Suluk/ Cakepan/ Nada musik jika di pagelaran wayang ada adegan lelayon

SULUK PEDALANGAN


”Suluk Pedhalangan Abasa Jawi Kina Ingkang Leres Tuwin Katranganing Tembung-tembunganipun”, karya S. Padmosoekotjo,penerbit Citra Jaya Murti (Jayabaya), Surabaya, perkiraan terbit tahun 1978, 54 halaman, bahasa Jawa krama.

Dengan rasa hormat dan terima kasih kepada penulis dan penerbit, sehingga memungkinkan saya – dahulu sekitar 1978, pada saat buku ini terbit – menambah pengetahuan dan wawasan saya dengan membaca tulisan penulis. Karena saat ini sangat sulit untuk menemui buku ini di perpustakaan umum, apalagi mendapatkan di pasaran, perkenankan saya membuka buku ini saat ini dengan tujuan berbagi, agar generasi muda Indonesia mendapat kesempatan membaca apa-apa yang pernah ditulis penulis pendahulu mereka. Bukankah tujuan penulis adalah berbagi pengetahuan dengan pembacanya, kekal meskipun penulisnya sudah tiada dan bukunya sudah sukar didapat lagi ? Namun sekiranya ada yang keliru dan ada yang berkeberatan dengan kegiatan membuka buku ini, mohon segera beritahu saya.
Judul lengkapnya adalah “ Suluk Padhalangan Abasa Jawi Kina Ingkang Leres Tuwin Katranganing Tembung-tembungipun “. Buku ini membahas suluk pedhalangan dari sudut pandang susastra Jawa Kuno.
Sangat menarik untuk dibuka, dibaca, dinikmati bahasanya, disimpan, ….. dibaca lagi ketika mulai lupa. URL berbagi file ada di :
http://www.4shared.com/file/116124104/54b5384b/Suluk_Pedhalangan_S_Padmosoekotjo.html .
Menurut S. Padmosoekotjo suluk pedhalangan berbahasa Jawa Kuno hampir semua adalah petikan dari Kakawin Bharata Yuddha karya Empu Sedah dan Empu Panuluh pada jaman Prabu Jayabaya di Kediri. Hanya ada satu yang petikan dari Kakawin Ramayana ( Red : tapi S. Padmosoekotjo tidak menyebutkan suluk yang mana ). Di dalam buku ini ada sepuluh suluk ( Red : termasuk ada-ada, sendhon ) yang diuraikan.
Menurut saya buku ini sangat berguna untuk dalang maupun penggemar wayang kulit, karena buku ini dengan sangat jelas menguraikan ucapan suluk dalam bahasa Jawa kuno, kemudian arti kata-kata suluk tersebut dalam bahasa Jawa sekarang. Sangat menarik. Dengan mengerti arti kata-kata suluk, akan membuat kita lebih menikmati pagelaran wayang kulit.
Contoh susunan uraian penulis dalam buku ini :
1.
Pertama dituliskan dahulu petikan kakawin dalam huruf Jawa dengan bahasa Jawa Kuno.
Setelah itu petikan kakawin itu di-alih aksara-kan ke dalam huruf Latin persis sama dalam bahasa Jawa Kuno. Karena penuh tanda baca yang sukar di dapat di teknik typhografi ( Red : pada waktu itu ) maka penulis menuliskan dengan tulisan tangan.
Leng-leng ramya nikang sasangka kumenar mangrenga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas lwir murub ring langit ; ….. dst
Terus uraian tentang petikan kakawin :
Ing nginggil punika dipun wastani sekar (tembang) Sardulawikridita, tegesipun dolanan sima. Isinipun nyariosaken candraning kaendahanipun kadhaton Hastina ing wanci dalu, pinuju padhang rembulan. ….. dst
Katranganing temtung-tembungipun :
1. Leng-leng = anglam-lami ( Indonesia : mengasyikkan, menyebabkan orang terpesona ).
2. Ramya = endah, nengsemaken ( Indonesia : indah, menawan hati ).
3. ….. dst
Suraosipun :
Endah anglami-lami (warninipun) rembulan ingkang sumunar ngrengga memanising puri (kadhaton), (njalari) saya tanpa timbang (boten wonten ingkang nyameni) endahipun suyasa kencana (griya emas) punika, (sorotipun sumunar) pepindhanipun kados murub ing langit ; ….. dst
“ Sekar “ ( tembang ) kakawin di atas dipergunakan untuk suluk laras slendro pathet nem ageng yang dipergunakan di adegan ( jejer ) pertama.
2.
Lengeng gati nikang hawan sabha-sabha niking Hastina, … dst
Suluk sesudah pathet nem ageng, sebelum di mulainya “ ginem “ ( pembicaraan / narasi cerita / dialog dalam lakon ).
3.
Irika ta sang Ghatotkaca kinon mapagarkkasuta, tekap ira Krsna Partha maneher muji sakti nira, ….. dst
Ada-ada greget saut di pathet sanga.
4.
Meh rahinasemu bang hyang aruna kadi netra ning ogha rapuh, sabda ni kokila ring kanigara saketer ni kidung ning akung, ….. dst
“ Sekar “ Wisarjita, untuk sulukan pathet manyura, pertanda perpindahan dari pathet sanga ke pathet manyura.
Suraosipun :
(Wancinipun) meh ndungkap raina, srengenge (langit ing sisih wetan) katingal semu abrit, kados (abritipun) mripat (ingkang ngleresi) sakit, ocehing peksi engkuk ing wit kanigara kados suwanten pangrengiking kidungipun tiyang nandhang brangta. Pindha ungeling sulingipun tiyang Indu, cekikering ayam wana ing pagagan, peksi merak nyengungong undang-undang, kombang (tawon) mangrurah sekar ing kamar pasarean wangi (endah).
5.
Yahni yahning talaga kadi langit, mambang tang pas wulan upama nika, wintang tulyang kusuma yasumawur, lumra pwekang sari kadi jalada.
“ Sekar “ Bhramarawilasita, artinya kombang mboten tentrem (tawon yang tidak tenteram ), untuk sulukan pathet manyura jugag.
6.
Sendhon Sastradatan.
7.
Ada-ada jugag pathet manyura.
8.
” Sekar “ Sardulawikridita , artinya “ dolanan sima “.
Suluk pathet manyura ageng.
9.
Ada-ada adegan Arjuna.
10.
Ada-ada adegan Kresna.
Lirik kakawin Bharata Yuddha yang menggambarkan keberangkatan Kresna sebagai Duta Pandawa ini dipakai dalang wayang kulit purwa sebagai ucapan/ lirik suluk, setelah Suluk Pathet Enem Ageng, sebelum memulai percakapan adegan pakeliran wayang.
Kutipan dari buku ”Suluk Pedhalangan Abasa Jawi Kina Ingkang Leres Tuwin Katranganing Tembung-tembunganipun”, karya S. Padmosoekotjo, penerbit Citra Jaya Murti (Jayabaya), Surabaya, perkiraan terbit tahun 1978, 54 halaman, bahasa Jawa krama :
(awal kutipan)
Lengeng gati nikang hawan sabha-sabha niking Hastina, samantara tekeng tegal Kuru nararyya Krsnan laku, sirang Parasurama Kanwa Janakadulur Narada, kapanggih irikang tegal miluri karyya sang Bhupati.
 Terjemahan bahasa Jawa jaman sekarang :
Asri – nengsemaken kawontenanipun margi ingkang (ngener) dhateng bangsal (papan pirembagan) Hastina. Sareng tindakipun Prabu Kresna dumugi ing ara-ara Kuru, panjenenganipun kepanggih (kepethuk) kaliyan Parasurama, Kanwa lan Janaka (ingkang sampun sami asalira dewa) sesarengan kaliyan (Bathara) Narada; (sakawan punika) sami tumut mbiyantu pakaryanipun (tugasnya) Sang Prabu.
(akhir kutipan)
Terjemahan Bahasa Indonesia nya oleh Admin WPB :
Indah – mempesona suasana jalan yang (menuju) ke bangsal (tempat perundingan) Hastina. Ketika jalannya Prabu Kresna sampai di tanah lapang Kuru, dia bertemu dengan Parasurama, Kanwa dan Janaka (yang sudah ber-wadag/ ber-badan dewa) bersama dengan (Bathara) Narada; (ke-empatnya) bersama ikut membantu tugasnya Sang Prabu
(awal kutipan)
S. Padmosoekotjo : katranganing tembung-tembungipun :
(indonesia nya oleh Admin WPB)
1. Lengeng = endah, asri, nengsemaken. (Ind: indah, mempesona)
2. Gati = kawontenan (Ind: keadaan, suasana). Hawan = margi (Ind: jalan)
3. Lengeng gati nikang hawan = asri – nengsemaken kawontenaning marginipun. (Ind: indah – mempesona suasana jalan)
4. Sabha = bangsal papan sarasehan, papan rembagan, pendhapa kraton. (Ind: aula, auditorium)
5. Samantara = boten antawis dangu. (Ind: sementara itu, segera sesudah itu)
6. Tegal Kuru = ara-ara Kuru (Ind: tanah lapang Kuru)
7. Nararyya = nara (tiyang) + aryya (minulya, sebutanipun darah luhur). Ing sekar punika tembung “nararyya” sami kaliyan : Prabu.
(akhir kutipan)
Selamat menikmati keindahan bahasa nya.
Semoga bisa berbagi pada buku wayang terbitan lama lain nya lagi.
Salam.
http://karawitankudusapresiasi.blogspot.co.id/2012/03/suluk-pedalangan.html

Suluk-Suluk Pedhalangan – Bag.01

Suluk pedhalangan dapat dipersamakan dengan puisi atau sajak.
Kata-kata yg halus dan indah ,
dirangkai dengan persamaan , kemiripan pada suku-suku kata ,
ataupun persamaan vocal dan diucapkan dengan cara dilagukan.
Suluk berasal dari kata “su = indah , baik , lebih , utama” ,
dan “luk = lekuk , suara” ,
maka suluk bisa diartikan sebagai : “suara yg indah” ,
karena menyuarakan syair (tembang , sekar) dengan nada yg berlekuk ,
dengan nada yg begitu rendah namun kemudian meninggi dan sebaliknya.
Suluk yg berbahasa Jawa Kuno pada umumnya diambil dari Kakawin Bharatayudha ,
karya Empu Sedah dan Empu Panuluh di jaman Prabu Jayabaya (Kediri) ,
dan ada juga yg diambil dari Kakawin Ramayana.
Karenanya ada yg mengartikan suluk sebagai “puji” ,
mengingat seloka dalam kakawin bersifat doa , puja dan pujian.
Suluk dipergunakan untuk memberi penggambaran suasana sebuah adegan ,
atau saat pergantian dari sebuah pathêt (dapat diartikan sebagai : babak , bab).
Menurut pengggunaannya suluk terbagi menjadi :
1. Pathêtan , digunakan pada suasana yg tenang , damai.
2. Sendon , digunakan pada suasana sedih , trenyuh , haru.
3. Ada-ada , digunakan pada suasana ramai , menakutkan.
4. Grêgêt Saut , digunakan pada saat terkejut , marah.

Meski ada beberapa gagrag pagelaran ringgit wacucal (gaya pementasan wayang kulit) ,
yaitu gaya Surakarta (Solo) , gaya Yogya , gaya Banyumas dan gaya Jawa Timur ,
yg dapat dibedakan dari caturan (bahasa) , sabet (gerakan wayang oleh Dhalang) ,
karawitan (iringin musik tradisional) , termasuk juga suluk.
Namun masing-masing gagrag mempunyai aturan (waton) yg baku ,
termasuk juga tentang penggunaan suluk yg satu dan yg lainnya.
Bisa saja ada suluk dalam Pathêt Sanga ,
yg juga luwes (pantas) dipergunakan pada Pathêt Nêm atau Pathêt Manyura ,
ataupun sebaliknya , tergantung pada tokoh wayang yg tengah ditampilkan ,
ataupun suasana , adegan , pada pathêt tersebut.
Suluk adalah salah satu wahana bagi Sang Dhalang ,
untuk mempertunjukkan kemampuan dan penguasaannya dibabakan sastra dan swara.

=================================================
Suluk-suluk yg digunakan pada PATHÊT NÊM [1]
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Agêng [1]
Lêng lêng ramya nikang sasangka kumênyar ,
mangrêngga rum ning puri ,
mangkin ta pasiring ,
halêp ikang umah mas ,
lwir murub ing langit ,
têkwan sarwa manik ,
tawingnya sinawung ,
saksat sêkar ning suji ,
ungwan Banuwati yanamrêm mwang nata Duryudana.
     Indah mempesona cahaya rembulan yg terpancar ,
     menghias elok di keraton ,
     -membuat- semakin tiada bandingnya ,
     keindahan rumah kencana (pantisari) itu ,
     seakan -bersinar- menyala di langit ,
     apalagi oleh bermacam permata (manikam) ,
     -yg- berlapis -pada- tirainya ,
     bagaikan kembang yg dirangkai (dironce) ,
     -itulah- tempat Dewi Banowati bercengkrama dengan Prabu Duryudana.
 
Keterangan :
Tembang (Sekar) di atas disebut Sardulawikridita (Bermain macan galak) ,
menggambarkan keindahan keraton Hastina tengah malam saat bulan purnama.
 
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Ageng [2]
Gwan (unggwan) sêmbah niréng hulun ,
kapurba risang murbèngrat ,
yéka kang asung mring wadu ,
mawèh boga sawêgung ,
masih ring dêlahan ,
gwan (unggwan) kanang amujwèngwang ,
ring jêng nataningrat ,
dutèngrat hutama manggiha nugraha ,
tarlèn siswa sagotra kang huwus minulya.
     Tempat menyembah sirnanya -ke-aku-an- ,
     berada dalam kekuasaan Sang Penguasa Jagad ,
     ialah yg memberi pada abdi (hamba) ,
     memberi makan (kehidupan) pada semua ,
     mengasihi sampai akherat.
     Adalah tempat hamba memuja ,
     pada Yang Luhur Raja yg mengatur dunia ,
     utusan di bumi yg utama semoga mendapat nugraha (berkah) ,
     tiada lain semua murid yg sudah mendapat kemuliaan.
 
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Ageng [3]
Myat jroning wardaya ngrumpaka kakandha ,
nujwèng ari sajuga ,
Srinata suméwa lênggah dampar dênta ,
ing sitinggil binatara ,
ingadhêp punggawa ingajap pra kênya ,
rungkêp ing paséwakan ,
tintrim kang suméwa ,
samya anilingakên pangandikaning nata.
     Melihat dalamnya hati -keinginan- menggubah cerita ,
     pada suatu hari ,
     Sang Raja hadir duduk di singgasana gading (yg dimaksud : emas) ,
     di tempat -yg lebih- tinggi bagai dewa ,
     dihadap abdi kerajaan dikelilingi para gadis ,
     penuh sesak di balai pertemuan ,
     yg menghadap -merasa- segan ,
     semua memperhatikan ucapan sang raja.
 
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Ageng [4]
Sri tinon ing paséwakan ,
busana manéka warna ,
sèbak puspitèng udyana ,
myang panjrahing sarwa rukma ,
rênggèng manik narawata ,
abra prabanya sumirat ,
kênyaring téja lêliwêran ,
lir kilat sisiring thathit ,
wimbuh gêganda mrik minging ,
katiyuping maruta manda ,
saparan mangambar kongas.
     Tampak indah di bangsal (tempat menghadap raja) ,
     pakaian beraneka warna ,
     semerbak wangi bunga bagai taman ,
     juga bertebaran -hiasan- serba emas ,
     hiasan permata dimana-mana ,
     gemerlap berkilauan cahayanya ,
     berpendar-pendar pantulan sinarnya ,
     seperti kilat yg menyambar-nyambar ,
     ditambah -lagi- bebauan yg -tajam- menusuk ,
     tertiup oleh angin sepoi-sepoi ,
     dimana-mana baunya tercium.
 
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Ageng [5]
Nahanta Sri Narèndra ,
têdhak siniwaka ing sitinggil ,
sigra lênggah ing dampar kêncana ,
ingkang kapipit ,
pinatik mawa rêtna ,
sêsèmèkanira ingkang babut prangwêdani ,
rêp tidhêm pêrmanêm tan ana sabawané ,
walang myang awisik ,
kang kapyarsa mung swarané ,
abdi kriya gêndhing myang (masar ingkang) ,
samya nambut kardi ,
saya amimbuhi asri sênêng jroning panangkilan ,
sang Nata alon manabda.
     Begitulah , Sang raja ,
     hadir dihadap di tempat yg tinggi ,
     segera duduk di kursi emas ,
     yg disisi-sisinya ,
     dihiasi dengan batu permata ,
     pelapis tempat duduknya -adalah- permadani ,
     sunyi senyap tiada sedikitpun suaranya ,
     belalang dan binatang malam yg berbisik ,
     yg terdengar hanyalah suaranya ,
     kawula bagian musik (karawitan) dan kawula yg
     sedang mengerjakan tugas ,
     semakin menambah indah menyenangkan di dalam bangsal pertemuan ,
     sang raja pelahan bersabda.
 
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Ageng [6]
Hyang Girinata nujwèng ri sajuga ,
duk samana suméwa ,
bathari-bathara ngampil upacara ,
ingajap putri swarga ,
andêr samya sêba ,
punggawa jawata rumahat ngantu sabda ,
dangu tan ngandika ,
nihan wijiling sabda.
     Hyang Girinata (Bathara Guru) pada suatu hari ,
     ketika itu berada dipertemuan ,
     dewa dewi ikut serta dalam upacara ,
     diharap para putri khayangan.
     Merata semua yg hadir menghadap ,
     prajurit , dewata , menunggu-nunggu ucapan (sabda) ,
     _Hyang Girinata- lama tiada berkata ,
     -seakan- tertahan keluarnya kata-kata.

Keterangan :
Jêjêr Kahyangan Jonggring Salaka.
 
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Wantah [1]
Dahat sri dinulu rêrêngganing puri ,
ing gupit mandragini ,
yata pramèswari ,
nanggapi konduring raka ,
nata sang katong.
     Sungguh indah dilihat hiasan-hiasan keraton ,
     di ruang tempat tidur ,
     sesaat sang permaisuri ,
     menyambut kepulangan kakanda ,
     menghaturkan sembah -kepada- sang raja.
 
———————————————————————————————————————-
 
Suluk Pathêt Nêm Wantah [2]
Prandéné kang wus sampurna ,
ing pangawruh tan samar woring dhiri ,
kang ngalingi wus kadulu ,
ngéla tan kalamatan ,
wruh ing wrana pambukané ,
tan kaliru jro liyêp layap karasa ,
saking prana pranawaning.
     Meskipun begitu yg sudah sempurna ,
     dalam pengetahuan (kebathinan) tak ragu menyatunya diri ,
     yg menghalangi sudah terlihat ,
     jelas tidaklah samar-samar ,
     tahu akan tirai pembukanya ,
     tidak salah dan dapat merasakan dalam keadaan antara tidur dan sadar ,
     dari hati yg telah mendapat penerangan (pencerahan).
 
———————————————————————————————————————-
 
Ada-ada Girisa [1]
Lêngêng gati nikang hawan sabha-sabha ,
nikang Hastina.
samantara têkèng têgal Kuru ,
nararya Krêsna laku ,
sirang Parasurama ,
Kanwa , Janaka adulur Narada ,
kapanggih irikang têgal ,
milu ri karya sang Bhupati.
     Indah menyenangkan keadaan jalan bangsal pertemuan -keraton- ,
     menuju Hastina.
     Sementara sesampainya di tanah lapang Kuru (Tegal Kuru) ,
     perjalanan Prabu Kresna ,
     Sang Parasurama (Resi Parasurama atau Ramabargawa) ,
     Resi Kanwa , Prabu Janaka (raja di Mantili) bersama Bathara Narada ,
     bertemu di tanah lapang -Kuru- ,
     ikut membantu tugas sang Prabu -Kresna-.
 
Keterangan :
Tembang di atas menceritakan tentang perjalanan Prabu Kresna menuju Kraton Hastina ,
ketika menjadi duta pamungkas Pandawa.
Untuk meminta hak Pandawa atas separuh kerajaan Hastina pada Prabu Duryudana.
Di tegal (ara-ara) Kuru , Prabu Kresna dirawuhi Resi Parasurama , Resi Kanwa ,
Prabu Janaka dan Bathara Narada , yg berniat membantu Prabu Kresna.
 
———————————————————————————————————————-
 
Ada-ada Girisa [2]
Aglar ingkang samya sèba ,
pindha robing kang samodra ,
abra busananing wadya ,
pindha panjrahing puspita ,
têtindhihing pra prawira ,
rêkyana patih sudira ,
tidhêm kang samya suméwa ,
rumahab nilingkên sabda
saiyêg saêka praya ,
siyaga ngayahi karya ,
pakaryan ayahan praja.
     Tersebar merata semua yg menghadap ,
     seperti samudra yg tengah pasang ,
     gemerlap pakaian perang para prajurit ,
     bagai bunga-bunga yg bertebaran ,
     pemimpin para prajurit ,
     Raden patih yg pemberani.
     Senyap semua yg hadir menghadap ,
     dengan perhatian mendengarkan ucapan (perintah) ,
     satu pemikiran , satu tujuan , berniat ,
     bersiap melaksanakan tugas ,
     pekerjaan wajib untuk negara.
 
———————————————————————————————————————-
 
Ada-ada Girisa [3]
Umyang swaraning wadya ,
wus samapta munya ,
kêndhang gong bèri arêbut papan
ing sajuru-juru ,
tan ana liru prênah ,
rêkyana patih mangka cucuking ,
pra wadya kuswa ,
risang Wrêsniwira mahambêg sudira ,
prawira tumangguh.
     Ramai suara bala tentara ,
     sudah siap dibunyikan ,
     kendhang , gong , beri , silih berganti ,
     pada saat-saatnya ,
     tidak ada yg salah waktu (giliran) ,
     Raden Patih yg berada di paling depan ,
     -dari- para prajurit ,
     adalah ksatrya dari bangsa Wresni yg berwatak pemberani ,
     perwira yg tangguh.
 
———————————————————————————————————————-
 
Ada-ada Girisa [4]
Lagi èca wawan sabda ,
horêg kang sumiwa ,
gègèring pasèwakan ,
kathah ingkang narka ,
wontên dirada mêta ,
pêdhot saking wantilan ,
sawênèh anarka ,
kuda tilar pandêngan ,
glis nindya mantri aniti priksa ,
darunaning gati ,
dupi wus uninging gati ,
gya sowan ngarsa éndra.
     Sedang enak-enak bertukar pembicaraan ,
     geger semua yg hadir ,
     ribut di bangsal pertemuan ,
     banyak yg menduga ,
     ada gajah yg mengamuk ,
     lepas dari ikatan ,
     sebagian lain mengira ,
     kuda lari dari pemeliharanya ,
     segera petinggi mantri memeriksa ,
     sebab yg sebenarnya ,
     setelah mengetahui penyebabnya
     segera menghadap pada sang raja.
 
———————————————————————————————————————-
 
Ada-ada Girisa [5]
Tandhang Sri Baladèwa ,
nanggalanira pinusti ing asta ,
swandana umangsah ,
praptaning rananggana umiyat yitna ,
krura sru wirodra ,
kyai patih Pancatnyana ,
umangsah pêtuk samya wahana dwipangga ,
ngunda dhêndha.
     Prabu Baladewa bertindak ,
     Senjata Nenggala-nya dalam genggaman tangan ,
     bersiap untuk berperang ,
     tiba di medan peperangan melihat dengan waspada ,
     berseru dengan lantang dan galak ,
     kyai patih Pancatnyana (Patih dari Prabu Bomanarakasura) ,
     bertemu berhadapan -dan- sama-sama menaiki gajah ,
     saling sesumbar (menantang lawan).
 
———————————————————————————————————————-
 
Ada-ada Girisa [6]
Yogya malih kinarya palupi ,
Suryaputra Narpati Ngawangga ,
lan Pandhawa tur kadangé ,
lyan yayah tunggil ibu ,
suwitèng Sri Kurupati ,
anèng nêgri Hastina ,
kinarya gul-agul ,
Manggala golonganing prang ,
Bratayudha ingadêgkên Sènapati ,
Ngalaga ing Kurawa.
     Juga baik sebagai teladan ,
     Suryaputra (putra Bathara Surya = Adipati Karna) Raja Ngawangga ,
     dan Pandhawa adalah saudaranya ,
     lain ayah -namun- satu ibu.
     Mengabdikan diri pada Sri Kurupati (Prabu Duryudana) ,
     di kerajaan Hastina ,
     sebagai yg diunggulkan (dijagokan) ,
     pemimpin golongan dalam perang Bharatayudha ,
     diangkat sebagai panglima perang ,
     dalam -golongan- Kurawa.

BERSAMBUNG.
https://yogahart.wordpress.com/2013/05/01/suluk-suluk-pedhalangan-bag-01/

Cakepan

CAKEPAN adalah syair yang digunakan dalam suluk pada pertunjukan Wayang Kulit Purwa, atau syair yang digunakan dalam tembang iringan karawitan pakeliran,atau tembang macapat,tembang tengahan, dan tembang gedhe. Contoh cakepan sulukan Pathet Nem Ageng  yang digunakan dalam adegan jejer pertama, yang mengambil dari tembang Gedhe Sardula Wirkidita sebagai berikut:
“Leng-leng ramya nikang cacangka kumenyar mangrengga rum ning puri, mangkin tan pasiring halep ikang umah mas lwir murub ring langit, tekwan sarwwa manik tanwingya sinawung saksat sekar ning suji, unggwan Bhanuwati janamrem alanggo mwang natha Duryyodhana”.
Cakepan sulukan Pathet Nem Ageng di atas diambil dari Serat Baratayuda  karya Empu Sedah dan Panuluh. Sedangkan sulukan yang cakepannya mengambil dari tembang macapat Durma contohnya Ada-ada Ma-taramansebagai berikut:
“Rindu mawur mangawur-awur wurahan, tengaraning angajurit, gong maguru gansa, teteg kadya butula, wor panjriting turanggaesti, rekatak ingkang, dwaja lelayu sebit”.
Cakepan Ada-ada Mataram di atas diambil dari Serat Arjunasasrabahu, karya Sindusastra, pujangga Keraton Surakarta. Cakepan sulukan yang digunakan pada pertunjukan Wayang Kulit Purwa, terutama di Surakarta, ada beberapa bentuk yakni, cakepan sulukan yang menggukan bahasa Kawi, bahasa Kawi Miring, dan bahasa Jawa Baru.
http://wayangindonesia.web.id/cakepan.wayang
SULUK SUREM KAPIDARA

Bagi yang suka wayang kulit tentu sangat terkesan dengan suluk surem kapidara ini. Suluk adalah tembang pengantar sebuah peristiwa dari sebuah kisah yang disajikan oleh sang dalang.
Suluk Surem Kapidara ini adalah pengantar untuk adegan sedih atau surem; kapidara bisa diterjemahkan sebagai terbunuh atau teraniaya. Umumnya dibawakan sang dalang saat ada tokoh yang gugur di medan perang, atau juga sebagai pengantar kesedihan seorang tokoh karena ada yang lampus, gugur atau yang kapidara.
Semoga berkenan! 
SULUK SUREM KAPIDARA
Ki Timbul Hadi Prayitno

Oo…
Surem-surem dewangkara kingkin,
Lir manguswa kang layon,
Ooo ..


Oo…
Oooo.. noo
Surem-surem dewangkara kingkin,
Lir manguswa kang layon
Dennya ilang memanise,
Wadana katon layu,
Kumel-kucem rahnya maratani,
Marang salira nira,

Oo…
Surem-surem dewangkara kingkin,
Oo…
Oo…

Oo…
Oooo.. noo
Surem-surem dewangkara kingkin,
Lir manguswa kang layon,
Kumel-kucem rahnya maratani,
Marang salira nira,
Neles ludira kang wangwang,
Oo
Ooo ..noo

Ooo ..ooo
Surem-surem dewangkara kingkin,
Lir manguswa kang layon,
Kumel-kucem rahnya maratani,
Marang salira nipun,
Neles ludira kang wangwang,
Ooh .. no

*)

Redup, redup, sang matahari bersedih,
Ketika menyaksikan yang gugur
Sekarang hilang ketampan-cantikannya
Badannya tampak layu
Kumal, jelek, darahnya merata
Di seluruh tubuhnya
Basah darah yang terlihat

*) terjemahan bebas
**) ludira, rah = darah
***) Oo.. no = Ohh.. tidak!
http://totoendargosip.blogspot.co.id/2012/10/suluk-surem-kapidara-bagi-yang-suka.html

Surem-Surem Diwangkara Kingkin

Surem-surem diwangkara kingkin,
lir mangaswa kang layon,
dennya ilang memanise,
wadanira layu,
kumel kucem rahnya meratani,
marang saliranipun,
melas dening ludira kawangwang)
nggana bang sumirat, O —
Suram cahya surya bersedih
seperti menghidu lelayu
oleh hilang kemanisannya
kumal pucat wajahnya layu
darah merata membiru
di sekujur tubuh itu
angkasa berduka, lihatlah
langit semburat merah 
https://gembiraloka.wordpress.com/2013/05/20/surem-surem-diwangkara-kingkin/

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer