Kerajaan Samprangan/Gelgel Bali (Wangsa Sang kuala/ Nakula)

SEJARAH KERAJAAN GELGEL 
AWAL BERDIRINYA
Gelgel adalah nama sebuah desa yang terletak di Kabupaten daerah tingkat II Klungkung. Dari Desa Samprangan, jaraknya tidak begitu jauh, hanya 17 km menuju jurusan Timur. Letaknya tidak begitu jauh dari pantai Selatan Bali dan di sebelah Timur mengalir Kali Unda yang airnya bersumber dari lereng Gunung Agung yaitu mata air yang bernama Telaga Waja.

Pembangunan Pura Dasar Gelgel

Ada tiga hal yang dapat diamati pada proses perpindahan dari ibu kota dari Samprangan ke Sweca pura (Gelgel). Pertama, proses perpindahan tersebut berjalan secara lancar dan Agra Samprangan menerima kenyataan bahwa ia tidak mendapat dukungan lagi dari pembesar kerajaan. Kedua, perpindahan pusat pemerintahan ini lebih banyak dipertimbangkan atas dasar kebijaksanaan dalam bidang politik. Ketiga, ada kemungkinan juga dipertimbangkan latar belakang komunikasi dan transportasi.


STRUKTUR PEMERINTAHAN
Raja sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, dibantu oleh raja kerajaan yang terdiri atas kaum bangsawan disebut dengan nama bahunada atau tanda mantri. Para bahudanda atau pembesar kerajaan pada umumnya diambil dari keluarga istana, kerabat kerajaan yang dianggap berjasa atau dalam ikatan kekerabatan dengan raja. Hubungan antara raja dan rakyat diatur melalui suatu birokrasi yang sudah merupakan suatu sistem pemerintahan tradisional. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari raja di dampingi oleh pendeta kerajaan yang disebut Bhagawanta atau purohita.

Dari pendeta Ciwa dan Buddha yang berfungsi sebagai penasehat raja dalam masalah-masalah keagamaan. Bhagawanta biasanya adalah keturunan dari putra-putra Dang Hyang Nirartha yang termasuk keturunan Brahmana Kemenuh yang diturunkan dari istri Dang Hyang Nirartha yang pertama yang berasal dari Daha yang bernama Diah Komala.


SISTEM KEPEMIMPINAN
Golongan ksatria memegang pimpinan di dalam pemerintahan. Hak golongan ksatria ini untuk memegang pemerintahan dianggap sebagai karunia Tuhan, Brahmokta Widisastra memberikan keterangan golongan ksatria lahir dari tugas khusus. Pekerjaan mereka hanya memerintah, mengenal ilmu peperangan. Orang-orang yang memegang jabatan di bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukkan kerajaan Bali kuna. Secara turun temurun mereka memakai gelar "I Gusti" atau "Arya" seperti Arya Kepakisan, I Gusti Kubon Tubuh, I Gusti Agung Widia, I Gusti Agung Kaler Pranawa dan lain-lain.

Untuk mengatur dan mengendalikan segala kelakuan dan kehidupan masyarakat diperlukan adanya hukum. dalam masyarakat Majapahit berlaku hukum tertulis dalam sebuah buku yang bernama Manawa Dharma Sastra sedangkan di Bali dikenal buku yang berjudul Sang Hyang Agama.


KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Pengaruh agama Hindu dalam kehidupan masyarakat Bali sangat besar. Hampir semua aspek kehidupannya dipancari oleh ajaran-ajaran agama Hindu sehingga kehidupan masyarakatnya dapat dikatakan bersifat keagamaan atau sosial religious.

Kepercayaan agama Hindu yang terpenting adalah kepercayaan yang disebut Sradha (lima keyakinan pokok) yang mencakup :

  1. Percaya akan adanya satu Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, dalam bentuk konsep Tri Murti. Tri Murti mempunyai tiga wujud atau manifestasi ialah : Brahma yang menciptakan, Wisnu memelihara dan Siwa mempralina.
  2. Percaya terhadap konsep atman (roh abadi).
  3. Percaya terhadap punarbhawa (kelahiran kembali dari jiwa).
  4. Percaya terhadap hukum karmaphala (adanya buah dari setiap perbuatan).
  5. Percaya akan adanya moksa (kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali).


Pengaruh kepercayaan dalam masyarakat juga amat besar. Salah satu wujud dari pengaruh ini tampak dalam konsepsi dan aktifitas upacara yang muncul dalam frekwensi yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Bali, baik upacara yang dilaksanakan oleh kelompok kerabat maupun oleh komunitas. Keseluruhan jenis upacara di Bali digolongkan ke dalam lima macam yang disebut Panca yadnya, yaitu :

  1. Dewa Yadnya, merupakan upacara-upacara pada putra maupun Pura Keluarga, yang ditujukan kepada para Dewa sebagai manifestasi Hyang Widhi.
  2. Rsi Yadnya, merupakan upacara yang berhubungan orang-orang suci yang berjasa dalam pembinaan agama Hindu.
  3. Pitra Yadnya, merupakan upacara yang di tujukan kepada roh-roh leluhur, meliputi upacara kematian sampai pada upacara penyucian roh leluhur.
  4. Bhuta Yadnya, meliputi upacara yang ditujukan kepada bhuta kala yaitu roh-roh di sekitar manusia yang dapat mengganggu.
  5. Manusa Yadnya, meliputi upacara daur hidup dari masa kanak-kanak sampai dewasa.

BIDANG PENDIDIKAN, KESENIAN, KESUSASTRAAN

Pendidikan ketika ini mempunyai corak yang sesuai dengan masyarakat tradisional. Pendidikan dilakukan oleh golongan elite atau inisiatif pribadi. Pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah pendidikan keagamaan dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kerajaan.


Pura Dasar Gelgel


Orang-orang yang memberikan pendidikan terdiri dari orang-orang Brahmana. Orang-orang yang memberikan pelajaran disebut Sang Guru. Orang yang belajar disebut "sisya". Dalam proses belajar di sebut "aguru" sedangkan proses memberikan pelajaran disebut "asisia". Sebagai seorang sisya harus mentaati peraturan-peraturan yang ketat.

Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit (1523 M) banyak warganya mengungsi ke Bali dengan memindahkan segala yang dapat di bawa, termasuk seni dan budaya dengan seni tarinya. Kemudian seni tari ini berkembang dengan suburnya terutama zaman keemasan pemerintahan Dalem Batur Enggong (1460-1550). Hal in disebabkan raja menaruh perhatian besar dan memberikan pengayoman terhadap perkembangan kesenian khususnya seni tari di samping pemerintahan yang aman dan tentram.

Dalam masa Pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali, naskah-naskah lontar banyak dibawa dari Jawa ke Bali. Kalau kiranya yang demikian tidak terjadi, maka tidak akan banyak lagi yang tinggal dari kesusastraan Jawa Kuna. Kebanyakan naskah lama kedapatan di Bali karena di Jawa naskah Kuna kurang mendapat perhatian lagi karena masuknya Islam.

Pura Segening Gelgel
Setelah Dalem Batur Enggong wafat digantikan oleh Dalem Sagening dari tahun 1380-1665 M. Pada masa ini muncul Pujangga, Pangeran Telaga di mana tahun 1582 mengarang : 1. Amurwatembang, 2. Rangga Wuni, 3. Amerthamasa, 4. Gigateken, 5. Patal, 6. Sahawaji, 7. Rarengtaman, 8. Rarakedura, 9. Kebo Dungkul, 10. Tepas dan 11. Kakansen. Sedangkan Kyai Pande Bhasa mengarang : Cita Nathamarta, Rakkriyan Manguri mengarang : Arjunapralabdha, Pandya Agra Wetan mengarang : Bali Sanghara.

Pura-pura yang dibangun atas petunjuk Dang Hyang Dwijendra adalah :

  1. Pura Purancak di Jembrana,
  2. Pura Rambut Siwi di dekat desa Yeh Embang dibangun kembali atas petunjuk beliau dan di sana disimpan potongan rambut Dang Hyang Dwijendra,
  3. Pura Pakendungan di desa Braban Tabanan, di sini disimpan keris beliau.
  4. Pura Sakti Mundeh dekat desa Kaba-kaba Tabanan.
  5. Pura Petitenget di pantai laut dekat desa Kerobokan (Badung) di sini disimpan pecanangan (kotak tempat sirih) dan
  6. Pura Dalem Gandhamayu yang terletak di desa Kamasan (Klungkung) di tempat itu beliau menemukan bau harum sebagai isyarat dari Hyang widhi.


PEMERINTAHAN RAJA RAJA GELGEL
  • DALEM KETUT NGULESIR ( 1320 - 1400 ) M
Merupakan raja pertama dari periode Gelgel yang berkuasa selama lebih kurang 20 tahun (tahun 1320-1400). Ada beberapa yang dapat diamati selama masa pemerintahan raja Gelgel pertama, raja dikatakan berparas sangat tampan ibarat Sanghyang Semara, serta memerintah dengan bijaksana dan selalu berpegang pada Asta Brata.


Dalem Ktut Ngulesir adalah seorang raja yang adil, suka memberi penghargaan kepada orang yang berbuat baik, serta tidak segan-segan menghukum mereka yang berbuat salah. Baginda menganugrahkan suatu predikat tanda penghargaan wangsa "Sanghyang" dengan sebutan "Sang" kepada masyarakat desa Pandak, di mana mereka bermukim dahulu.


Pura Dasar Gelgel


Pada masa pemerintahan prabhu Hayam Wuruk yang mengadakan upacara Cradha dan rapat besar, dihadiri pula oleh Dalem Ktut Ngulesir beserta semua raja-raja di kawasan Nusantara. Kehadiran dengan tata kebesaran itu menimbulkan kekaguman para raja yang lain serta masyarakat yang menyaksikan. Beliau disertai oleh Patih Agung, Arya Patandakan, dan Kyai Klapodyana (Gusti Kubon Tubuh).

  • DALEM BATUR ENGGONG ( 1460 - )
Dalem Batur Enggong memerintah mulai tahun 1460 M dengan gelar Dalem Batur Enggong Kresna Kepakisan, dalam keadaan negara yang stabil. Hal ini telah ditanamkan oleh almarhum Dalem Ktut Ngulesir, para mentri dan pejabat-pejabat lainnya demi untuk kepentingan kerajaan.


Dalem dapat mengembangkan kemajuan kerajaan dengan pesat, dalam bidang pemerintahan, sosial politik, kebudayaan, hingga mencapai zaman keemasannya. Jatuhnya Majapahit tahun 1520 M tidak membawa pengaruh negatif pada perkembangan Gelgel, bahkan sebaliknya sebagai suatu spirit untuk lebih maju sebagai kerajaan yang merdeka dan berdaulat utuh. Beliau adalah satu-satunya raja terbesar dari dinasti Kepakisan yang berkuasa di Bali, yang mempunyai sifat-sifat adil, bijaksana.

  • DALEM BEKUNG
Setelah wafatnya Dalem Watur Enggong, maka menurut tradisi yang berlaku, baginda digantikan oleh putra sulungnya yaitu I Dewa Pemayun, yang selanjutnya disebut Dalem Bekung. Karena umurnya belum dewasa, maka pemerintahannya dibantu oleh para paman dan Patih Agung. Para paman yang membantu adalah : I Dewa Gedong Artha, I Dewa Nusa, I Dewa Pagedangan, I Dewa Anggungan dan I Dewa Bangli. Kelima orang itu adalah putra I Dewa Tegal Besung saudara sepupu Dalem Waturenggong.


  • DALEM SAGENING
Dalem Sagening dinobatkan menjadi raja pada tahun 1580 M. Menggantikan Dalem Bekung dalam suasana yang amat menyedihkan, dan Dalem Sagening seorang raja yang amat bijaksana, cerdas, berani, berwibawa maka dalam waktu yang singkat keamanan kerajaan Gelgel pulih kembali. Sebagai Patih Agung adalah Kryan Agung Widia putra pangeran Manginte, sedangkan adiknya Kryan Di Ler Prenawa diberikan kedudukan Demung.


Dalem Sagening menetapkan putra-putra baginda di daerah-daerah tertentu, dengan jabatan sebagai anglurah antara lain :
  • I Dewa Anom Pemahyun, ditempatkan di desa Sidemen (Singarsa) dengan jabatan Anglurah pada tahun 1541 M, dengan patih I Gusti Ngurah Sidemen Dimade dengan batas wilayah di sebelah timur sungai Unda sampai sungai Gangga, dan batas wilayah di sebelah utara sampai dengan Ponjok Batu.
  • I Dewa Manggis Kuning,( I Dewa Anom Manggis) beribu seorang ksatria dari Manggis, atas permohonan I Gusti Tegeh Kori dijadikan penguasa di daerah Badung. Namun karena sesuatu peristiwa beliau terpaksa meninggalkan daerah Badung, pindah ke daerah Gianyar.
  • Kyai Barak Panji, beribu dari Ni Pasek Panji, atas perintah Dalem di tempatkan di Den Bukit sebagai penguasa di daerah itu, dibantu oleh keturunan Kyai Ularan. Dia sebagai pendiri kerajaan Buleleng yang kemudian bernama I Gusti Panji Sakti.
  • Dalem Anom Pemahyun. Setelah Dalem Sagening wafat pada tahun 1665, maka I Dewa Anom Pemahyun dinobatkan menjadi Raja dengan gelar Dalem Anom Pemahyun. Dalam menata pemerintahan Dalem belajar dari sejarah dan pengalaman. Karena itu secara progresif dia mengadakan pergantian para pejabat yang kurang diyakini ketulusan pengabdiannya.
  • Dalem Dimade. Setelah Dalem Anom Pemahyun meninggalkan istana Gelgel, maka I Dewa Dimade dinobatkan menjadi susuhunan kerajaan Bali dengan gelar Dalem Dimade 1665-1686, seorang raja yang sabar, bijaksana dalam mengemban tugas, cakap memikat hati rakyat. Patih Agung adalah Kyai Agung Dimade (Kryan Agung Maruti) berkemauan keras dan bercita-cita tinggi. Kyai Agung Dimade adalah anak angkat I Gusti Agung Kedung. Sebagai demung diangkat Kryan Kaler Pacekan dan Tumenggung adalah Kryan Bebelod.

  • KRYAN AGUNG MARUTI
Kebesaran kerajaan Gelgel yang pernah dicapai kini hanya tinggal kenang-kenangan di dalam sejarah. Setelah Dalem Dimade meninggalkan istana Gelgel tahun 1686 M maka kekuasaan di pegang oleh Kryan Agung Maruti sebagai raja Gelgel. Namun Bali tidak lagi merupakan kesatuan di bawah kekuasaan Gelgel, malainkan Bali mengalami perpecahan di antara para pemimpin, kemudian mucul kerajaan-kerajaan kecil yang berdaulat, sehingga daerah kekuasaan Kryan Maruti tidak seluas daerah kekuasaan kerajaan Gelgel yang dahulu.
http://sejarah-puri-pemecutan.blogspot.co.id/sejarah-kerajaan-gelgel.html

Berdirinya Kerajaan Gelgel [Sri (Dalem) Kresna Kepakisan]

A. Silsilah Keturunan Sri Kresna Kepakisan
Dasar Bhuwana distanakan Raja (Dalem) pertama di Bali.
Kepakisan asal katanya Pakis berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar Paku di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra. Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali.
Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.

B. Pengangkatan Dinasti Sri Kresna Kepakisan
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan
Dalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Sri Dalem Kresna Kepakisansedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan
Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.
Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.

Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama: Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah para melahirkan:
  1. Dalem Wayan (Dalem Samprangan)
  2. Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
  3. Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak)
  4. Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir).
Dari Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin , melahirkan:
  1. Dewa Tegal Besung.

C. Sistem Pemerintahan
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908). Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan Bali Kuno.
Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain. Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu belia bawa.

D. Sistem Kepemimpinan
Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra
Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali. Para arya tersebut diantaranya :
  1. Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan
  2. Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas
  3. Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
  4. Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal
  5. Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba
  6. Arya Pangalasan
  7. Arya Manguri
  8. Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
  9. Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon
  10. Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung
  11. Arya Belentong mengambil tempat di Pacung
  12. Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari,
  13. Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal
  14. Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti
  15. Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
  16. Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
  17. Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
  18. Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem,
  19. Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan mundur di Cegahan

Demikian dikatakan di Babad Dalem.

E. Kehidupan beragama
Mengenai kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum stabil sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga. Agama yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting. Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa. Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.

Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande).
Dalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa, mungkin saja dari Sub Sekte Bhagawata , mengingat nama kresna yangbelau pergunakan sehingga wajarlah beliau dikelilingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di bali maupun yang menyertai Belia dari Jawa.

F. Bidang Kesenian dan Kesusastraan
Kehidupan seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan. Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
G. Akhir Pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan.
Kudeta
I. Pada tahun 1556M terjadi usaha kudeta di kerajaan Gelgel ketika itu rajanya adalah I Dewa Pemahyun. Pemberontakan dipimpin oleh Kriyan Batan Jeruk dan I Dewa Anggungan (saudara sepupu raja), yang merasa tidak puas pada system pemerintahan yang lemah. Kudeta ini digagalkan oleh para pendukung raja dibawah pimpinan Kiyai Kubon Tubuh dan Kriyan Dawuh Nginte. Pengaruh usaha kudeta ini, para Manca yang tadinya bersatu, mulai terpecah dan curiga akan adanya kemungkinan saling menyerang. Untuk menjaga keamanan, para Manca memupuk kekuatan militer yang mampu mempertahankan wilayah, membangun tapal batas dan menguatkan tembok-tembok Puri. Saudara-saudara dari I Dewa Anggungan “dibuang secara halus” keluar istana : I Dewa Gedong Arta ke Manggis (Karangasem), I Dewa Nusa ke Sibang (Mengwi), I Dewa Bangli ke Bangli, I Dewa Pagedangan ke Tohpati (Badung). Keempat bersaudara itu diberikan area dan rakyat sehingga lama kelamaan keturunannya dianggap “Dalem” oleh rakyatnya masing-masing.
II. Pada tahun 1578M terjadi lagi pemberontakan terhadap raja I Dewa Pemahyun, bermula dari pertikaian antar Manca, yaitu antara Kryan Pande yang setia pada raja dengan Ki Gusti Talabah didukung oleh sanak keluarganya. Kryan Pande dibantu oleh panglima-panglima kerajaan sehingga akhirnya Ki Gusti Talabah wafat dalam pertempuran.
III. Pada tahun 1665M untuk ketiga kalinya terjadi pemberontakan kepada raja ketika itu yang bergelar Dalem I Dewa Anom Pemahyun Dimade. Kali ini pemberontakan yang dipimpin Kriyan / I Gusti Agung Maruti berhasil menggulingkan pemerintahan. Dalem mengungsi ke Sidemen. Kriyan / I Gusti Agung Maruti menobatkan diri menjadi Raja Gelgel dengan gelar Anglurah Agung Maruti Dimade. Beliau berhasil menjadi raja Gelgel sampai tahun 1704 ( 39 tahun).
http://www.kabardewata.com/berita/berdirinya-kerajaan-gelgel-sri-dalem-kresna-kepakisan.html
http://kawitanpusakka.blogspot.co.id.html

Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer