng Makukuhan, juga untuk mengharapkah berkah dari Tuhan. Sekarang, pada acara tersebut warga masyarakat membuat TUMPENG ROBYONG. Yaitu tumpeng dari beras hitam yang dibentuk kerucut menyerupai Gunung, dilengkapi lauk pauk yang lengkap, yaitu ingkung ayam utuh, pepes teri teri, telur dadar dan lauk pauk lain seperti tempe tahu goreng, serta jajanan pasar dan buah-buahan, tentu tak ketinggalan kopi kental tanpa gula, yang kesemuanya itu merupakan menu kegemaran Ki Ageng Makukuhan.
Warga masyarakat akan tumpek blek disawah, tak peduli lelaki perumpuan, tua ataupun muda, semua melakukan acara memulai musim tembakau, warga menyebutnya Among Tebal, selain untuk mengharap berkah tentu juga untuk kerukunan antar warga. Saat tembakau telah dipanen dan dirajang, disinilah letak perbedaan tembakau dari sawah yang mendapat ndaru rigen dan dari lokasi yang lain. Tembakau dari tanah biasa jika dirajang akan jatuh dan menyebar/ambyar, sedangkan tembakau yang berasal dari sawah yang mendapat ndaru rigen, setelah dirajang justru menggumpal atau nyrintil, maka warga menamakan tembakau jenis ini sebagai Tembakau Srintil.
Dan kononnya, tembakau Srintil ini memiliki kualitas dan rasa yang sangat istimewa bagi para penikmatnya. Tak heran, harganyapun juga istimewa, bisa ratusan kali lebih mahal dari harga tembakau biasa. Namun sayangnya, ndaru rigen tidak selalu terjadi pada setiap musim dan di semua lokasi. Sehingga tak setiap tahun warga bisa menikmati hasil melimpah dari tembakau srintil. Tapi bukan tidak mungkin, justru itulah alasan warga tetap melestarikan tradisi acara wiwit, dengan harapan sawahnya bisa mendapatkan ndaru rigen dan menghasilkan tembakau srintil.
Akan tetapi biar bagaimanapun Tuhan selalu memiliki cara-Nya sendiri, agar kita selalu mengingatnya, yang jelas Tuhan menetapkan segala sesuatu kepada kita, sesungguhnya Dia telah melibatkan kita dalam sebuah rencana-Nya. Sekarang tinggal kita yang harus melibatkan Tuhan dalam setiap rencana kita, agar hasil dari rencana kita tersebut bisa mendapatkan berkah dari Tuhan dan sesuai dengan apa yang kita harapkan.

SUMBER:http://unik.kompasiana.com/2014/03/11/kisah-di-balik-makam-ki-agung-makukuhan-kedu-temanggung-637715.html 

MAKAM KI AGENG MAKUKUHAN DI PUNCAK GUNUNG SUMBING

Pemandangan dari puncak Gunung Sumbing sungguh mengesankan. Selayaknya gunung tinggi, indahnya sulit di ungkap dalam kata. Tetapi dibalik segala indah itu, di puncak Gunung Sumbing juga terdapat sebuah situs makam yang dikeramatkan oleh warga sekitar gunung. Yakni makam yang dipercaya sebagai makam Ki Ageng Makukuhan yang sering di ziarahi setiap malam Selikuran ( 21 Ramadhan ).

www.belantaraindonesia.org

Meski terletak di puncak gunung setinggi 3.339  meter di atas permukaan laut, jumlah peziarah di makam itu selalu banyak. Di kalangan warga lereng gunung itu, ada kepercayaan semakin sering berziarah ke maka akan semakin tenang dalam menempuh kehidupan.

Perjalanan para pendaki akan melewati  Watu Malang dan  bisa  beristirahat  sejenak.  Setelah  itu pendaki memasuki kawasan Segara Wedhi, yaitu kawasan luas bekas kubah magma yang menyerupai gurun pasir. Dilanjutkan pendakian ke Bledug Kawah Hijau dan tidak jauh dari itu sampailah ke Makam Ki Ageng Makukuhan.

Terapi tidak semua pendaki puncak Sumbing bisa menemukan Makam Ki Ageng Makukuhan yang asli. Selama ini, pendaki banyak yang mendatangi lokasi makam di utara. Padahal, lokasi itu hanya petilasan yang konon tempat istirahat Ki Ageng.

Makam Ki Ageng yang sebenarnya di ujung timur di bawah tebing bebatuan. Di lokasi makam terdapat sebatang pohon Endong Wulung dan sebatang lagi pohon Kecubung Wulung. Pohon itu sudah tumbuh bertahun - tahun dan menjadi tetenger ( tanda ) lokasi makam.

Tanda lain, lubang gua di lereng bebatuan di atasnya. Dahulu, di gua yang ruangannya tak terlalu dalam itu Ki Ageng mengasingkan diri hingga wafat dan dimakamkan di bawahnya.

www.belantaraindonesia.org

Mengenai kesalahan tempat dalam berziarah menurut Mbah Marmo ( 80 ), warga Dusun Grubug, Desa Wonotirto, Kecamatan Bulu, Temanggung, tidak perlu dipersoalkan. Toh tujuan ziarah ke sana intinya untuk mengirim doa bagi arwah para leluhur, khususnya Ki Ageng Makukuhan. Tambahan lagi jarak kedua tempat itu ( makam asli dan petilasan ) tidak terlalu jauh tapi medannya sulit ditempuh.

Dahulu waktu Mbah Marmo muda, setiap malem selikuran jumlah peziarah yang naik ke puncak sangat banyak. Umumnya mereka dari desa - desa di lereng Sumbing, seperti Wonotirto, Pagergunung, Pagersari, Gondosuli dan sekitar. Seusai ziarah, mereka membawa pulang air belerang yang dipercayai bisa untuk menambah kekuatan badan.

Sejauh ini memang tidak ada catatan baku tentang Ki Ageng Makukuhan. Namun para sesepuh di Lereng Sumbing menceritakan, dia bangsawan Majapahit yang mengasingkan diri ke puncak gunung itu dan merupakan orang pertama yang membuka lahan pertanian di sana. Konon Ki Ageng meninggal tepat pada malam Selikuran

http://www.belantaraindonesia.in/2015/08/makam-ki-ageng-makukuhan-di-puncak.html

TRADISI PENDAKIAN GUNUNG SUMBING

MENDAKI  GUNUNG  SUMBING UNTUK “NGALAB BERKAH”
Mendaki gunung merupakan wisata petualangan yang menarik. Penuh tantangan saat mendaki bukit-bukit terjal, namun juga penuh keindahan alam puncak dengan panorama indah saat terbitnya matahari pagi. Sebagian dari mereka bermaksud ziarah ke makam Ki Ageng Makukuhan di Puncak Sumbing, yang diyakini sebagai orang pertama singgah di Kedu dan menanam tembakau.
Malem Selikuran adalah tradisi yang secara rutin dilaksanakan pada hari ke 20 bulam Ramadhan atau masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah Malem Selikuran. Pada acara ini para pecinta alam utamanya generasi muda pria dan wanita beramai-ramai naik ke Puncak Gunung Sumbing melewati Pos Pendakian Dusun Kacepit, Desa Pagergunung Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Kegiatan ini dipantau oleh Satuan Pengamanan gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Tim SAR (Search And Rescue), RAPI, SHC Temanggung ( Sumbing Hiking Club ) dan Pemuda Desa setempat yang sudah terlatih.
Prosesi pendakian Gunung Sumbing diawali dengan acara ritual berupa Selamatan ( Kenduri ) di Masjid Desa Setempat pada jam 18.00 WIB, dipimpin oleh Tokoh Masyarakat setempat. Pada saat kenduri tersebut warga masyarakat masing-masing membawa nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam jago, atau diseyogyakanayam jago Putih Mulus. Acara ini dimaksud untuk memanjatkan doa / mendoakan arwah Ki Ageng Makukuhan yang disemayamkan di Puncak Sumbing serta para Leluhur Desa, dengan maksud untuk mendapatkan berkah berupa keselamatan, rejeki dan kesuksesan dibidang usaha pertaniannya.
Para pendaki sudah mulai berdatangan sejak sore hari. Mereka transit di Terminal ( Pos Terakhir ). Kemudian mulai mendaki pada pukul 20.00 WIB. Sampai ke puncak Sumbing membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam start dari Pos Terakhir. Sedangkan dari Pos Dusun Kacepit sampai Pos Terakhir kini jalannya sudah diaspal sehingga kendaraan roda dua maupun mobil yang sehat mesinnya bisa naik ke Pos Terakhir. Tujuan para pendaki setelah sampai di puncak adalah berziarah ke Makam Ki Ageng Makukuhan, ingin menikmati indahnya Matahari Terbit dan atau sekedar berpetualang bersama teman-temannya.
Pemandangan di Puncak Sumbing cukup mengesankan. Pada ketinggian sekitar 3.200 meter dpl ini para pendaki akan melewati  Watu Malang dan  bisa  beristirahat  sejenak.   Setelah  itu pendaki memasuki
kawasan Segara Wedhi, yaitu kawasan luas bekas kubah magma yang menyerupai gurun pasir. Dilanjutkan pendakian ke Bledug Kawah Hijau dan tidak jauh dari itu sampailah ke Makam Ki Ageng Makukuhan yang ditandai dengan lurug dari kain putih. Di makam ini peziarah memanjatkan doa atau mengucapkan nadzar dan ada kepercayaan melempar uang recehan dengan harapan akan mendapatkan rejeki berlimpah. Ada pula yang membawa Bunga Mawar dan membakar kemenyan sebagai media penyampaian doa.
MENDAKI  GUNUNG  SUMBING UNTUK “NGALAB BERKAH”
Mendaki gunung merupakan wisata petualangan yang menarik. Penuh tantangan saat mendaki bukit-bukit terjal, namun juga penuh keindahan alam puncak dengan panorama indah saat terbitnya matahari pagi. Sebagian dari mereka bermaksud ziarah ke makam Ki Ageng Makukuhan di Puncak Sumbing, yang diyakini sebagai orang pertama singgah di Kedu dan menanam tembakau.
Malem Selikuran adalah tradisi yang secara rutin dilaksanakan pada hari ke 20 bulam Ramadhan atau masyarakat Jawa menyebutnya dengan istilah Malem Selikuran. Pada acara ini para pecinta alam utamanya generasi muda pria dan wanita beramai-ramai naik ke Puncak Gunung Sumbing melewati Pos Pendakian Dusun Kacepit, Desa Pagergunung Kecamatan Bulu Kabupaten Temanggung. Kegiatan ini dipantau oleh Satuan Pengamanan gabungan yang terdiri dari Kepolisian, Tim SAR (Search And Rescue), RAPI, SHC Temanggung ( Sumbing Hiking Club ) dan Pemuda Desa setempat yang sudah terlatih.
Prosesi pendakian Gunung Sumbing diawali dengan acara ritual berupa Selamatan ( Kenduri ) di Masjid Desa Setempat pada jam 18.00 WIB, dipimpin oleh Tokoh Masyarakat setempat. Pada saat kenduri tersebut warga masyarakat masing-masing membawa nasi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam jago, atau diseyogyakanayam jago Putih Mulus. Acara ini dimaksud untuk memanjatkan doa / mendoakan arwah Ki Ageng Makukuhan yang disemayamkan di Puncak Sumbing serta para Leluhur Desa, dengan maksud untuk mendapatkan berkah berupa keselamatan, rejeki dan kesuksesan dibidang usaha pertaniannya.
Para pendaki sudah mulai berdatangan sejak sore hari. Mereka transit di Terminal ( Pos Terakhir ). Kemudian mulai mendaki pada pukul 20.00 WIB. Sampai ke puncak Sumbing membutuhkan waktu 3 sampai 4 jam start dari Pos Terakhir. Sedangkan dari Pos Dusun Kacepit sampai Pos Terakhir kini jalannya sudah diaspal sehingga kendaraan roda dua maupun mobil yang sehat mesinnya bisa naik ke Pos Terakhir. Tujuan para pendaki setelah sampai di puncak adalah berziarah ke Makam Ki Ageng Makukuhan, ingin menikmati indahnya Matahari Terbit dan atau sekedar berpetualang bersama teman-temannya.
Pemandangan di Puncak Sumbing cukup mengesankan. Pada ketinggian sekitar 3.200 meter dpl ini para pendaki akan melewati  Watu Malang dan  bisa  beristirahat  sejenak.   Setelah  itu pendaki memasuki
kawasan Segara Wedhi, yaitu kawasan luas bekas kubah magma yang menyerupai gurun pasir. Dilanjutkan pendakian ke Bledug Kawah Hijau dan tidak jauh dari itu sampailah ke Makam Ki Ageng Makukuhan yang ditandai dengan lurug dari kain putih. Di makam ini peziarah memanjatkan doa atau mengucapkan nadzar dan ada kepercayaan melempar uang recehan dengan harapan akan mendapatkan rejeki berlimpah. Ada pula yang membawa Bunga Mawar dan membakar kemenyan sebagai media penyampaian doa.
MEMELUK SAKA GURU MASJID UNTUK MENGUKUR KESUKSESAN
Tradisi unik telah dilakukan secara turun temurun. Masyarakat menyebutnya dengan istilah Malam Jum’at Pahingan.  Yaitu tradisi berdzikir di Masjid desa Menggoro kecamatan Tembarak kurang lebih 7 km arah Selatan kota Temanggung. Banyak pengunjung dari berbagai kota seperti Pekalongan, Semarang, Solo, Wonosobo, Purwokerto, dan Magelang dengan berbagai tujuan. Umumnya mereka  membaca ayat suci Al Qur’an, dzikir, membaca doa-doa, menjalankan nadzar, ada pula yang sekedar ingin mengadu nasib dengan memeluk salah satu tiang masjid yang dikenal dengan Soko Guru  karena konon bisa mengetahui rejekinya jauh atau dekat.
https://multigunaakses.wordpress.com/tag/ada-apa-di-puncak-gunung-sumbing/
 
Ki Ageng Makukuhan 

MISTERI POHON WALITIS DI HUTAN RASAMALA - SELOPAMPANG TEMANGGUNG



Pohon walitis di kawasan huitan Rasamala merupakan pohon terbesar di lereng Sumbing dan Sindoro. Hutan ini terletak di Desa Jetis, Kecamatan Selopampang, Tinggi pohon mencapai 30 meter, dengan lingkar batang 7,5 meter. Untuk memeluk batangnya saja diperlukan enam orang dewasa yang saling tautan sambil merentangkan kedua tangannya.
Menurut masyarakat sekitar, pohon ini berasal dari tongkat salah seorang pengikut wali, yaitu Ki Ageng Makukuhan yang ditancapkan di tanah. Kawasan Walitis memiliki pemandangan alam yang indah dan udara pegunungan yang segar dan alami.



Di Kawasan ini juga tumbuh rumpun tumbuhan bernama Rasamala. Karena itulah, kawasan tersebut dikenal sebagai hutan Rasamala. Keistimewaan tanaman dan hutan ini adalah tidak mempan oleh api.
Ketika terjadi kebakaran hutan di sebagian kawasan lereng Sumbing dan Sindoro beberapa waktu lalu, hutan Rasamala sama sekali tidak terjamah api.

Untuk menjangkau rumpun pepohonan Rasamala yang luasnya mencapai 1,5 hektar, para wisatawan harus mendaki melalui jalan setapak. Jarak pendakian ini sekitar 1,5 km dari pohon walitis

Anda juga bisa melihat keindahan kota Temanggung dan Magelang dari hutan pinus dibawah pohon walitis. Belum lagi anda akan disuguhi oleh panorama persawahan yang membentang luas seperti lukisan, dan angin yang bertiup sepoi-sepoi pun ikut memanjakan. hmm menarik bukan, ngomong-ngomong ini adalah tempat kesukaan saya untuk mendinginkan otak supaya terlepas dari hiruk pikuk pekerjaan dan tuntutan hidup. Anda penasaran..?
langsung cek TKP,,,

http://tani-temanggung.blogspot.co.id/2014/06/misteri-pohon-walitis-di-hutan-rasamala.html

Pohon Walitis


SEJARAH
Menurut masyarakat setempat pohon Walitis dulunya merupakan sewbuah tongkat yang ditancapkan oleh seorang syeh yang bernama Ki Ageng Makukuhan. Dan tongkat tersebut menjadi tumbuh tinggi dan besar.
Konon kata masyarakat setempat dulu pohon tersebut akan ditebang oleh seorang petani untuk dijadikan kayu bakar. Namun pohon tersebut sulit ditebang. Katanya ketika ditebang pohon tersebut mengeluarkan darah. Waktu seorang akan menebang pohon iti,  ketika di tinggal tengok sebentar  goresan hasil goresan golok dipohon sudah tak berbekas dan pohon utuh seperti semula. Maka dari itu pohon Walitis  sampai sekarang masih tumbuh dan tidakaa yang berani menebang.


MISTERI POHON WALITIS DI HUTAN RASAMALA

Pohon walitis di kawasan huitan Rasamala merupakan pohon terbesar di lereng Sumbing dan Sindoro. Hutan ini terletak di Desa Jetis, Kecamatan Selopampang, Tinggi pohon mencapai 30 meter, dengan lingkar batang 7,5 meter. Untuk memeluk batangnya saja diperlukan enam orang dewasa yang saling tautan sambil merentangkan kedua tangannya.
Menurut masyarakat sekitar, pohon ini berasal dari tongkat salah seorang pengikut wali, yaitu Ki Ageng Makukuhan yang ditancapkan di tanah. Kawasan Walitis memiliki pemandangan alam yang indah dan udara pegunungan yang segar dan alami.
Di Kawasan ini juga tumbuh rumpun tumbuhan bernama Rasamala. Karena itulah, kawasan tersebut dikenal sebagai hutan Rasamala. Keistimewaan tanaman dan hutan ini adalah tidak mempan oleh api.
Ketika terjadi kebakaran hutan di sebagian kawasan lereng Sumbing dan Sindoro beberapa waktu lalu, hutan Rasamala sama sekali tidak terjamah  api.
Untuk menjangkau rumpun pepohonan Rasamala yang luasnya mencapai 1,5 hektar, para wisatawan harus mendaki melalui jalan setapak. Jarak pendakian ini sekitar 1,5 km dari pohon walitis.

PROSPEK PENGEMBANGAN
Melihat potensinya yang besar, kawasan Sindoro-Sumbing bisa dikembangkan menjadi kawasan wisata andalan di jateng. Peluang yang bisa digarap antara lain:
- Membangun fasilitas kereta gantung din lereng utara gunung Sumbing, tepat di Kledung Pass.
- Membangun hotel/restoran di jalur strategis, terutama Kledung.
- Pembangunan kawasan agrowisata Kledung Pass.
- Membangun bumi perkemahan dan camping ground di kawasan Walitis, untuk mewadahi kegiatan para pemuda di Jawa Tengah.
- Membangun kawasan khusus (adventure zone) di Kledung Pass.
- Mendirikan event organizer khusus yang menyelenggarakan berbagai kegiatan pecinta alam dan outbond.
- Menciptakan lebih banyak lagi desa-desa wisata


Lokawisata walitis merupakan salah satu obyek wisata yang terletak di kabupaten Temanggung, tepatnya di desa Jetis, kecamatan selopampang. Meskipun lokawisata ini terletak di kabupaten Temanggung, anehnya belum banyak warga Temanggung yang mengunjunginya.

Lokawisata Walitis merupakan lokawisata yang baru saja diresmikan sebagai salah satu objek wisata dikawasan Temanggung. Mungkin alasan itulah yang mendasari belum banyaknya warga temanggung yang mengetahui keberadaanya. Objek wisata ini diresmikan pada tahun 2007.

Walitis merupakan objek wisata yang berbentuk hutan pinus di kawasan gunung sumbing. Hal yang paling menarik yang terdapat dalam lokawisata Walitis adalah terdapatnya sebuah pohon yang tingginya +35 m dengan lebar 7 dekapan tangan orang dewasa konon katanya, pohan tersebut merupakan jelmaan dari sebuah tongkat yang ditancapkan oleh seorang syeh yang sekarang tumbuh menjadi pohon yang tinggi nan besar tersebut. Kita dapat menikmati indahnya kota Temanggung dan magelang dari tempat tersebut secara leluasa.

Untuk menuju lokawisata ini, dapat ditempuh dengan dua jalur, yaitu:

Jalur pertama: Untuk pengunjung yang berasal dari daerah magelang dan sekitarnya, akan lebih dekat apabila melewati kecamatan Windusari dan menuju desa Selopampang. Dari arah Selopampang, kita tinggal berjalan sesuai arah arus jalan yang melewati beberapa desa dengan menikmati panorama alam kaki gunung Sumbing yang akhirnya menuju desa Jetis. Desa jetis merupakan desa tarakhir yang dilewati sebelum sampai ditempat tujuan. Setelah desa Jetis, tidak terdapat desa lagi, hanya akan menemui ladang-ladang para petani dan hutan pinus disepanjang jalan yang membuat suasana perjalanan terasa indah.
Jalur kedua: untuk pengunjung yang berasal dari daerah barat kota Temanggung dan sekitarnya akan lebih dekat apabila melalui kecamatan Tembarak untuk menuju ke kecamatan Selopampang untuk menuju Walitis.
Dengan letak tempat wisata yang jauh dari perkotaan, menjadikan lokawisata ini terasa lebih sejuk tanpa polusi. Dengan kondisi jalan yang terdiri dari tataan batu kecil yang ditata rapi “KRICAAN”, menjadikan perjalanan tersebut lebih seru dan penuh tantangan. Dalam perjalanan, kita akan sering berpapasan dengan warga sekitar, namun tidak perlu khawatir, karena warga masyarakat sekitar mempunyai sifat yang peramah, sehingga aman dan tidak perlu takut terjadi kejahatan.

Untuk menikmati objek wisata ini, tidak dipungut biaya sepeserpun, alias gratis, sehingga dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Hanya satu yang menjadi syarat untuk menikmati lokawisata ini yaitu tidak merusak kelestarian dan keindahan objek wisata tersebut.

http://tourwalitistree.blogspot.co.id/2012/02/pohon-walitis.html

Rasamala

Rasamala (Altingia excelsa Noronha) adalah pohon hutan yang dapat tumbuh sangat tinggi, mencapai 40 hingga 60 meter. Pohon ini bernilai ekonomi karena kayunya yang kuat dan menghasilkan damar yang berbau harum dan menjadi bahan campuran pengharum ruangan.
Daun yang masih muda berwarna merah dan dapat disayur, dilalap, atau menjadi obat batuk. Kayunya kuat dan dipakai sebagai bahan untukjembatanbantalan rel kereta api, lantai, hingga perahu.

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer