Kesultanan Loloda Maluku Utara

Kesultanan Loloda. Terletak di P. HalmaheraKab. Halmahera Baratprov. Maluku Utara.

Kesultanan Loloda, Gerbang Utara Kepulauan Rempah-rempah

Kesultanan Loloda terletak di Halmahera Utara, dan diyakini sebagai salah satu kerajaan tertua di Maluku. Tidak dijelaskan secara jelas dalam sumber tertulis kapan Kerajaan Loloda ini terbentuk. Sejarawan Paramita Abdurrahman mencatat bahwa menurut sumber dari Negara Krtagama dari zaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh Mpu Prapanca, menyebutkan bahwa pada masa paling awal telah berkuasa seorang Kolano (raja) di Loloda, Halmahera. Selain itu ada beberapa pendapat lain yang menjelaskan tentang berdirinya Kesultanan Loloda yaitu :

  1. Kerajaan-kerajaan di Maluku termasuk Kesultanan Loloda dan Kesultanan Moro berdiri pada abad ke-13. Bahkan disebutkan juga bahwa dua kerajaan ini adalah yang tertua di Halmahera (Pendapat Abdul Hamid Hasan dalam buku “Aroma Sejarah dan Budaya Ternate).
  2. Dalam Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana dutulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kesultanan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama, Said Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik, yang bergelar Sri Maharaja Yang Bertahta DBukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
  3. Menurut cerita masyarakat Loloda sekarang, Kesultanan Loloda didirikan oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Peristiwa kedatangan Raja Loloda ini berkaitan dengan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal nama Loloda yang dalam bahasa Galela disebut loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.

            Pada saat dilakukan pertemuan Moti pada tahun 1322 yang diprakarsai Sida Arif Malamo  (sultan Tidore) untuk membahas ketegangan yang saat itu terjadi karena kecemburuan dari rakyat Kesultanan Tidore, Bacan, dan Jailolo terhadap Kesultanan Ternate yang bertambah makmur. Kesultanan Loloda mengirimkan wakilnya untuk turut hadir dalam pertemuan yang diakhiri dengan terbentuknya “Persekutuan Moti” itu, namun karena terhalang oleh badai angin, perwakilan Loloda terpaksa mendarat di Dufa-Dufa, Ternate, dan gagal mengikuti pertemuan Moti. Kesultanan Loloda kemudian menjadi bulan-bulanan politik ekspansi Ternate dan pengaruh politik Kesultanan Loloda mulai tidak terlalu signifikan di daerah Maluku Utara saat itu.
            Ketika kedatangan bangsa Eropa (Portugis) awal abad 16, Kesultanan Loloda sudah tidak berperan dan tidak berpengaruh lagi karena dianekasasi oleh Kesultanan Ternate. Kepentingan Portugis di Halmahera Utara hanya ada di kawasan Kerajaan Moro yang terletak di timur Halmahera. Kerajaan Moro sendiri kemudian terbagi menjadi dua yaitu Moro-Tia (Moro daratan) dan Moro-Tai (Moro lautan). Kerajaan Moro kemudian juga menerima ajaran Katolik yang diawali dengan pembaptisan Raja Moro oleh utusan Gubernur Trisao de Aride yang segera diikuti oleh sebagian rakyatnya di Mamuya dan sultan berganti nama menjadi Don Joao de Mamuya. Namun, saat Portugis berhasil diusir keluar Maluku oleh Sultan Babullah dari Ternate, Kerajaan Moro kemudian dianekasasi untuk menjadi bagian dari wilayah Kesultanan Ternate. Hal itu mengakhiri riwayat Kerajaan Moro, sedangkan Kesultanan Loloda meskipun diakui oleh Ternate sebagai wilayahnya dan kesultanan yang bersifat semi-independen tetap ada karena Kesultanan Loloda berkedudukan sebagai Ngara Mabeno (Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.
            Pada abad ke 18, Kesultanan Loloda statusnya disetarakan dengan distrik, seperti yang telah terjadi pada Kesultanan Jailolo. Sedangkan Kesultanan di Maluku Utara lainnya seperti Ternate, Tidore, dan Bacan tetap menjadi sebuah Kesultanan karena mempunyai hubungan dengan VOC yang menguasai monopoli rempah-rempah. Meskipun tingkatnya disetarakan dengan distrik seperti Galalea, Tobelo, dan Kau, penguasa daerah Loloda tidak disebut dengan Sangaji, namun tetap disebut dengan sebutan untuk penguasa sebuah negara, yaitu Kolano Loloda. Pengakuan tentang masih berdirinya Kesultanan Loloda disampaikan secara tidak langsung oleh Sultan Nuku yang kembali membangun Kerajaan Jailolo dengan mengangkat Muhammad Arif Billa sebagai Sultan Jailolo. Dalam suatu surat Sultan Nuku kepada Gezaghebber Ternate menjelaskan bahwa pengangkatan Raja Jailolo itu juga didukung oleh Raja Loloda.
            Dalam Surat Gezaghebber Ternate tertanggal 8 September 1808, disebutkan bahwa kepala distrik Loloda yang selama ini dianggap sebagai distrik ternyata memiliki struktur pemerintahan sebagaimana kerajaan-kerajaan lain seperti Ternate. Penguasa Loloda tetap memakai nama Kolano Loloda dan mempunyai Bobato Madopolo yang lengkap yang terdiri dari Jogugu, Kapita Laut, Hakim sampai pada Sowohi dan Jabatan-jabatan dibawah lainya. Kerajaan Loloda masih berdiri sampai abad 19, namun pamornya kalah oleh tiga kerajaan besar yang ada di Maluku Utara. Kesultanan Loloda baru berakhir pada abad ke 20 tepatnya pada tahun 1908. Peristiwa yang menyebabkan Kesultanan Loloda jatuh adalah adanya pergolakan politik internal kerajaan dan adanya pengaruh dari pemerintah Hindia-Belanda.
Ketika Kolano Sunia wafat pada awal abad ke-20 ini, terjadi perebutan Tahta Kolano Loloda oleh empat orang Kaicil (Jongofa) yakni Jongofa Arafane, Jongofa Syamsudin, Jongofa Nasu dimana ketiganya merupakan putera dari Kolano Sunia dan Jongofa Koyoa yang merupakan putera dari Kapita Lau Dumba. Dalam perebutan ini, Jongofa Syamsuddin berhasil menduduki Tahta Kolano Loloda atas keinginan para Bobato dan pertimbangan Kesultanan Ternate maupun Belanda. Sementara Jongofa Arafane direstui sebagai Kapita Lau, Jongofa Nasu diberi penghormatan sebagai Kapita Lau Majojo (Kapita Laut Muda). Sementara Kayoa hanya berhak menyandang gelar Jongofa atau Kaicil. Karena tidak merasa puas dengan kedudukannya, Koyoa pun kemudian memutuskan untuk tidak bergabung dengan keluarga Istana. Ketika dilakukan penagihan balasting oleh pegawai utusan Belanda di Loloda, Kayoa mengajukan protes terhadap Kolano Syamsuddin karena dianggap tidak bijaksana menjadi seorang Kolano. Ia membiarkan pihak Belanda memungut pajak secara semena-mena terhadap rakyat. Menurut Kayoa, pembayaran balasting atau pajak mesti diserahkan oleh rakyat kepada pihak kerajaan bukan kepada Belanda .
            Aksi Kayoa ini diekspresikan dengan memprovokasi warga untuk menjatuhkan kewibawaan Kolano Syamsuddin. Ketika utusan/mantri Pajak Belanda sedang berada di dalam Keraton Loloda, seorang Kapita dari Soa Laba yang bernama Sikuru dengan dua rekannya Bagina dan Tasa dari Soa Bakun mendatangi Keraton dan membunuh Mantri Pajak Belanda tersebut di hadapan Kolano Syamsuddin dan Joboki Habiba sebagai bentuk protes terhadap Kolano Syamsuddin. Kapita Sikuru, Bagina dan Tasa adalah pesuruh Kaicil Kayoa.
            Akibat pembunuhan terhadap Mantri Pajak Belanda itu, menimbulkan amarah pihak Belanda karena dianggap menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda. Belanda pun kemudian mendatangkan aparat keamanannya untuk meredam aksi yang dilakukan oleh tiga warga Loloda tersebut. Akan tetapi kedatangan aparat Belanda di Loloda tersebut sempat dihadang oleh Kapita Sikuru dari Soa Laba dan sekelompok masyarakat yang telah disiapkan oleh Kaicil Kayoa. Perlawanan ini oleh masyarakat Loloda dikenang sebagai peristiwa Perang Laba (Gogoru Laba) tahun 1908.
            Perlawanan terhadap Belanda tersebut, mengakibatkan Kolano Syamsuddin diminta untuk mempertanggungjawabakan aksi warganya. Ia kemudian dibawa ke Ternate bersama permaisurinya Joboki Habiba dan anak-anaknya. Karena tidak dapat mempertanggung jawabkan aksi yang dilakukan oleh warganya, Kolano Syamsuddin pun kemudian tidak diperkenankan kembali ke Loloda. Ia sempat dibawa ke Jawa dan baru diperkenankan kembali ke Ternate pada tahun 1915. Sementara Permaisurinya dan anak-anaknya tetap berada di Ternate. Joboki Habiba wafat pada tahun 1912 dan Kolano Syamsuddin wafat pada tahun 1915. Keadaan ini menggambarkan bahwa Kolano Syamsuddin wafat setelah dikembalikan oleh Belanda dari pengasingan di Pulau Jawa. Setelah Kolano Syamsuddin diansingkan, secara otomatis kekuasaan Kerajaan Loloda pun berakhir dan Kerajaan Loloda berada di bawah kekuasaan Kerajaan Ternate.
https://sejarawanmuda.wordpress.com/kesultanan-loloda-gerbang-utara-kepulauan-rempah-rempah-html

Kesultanan Loloda Hidup Lagi

Acara ritual yang digelar pihak kesultanan Loloda
Prosesi  Pemilihan, Sembilan Hari Sembilan Malam
Kesultanan Loloda  hidup lagi. Ini setelah mengalami “hibernasi:” selama ratusan tahun.  Sejumlah catatan sejarah telah mengungkapkan, sejarah Maluku Utara tidak bisa dilepaspisahkan  dari kerajaan Loloda. Meski sejarah lahirnya kerajaan Loloda sangat minim--- tidak ada sumber tertulis menerangkan secara jelas  kapan Kerajaan ini  terbentuk---namun peran kerajaan Loloda begitu sentral.
Sekadar referensi,  Loloda adalah sebuah kawasan dengan komunitas masyarakat yang awalnya terbentuk melalui  jaringan kekuasaan tradisional. Kerajaan ini tidak tidak terkonfigurasi dalam kesatuan Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo).  Loloda tidak sempat menghadiri pertemuan Raja-raja Maluku di Pulau Moti  (Moti Staten Verbond) pada 1322 yang diprakarsai Raja/Kolano Ternate Sida Arief Malamo.
Sejarawan Paramita Abdurrahman  sebagaiamana dikutip dalam situs resmi Pemkab Halmahera Utara (http://www.halmaherautara.com/artl/87/loloda,-toma-ngara-ma-beno) menyebutkan bahwa dari Nagara Kartagama Majapahit sebagaimana ditulis Mpu Prapanca, menyebutkan bahwa pada masa awal telah berkuasa seorang Kolano (Sultan/raja)  di Loloda Halmahera. Kroniek Van Het Rijk Batjan (Kronik Kerajaan Bacan) sebagaimana ditulis oleh Coolchaas, dikisahkan bahwa Kerajaan Loloda didirikan oleh Kaicil Komalo Besy, putera Sultan Bacan yang pertama Said Muhammad Baqir Bin Jafar Shadik yang bergelar Sri Maharaja yang bertahta di bukit Sigara dengan perkawinannya dengan Boki Topowo dari Galela.
Sementara menurut cerita masyarakat Loloda,  Kerajaan Loloda didirikan oleh seorang tokoh legendaris yang datang dari Ternate via Galela. Tokoh ini berama Kolano Tolo alias Kolano Usman Malamo. Kedatangan Raja Loloda ini berkaitan dngan meletusnya Gunung Tarakani di Galela (cerita lain menyebut Gunung Mamuya) yang kemudian mendorong tokoh ini menyingkir ke Loloda. Dari sinilah kemudian menjadi cikal-bakal  Loloda yang dalam bahasa Galela disebut Loda yang berarti pindah atau hijrah. Sebelumnya nama Loloda adalah Jiko Mabirahi.  Dari beberapa versi di atas menunjukkan keberadaan Loloda dalam sejarah kekuasaan politik di Maluku jelas merupakan suatu keniscayaan sejarah. Ketika datangnya bangsa Portogis di Maluku pada abad ke-16, Kerajaan Loloda sudah tidak berpengaruh untuk kepentingan Portugis. Dari sejumlah sumber, hanya mengungkapkan bahwa kepentingan Portogis di Halmahera Utara lebih menonjol pada kawasan Kerajaan Moro yang belakangan terbagi menjadi Moro-Tia dan Moro-Tai (Moro Daratan dan Moro diseberang Lautan). Kondisi ini terekam dari pengaruh Missi Ordo Jesuit Khatolik yang pada akhirnya berhasil membaptis sebagian orang-orang Moro termasuk Raja Moro di Mamuya dengan nama baptisan Don Joao de Mamuya.
Saat Sultan Baabullah Datu Sjah berhasil mengusir Portogis dari Maluku, Kerajaan Moro kemudian dianeksasi dan digabungkan ke dalam wilayah Kesultanan Ternate. Peristiwa ini terjadi pada perempatan terakhir abad ke-16. Dari  sini riwayat Kerajaan Moro pun praktis berakhir. Sementara Kerajaan Loloda masih tetap eksis sebagai salah satu Kerajaan Maluku di Utara Halmahera. Sebagai Kerajaan Maluku di Utara Halmahera, Kerajaan Loloda berkedudukan sebagai “Ngara Mabeno” (Dinding Pintu) yang berfungsi sebagai penjaga Pintu dari Utara.  
Dalam Silsilah Raja-raja Loloda maupun sumber-sumber lisan masyarakat Loloda, mengungkapkan, Kerajaan Loloda baru berakhir pada awal abad ke-20 yakni pada tahun 1908.  Setelah kemerdekaan  Indonesia, status dan struktur Kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda ini mengalami reduksi dari kepemimpinan Raja/Kolano menjadi setingkat Jogugu. Kondisi ini terjadi karena pengaruh Kesultanan Ternate yang mendominasi system politik local ketika itu. Jogugu Kerajaan Moloku Loloda tersebut diangkat oleh Kesultanan Ternate dari Putera Mahkota Kolano Loloda, Kaicil Hi. Djamilullah Bin Syamsuddin.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Jogugu Loloda memegang peranan utama dalam kepemimpinan Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda. Dalam menjalankan fungsinya, Jogugu Kerajaan Moloku Loloda didampingi oleh perangkat utamanya seperti Kapita Lau, Hukum Soa-sio, Tuli Lamo dan Sowohi. Kapita Lau dapat disamakan dengan Panglima Armada Laut. Hukum Soa-sio adalah  Menteri Urusan  Dalam Negei, Tuli Lamo sebagai Sekretaris dan Sowohi berfungsi sebagai Humas dan Protokoler.
Lembaga Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan kepemimpinan Jogugu ini senantiasa eksis di zamannya hingga Jogugu tersebut wafat pada tahun 1977. Sejak saat itu Lembaga ini  dan baru pada tahun 1999 dibangkitkan kembali atas insiatif Kesultanan Ternate dengan mengangkat Kaicil (Pangeran) Bayan A. Syamsuddin sebagai Jogugu Kerajaan Moloku Loloda beserta perangkat Bobatonya. Pada 2004 lalu, Jogugu Bayan A. Syamsuddin ini pun tutup usia, dan kelembagaan Adat Kerajaan Moloku Loloda dengan perangkat Bobato seperti Kapita Lau dan Hukum Soasio terkesan berjalan di tempat karena pengaruh usia yang telah lanjut.  Untuk mengisi kekosongan kedudukan Jogugu Kerajaan Moloku tersebut, maka sesuai Adat Se-Atorang, telah diorbitkan Kaicil (Pangeran) Lutfi M. Syamsuddin. A.Ptnh sebagai pengganti Jogugu Kerajaan Moloku Loloda. Penobatannya telah dilaksanakan 30 Oktober 2008 dalam suatu Upacara Kebesaran Adat Loloda di Pendopo Kesultanan Ternate.
 Lama tak terdengar, seperti dikutip dari laman malutpost.co.id, warga masyarakat Loloda kemudian  mengembalikan status kepemimpinan (Dada Madopo) lembaga Ke-kolanoan atau kerajaan Moloku Loloda ini. Sekretaris Besar (Tuli Lamo) kerajaan Loloda yang juga dosen sejarah di Unkhair Ternate Mustafa Mansur  mengatakan, kegiatan ini  diawali dengan meminta petunjuk kepada Allah SWT untuk melihat sosok yang dianggap mampu dan tepat menjadi Raja atau Kolano Loloda. Ini dilakukan melalui ritual adat Kolano Madadi. Ritual  adat kolano Madadi dilaksanakan selama 9 hari 9 malam di desa Sosa-Sio Loloda, “Ritual ini dimulai Kamis malam (11/3) lalu setelah ba’dah Isya dan dibuka secara langsung oleh Jogugu Moloku Loloda selaku wali Kolano Loloda Kompol Kaicil Suaib Samsudin didampingi Plt kapita Lau Moloku Loloda Kaicil Habib Mamang,” katanya.  Prosesi “verifikasi gaib” ini berakhir pada 20 Maret 2016 lalu. 
Mansur menjelaskan, ada lima nama diritualkan untuk mencari   satu yang  dianggap mampu  menjadi sosok raja atau kolano. Satu nama yang dipilih lalu diperkenalkan (Sinonako) kepada masyarakat atau balakusu sekano-kano. Ia  kemudian dinobatkan dalam upacara adat yang disebut ‘Tede Se Saha’ yang artinya mengangkat dan mengesahkan (KP01/dikutip dari  berbagai sumber)
http://kabarpulau.com/kabar-kampung/item/kesultanan-loloda-hidup-lagi-html.


Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer