Kesultanan Kadariyah Pontianak Kalimantan Barat

Kesultanan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya dating ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri.
http://rossyblackmonster.blogspot.co.id/makalah-sejarah-kerajaan-kerajaan-islam.html

Kesultanan Pontianak (1771).
Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771 oleh penjelajah dari Arab Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha. Ia melakukan dua pernikahan politik diKalimantan, pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin (Ratu Syarif Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh Tamjidullah I).Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadariah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
http://anggitwildian.blogspot.co.id/sejarah-kerajan-kerajaan-islam-di.html

Kesultanan Pontianak (1771).
Kesultanan Kadriah Pontianak didirikan pada tahun 1771 oleh penjelajah dari Arab Hadramaut yang dipimpin oleh al-Sayyid Syarif 'Abdurrahman al-Kadrie, keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Panembahan Mempawah dan kedua dengan putri Kesultanan Banjarmasin (Ratu Syarif Abdul Rahman, puteri dari Sultan Sepuh Tamjidullah I).Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadariah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
http://lailameika13.blogspot.co.id/2015/04/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Kesultanan Pontianak
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Pontianak
Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Pontianak
       Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Sultan Syarif Yusuf lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
       Kesultanan Kadriah dipimpin oleh delapan sultan, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950 sebagaimana berikut ini :
a.    Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie (1771-1808)
b.    Sultan Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819)
c.    Sultan Syarif Usman Alkadrie (1819-1855)
d.    Sultan Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872)
e.    Sultan Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895)
f.     Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944)
g.    Sultan Syarif Thaha Alkadrie (1944-1945)
h.    Sultan Syarif Hamid II Alkadrie (1945-1950)
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Pontianak
       Kesultanan Kadriah merupakan kerajaan terbesar di wilayah Kalimantan. Kesultanan Kadriah berkembang pesat karena didukung dengan adanya jalur pelayaran dan perdagangan. Proses ini juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat. Tidak sedikit dari para pendatang yang kemudian bermukim di daerah ini.
       Kegiatan perdagangan di Pontianak berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di persimpangan 3 sungai. Pontianak juga memiliki hubungan dagang yang luas.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/kerajaan-islam-di-kalimantan.html


Kesultanan Pontianak

Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie, keturunan Rasulullahdari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas yang termasuk kawasan yang diserahkan Sultan Banten kepada VOC Belanda. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I, sehingga ia dianugerahi gelar Pangeran). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.
  
Bendera dan Lambang Ksl.Kadariyah Pontianak 

Istana Kesultanan Kadariyah Pontianak 

Sejarah

Pendirian

Kesultanan ini didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, seorang putra ulama keturunan Arab Hadramaut dari Kerajaan Mempawah, pada hari Rabu, 23 Oktober1771 (14 Rajab 1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak, Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Jami Pontianak (kini bernama Masjid Sultan Syarif Abdurrahman) dan Istana Kadariyah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam BugisKecamatan Pontianak TimurKota Pontianak.

Masa Kolonial

Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpalm. Belanda saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal. Palm kemudian digantikan oleh Wolter Markus Stuart yang bertindak sebagai Resident van Borneo’s Wester Afdeling I (1779-1784) dengan kedudukan di Pontianak. Semula, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie menolak tawaran kerjasama dengan negeri asing dari Eropa itu. Namun setelah utusan itu datang untuk kedua kalinya, Syarif menerima Belanda sebagai rekan persemakmuran dengan tangan terbuka.
Pada tanggal 5 Juli 1779Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk Bestuur van Pontianak.
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belandadan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.
Setelah Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855) naik tahta sebagai Sultan Pontianak. Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), kemudian dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahanya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.
Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895. Dia digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan sebagai Sultan Pontianak pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian MelayuTeluk Belanga, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan BelandaJepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat.
Pihak Jepang sebenarnya sudah mencurigai bahwa di Kalimantan Barat terdapat komplotan-komplotan yang terdiri atas kaum cendekiawan, para bangsawan, raja, sultan, tokoh masyarakat, orang-orang Tionghoa, dan para pejabat. Sehingga mereka berinisiatif untuk menghancurkan mereka dengan penangkapan-penangkapan. Penangkapan-penangkapan tersebut terjadi antara September 1943 dan awal 1944. Tak hanya melakukan penangkapan-penangkapan, Jepang juga melakukan penyiksaan dan pembunuhan massal terhadap ribuan penduduk Pontianak dan sekitarnya. Pada 28 Juni 1944Jepang menghabisi Sultan Syarif Muhammad beserta beberapa anggota keluarga dan kerabat kesultanan, pemuka adat, para cendekiawan, dan tokoh masyarakat Pontianak. Nasib sama juga menimpa para raja dan sultan lain serta masyarakat di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepanginilah yang menjadi salah satu faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.
Jenazah Sultan Syarif Muhammad baru ditemukan pada 1946 oleh putranya yang bernama Syarif Hamid Alkadrie. Syarif Hamid bisa selamat dari genosida itu karena tidak sedang berada di Pontianak. Saat itu ia menjadi tawanan perang Jepang di Batavia sejak 1942 dan bebas pada 1945.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan

Syarif Hamid kembali ke Pontianak dan dinobatkan menjadi Sultan Pontianak (1945-1978) pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II, atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II.
Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950Sultan Hamid II adalah perancang Lambang Negara Indonesia. Selain sebagai Ketua Perhimpunan Musyawarah Federal (Bijeenkomst voor Federaal Overleg / BFO) pada tahun 1949, ia juga menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat.
Pada 28 Oktober 1946, Pemerintah Sipil Hindia Belanda sebagai Dewan Borneo Barat membentuk Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan mendapat kedudukan sebagai Daerah Istimewa pada 12 Mei 1947. Daerah Istimewa Kalimantan Barat meliputi monarki-monarki (swapraja) di Kalimantan Barat, termasuk Kesultanan Pontianak. Saat itu Sultan Hamid II ditujuk sebagai Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat. Sebelum 5 April 1950, Daerah Istimewa Kalimantan Barat bergabung dengan Negara Republik Indonesia (RIS). Daerahnya kemudian menjadi bagian dari Provinsi Administratif Kalimantan. Setelah pembubaran Republik Indonesia Serikat pada 17 Agustus 1950, wilayah Kesultanan Pontianak menjadi bagian Provinsi Kalimantan Barat.
Setelah Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978, terjadi kekosongan jabatan sultan di keluarga Kesultanan Paontianak. Kekosongan jabatan itu bahkan berlangsung selama 25 tahun. Namun pada 15 Januari2004, pihak bangsawan Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak. Jauh sebelumnya, tepatnya pada 29 Januari 2001 seorang bangsawan senior, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak. Kerabat Muda ini bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya.

Daftar Sultan Pontianak

Sultan-Sultan Kadriah Pontianak
NoSultanMasa pemerintahan
1Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie1 September 1778 – 28 Februari 1808
2Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
3Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie25 Februari 1819 – 12 April 1855
4Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
*Interregnum24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
7Mayjen KNIL Sultan Hamid II (Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie)29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
*Interregnum30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie15 Januari 2004 – Sekarang
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Pontianak

Kehidupan Ekonomi

Perdagangan merupakan kegiatan yang menopang kehidupan ekonomi di Kerajaan Pontianak. Kegiatan perdagangan berkembang pesat karena letak Pontianak yang berada di persimpangan 3 sungai. Pontianak juga membuka pelabuhan sebagai tempat interaksi dengan pedagang luar.
Komoditas utamanya antara lain :
-Garam, berlian, emas, lilin, rotan, tengkawang, karet, tepung sagu, gambir, ,pinang, sarang burung, kopra, lada, dan kelapa.
Pontianak memiliki hubungan dagang yang luas. Selain dengan VOC, pedagang Pontianak melakukan hubungan dagang dengan pedagang dari berbagai daerah. Kerajaan Pontianak kemudian menerapkan pajak bagi pedagang dari luar daerah yang berdagang di Pontianak. Tidak sedikit dari para pendatang yang kemudian bermukim di Pontianak. Mereka mendirikan perkampungan untuk bermukim sehingga nama-nama perkampungan lebih menunjukkan ciri ras dan etnis.

Sistem Pemerintahan

Kesultanan ini berlangsung selama hampir dua abad, yaitu sejak tahun 1771 hingga tahun 1950. Selama kesultanan ini masih eksis terdapat delapan sultan yang pernah berkuasa. Ketika kesultanan ini berakhir pada tahun 1950, yaitu seiring dengan bergabungnya banyak daerah dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka sistem pemerintahan juga berubah menjadi pemerintahan Kota Pontianak.Pada tahun 1943-1945, pejuang-pejuang di Kalimantan Barat ikut berjuang melawan kolonialisme Jepang di Indonesia, sebagaimana yang dilakukan pejuang-pejuang di Jawa dan Sumatera. Puncaknya, pada tanggal 16 Oktober 1943 terjadi pertemuan rahasia di Gedung Medan Sepakat Pontianak yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat dari berabagai golongan. Mereka bersepakat untuk merebut kekuasaan dari pemerintah kolonial Jepang dan mendirikan Negeri Rakyat Kalimantan Barat dengan lengkap 18 menterinya.

Sistem Sosial

Masyarakat Pontianak dikelompokkan secara sosial berdasarkan identitas kesukuan, agama, dan ras. Pengelompokan berdasarkan suku, yaitu: pertama, komunitas suku Dayak yang tinggal di daerah pedalaman. Komunitas ini dikenal tertutup, lebih mengutamakan kesamaan dan kesatuan sosio-kultural. Kedua, komunitas Melayu, Bugis, dan Arab, yang dikenal sebagai penganut Islam terbesar di daerah ini yang lebih menekankan aspek sosio-historis sebagai kelas penguasa. Ketiga, imigran Cina yang tinggal di daerah pesisir, yang dikenal sebagai satu kesatuan sosio-ekonomi.

Hasil Budaya

Tradisi Saprahan (Makan Dalam Kebersamaan)
Kata Saprahan sudah asing terdengar di telinga masyarakat Kalbar, padahal kata ini adalah sebuah jamuan makan yang melibatkan banyak orang yang duduk di dalam satu barisan, saling berhadapan dalam duduk satu kebersamaan. Masa kini tradisi tersebut telah berganti menjadi sebuah trend baru prasmanan, dimana sulit untuk mempertemukan sekelompok orang atau masyarakat dalam satu majelis, saling berbagi rasa tanpa syak swangka, saling berhadapan sembari menikmati hidangan makanan di hadapannya.
Pantun
Mantra
Syair
Jepin Lembut
http://www.sridianti.com/sejarah-kerajaan-pontianak.html

Sejarah Kerajaan Pontianak

Kerajaan-kerajaan  yang  terletak  di daerah  Kalimantan Barat antara  lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah  diberitakan  Tome Pires (1512-1551).
Sejarah pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan Belanda, VJ. Verth dalam bukunya ”Borneos Wester Afdeling”, yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat saat ini.
Menurutnya, Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah 1773 Masehi dari Batavia. Verth menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al Habib Husin), meninggalkan Kerajaan Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin, ia menikah dengan adik sultan Banjar Sunan Nata Alamdan dilantik sebagai Pangeran Syarif Pangeran. Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya, kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie adalah pendiri dan sultan pertama Kerajaan Pontianak. Ia dilahirkan pada tahun 1142 Hijriah / 1729 / 1730 , putra Al-Habieb Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal dari Arab.
Setelah tiga bulan ayahnya wafat (1184 H) di Mempawah, maka Syarif Abdurrahman mengajak kaum keluargannya bermusyawarah untuk meninggalkan Mempawah. Mereka berangkat dengan menggunakan empat belas kapal/perahu yang bernama “KAKAP”. Di malam gelap berhentilah mereka untuk menunggu hari siang. Tempat peristirahatan mereka oleh penduduk menamainya yang masih terkenal dengan sebutan “KELAPA TINGGI SEGEDONG”. Hampir-hampir mereka mendirikan pusat kerajaannya di tempat ini. Karena tidak sesuai dengan maksud Abdurrahman, berangkatlah mereka memutar haluan masuk sungai kapuas kecil. Sepanjang perjalanan menyusuri sungai kapuas kecil ke daerah Batu Layang, tak henti-hentinya gangguan makhluk-makhluk halus, alias hantu pontianak yang menakutkan itu. Adalah salah satu gangguan yang menghambat perjalanan maju. Syarif Abdurahman yang berani berpengalaman itu mengambil sikap tegas. Untuk melanjutkan perjalanan harus berhenti menunggu hari siang.
Menurut pendapat Syarif Abdurahman bahwa tempat inilah yang paling tepat, strategis perang dan perdagangan. Ditetapkannyalah tempat ini menjadi Ibu Kota Kerajaannya.
Pontianak adalah sebagai kerajaan yang paling akhir didirikan di Kalimantan Barat. Didirikan sezaman dengan pemerintahan Van Der Parra ( 1761-1775). Gubernur jendral V.O.C yang ke 29. Pendirinya adalah putra sulung dari Al-Habib Husin Al-Qadri yang bernama Pangeran Syarif Abdurahman. Menurut panitia hari jadi Kota Pontianak, kota ini didirikan pada tanggal 23 Oktober 1771 ( 14 Rajab 1185 H ). Jelas bahwa kerajaan ini didirikan semasa Islam telah berkembang di Kalimantan Barat.
Terlahirlah suatu kota pada tanggal 24 Rajab 1181 Hijriah yang bertepatan pada tanggal 23 Oktober 1771 Masehi, kota yang berdiri di daerah tropis. Asal mulanya kota tersebut datangnya rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie yang membuka hutan di persimpangan tiga Sungai Landak Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Kapuas.
Hal ini dilakukan oleh rombongan Syarif Abdurrahman Alkadrie untuk mendirikan balai dan rumah sebagai tempat tinggal. terurai insiatif para rombongan untuk memberi nama tempat mereka tinggal dengan nama PONTIANAK. Ya, terlahirlah nama kota tersebut yang masih dikenal hingga kini.
Pada tahun 1192 Hijriah, Syarif Abdurrahman Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan Pontianak Pertama. yang letak pusat pemerintahan ditandai dengan berdirinya Masjid Raya Sultan Abdurrahman Alkadrie dan Istana Kadariah, yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam Bugis Kecamatan Pontianak Timur.
Adapun Sultan yang pernah memegang tampuk Pemerintahan Kesultanan Pontianak:
1. Syarif Abdurrahman Alkadrie memerintah dari tahun 1771-1808
2. Syarif Kasim Alkadrie memerintah dari tahun 1808-1819.
3. Syarif Osman Alkadrie memerintah dari tahun 1819-1855.
4. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tahun 1855-1872.
5. Syarif Yusuf Alkadrie memerintah dari tahun 1872-1895.
6. Syarif Muhammad Alkadrie memerintah dari tahun 1895-1944.
7. Syarif Thaha Alkadrie memerintah dari tahun 1944-1945.
8. Syarif Hamid Alkadrie memerintah dari tabun 1945-1950.
Syarif Abdurrahman, yang kemudian menjadi pendiri Kesultanan Pontianak, adalah putra Al Habib Husin, seorang penyebar ajaran Islam yang berasal Arab. Tiga bulan setelah ayahnya wafat pada tahun 1184 Hijriah di Kerajaan Mempawah, Syarif Abdurrahman bersama dengan saudara-saudaranya bermufakat untuk mencari tempat kediaman baru. Mereka berangkat dengan 14 perahu Kakap menyusuri Sungai Peniti. Waktu dhohor mereka sampai di sebuah tanjung, Syarif Abdurrahman bersama pengikutnya menetap di sana. Tempat itu sekarang dikenal dengan nama Kelapa Tinggi Segedong.
Namun Syarif Abdurrahman mendapat firasat bahwa tempat itu tidak baik untuk tempat tinggal dan ia memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mudik ke hulu sungai. Tempat Syarif Abdurrahman dan rombongan sembahyang dhohor itu kini dikenal sebagai Tanjung Dhohor.
Ketika menyusuri Sungai Kapuas, mereka menemukan sebuah pulau, yang kini dikenal dengan nama Batu Layang, dimana sekarang di tempat itulah Syarif Abdurrahman beserta keturunannya dimakamkan. Di pulau itu mereka mulai mendapat gangguan hantu Pontianak. Syarif Abdurrahman lalu memerintahkan kepada seluruh pengikutnya agar memerangi hantu-hantu itu. Setelah itu, rombongan kembali melanjutkan perjalanan menyusuri Sungai Kapuas. Menjelang subuh 14 Rajab 1184 Hijriah atau 23 Oktober 1771, mereka sampai pada persimpangan Sungai Kapuas dan Landak Setelah delapan hari menebas pohon di daratan itu, maka Syarif Abdurrahman lalu membangun sebuah rumah dan balai, dan kemudian tempat tersebut diberi nama Pontianak. Di tempat itu kini berdiri Masjid Jami dan Keraton Pontianak.
Akhirnya pada tanggal 8 bulan Sya’ban 1192 Hijriah, dengan dihadiri oleh Raja Muda Riau, Raja Mempawah, Landak, Kubu dan Matan, Syarif Abdurrahman dinobatkan sebagai Sultan Pontianak dengan gelar Syarif Abdurrahman Ibnu Al Habib Alkadrie. Tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi), Belanda masuk ke daerah ini dari Betawi.


Tanjungpura  dan   Lawe  menurut  berita   musafir   Portugis sudah mempunyai kegiatan  dalam perdagangan baik dengan Malaka  dan  Jawa,  bahkan   kedua   daerah   yang  diperintah oleh Pate atau  mungkin  adipati  kesemuanya  tunduk  kepada kerajaan   di  Jawa  yang  diperintah   Pati  Unus.
Tanjungpura dan  Lawe (daerah  Sukadana)  menghasilkan komoditi seperti emas,  berlian,  padi,  dan  banyak  bahan   makanan. Banyak barang  dagangan dari Malaka  yang  dimasukkan  ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian  dari Bengal dan Keling yang berwarna merah  dan  hitam  dengan harga  yang  mahal  dan yang murah.
Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu telah berada di bawah  pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram  terutama dalam  upaya  perluasan  politik dalam  menghadapi  ekspansi politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin  yang kini sudah  termasuk wilayah Kalimantan  Barat  pada  masa  Kerajaan  Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad  ke-16.
Meskipun  kita tidak  mengetahui dengan pasti  kehadiran  Islam di Pontianak,  konon  ada  pemberitaan bahwa    sekitar   abad   ke-18   atau   1720   ada   rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya datang ke daerah  Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis.
Mereka di antaranya Syarif Idrus  bersama   anak  buahnya   pergi  ke  Mampawah, tetapi kemudian  menelusuri  sungai  ke arah  laut memasuki  Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak.  Syarif Idrus kemudian  diangkat  menjadi pimpinan utama  masyarakat  di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian  memindahkan kota dengan pembuatan benteng  atau   kubu  dari  kayu-kayuan untuk  pertahanan. Sejak itu  Syarif Idrus ibn  Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai  Raja Kubu. Daerah  itu mengalami kemajuan  di bidang  perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri. Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya:  Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad  ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M.
Cerita  lainnya  mengatakan  bahwa   pendakwah  dari Tarim (Hadramaut)  yang  mengajarkan Islam dan  datang ke Kalimantan  bagian  barat  terutama ke Sukadana  ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula  singgah  di Aceh dan  kemudian  ke Jawa  sampai  di Semarang  dan  di tempat itulah  ia bertemu dengan pedagang Arab namanya  Syaikh, karena  itulah maka Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana.  Dengan kesaktian Habib Husin al-Gadri menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan  dan rakyatnya. Kemudian Habib Husin al- Gadri pindah  dari Matan  ke Mempawah untuk  meneruskan syiar  Islam.  Setelah   wafat   ia  diganti   oleh  salah  seorang putranya  yang bernama Pangeran  Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi  dengan sejumlah  rakyatnya  ke tempat  yang kemudian  dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan  keraton  dan  masjid agung.  Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada  1808-1828 dan  selanjutnya  Kesultanan  Pontianak  di bawah  pemerintahan sultan-sultan keluarga  Habib Husin al-Gadri. Ulasan di atas  hanya  salah  satu  dari kerajaan  yang  ada di  Kalimantan,   tentu   kamu   dapat   mencari   informasi lebih mendalam tentang kerajaan  Islam yang ada  di Kalimantan
Dengan bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di Pelabuhan Pasir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
Besok paginya, Syarif Abdurahman menembakkan peluru meriamnya. Ia berkata : “ dimana peluru ini jatuh, disitulah kota kerajaan kita akan bangun. Selain dari membangun Ibu Kota, ia pun bermaksud mau mengusir hantu-hantu Pontianak pengganggu itu. Peluru telah berangkat mendahului mereka. Sekarang mereka mengikutinya. Peluru telah diketemukan ditempat dimana Masjid “ JAMI’ SULTAN PONTIANAK ” sekarang ini. Pertama-tama mereka mendidirikan Masjid untuk berbakti. Kemudian membangun keraton.
Masjid Jami' Sultan Pontianak 
Sebelum Kota Pontianak didirikan pemuda Syarif Abdurahman telah terkenal sebagai seseorang yang berjiwa Maritim. Persiapan yang cukup meyakinkan bahwa Kota Pontianak yang didirikan dipersimpangan sungai landak dan sungai kapuas kecil, yang dewasa itu ditutupi dengan hutan belukar. Diisukan sebagai daerah angker dengan penghuninya hantu pontianak. Dipandang dari sudut ekonomis dan agraris strategis maritim adalah sangat tepat. Buat pemikiran ini dapat disaksikan dengan berkembangnya kota ini menjadi pemerintahan dan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat. Kota yang baru berkembang ini merupakan pusat imigrasi suku-suku bangsa Indonesia dan luar Indonesia. Dilapangan Religi dan budaya ia merupakan basis penyebar agama Islam ke daerah Hinterland dan merupakan pula pusat kebudayaan hasil proses akulturasi yang telah berasimilasi dengan unsur-unsur kebudayaan melayu, jawa, bugis dan lain-lainnya yang kemudian berintegrasi dengan kebudayaan asli daerah ini. Kota yang terakhir muncul ini mendapat kehormatan untuk menerima dan memegang supermasi dan hegemoni dalam segala bidang atas kerajaan-kerajaan di Kalimantan Barat.
Mengenai issue hantu Pontianak penghuni tempat mendirikan Masjid dan Keraton Pontianak ( Tanjung Beting ) menurut tutur kata dan cerita tua-tua kampung, bahwa ini benar-benar ada. Diwaktu Sultan Abdurahman mau membangun Masjid yang pertama ditempat itu terdiri sebatang kayu besar yang ditebang sebelum mendirikan Masjid tersebut. Karena persiapan untuk membangun Masjid, mula-mula rombongannya membuat pondok-pondok beratap daun lalang untuk sementara dalam pondok-pondok tersebut, tak kunjung henti penghuni atau hantu Pontianak ini mengganggu ketentraman mereka. Jelas selama mereka menghuninya tak pernah merasa aman. Selalu ada saja gangguan setan Pontianak.
Kota ini terkenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis lintang nol derajat bumi. Di utara kota ini, tepatnya Siantan, terdapat monumen atau Tugu Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang tepat dilalui garis lintang nol derajat bumi. Selain itu Kota Pontianak juga dilalui Sungai Kapuas yang adalah sungai terpanjang di Indonesia. Sungai Kapuas membelah kota Pontianak , simbolnya diabadikan sebagai lambang Kota Pontianak.
Sumber: Sejarah SMA/MA X Kelas Kemdikbud 2014
http://ilmusosial.net/sejarah-kerajaan-pontianak.html

1. SULTAN I: SYARIF KASIM ALKADRIE (1808 – 1819)
Pada tahun 1808, Sultan Syarif Abdurrahman wafat. Dia dimakamkan di Batu Layang, Pontianak. Selanjutnya, putra sulungnya Syarif Kasim Alkadrie (1808-1819) naik tahta menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya. Di bawah kekuasaan Sultan Syarif Kasim, Kesultanan Pontianak semakin mempererat kerjasama dengan Kerajaan Belanda dan kemudian Kerajaan Inggris sejak tahun 1811.
2. SULTAN II: SYARIF USMAN ALKADRIE (1819 – 1855)
Sultan Syarif Kasim wafat pada 25 Februari 1819, dan digantikan oleh adiknya, Syarif Usman Alkadrie (1819-1855). Pada masa kekuasaan Sultan Syarif Usman, banyak kebijakan bermanfaat yang dikeluarkan olehnya, termasuk dengan meneruskan proyek pembangunan Masjid Jami’ pada 1821 dan perluasan Istana Kadriyah pada tahun 1855. Pada April 1855, Sultan Syarif Usman meletakkan jabatannya sebagai sultan dan kemudian wafat pada 1860.
3. SULTAN III: SYARIF HAMID I ALKADRIE (1855 – 1872) s/d SULTAN IV: SYARIF YUSUF ALKADRIE (1872-1895)
Anak tertua Sultan Syarif Usman, Syarif Hamid Alkadrie (1855-1872), dinobatkan sebagai Sultan pada 12 April 1855. Dan ketika Sultan Syarif Hamid wafat pada 1872, putra tertuanya, Syarif Yusuf Alkadrie (1872-1895) naik tahta sebagai beberapa bulan setelah ayahnya wafat. Sultan Syarif Yusuf dikenal sebagai satu-satunya sultan yang paling sedikit mencampuri urusan pemerintahan. Dia lebih aktif dalam bidang keagamaan, sekaligus merangkap sebagai penyebar agama Islam.

Pemerintahan Sultan Syarif Yusuf berakhir pada 15 Maret 1895.
1. Swapraja Sambas,
2. Swapraja Pontianak,
3. Swapraja Mempawah,
4. Swapraja Landak,
5. Swapraja Kubu,
6. Swapraja Matan,
7. Swapraja Sukadana,
8. Swapraja Simpang,
9. Swapraja Sanggau,
10. Swapraja Sekadau,
11. Swapraja Tayan, dan
12. Swapraja Sintang
dan 3 Neo- Swapraja, yaitu:
1. Neo Swapraja Meliau,
2. Neo Swapraja Nanga Pinoh, dan
3. Neo Swapraja Kapuas Hulu.
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Saya yang berada di atas Takhta Kesultanan Pontianak, Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Mohamad Alkadrie, Sultan Kadriah Pontianak ke-VIII menyerukan dan menyampaikan titah:
Atas asma Allah Subhanallah wa Ta’ala dan Muhammad Rasulullah Shallahualaihi Wa Sallam, kepada seluruh keluarga besar Alkadrie yang berada di dalam wilayah Kota Pontianak dan sekitarnya maupun di perantauan, seluruh pecinta dan pemerhati Kesultanan Kadriah Pontianak, marilah kita berpikir jernih, bermusyawarah dan bermufakat menyandarkan segala pemikiran kepada Alquran dan sunnah; merapatkan barisan dan berjabatan tangan di dalam tali ikatan ukhuwah yang penuh dengan semangat kebersamaaan, perdamaian, kasih sayang, dan kekeluargaan; menegakkan dan tunduk pada hukum syariat sebenar-benarnya dari dunia hingga ke akhiran. Alhamdulillah Rabbilalamin.


4. SULTAN V: SYARIF MUHAMMAD ALKADRIE (1895 – 1944)
Sultan Syarif Yusuf digantikan oleh putranya, Syarif Muhammad Alkadrie (1895-1944) yang dinobatkan pada 6 Agustus 1895. Pada masa ini, hubungan kerjasama Kesultanan Pontianak dengan Belanda semakin erat dan kuat. Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, Teluk Belanga, sebagai pakaian resmi.
Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.
Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri (1739-1808)

Sultan syarif Abdurrahman alkadri adalah putra asli kalimantan barat. Ayahnya adalah seorang keturunan arab yang telah menjadi pemuka agama islam di kerajaan matan bernama Sayid Habib Husein Alkadri dan sang ibu adalah putri raja kerajaan matan yang bernama Nyai Tua.
Syarif Abdurrahman Alkadri lahir di Matan, Senin 15 Rabiul Awal 1151 H pukul 10 pagi. Syarif Abdurrahman Alkadri adalah pendiri kesulanan Kadriah Pontianak sekaligus dianggap sebagai pendiri kota Pontianak. Dia juga bertindak sebagai sultan pertama Pontianak. Pada hari rabu, 14 Rajab 1185 Hijriah atau bertepatan dengan tanggal 23 Oktober 1771 Masehi dimulai perintisan untuk membangun sebuah kerajaan di delta sungai Kapuas. Tanggal ini juga di tetapkan sebagai tanggal berdirinya Kota Pontianak. Namun baru kira-kira 7 tahun sultan Syarif Abdurrahman Alkadri mendirikan Kesultanan Pontianak, pada tahun 1778  Belanda sudah menguasai tempat itu dengan mengirim wakilnya yaitu Nicholas de Cloek. Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri meninggal pada tanggal 28 Febuari 1808 dan dimakamkan di batu laying. Sebagai penggantinya di di angkat Sultan Syarif Abdurrahman Alkadri sebagai penggantinya atas persetujuan Gubernuh Jendral Hindia Belanda.
Sultan Syarif Yusuf Alkadri (1872-1895)
Syarif Yusuf Alkadri lahir pada tahun 1850 dari ibunya Syarifah Fatimah. Dia adalah anak tertua dari sultan terdahulu yaitu Sultan Syarif Hamid Alkadri.
Dia diangkat menjadi Sultan Pontianak Ke 5 pada tahun 1872. Dia memiliki dua istri, yaitu Syarifah Zalecha dan Syarifah Zahara Almuntahar. Di masanya lah banyakberdatangan imigran dari orang Bugis, Banjar, pulau Bangka dan Belitung, Banjar, Serasan bahkan dari tanah Malaka, Kamboja bermukim di Pontianak. Sultan Syarif Yusuf Alkadri wafat pada 15 Maret 1895 dalam usia 45 tahun.
Sultan Syarif Thata Alkadri (1945)

Sultan Syarif Thata Alkadri bin Syarif Usman Alkadri adalah Pewaris tahta Kesultanan Kadriah Pontianak yang ke 7 menggantikan Sultan Syarif Muhamad Alkadri yang di sungkup dan dibunuh oleh tentara Jepang bersama dengan para kerabat Kesultanan dan para pemimpin serta orang berpengaruh di kalbar tahun 1943. Syarif Thata Alkadri lahir tanggal 14 September 1927. Iya beristrikan Raden Ajeng Sriyanti.
Setelah penangkapan dan pembunuhan Sultan Syarif Muhamad Alkadri oleh tentara Jepang telah meruntuhkan Kesultanan Pontianak. Sebagian besar kerabat istana Kadriah juga ikut ditangkap dan dibunuh sehingga sulit untuk mencari pengganti Sultan. Karena Sultan Syarif Muhamad Alkadri tidak memiliki anak laki-laki, Sehingga dalam suatu rapat diputuskan dipilih cucu tertua dari Sultan terdahulu untuk menggantikan posisi Sultan, yakni Syarif Thata Alkadri. Namun setelah dua bulan kepemimpinannya, Sultan Hamid II Alkadri dibebaskan dari tawanan tentara Jepang dan kembali ke Pontianak. Karena dianggap masih muda dan belum cukup cekatan untuk menjadi pemimpin, Sultan Syarif Thata Alkadrie pun digantikan oleh Sultan Syarif Hamid II Alkadrie. Syarif Thata Alkadri meninggal pada 27 September 1984 dan dimakamkan di Batulayang.
Sultan Syarif Hamid II Alkadri (1945-1950)
  
Syarif Hamid Alkadri bin Syarif Muhamad Alkadri atau lebih dikenal dengan nama Sultan Hamid II, lahir di Pontianak tanggal 12 Juli 1913. Dia adalah putra sulung dari Sultan Syarif Muhamad Alkadri dan Syecha Jamilah Syarwani. Riwyat pendidikannya di ELS (Europesche Lagere School) di Pontianak, HBS dan MULO.
Tahun 1933 dia masuk sekolah militer KMA di Belanda dan lulus tahun 1937. Setelah lulus dia langsung dilantik menjadi Perwira KNIL dengan pangkat Letnan Dua. Tanggal 31 Mei 1938 Sultan Hamid II menikah dengan Dina Van Delden yang merupakan seorang wanita Belanda. Dari pernikahan ini dia dikaruniai dua orang anak, yakni Edith Denise Corry Alkadri dan Max Nico Alkadri, di kemudian hari Sultan Hamid II menikah lagi dengan seorang putri dari Yogyakarta, Ny. Reni. Ketika Belanda menyerah kalah dari Jepang pada Maret 1942, Sultan Hamid II yang merupakan perwira KNIL ditahan di penjara Batavia. Baru setelah Sekutu masuk kembali ke Indonesia tahun 1945, Sultan Hamid II kembali dibebaskan dan langsung kembali ke Pontianak. Karena ditawan selama 3 tahun, dia tak mendengar kabar berita apapun di Pontianak, termasuk penangkapan dan pembunuhan ayahnya. Dia juga terkejut ketika yang menjadi Sultan adalah Syarif Thata Alkadri. Dia memberi saran pada Syarif Thata Alkadri agar meletakan jabatan Sultan dan menyerahkan kepadanya, dan perminnyaannya itu pun diiyakan oleh Syarif Thata. Tanggal 29 Oktober 1945, Syarif Hamid II Alkadri dilantik menjadi Sultan ke delapan Pontianak. Selain sebagai Sultan Pontianak, dia  juga sekaligus menjabat sebagai Kepala Swapraja Pontanak. Semasa hidupnya, Sultan Hamid II banyak terlibat dalam dunia Politik seperti menjadi ketua delegasi BFO di Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Mentri Negara Zonder Fortofolio, dan ikut serta dalam perancangan dasar negara, yaitu Garuda Pancasila. Sultan Hamid II juga dikaitkan dengan pemberontakan “APRA” pimpinan Westerling. Akibat keterlibatannya itu, Sultan Hamid II dijatuhi hukuman 10 tahun penjara di potong masa penahanan 8 bulan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada 8 April 1953. 
Setelah menyelesaikan masa tahanannya, dia hidup tenang bersama keluarganya. Sejak tahun 1967 sampai akhir hayatnya, ia bekerja sebagai Presiden Komisaris PT. Indonesia Air Transport. Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan di makamkan di pemakaman Kesultanan Batulayang, Pontianak.
https://arismunandar150797.blogspot.co.id/silsilah-kesultanan-kadriah-pontianak.html


MASA REVOLUSI KEMERDEKAAN RI & PENDIRIAN DAERAH ISTIMEWA BORNEO BARAT
Di tengah gejolak revolusi kemerdekaan RI, Syarif Hamid Alkadrie dinobatkan sebagai Sultan pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Syarif Hamid II Alkadrie. Sebagai satu-satunya monarki yg tersisa di Kalimantan Barat saat itu, Sultan Hamid II berinisiatif menghimpun keluarga kerajaan2 yg ada di Kalimantan Barat untuk mengeluarkan Putusan Gabungan Kerajaan-Kerajaan Borneo Barat tanggal 22 Oktober 1946 No 20 L dibagi dalam 12 Swapraja, yakni:
Keputusan Gabungan Para Raja atau Sultan di Kalimantan Barat tersebut kemudian mewujudkan suatu ikatan federasi dengan nama “Daerah Istimewa Kalimantan Barat” atau DIKB dan Keputusan itu kemudian secara hukum disahkan Residen Kalimantan Barat dengan surat keputusan tanggal 10 Mei 1948 No 161, pada tahun 1948 keluarlah Besluit Luitenant Gouvernur Jenderal tanggal 2 Mei 1948 No 8 Stabld Lembaran Negara 1948/58 yang mengakui Kalimantan Barat berstatus Daerah Istimewa dengan Pemerintahan Sendiri berserta sebuah “Dewan Kalimantan Barat”.
DIKB kemudian bergabung dengan BFO (Bijenkomst voor Federaal Overleig, Badan Musyawarah Federal) yg diketuai oleh Sultan Hamid II. Kemudian dalam kedudukannya sebagai Ketua BFO, Sultan Hamid II mendorong pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) yg terdiri dari negara2 Republik Indonesia dan negara2 anggota BFO (Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, daerah-daerah otonom di luar RI dan federal: Jawa Tengah, DIKB, Dayak Besar, Banjar, Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Bangka, Belitung dan Riau), sebagai solusi atas konflik berkepanjangan yg sudah menelan korban cukup besar di kedua belah pihak. Solusi ini akhirnya disepakati pada Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949.
PERISTIWA APRA, PEMBUBARAN RIS DAN INTEGRASI KE DALAM RI
Dalam peristiwa pemberontakan APRA (23-26 Januari 1950) yg dipimpin Kapten KNIL Raymond Westerling, Sultan Hamid II, yg saat itu sebenarnya menjabat menteri tanpa portofolio dalam Kabinet Hatta, didakwa terlibat dalam kudeta berdarah di kota Bandung dan Jawa Barat tersebut. Keterlibatan menyebabkan Sultan Hamid II ditangkap meskipun tidak diadili, mungkin mengingat jasa2nya dalam pemerdekaan negara ini, oleh pemerintah RIS.
Namun keterlibatannya tsb, menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Kalimantan Barat dan akhirnya pada pembubaran RIS pada 17 Agustus 1950, DIKB dilebur ke dalam Propinsi Kalimantan, beribukota Banjarmasin. Pada saat pemekaran wilayah eks DIKB menjadi Propinsi Kalimantan Barat, beribukota Pontianak, pada 1 Januari 1957, kesultanan Pontianak resmi dibubarkan dan dilebur wilayahnya ke dalam propinsi baru tersebut.
FUNGSI SEBAGAI LEMBAGA PEMANGKU ADAT & BUDAYA
Selanjutnya, peran Kesultanan Pontianak lebih bersifat sebagai Pemangku Budaya hingga wafatnya Sultan Hamid II pada 30 Maret 1978. Kemudian terjadi kekosongan jabatan Sultan (interregnum) selama hampir 25 tahun. Putra satu-satunya Sultan Hamid II, Pangeran Syarif Yusuf Alkadrie (lebih dikenal dgn nama Prins Max Nico) menolak dinobatkan sebagai Sultan, mengingat statusnya berkewarganegaraan Belanda. Pada tahun 1946, Syarif Yusuf memang diungsikan ke Belanda bersama ibunya yg Indo Belanda, Sultana Maharatu Mas Mahkota Pontianak alias Dina (Didi) van Delden, dan kakaknya, Syarifah Zahra Alkadrie alias Edith Denise.
Pada 29 Januari 2001, seorang kerabat Kesultanan Pontianak, Syarifah Khadijah Alkadrie, mengukuhkan Kerabat Muda Istana Kadriah Kesultanan Pontianak yg bertujuan menjaga segala tradisi dan nilai budaya Melayu Pontianak, termasuk menghidupkan dan melestarikannya. Pada 15 Januari 2004, keluarga Istana Kadriyah mengangkat Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan Pontianak ke-VIII, yg menjabat hingga sekarang.
Catatan Khusus: KLAIM GANDA ATAS JABATAN SULTAN
Pada 31 Oktober 2014, Syarif Toto Thaha Alkadrie diumumkan sebagai Sultan Pontianak ke-X. Lima hari kemudian, pada 5 November 2014, Sultan Toto Thaha memperkenalkan dirinya sebagai Sultan dengan berjalan kaki menuju Istana Kadriah dengan atribut Kesultanan.
H. Syarif Toto Thaha Alkadrie lahir di Pontianak pada 29 Agustus 1952 Ketua Majelis Musyawarah Istana Kadriah sejak 1999 dan Ketua Pemangku Adat Majelis Adat Budaya Melayu Kota Pontianak sejak 2002. Ia juga pernah menjadi Anggota DPRD Kota Pontianak dari tahun 1992 hingga 1999. Syarif Toto Thaha merupakan putra dari Sultan Thaha Alkadrie. Dari garis ibunya yang bernama Ratu Anom Negara Syarifah Fatimah Alkadrie, Sultan Thaha merupakan cucu dari Sultan Mohamad. Dari garis ayahnya yang bernama Syarif Usman Alkadrie, Sultan Thaha merupakan cicit dari Sultan Yusuf (sultan ke-V) dari anak lelakinya yang bernama Syarif Mahmud Alkadrie.
Menghadapi klaim itu, pihak Sultan Syarif Abubakar Alkadrie tinggal diam. Pada 6 November 2014, Yayasan Sultan Hamid II secara terbuka menyatakan tetap mengakui Syarif Abubakar Alkadrie sebagai Sultan ke-VIII. Pada 18 November 2014, Sultan Abubakar menyatakan bahwa dirinya tetap bertakhta sebagai Sultan ke-VIII, yang secara tidak langsung menolak klaim Sultan Syarif Toto Thaha Alkadrie.
Di hari yang sama, Sultan Abubakar juga mengeluarkan titah yang berbunyi sebagai berikut:
Syarif Abubakar Alkadrie, lahir di Pontianak pada tanggal 26 Juli 1944, dinobatkan sebagai Sultan Pontianak ke-VIII setelah hampir 26 tahun, jabatan Sultan Pontianak kosong setelah wafatnya Sultan Hamid II pada tahun 1978. Syarif Abubakar dinobatkan sebagai Sultan pada Januari 2004, setelah sebelumnya mendapat restu dari Ratu Perbu Wijaya Syarifah Khadijah Alkadrie, putri dari Sultan Mohamad, yang pada saat itu merupakan anggota keluarga Alkadrie yang tertua, yang berumur lebih dari 100 tahun.
Syarif Abubakar merupakan cucu dari Sultan Syarif Mohamad (Sultan ke-6) dari anak lelakinya, Pangeran Agung Syarif Mahmud Alkadrie. Syarif Mahmud sendiri adalah adik kandung dari Sultan Hamid II. Sultan Abubakar dinobatkan sebagai Sultan atas kesepakatan bersama antara para pewaris Sultan Mohamad dikarenakan keengganan putra dari Sultan Hamid II, yakni Syarif Yusuf Alkadrie alias Max Nico yang kini berkewarganegaraan Belanda untuk dinobatkan sebagai Sultan Pontianak.
Ralat : Sultan Hamid II tetap diadili dan divonis oleh Mr. Wirjono Prodjodikuro (Ketua MA), beliau dijatuhkan vonis hukuman penjara 10 tahun dipotong masa tahanan (3 tahun) dengan dasar pertimbangan adanya niat Sultan Hamid II menyuruh Westerling & Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan membunuh 3 pejabat pemerintah: Menhan Sultan HB IX, Sekjen Kemenhan Mr. Alibudiardjo, dan Kasaf TNI Kolonel T.B. Simatupang
Sumber : Jejak Kisah Sejarah
https://fahmialinh.wordpress.com/sejarah-kesultanan-pontianak/


Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer