Dalang

Dalang

Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Ia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.
Selama mengikuti ayahnya "ndalang" dalam kurun waktu yang lama -dari kecil hingga remaja- inilah proses pembelajaran itu terjadi dengan sangat alami, dan rata-rata anak dalang akan bisa mendalang setelah besar nanti. Tetapi banyak juga seorang anak dalang tidak akan menjadi Dalang di kelak kemudian hari, karena mempunyai pilihan hidup sendiri, misalnya berprofesi menjadi pegawai negeri, swasta, TNI dan sebagainnya.
Tetapi fenomena itu tidak selamanya benar, dengan adanya sekolah-sekolah pedalangan baik setingkat SMU dan perguruan tinggi, seperti Jurusan Pedalangan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta (STSI) misalnya (sekarang Institut Seni Indonesia Surakarta), mencetak Sarjana pedalangan yang tidak hanya mumpuni memainkan wayang tetapi juga berwawasa luas dan berpikir kritis. Dalam perguruan tinggi inilah lahir pula dalang yang bukan dari keturunan seorang Dalang, tetapi hanya seseorang yang mempunyai niat yang kuat untuk belajar dalang dan akhirnya bisa mendalang.
Kata Dalang ada yang mengartikan berasal dari kata Dahyang, yang berarti juru penyebuh berbagai macam penyakit. Dalang dalam "jarwo dhosok" diartikan pula sebagai "ngudal piwulang" (membeberkan ilmu), memberikan pencerahan kepada para penontonya. Untuk itu seorang dalang harus mempunyai bekal keilmuan yang sangat banyak. Berbagai bidang ilmu tentunya harus dipelajari meski hanya sedikit, sehingga ketika dalam membangun isi dari ceritera bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai kekinian.
Dalang adalah seorang sutradarapenulis lakon, seorang narator, seorang pemain karakter, penyusun iringan, seorang "penyanyi", penata pentaspenari dan lain sebagainya. Kesimpulannya dalang adalah seseorang yang mempunyai kemampuan ganda,dan juga seorang manager, paling tidak seorang pemimpin dalam pertunjukan bagi para anggotanya (pesinden dan pengrawit)
Untuk forum komunikasi demi memelihara dan mengembangkan mutu dalang diselenggarakan Persatuan Dalang Indonesia (Pepadi).
5 Dalang Wayang Paling Terkenal Di Indonesia - Indonesia adalah bangsa yang mempunyai ragam kebudayaan. Dari berbagai budaya itu salah satunya adalah seni boneka wayang.

Sejak zaman dulu, seni pertunjukan boneka ini memang paling populer di Jawa dan Bali. Namun beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu.

Wayang pun sangat bermacam-macam jenisnya. Seperti wayang kulit, wayang kayu, wayang orang, wayang rumput, dan wayang motekar. Indonesia pun boleh berbangga hati sebab UNESCO telah memasukkan seni wayang ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia sejak 2003 silam.

Nah, berbicara tentang wayang tak akan lengkap jika tak membahas tentang dalangnya. Dalam dunia pewayangan, dalang disebut sebagai seseorang yang memiliki keahlian khusus memainkan boneka wayang. Mereka harus mampu 'ndalang' wayang saat pertunjukan.

Keahlian ndalang itu biasanya diperoleh dari bakat turun-temurun leluhurnya. Seorang anak dalang akan bisa mendalang tanpa belajar secara formal. Dia akan mengikuti ayahnya selagi mendalang dengan membantu membawakan peralatan, menata panggung, mengatur wayang (nyimping), menjadi pengrawit, atau duduk di belakang ayahnya untuk membantu mempersiapkan wayang yang akan dimainkan.

Berikut 5 Dalang Wayang Paling Terkenal Di Indonesia :


1.Ki Nartosabdo
Hasil gambar untuk ki narto sabdo

Ki Nartosabdo adalah seorang seniman musik dan dalang wayang kulit legendaris dari Jawa Tengah, Indonesia. Nama asli Ki Nartosabdo adalah Soenarto. Merupakan putra seorang perajin sarung keris bernama Partinoyo.

Ki Nartosabdo dapat dikatakan sebagai pembaharu dunia pedalangan di tahun 80-an. Gebrakannya dalam memasukkan gending-gending ciptaannya membuat banyak dalang senior yang memojokkannya. Bahkan ada RRI di salah satu kota memboikot hasil karyanya. Meskipun demikian dukungan juga mengalir antara lain dari dalang-dalang muda yang menginginkan pembaharuan di mana seni wayang hendaknya lebih luwes dan tidak kaku.

Selain sebagai dalang ternama, Ki Narto juga dikenal sebagai pencipta lagu-lagu Jawa yang sangat produktif. Melalui grup karawitan bernama Condong Raos yang ia dirikan, lahir sekitar 319 buah judul lagu atau gending, antara lain yang terkenal Gambang Suling, Ibu Pertiwi, Klinci Ucul, Prau Layar, dan Rujak Jeruk.


2.Ki Anom Suroto
Hasil gambar untuk ki anom suroto

Ki Anom Suroto adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa. Ia mulai terkenal sebagai dalang sejak sekitar tahun 1975-an. Ia lahir di Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu Legi 11 Agustus 1948. Ilmu pedalangan dipelajarinya sejak umur 12 tahun dari ayahnya sendiri, Ki Sadiyun Harjadarsana. Selain itu secara langsung dan tak langsung ia banyak belajar dari Ki Nartasabdodan beberapa dalang senior lainnya.

Pada tahun 1968, Anom Suroto sudah tampil di RRI (Radio Republik Indonesia), setelah melalui seleksi ketat. Tahun 1978 ia diangkat sebagai abdi dalem Penewu Anon-anon dengan nama Mas Ngabehi Lebdocarito. Tahun 1995 ia memperoleh Satya Lencana Kebudayaan RI dari Pemerintah RI.

Hingga akhir abad ke-20 ini, Anom Suroto adalah satu-satunya yang pernah mendalang di lima benua, antara lain di Amerika Serikat pada tahun 1991, dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS). Ia pernah juga mendalang di Jepang, Spanyol, Jerman Barat (waktu itu), Australia, dan banyak negara lainnya. Khusus untuk menambah wawasan pedalangan mengenai dewa-dewa, Dr. Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi, pernah mengirim Ki Anom Suroto ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani.


3.Asep Sunandar Sunarya
Hasil gambar untuk asep sunandar sunarya

Asep Sunandar Sunarya yang lebih dikenal dengan panggilan Asep Sunarya, adalah dalang wayang golek yang menciptakan si Cepot. Wayang yang rahang bawahnya bisa digerak-gerakkan jika berbicara, juga dapat merentangkan busur dan melepaskan anak panah, tanpa bantuan tangan dalang. Dengan karyanya itu, dia pantas disebut sebagai pendobrak jagat wayang golek di Indonesia.

Dia dipuji dan juga dikritik dengan karya terobosannya itu. Namun, kritikan itu makin memacu semangat dan kreativitasnya. Keuletannya membuahkan hasil, namanya semakin populer. Terutama setelah Asep meraih juara dalang pinilih I Jawa Barat pada 1978 dan 1982. Kemudian pada 1985, ia meraih juara umum dalang tingkat Jawa Barat dan memboyong Bokor Kencana. Pengakuan atas kehandalan dan kreativitasnya mendalang, bukan saja datang dari masyarakat Jawa Barat dan Indonesia, tetapi juga dari luar negeri. Dia pernah menjadi dosen luar biasa di Institut International De La Marionnete di Charleville Prancis. Dari institut itu dia mendapat gelar profesor.

Asep Sunarya lahir 3 September 1955 di Kampung Jelengkong, Kecamatan Baleendah, 25 km arah selatan Kota Bandung. Bernama kecil Sukana, anak ketujuh dari tiga belas bersaudara keluarga Abah Sunarya yang dikenal sebagai dalang legendaris di tanah Pasundan.


4.Ki Manteb Soedharsono
Hasil gambar untuk ki manteb sudarsana

Ki Manteb Soedharsono adalah seorang dalang wayang kulit ternama yang dari Jawa Tengah. Karena keterampilannya dalam memainkan wayang, ia pun dijuluki para penggemarnya sebagai Dalang Setan. Ia juga dianggap sebagai pelopor perpaduan seni pedalangan dengan peralatan musik modern. Manteb Soedharsono adalah putra seorang dalang pula, bernama Ki Hardjo Brahim. Ia dilahirkan di desa Jatimalang, Kelurahan Palur, Kecamatan Mojolaban, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, pada tanggal 31 Agustus 1948.

Ki Manteb mulai mendalang sejak kecil. Namun, popularitasnya sebagai seniman tingkat nasional mulai diperhitungkan publik sejak ia menggelar pertunjukan Banjaran Bima sebulan sekali selama setahun penuh di Jakarta pada tahun 1987.Ki Manteb mengaku, Banjaran Bima merupakan tonggak bersejarah dalam hidupnya. Sejak itu namanya semakin terkenal. Bahkan, pada tahun 90-an, tingkat popularitasnya telah melebihi Ki Anom Suroto, yang juga menjadi kakak angkatnya.


5.Ki Slamet Gundono

Ki Slamet Gundono

Hasil gambar untuk ki slamet gundono

Dalang wayang ini termasuk dalang terkenal nyentrik. Ki Slamet Gundono namanya. Hingga akhir hayatnya pria bertubuh gemuk ini dikenal sebagai dalang kontroversial wayang suket.

Gundono dilahirkan dari keluarga dalang di Tegal Jawa Tengah. Masa kecil Gundono dihabiskan di kampung halaman dengan menjadi siswa pesantren. Selepas SMA Gundono sempat menimba ilmu di Jurusan Teater di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Gundono mulai berkiprah sebagai dalang dan seniman kreatif sejak 1995. Sosoknya yang selalu kritis sempat menggegerkan dunia pewayangan.

Di masa orde baru, saat digelar festival dalang di Solo, untuk memperingati 50 tahun Indonesia Merdeka, Gundono justru menyajikan tampilan kontroversial. Jika dalang lain tampil sesuai pakem, maka dia justru sebaliknya.

Akibat ulahnya tersebut, sempat menimbulkan perdebatan panjang antara panitia, juri, pengamat, hingga khalayak umum. Beberapa tokoh bahkan memberikan dukungan. Di antaranya seniman besar seperti Umar Kayam, Gunawan Mohamad, Murtidjono dan Halim HD.
http://kumpulan-berita-unik.blogspot.co.id/2014/04/Dalang-Wayang-Paling-Terkenal-Di-Indonesia.html

dalang
1. orang yang memainkan wayang:
Dalang wayang kulit; dalang wayang golek

2. (ki) orang yang bertanggungjawab untuk mengatur (merencanakan, memimpin) suatu gerakan atau operasi secara tersembunyi dan dalam skala besar:
Dalang gerakan pemberontakan itu telah tertangkap

https://id.wiktionary.org/wiki/dalang


Mantra Sakti Sang Dalang Wayang


Mendaras mantra sebelum pertunjukan. Menghalau gangguan tak kasat mata sekaligus sebagai kekuatan jiwa.

WAYANG, bagi orang Jawa, merupakan pertunjukan sakral. Maka, dalam setiap pertunjukannya, harus lancar tanpa halangan. Kelancaran pertunjukan, tentu saja melibatkan dalang sebagai empunya pagelaran.
“Pertunjukan wayang kulit yang sesungguhnya adalah pertunjukan bayangan, Sang Dalang adalah personifikasi atau bayangan Tuhan itu sendiri, karena ‘Dia’ lah yang menggerakan kehidupan atau ‘cerita’ kehidupan ini,” kata Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa Universitas Indonesia.
Seorang dalang tidak hanya mempersiapkan hal yang kasat mata, namun juga waspada terhadap gangguan yang tak kasat mata. Gangguan atau bahaya ini, tulis W. H. Rassers dalam Over den zin van Het Javaansche Drama (Makna dari Lakon Wayang Jawa), misalnya rubuhnya panggung wayang dan menimpa dalang.
Dan untuk menangkal gangguan tak kasat mata, dalang memiliki mantra khusus. Pengucapan mantra ini, dilakukan selama masa persiapan hingga saat pertunjukan akan dimulai. Setidaknya, ia perlu mendaras lima macam mantra.
“Aum awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira ing [rumah dalang] kang kekiter kang semara bumi bujang babo kabuyutan. Allah rewang-rewangana aku, katekana sasedyaku, katurutana sakarepku. Umat lanang umat wadon, andhedulu marang aku, teka demen teka asih, asih saking kersane Allah, ya hu Allah, ya hu Allah, ya hu Allah,” tulis Ki Slamet Sutrisno dalam ‘Pedhalangan Jangkep’ seperti dikutip dari Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta karya B. Sularto dan S. Ilmi Albiladiyah.
Dalam mantra pertama, dalang menyapa lelembut atau dhanyang yang ada disekitarnya. Menyapa dhanyang atau lelembut ini penting, sebab, tulis Frans Magniz Suseno dalam Etika Jawa, alam asli atau alam kasar bagi orang Jawa adalah buas, angker, penuh dengan roh tidak dikenal.
Dari situ, si dalang berjalan menuju rumah penanggap wayang. Sesampai dipanggung, ketika duduk didepan layar, ia mengucap mantra kedua. Kali ini, mantranya ditujukan kepada penonton yang sudah bersiap, supaya tenang dan tak beranjak dari tempatnya hingga pagelaran usai.
Mantra ketiga dan keempat diucapkan bersusulan, yaitu ketia ia membetulkan blencong –lampu minyak penerang layar- dan saat ia memukul kotak wayang pertama kali.
Gending berbunyi. Dalang mengangkat gunungan ditengah layar, kemudian perlahan diturunkan kembali. Cempurit (pegangan kayu) diletakkan di pangkuan, lalu ujung gunungan ditaruh dipinggir kotak sambil dipijit-pijit. Saat memijit gunungan itu, tulis Darmoko dalam laporan penelitian berjudul Unsur Mantra Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa, dalang mengucap mantra pamungkas.
“Mumangungkung awakku kadya gunung, kul kul dhingkul, rep rep sirep, wong sabuwana teka kedhep, teka lerep, teka welas teka asih, asih saking kersane Allah,” seperti dikutip dalam Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta. Pagelaran pun dimulai.
Mantra dalam wayang kulit berupa struktur kata-kata dengan mencampurkan beberapa bahasa. Percampuran bahasa tersebut biasanya berisi bahasa Sansekerta, Jawa Kuna dan Jawa Baru. Disini, pengulangan kata atau larik, catat Abdul Rozak Zaidan dalam Kamus Istilah Sastra, termasuk ciri mantra yang paling menonjol.
Mantra atau doa, catat Darmoko dalam laporan penelitiannya, yang diucapkan sejak awal pertunjukan dapat menimbulkan kekuatan batin bagi dalang.
“Oleh karena itu dengan berdoa yang ditujukan tentunya pasti kepada Sang Hyang Tunggal/Sang Hyang Tan Ana akan selamat kepada tujuannya yaitu menyampaikan makna atau amanat kemenangan kubu kebaikan melawan keburukan,” tulis Prapto Yuwono dalam surelnya kepada Historia.
Kekuatan batin itu menjadi bekal bagi dalang untuk menuntaskan pagelaran semalam suntuk, yang dimulai sekira pukul 21.00 sampai 05.00, dan jangan sampai pertunjukannya molor hingga fajar (karahinan) atau selesai sebelum waktunya (kebogelen).
http://historia.id/budaya/mantra-sakti-sang-dalang-wayang

Dalang Butuh Proses

Dalang-dalang terkenal saat ini seperti Ki Manteb, Ki Anom Suroto, Ki Purbo Asmoro, Ki Entus Susumono, tidak serta merta sukses seperti sekarang ini, perlu proses panjang bahkan untuk menjadi seorang dalang yang tidak terkenal sekalipun. Terlalu banyak ketrampilan dan pengetahuan baik teknis maupun mapun terori yang harus dikuasai. Artinya tidaklah mudah menjadi seorang dalang, tidak dapat di ukur dengan hanya setahun dua tahun belajar / kursus lalu setelah dinyatakan lulus sudah bisa di juluki gelar Ki Dalang. Gelar Ki sebenarnya dalam kalangan masyarakat jawa sangatlah berat, berarti telah memiliki kemampuan yang spesifik tertentu dan di tuakan dalam masyarakat lingkungannya.

Malah menurut alm guru saya Ki Gondo Darsono (Darman), pernah mengatakan bahwa sekarang ini tidak ada Dalang tetapi yang ada adalah “wong buruh mayang”. (orang yang mendalang hanya untuk menegakkan periuk nasi). Banyaknya dalang yang mutu sajiannya dibawah standar dan kurang berisi menurut Ki Darman tidak patut disebut dalang tetapi lebih pas dijuluki seorang pekerja kasar yang memepergunakan wayang sebagai media dalam memenuhi kebutuhan hidup. Dalam pandangan Ki Gondo Darman tersebut jelas tersirat pesan betapa beratnya bekal kemampuan yang harus dipenuhi oleh seorang dalang, dalang diharapkan dapat menghibur, memenuhi selera penonton, penanggap, tetapi juga harus menyajikan nilai-nilai rohani yang wigati. Dalang tidak asal memperoleh upah untuk untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya tetapi juga harus mampu memberikan kepuasan batin kepada penanggap, penonton dengan pesan-pesan moral yang memberikan pencerahan “ngudal piwulang” tetapi tidak berarti menggurui.
Dalam menapaki jalan menuju dunia pedalangan, seorang calon dalang bisa dikelompokan menjadi dua yakni turun dalang dan bukan turun dalang. Bagi anak dalang/turun dalang belajar wayang sejak ia bisa melihat, mendengarkan, berjalan, hingga saat remaja. Mulai kecil telinga anak dalang sudah akrap dengan nada-nada dalam gamelan jawa. Matanya sudah sering memandangi boneka wayang yang di simping kiri/kanan sewaktu ayahnya mendalang. Satu persatu akan dihafal hingga diluar kepala wayang-wayang yang ada di simpingan maupun di dalam kotak. Sulukan gending dan sastra pedalangan akan dihafalnya secara otomatis ketika ia mengikuti ayahnya selagi mendalang. Jika anak dalang mulai mengikuti ayahnya ketika pentas, dari umur 3 tahun dan kemudian anak tersebut sudah laris mendalang pada umur 20 tahun, berarti proses belajar mendalang secara otomatis itu selama 28 tahun. Jadi mustahil hanya belajar mendalang 2 tahun atau beberapa bulan lewat kursus pedalangan sudah bisa disebut sebagai seorang dalang.
Memang dalam kenyataannya ada beberapa orang bukan turun dalang tetapi secara materi berkecukupan (pejabat, pengusaha, bintang film) yang ingin belajar mendalang dengan kursus di sanggar atau pasinaon dalang. Meski kebetulan orang tersebut mempunyai tingkat itelegensi / daya serap yang cepat dan tinggi, tetapi menurut hemat saya bekal itu masih sangat kurang untuk dapat diberi gelar dengan sebutan Ki Dalang. Memang kesan sekilas tidak akan terlalu nampak jelas perbedaan antara anak dalang dengan yang bukan anak dalang. Tetapi bagi dalang sepuh atau penonton wayang yang sudah sangat ”atul” dengan pergelaran akan tahu perbedaannya. Bagaimanapun proses panjang yang dilalui seorang anak dalang tidak akan tergantikan oleh produk instan dalang lulusan sekolahan/sanggar/pasinaon dalang. Sehingga bila ada anak seorang dalang yang berusaha memperoleh pelajaran gabungan dari semuannya akan tampil dengan nilai lebih. Bagi yang bisa merasakan ketika dalang naik panggung pun sudah akan terasa, aura dari dalang yang akan pentas, misalnya Ki Anom Suroto sedang pentas, kewibawaan seorang Anom Suroto nampak menyelimuti seluruh kru pengrawitnya juga menebar keseluruh penjuru tempat pergelaran, keliatan regu, wibawa, ngengreng, sidhem, ayem dan sebagainya. Itu semua dapat terbentuk karena memang dalangnya sudah sangat menguasai panggung dan penonton.
Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan bagi calon dalang yang bukan turun seniman dalang. Hanya ingin mengajak lebih jauh untuk merenung dan jangan pernah nyacat dalang lain, lebih baik banyak belajar dari ajaran seorang Ki Gondo Darman yang menghendaki agar orang yang kepingin jadi dalang tidak belajar setengah-setengah tetapi sedapat mungkin selalu merasa tidak puas dengan kemampuan yang telah dimilikinya.
Keprakan dan Sabet Emajiner
Pembelajaran sabet oleh Ki Mulyanto sangat berbeda dengan apa yang saya peroleh di bangku kuliah. Sabet ala Ki Mulyanto tidak terpola seperti dalang-dalang sabet lainnya. Ki Mulyanto lebih mengandalkan gerak reflek dan ide spontan kreasi yang muncul, meski tidak dapat dipungkiri vokabuler sabet yang sudah ia kuasai juga sering mendominasi. Sabetnya susah ditebak, hal ini dapat di buktikan bila kita ’mbeduki’ (memukul dram untuk memantapkan sabet) Ki Mulyanto, pasti akan banyak melesetnya.
Ki Mulyanto pernah meminta saya untuk memperagakan cara memegang wayang dan melakukan ’prapatan, jeblosan dan tebakan’ (istilah dalam sabet), ternyata menurut versi dia cara memainkan wayang saya salah. ’Nyabetke wayang kuwi aja di nggeng, kaya wong bacuke arit’ kudu diloske, aja wedi wayange rusak (memegang wayang itu jangan ditahan , seperti orang menebaskan parang ke pohon, harus los bebas hambatan, jangan wayang takut wayangnya rusak).
Dalam berolah sabet ternyata Ki Mulyanto memberi pengajaran yang berbeda, saya tidak pernah dilatih untuk memegang wayang yang sudah jadi, tetapi hanya diperkenankan untuk memegang tangkai dan tuding, tanpa ada boneka wayangnya. Menurut Ki Mulyanto penguasaan sabet harus dimulai dari penguasaan ”gapit dan tuding” dahulu dengan cara digerak-gerakan berputar-putar dengan memakai ibu jari dan telunjuk. Bila sudah kenal betul jari jemari kita dengan tangkai wayang baru kita diajar untuk memegang wayang secara utuh. Dengan teknik ”mucuk, sedeng, ngepok, jagal” . Tapi saya melihat hampir semua wayang dalam pergelaran Ki Mulyanto dipegang dengan cara jagal. Hal ini saya amati ternyata cara memegang wayang jagal lebih memberikan sentuhan secara langsung dan sebagai komunikasi sambung rasa antara dalang dengan wayang. Karena dalam menghidupkan wayang di kelir diperlukan kepekaan rasa yang tinggi dari seorang dalang. Bagi Ki Mulyanto bukan sekedar dalang menggerakan wayang tetapi dalang harus tahu karakter dan kemauan wayang saat dipegang oleh dalang. Si dalang kadang harus larut menjiwai karakter wayang, sehingga bisa menafsirkan kebutuhan gerak yang diperkulan dalam peperangan atau adegan tertentu, hingga seolah-olah dalang hanya mengikuti kemauan dari boneka wayang.
Berbicara masalah sabet tentunya erat kaitannya dengan ”keprakan”. Di dunia pedalangan teknis penguasaan keprakan sangat menentukan kepiawaian seorang dalang dalam olah sabet. Sabet dan keprakan adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, saling mendukung dalam memantapkan sajian sabet. Bagi seorang Mulyanto, belajar keprakan jauh lebih penting didahulukan dari pada belajar memegang wayang. ’Salahe wong saiki bocah ora diajari keprakan disik nanging ujug-ujug diajari sabetan trampil, mulane sabetane apik ning keprakane ngondeli’. (Kurang tepat bila anak-anak tidak diajari keprakan terlebih dahulu tetapi langsung diajari sabetan terampil, hasilnya sabetannya bagus tetapi keprakannya tidak pas).
Dalam hal keprakan Ki Mulyanto pernah mengajarkan kepada saya secara lesan bahwa, saya diminta untuk latihan keprakan setiap hari selama 2 tahun berturut –turut tanpa memakai boneka wayang. Saya hanya diperintahkan untuk membayangkan wayang yang sedang berada dikelir, misalnya setyaki memukul, keprakanya anteb tetapi tidak terlalu keras, berbeda lagi bila seolah-olah yang di kelir Bima yang sedang menendhang dengan kakinya yang berotot, tentunta dengan sekuat tenaga dalam menendhang keprak, jika perlu tidak hanya dengan ujung jari kaki, tetapi dengan tumit. Latihan sabet secara emajiner ini diperlukan untuk melatih gerak reflek kita. Menurut Ki Mulyanto, manusia mulai berjalan itu yang mengayun dulu kakinya, baru kemudian secara otomatis tangan akan mengikutinya (lembehan). Filosofi ini yang diambil Mulyanto, bahwa belajar keprak lebih penting dari belajar sabet, menurutnya jika seorang dalang telah menguasai keprakan, gerakan wayang dikelir secara otomatis betapapun cepat dan sulitnya gerak kaki pasti akan mengikutinya secara reflek.
Ternyata teori yang tidak saya dapat di bangku kuliah ini bila dilatih secara benar akan nampak hasilnya dan analisa Ki Mulyanto memang benar adanya. Latihan Keprakan (reflek kaki) lebih penting untuk didahulukan ketimbang belajar ketrampilan sabet yang aneh-aneh, tetapi kaki tidak dapat mengikuti kecepatan dan ketrampilan tangan. (semoga bermanfaat bagi siapa saja yang sedang belajar dalang).
PESINDEN WAYANG KULIT
(Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Pesinden adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan, umumnya sebagai penyanyi satu-satunya. Pesinden yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang.
BLENCONG
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Blencong dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada suatu alat penerangan untuk pertunjukan wayang di masa lampau yang menggunakan bahan bakar minyak kelapa. Lampu blencong ini berbentuk macam-macam ada yang berbentuk seperti burung Jatayu, ada yang berbentuk seperti celengan dengan sayap kiri dan kanan. Blencong ini terbuat dari kayu berukir ataupun perunggu, dengan lubang di tengah untuk menaruh minyak dan mempunyai sumbu yang menghadap ke arah kelir/ layar.
Blencong merupakan alat penerangan yang berfungsi untuk menghidupkan bayangan wayang di kelir/layar. Wayang yang mempunyai cat dasar prada emas akan terlihat lebih hidup. Begitu pula bayangan yang dihasilkan jika dilihat dari belakang layar akan terlihat lebih artistik. Terpaan angin terhadap sumbu blencong akan membawa efek tersendiri pada wayang yang sedang ditampilkan oleh seorang dalang.
Dalang perlu mengecek dan membenahi untuk menarik sumbu blencong agar tidak padam dan sinarnya sesuai dengan kebutuhan pergelaran. Satu alat lain yang namanya sumpit diperlukan untuk menjepit sumbu blencong yang biasanya terbuat dari kain atau kapas yang telah dibentuk seperti tali. Kehati-hatian seorang Dalang juga mutlak diperlukan dalam menggunakan sumpit ini, karena percikan api blencong mudah membakar kain yang dikenakan oleh Dalang.
Namun blencong saat ini sudah jarang dipergunakan karena dianggap tidak praktis dan sinarnya kurang terang. Pada perkembangannya blencong digantikan dengan lampu petromak. Di zaman yang serba listrik ini blencong diganti dengan lampu bohlam (lampu pijar), bahkan saat sekarang karena pergelaran wayang sering diselenggarakan di lapangan luas dan akbar maka lampu blencong digantikan dengan lampu halogen (sejenis lampu mobil) 1000 watt.
Pergelaran wayang yang menggunakan lampu blencong pada saat sekarang hanya terdapat di keraton saja dan hanya untuk acara ritual khusus seperti ruwatan dan pentas pesanan para turis manca negara yang menghendaki pergelaran wayang seperti aslinya tempo dulu.
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Blencong” Kategori: Wayang kulit
KELIR WAYANG KULIT PURWA
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(Sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Kelir di dalam istilah pedalangan lebih menunjuk kepada layar tempat memainkan boneka wayang. Kelir biasanya terbuat dari kain berwarna putih benbentuk empat persegi panjang dengan panjang 3 hingga 12 meter dan lebar 2 hingga 3 meter. Kelir ini terbuat dari bahan kain sejenis catoon bukan nilon atau orang jawa sering menyebutnya mekao. Bahan ini dipilih karena tidak terlalu licin sehingga jika wayang ditempelkan ke kelir tidak akan mudah goyang ke kanan dan ke kiri, dalang bisa mengendalikan gerak wayang dengan mudah.
Di semua sisi pinggirnya kelir di balut dengan kain warna hitam, dengan lekukan tertentu. Sisi atas disebut sebagai pelangitan sedangkan sisi bawah disebut palemahan. Disebut pelangitan karena letaknya diatas dan difungsikan sebagai langitnya wayang. Bila suatu tokoh boneka wayang dalam posisi terbang, maka akan sampai menyentuh kelir bagian atas ini. Sedangkan palemahan berasal dari kata “lemah” yang berarti tanah sehingga dalam pakeliran lebih difungsikan sebagai tempat berpijaknya wayang. Jika tancepan wayang diatas garis palemahan, wayang tersebut akan terlihat mengambang.
Sisi kanan kiri kelir dijahit berlubang untuk tempat meletakkan sligi, yakni semacam tiang kecil yang terbuat dari bambu atau kayu untuk membentangkan kelir di bagaian kanan dan kiri yang ditancapkan pada batang pisang di bagian bawahnya sedangkan bagian atas dihubungkan dengan gawangan kelir. Disi atas dan bawah kelir juga di jahitkan besi benbentuk bulatan atau segitiga kecil yang berfungsi untuk mengencangkan kelir dengan tali di bagian atas yang bernama pluntur dan dengan placak atau placek di bagian bawah.
Pada perkembangannya bentuk kelir ini tidak hanya benbentuk empat persegi panjang, tetapi untuk kebutuhan tertentu kelir ada yang dibuat dengan bentuk setengah lingkaran sebagaimana separoh bola dunia dengan bergambarkan pulau-pulau di sisi bagian atas. Kelir ini sangat berkaitan erat dengan gawangan kelir, gedebog, tapakdoro, kotak wayang, keprak
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Kelir”
KEPRAK WAYANG KULIT PURWA
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
(sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Keprak adalah suatu alat yang terbuat dari perunggu atau besi dengan ukuran kira-kira 20 x 27 cm, terdiri bebrapa lempengan, diberi lobang pada bagian atasnya dan diberi seutas tali, digantung pada kotak wayang dengan tatanan sedemikian rupa sehingga bila di pukul akan menimbulkan efek bunyi “prak-prak”.
Dalam pergelaran wayang kulit purwa gaya Surakarta, wayang golek Sunda, Wayang Betawi, keprak terdiri minimal 3 buah, ada yang 4 buah dan 5 buah. Sedangkan untuk pakeliran Gaya Yogyakarta keprak hanya terdiri dari satu lempengan besi saja yang di landasi dengan kayu seukuran keprak, dipukul dengan cempala besi yang di jepit oleh kaki seorang dalang efek bunyi yang ditimbulkan “ting-ting”.
Agar menghasilkan suara keprak yang bagus seorang dalang harus tahu teknik memasang keprak dan teknik membunyikan keprak dengan baik. Keprak dalam pakeliran biasanya untuk mengiringi gerakan wayang serta untuk memantabkan solah (gerak) wayang. Dalang wayang kulit gagrak Surakarta saat ini lebih memilih keprak berbahan besi putih beberapa lembar di kombinasi dengan keprak perunggu beberapa lembar, yang di yakini mempunyai efek suara lebih nyaring.
Diperoleh dari “http://id.wikipedia.org/wiki/Keprak”
GAPIT WAYANG KULIT
(Sumbangan Tulisan Ki Bambang Asmoro di Wikipedia)
Gapit dalam wayang kulit menunjuk pada bagian penyangga wayang terutama yang menempel dari kaki wayang, dan dieluk sesuai dengan badan wayang, melewati pinggang, dada, kepala hingga pada ujung rambut atau mahkota. Gapit biasanya dibuat dari tanduk kerbau.
Gapit, menurut Ki Sumadi, seorang pengrajin gapit wayang dari Kuwel, Klaten yang juga seorang dalang, dibagi dalam beberapa bagian. Bagian paling bawah berbentuk lancip yang biasanya ditancapkan pada batang semu (gedebog) pisang, dan dinamakan antub. Di bagian atas dari antub terdapat lengkeh, genuk, dan picisan yang ada di bawah kaki wayang, sedangkan bagian selanjutnya disebut cempurit. Konon ketiga bagian ini diambil dari nama pangkat para penunggu pintu keraton, yakni lurah lengkeh, lurah genuk dan lurah picis. Sesudah melewati ketiga lurah ini baru kita akan menemukan pintu utama yang dinamakan cepuri, oleh karena itu bagian gapit yang paling atas disebut cempurit.
Pesinden juga sering disebut Sinden, menurut Ki-Mujoko Joko Raharjo (Alm) berasal dari kata “pasindhian” yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana “wara” berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan “anggana” berarti sendiri. Pada jaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam pangung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sindhen memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang. Istilah sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama di beberapa daerah seperti Sunda, Banyumas, Yogyakarta, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sindhen tidak hanya satu orang dalam pergelaran tetapi untuk saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.
Pada pergelaran wayang jaman dulu Sindhen duduk dibelakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang Kendhang. Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu pengrawit dalam pergelaran tersebut. Tetapi seiring perkembangan jaman, terutama di era Ki Narto Sabdho yang melakukan berbagai pengembangan, Sindhen dialihkan tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang membelakangi simpingan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.
Di era modern sekarang ini Sindhen mendapatkan posisi yang hampir sama dengan artis penyanyi campursari, bahkan sindhen tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan menarik. Sindhen tidak jarang menjadi “pepasren” (penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindhennya cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan wayang. Perkembangan wayang saat ini bahkan Sindhen tidak hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sindhen laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya sindhen ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu Sindhen laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.
(Oleh Ki Bambang Asmoro)
https://wayang.wordpress.com/dalang-butuh-proses

Sastra Pedalangan

Sastra Pedalangan adalah rekabahasa dalang dalam pakeliran atau pergelaran wayang. Rekabahasa dalang tersebut adalah murwa atau pelungan, nyandra janturan dan pocapan, suluk , antawacana, sabetan, suara, dan tembang.

Murwa

Suluk pembuka pakeliran wayang, dalam pedalangan Jawa Timur dikenal dengan istilah pelungan, di Jawa Tengah dikenal dengan istilah ilahengan, dan di Jawa Barat dikenal dengan istilah murwa.

Nyandra

Nyandra adalah deskripsi adegan dengan menggunakan bahasa prosa pakeliran wayang. Ada dua jenis nyandra, yaitu janturan dan pocapan. Janturan adalah nyandra yang diiringi gamelan; sedangkan pocapan tidak diiringi gamelan.

Pocapan

Pocapan adalah nyandra yang tidak diiringi gamelan untuk menceritakan peristiwa dalam adegan.

Suluk

Suluk adalah citra bahasa puisi yang dinyanyikan oleh ki dalang dalam pakeliran wayang.

Antawacana

Antawacana adalah dialog antar-tokoh wayang. Sedangkan antawacana antara tokoh wayang dengan nayaga, wirasuara, atau jurukawih dinamakan dialog samping (aside). Antawacana biasanya disampaikan setelah pocapan. 

Sabetan


Sabetan adalah gerak wayang yang meliputi tarian, lakuan, dan lagaan. Tari wayang adalah gerak wayang yang diiringan nyanyian dan gamelan. Lakuan adalah gerak wayang yang hanya diiringan kecrek atau kendang. Sedangkan lagaan adalah gerak wayang dalam peperangan baik dengan iringan gamelan maupun hanya diiringi kecrek dan kendang.
Dasar gerakan wayang dalam tetekon pedalangan Sunda, meliputi: gejlig, gedut, keupat dan gedig. Serta tiap jenis tokoh wayang berbeda dalam memainkannya. Misalnya dalam gerakan tarian, golongan satria dimainkan dengan cara memegang tuding (gagang tangan wayang) dari belakang. Sedangkan untuk golongan ponggawa tuding dipegang dari depan.
Dalam tarian (ibingan) wayang, pamirig atau pengiring lagu juga berbeda untuk setiap tokoh. Misalnya tokoh cakil (dalam pedalangan Sunda) diiringi dengan lagu Bendrong. Ibingan satria diiringi oleh gending Gawil. Untuk punggawa, bisa dengan solontongan. Namun khusus untuk tokoh Gatotkaca harus dengan lagu Macan Ucul.

Suara

Suara dapat berupa teriakan, jeritan, aduhan, tobatan, atau bunyi tiruan yang berupa onomatopia. Suara merupakan pelengkap sabetan lagaan.

Tembang

Tembang adalah nyanyian yang dilantunkan oleh pesinden, wirasuara, atau dalang. Tembang pembuka pakeliran dilantunkan oleh pesinden. Tembang pengiring pakeliran dilantunkan oleh pesinden dan wirasuara. Tembang dalam adegan Limbukan dan Gara-gara dilantunkan oleh dalang yang berkolaborasi dengan pesinden atau bintang tamu. 

Mantra

Mantra atau sastra mantra pedalangan ada dua kategori. Pertama, mantra yang berupa doa ki dalang dalam penyelenggaraan pakeliran. Kedua, mantra yang berupa rapalan tokoh wayang dalam mengeluarkan kesaktiannya. 

Cerita


Cerita pedalangan bersumber pada cerita pakem, carangan,gubahan,dan sempalan. Sumber cerita pakem antara lain [[Mahabarata versi India ], Ramayana, Serat Pustaka Rajapurwa lakon wayang gagrak Surakarta , Serat Purwakandha lakon wayang gagrak Yogjakarta untuk wayang purwa. Sedangkan untuk wayang madya dan wayang wasana bersumber pada cerita-cerita babad. Wayang wahyu bersumber pada cerinta-cerita injil. Sumber cerita carangan adalah kreasi baru ki dalang dengan mengacu pada pakem. Cerita gubahan berupa adaptasi atau pembaharuan yang sesuai dengan zaman. Cerita sempalan merupakan kreasi murni yang mengarah kepada gaya baru dalam pedalangnan.Keanekaragaman sumber cerita sastra pedalangan menunjukan kekayaan budaya pewayangan Indonesia.
Sastra pedalangan tentu saja banyak ragamnya. Hal ini menunjukkan kebinekaan sastra pedalangan Indonesia. Ada pedalangan Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Lombok, Banjar, dan sebagainya.

Statiun Televisi

Kompas TV Jawa Barat CTV Banten
https://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_Pedalangan

Syaratnya hanyalah, memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi. 
https://sabdalangit.wordpress.com/tag/dalang/

8 Syarat Syarat Dalang:
1. Parama sastra: Harus kaya perbendaharaan kata, ahli Tata Bahasa (utama Bhs.Lisan)
2. Parameng kawi: Harus paham Arti Kata2 dan Istilah( Bhs.Kawi dan Bhs.Jawa Kuno) 
3. Mardi basa: Harus Pandai mempermainkan/ mengolah kata2 yang digunakan, sehingga penceritaanya lebih memikat perhatian penonton, lebih dapat membawakan suasana cerita
4. Mardawa Lagu: Harus menguasai berbagai Tembang, Gending, & Seni Karawitan)
5. Mandra guna: Harus menguasai berbagai keterampilan (seni pedalangan) atau Harus memiliki kelebihan batiniah & sugesti diri yang kuat, sehingga dapat menguasai & mengendalikan emosi penonton
6. Hawi carita: Harus Seorang yang mempunyai kemampuan bercerita, kemahiran untuk membawakan cerita secara urut dan memikat, tidak ada bagian cerita yang janggal 
7. Nawung krida: Harus mengerti dasar2 ilmu psikologi, memahami karakter semua tokoh wayang dan kaitannya dengan karakter manusia 
8. Sambegana: Harus punya tingkatan kuat terhadap semua lakon wayang dan tahu benar urutan sekenario ceritanya 
5 Derajat/ Tingkatan Dalang: 
1. Dalang Sejati: Tingkatan Tertinggi, Mampu Meruwat Lengkap, Orang Pintar yang sanggup memberi  pepadang pada orang2 yang sedang susah, ruwet pikurannya, Derajat Spiritualnya Tinggi 
2. Dalang Purba: Menguasai Banyak Lelakon, Sanggup Memilih Lakon yang tepat dalam (acara/ situasi), Sanggup Memberi Wejangan yang bermanfaat bagi penonton (tanpa mengganggu alur/ plot cerita), Mengetahui Pengetahuan Filsafat (jawa terutama), dan menguraikanya tanpa membuat penonton bosan, justru tekun mendengarkan 
3. Dalang Wasesa: Sanggup Membangkitkan emosi penonton, pandai bertutur yang dapat menyebabkan emosi penonton larut( seolah di dunia Cerita wayang tersebut, seperti kaya tenan), biasanya dalang semacam ini mempunyai prabawa yang kuat 
4. Dalang Guna: Hanya mengandalkan terampil memainkan wayang, tidak peduli soal filsafat/ segi pendidikan didalamnya, biasanya ia memperpanjang adegan perang, soal gending, tembang, seni karawitanpun, kurang menguasai, penggemar dalang semacam ini Umum terutama Kaum Muda yang tidak terlalu tinggi tingkat pendidikannya/ tidak mementingkan soal tingkat pendidikan tinggi 
5. Dalang Wikalpa: Sebutan dalang yang tidak memiliki kreasi mendalang, persis apa yang diajarkannya, persis buku pakem lakon, tanpa improvisasi, meskipun cara mendalang tidak salah, biasanya dalang yang demikian membosankan penonton 
http://www.hadisukirno.co.id



Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer