Kesultanan Bone Sulawesi Selatan

B.       Kerajaan Bone
Asal Usul Kerajaan Bone
Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya.
Hasil gambar untuk istana kesultanan bone
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam. Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat menjadi Raja Bone.
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja. Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.
Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.
Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga dan Isamateppa.
Hasil gambar untuk bendera kesultanan bone
Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang).
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”.
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)[5]
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari pula Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama, karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu – salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong[7]. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate). Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.
Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE yang naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian “Ceppae ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan (Sungai Tangka).
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami manusia”. Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian persaudraan yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung (Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.
Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun 1585 terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk menyerang daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di Akkotengeng. Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya mengalami kekalahan.
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya. Mereka memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun berselang tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung dan menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya masing-masing.
Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan Bone. Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.
Islamisasi Bone
Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.
Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone.
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka.
Arung Palakka dan Kolonial
Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa membahas Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai pengkhianat. Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak memahami sejarah yang sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung Palakka sebagai Pengkhianat berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang bersekutu dengan Belanda menyerang Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara bagian timur.
Hasil gambar untuk lambang kesultanan bone
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa (1611) di masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta bangsawan Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut dikenal dalam sejarah bernama Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng - benteng Makassar.
Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua bangsawan Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan harga dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng.[17] Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya disiksa oleh punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Ayah Arung Palakka, La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya perburuan rusa di Tallo oleh Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.
Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana kisah Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya dari barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya, perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta dukungan, sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis ke Tanah Buton (1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke Batavia (1663) untuk mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka menawarkan persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah melihat sendiri kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang Pariaman di Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan pertempuran melawan Gowa dengan bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah menjadi negara yang modernis, sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur dengan pasukan militer darat dan laut yang tangguh.
Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar (1667) yang menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks sejarah lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa. Sejarawan asal Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan Sulawesi Selatan selama Arung Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan atas semua negeri taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668).
Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar hegemoni politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI. Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone - Soppeng dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat. Andi Sultan Kasim (2002) menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas, karena ketika itu Bone adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan berdaulat, sama halnya dengan Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan atas bangsanya.
Runtuhnya Kerajaan Bone
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.
Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.

C.   Kesultanan Bone
       1.    Latar Belakang Lahirnya Kesultanan Bone
Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600km2.
       Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
       Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
       Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
       2.    Proses Masuknya Islam di Kesultanan Bone
       Para pelaut pedagang Bugis dan Makassar sudah berhubungan dengan agama islam jauh sebelum islam masuk ke Sulawesi selatan. Mereka berhubungan dengan Masyarakat dagang yang kebanyakan Islam di daerah pantai utara dan barat jawa serta sepanjang Selat Malaka, dan dengan Ternate DI Maluku (yang mengadakan perjanjian persahabatan Kerajaan Gowa). Suatu masyarakat Melayu Islam telah bermukim di Kota Makassar sejak pertengahan abad keenam belas, dan Raja Goa menyambut kehadiran mereka dengan membangun sebuah masjid untuk mereka. Tetapi, daerah itu diislamkan setelah Raja Gowa sendiri beserta para penasihat terdekatnya memeluk agama Islam pada tahun 1605.
       Penyebaran islam berawal ketika tiga orang ulama tiba di Makassar pada akhir abad ke-16. Mereka adalah orang Minangkabau dari Kota Tengah, Sumatera Barat, tempat kelahiran sejumlah orang Islam Makassar, dan anggota dari Perhimpunan Chalawatijah di Indonesia yang beraliran sufi ortodoks. Para ulama ini berjasa dalam menyiarkan agama islam kepada Raja Gowa beserta paman dan penasihatnya dan raja dari Kerajaan Tallo. Sejak saat itu perkembangan Islam berjalan sangat pesat.
       Setelah menganut agama Islam, Raja Gowa mengeluarkan seruan kepada para penguasa kerajaan lain agar menerima agama Islam. Seruan itu dikatakan telah didasarkan atas persetujuan terdahulu, bahwa setiap penguasa yang menemukan suatu jalan baru, dan lebih baik, berkewajiban memberi tahu para penguasa lainnya mengenai penemuannya tersebut. Tetapi hanya kerajaan-kerajaan kecil yang memberi tanggapan positif. Dan Gowa, yang khawatir akan diperbaharuinya persekutuan Bone, Wajo, dan Soppeng terhadapnya, menyatakan perang suci terhadap lawan-lawan lamanya. Kerajaan-kerajaan yang keras itu ditaklukkan, Soppeng pada tahun 1609, Wajo tahun 1610 dan Bone tahun 1611 dan dinyatakan masuk Islam. Hanyalah daerah-daerah pegunungan yang terpencil khususnya daerah Toraja di daerah pedalaman tengah dan daerah Bawakaraeng dan Lompobattang tetap di luar lingkup Islam.
       3.    Pengaruh Islam pada Masa Kesultanan Bone
       Pada tahun 1910 Bone secara resmi masuk Islam, pada masa pemerintahan Raja Bone XIII yaitu La Madderemueng (1631-1644) mulailah Kerajaan Bone berbenah diri dengan melaksanakan hukum Islam ke dalam lembaga tradisi Bone. Selain itu juga mencanangkan pembaharuan keagamaan, serta memerintahkan kawulanya untuk mematuhi ajaran hukum Islam secara total dan menyeluruh.
       Setelah itu, pada saat Islam masuk ke dalam struktur pemerintahan sebagai satu bagian yang menangani syariat Islam (Parewa Sara). Tugas raja dalam pengembangan agama Islam beralih kepada para pejabat sara atau Parewa Sara.
       Dengan diterimanya Islam dan dijadikannya syariat Islam sebagai bagian dari pangngadereng, maka pranata-pranata sosial masyarakat Bone mendapatkan warna baru. Ketaatan mereka terhadap pangngadereng sama dengan ketaatannya terhadap syariat Islam.
       Hal ini dikarenakan oleh penerimaan mereka terhadap Islam tidak banyak merubah nilai-nilai, kaidah kemasyarakatan dan kebudayaan yang telah ada. Apa yang dibawa oleh Islam hanyalah urusan ubudiyah (ibadah) tanpa mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang ada (pangngadereng).


       Islam mengisi sesuatu dari aspek kultural dan sendi-sendi kehidupan mereka. Nilai-nilai kesusilaan yang bertujuan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia diselaraskan dengan konsep siri yang begitu dijunjung tinggi oleh orang Bugis. Dengan jalan itu proses sosialisasi dan enkulturasi Islam masuk dalam kebudayaan orang Bone.
https://kerjaanislamdiindonesia.blogspot.co.id/kerajaan-islam-di-sulawesi-dan-gorontalo.html

Kesultanan Bone

Kesultanan Bone atau sering pula dikenal dengan Akkarungeng ri Bone, merupakan kesultanan yang terletak di Sulawesi bagian barat daya atau tepatnya di daerah Provinsi Sulawesi Selatan sekarang ini. Menguasai areal sekitar 2600 km2.
Terbentuknya kerajaan Bone dimulai dengan kedatangan Tomanurung ri Matajang MatasilompoE yang mempersatukan 7 komunitas yang dipimpin oleh Matoa. Manurung ri Matajang menikah dengan Manurung ri Toro melahirkan La Ummasa Petta Panre Bessie sebagai Arumpone kedua. Saudara perempuannya menikah dengan La Pattikkeng Arung Palakka yang melahirkan La Saliyu Karampelua sebagai Arumpone ketiga.Di masanya, kerajaan Bone semakin luas berkat keberaniannya.
Perluasan kerajaan Bone ke utara bertemu dengan kerajaan Luwu yang berkedudukan di Cenrana, muara sungai WalennaE. Terjadi perang antara Arumpone La Tenrisukki dengan Datu Luwu Dewaraja yang berakhir dengan kemenangan Bone dan Perjanjian Damai Polo MalelaE ri Unynyi. Dinamika politik militer diera itu kemudian ditanggapi dengan usulan penasehat kerajaan yaitu Kajao Laliddong pada Arumpone La Tenrirawe BongkangngE yaitu dengan membangun koalisi dengan tetangganya yaitu Wajo dan Soppeng. Koalisi itu dikenal dengan Perjanjian TellumpoccoE.
Ratu Bone, We Tenrituppu adalah pemimpin Bone pertama yang masuk Islam. Namun Islam diterima secara resmi dimasa Arumpone La Tenripale Matinroe ri Tallo Arumpone keduabelas. Sebelumnya yaitu La Tenrirua telah menerima Islam namun ditolak oleh hadat Bone yang disebut Ade Pitue sehingga dia hijrah ke Bantaeng dan meninggal disana. Ketika Islam diterima secara resmi, maka susunan hadat Bone berubah. Ditambahkan jabatan Parewa Sara (Pejabat Syariat) yaitu Petta KaliE (Qadhi). Namun, posisi Bissu kerajaan tetap dipertahankan.
Bone berada pada puncak kejayaannya setelah Perang Makassar, 1667-1669. Bone menjadi kerajaan paling dominan dijazirah selatan Sulawesi. Perang Makassar mengantarkan La Tenritatta Arung Palakka Sultan Saadudin sebagai penguasa tertinggi. Kemudian diwarisi oleh kemenakannya yaitu La Patau Matanna Tikka dan Batari Toja. La Patau Matananna Tikka kemudian menjadi leluhur utama aristokrat di Sulawesi Selatan.
Sejak berakhirnya kekuasaan Gowa, Bone menjadi penguasa utama di bawah pengaruh Belanda di Sulawesi Selatan dan sekitarnya pada tahun 1666. Bone berada di bawah kontrol Belanda sampai tahun 1814ketika Inggris berkuasa sementara di daerah ini, tetapi dikembalikan lagi ke Belanda pada 1816 setelah perjanjian di Eropa akibat kejatuhan Napoleon Bonaparte.
Pengaruh Belanda ini kemudian menyebabkan meningkatnya perlawanan Bone terhadap Belanda, namun Belanda-pun mengirim sekian banyak ekspedisi untuk meredam perlawanan sampai akhirnya Bone menjadi bagian dari Indonesia pada saat proklamasi. Di Bone, para raja bergelar Arumponé.
Daftar Arumpone Bone

  1. Matasilompoé [Manurungngé ri Matajang] (1392-1424)
  2. La Umassa Petta Panré Bessié [ Petta Paladeng - Arung Labuaja ] Matinroe Ri Bengo [To' Mulaiyé Ranreng] (1424-1441)
  3. La Saliyu Karampéluwa/Karaéng Pélua'? [Pasadowakki] (1441-1470)
  4. We Ban-ri Gau Daéng Marawa Arung Majang Makaleppié Bisu-ri Lalengpili Petta-ri La Welareng [Malajangngé ri Cina] (1470-1490)
  5. La Tenri Sukki Mappajungngé (1490-1517)
  6. La Uliyo/Wuliyo Boté'é [Matinroé-ri Itterung] (1517-1542)
  7. La Tenri Rawe Bongkangngé [Matinroé-ri Gucinna] (1542-1584)
  8. La Icca'/La Inca' [Matinroé-ri Adénénna] (1584-1595)
  9. La Pattawe [Matinroé-ri Bettung] (15xx - 1590)
  10. We Tenrituppu [Matinroé ri Sidénréng] (1590-1607)
  11. La Tenrirua [Matinroé ri Bantaéng] (1607-1608)
  12. La Tenripalé [Matinroé ri Tallo] (1608-1626)
  13. La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1626-1643)
  14. Tobala', Arung Tanété Riawang, dijadikan regent oleh Gowa (1643-1660)
  15. La Ma'daremméng Matinroé ri Bukaka (1667-1672)
  16. La Tenritatta Matinroé ri Bontoala' (Arung Palakka) Petta Malampe'é Gemme'na Daéng Sérang (1672-1696)
  17. La Patau Matanna Tikka Walinonoé To Tenri Bali Malaé Sanrang Petta Matinroé ri Nagauléng (1696-1714)
  18. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiyat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1714-1715) (masa jabatan pertama)
  19. La Padassajati/Padang Sajati To' Apaware Paduka Sri Sultan Sulaiman ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Béula] (1715-1720)
  20. Bata-ri Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1715) (masa jabatan kedua)
  21. La Pareppa To' Aparapu Sappéwali Daéng Bonto Madanrang Karaéng Anamonjang Paduka Sri Sultan Shahab ud-din Ismail ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din (1720-1721). Ia menjadi Sultan Gowa [Tumamenanga-ri Sompaopu], Arumpone Bone, dan Datu Soppeng.
  22. I-Mappaurangi Karaéng Kanjilo Paduka Sri Sultan Siraj ud-din ibni al-Marhum Sultan 'Abdu'l Kadir (1721-1724). Menjadi Sultan Gowa dengan gelar Tuammenang-ri-Pasi dan Sultan Tallo dengan gelar Tomamaliang-ri Gaukana.
  23. La Panaongi To' Pawawoi Arung Mampu Karaéng Biséi Paduka Sri Sultan 'Abdu'llah Mansur ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Tuammenang-ri Biséi] (1724)
  24. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1724-1738) (masa jabatan ketiga)
  25. I-Danraja Siti Nafisah Karaéng Langelo binti al-Marhum (1738-1741)
  26. Batari Toja Daéng Talaga Arung Timurung Datu-ri Citta Sultana Zainab Zakiat ud-din binti al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé-ri Tippuluna] (1741-1749) (masa jabatan keempat)
  27. La Temmassogé Mappasossong To' Appaware' Petta Paduka Sri Sultan 'Abdu'l Razzaq Jalal ud-din ibni al-Marhum Sultan Idris Azim ud-din [Matinroé ri-Malimongang] (1749-1775)
  28. La Tenri Tappu To' Appaliweng Arung Timurung Paduka Sri Sultan Ahmad as-Saleh Shams ud-din [Matinroé-ri-Rompégading] (1775-1812)
  29. La Mappatunru To Appatunru' Paduka Sri Sultan Muhammad Ismail Muhtajuddin [Matinroé-ri Laleng-bata] (1812-1823)
  30. I-Manéng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din [Matinroé-ri Kassi] (1823-1835)
  31. La Mappaséling Paduka Sri Sultan Adam Nazim ud-din [Matinroé-ri Salassana] (1835-1845)
  32. La Parénréngi Paduka Sri Sultan Ahmad Saleh Muhi ud-din [Matinroé-ri Aja-bénténg] (1845-1858)
  33. La Pamadanuka Paduka Sri Sultan Sultan Abul-Hadi (1858-1860)???
  34. La Singkeru Rukka Paduka Sri Sultan Ahmad Idris [Matinroé-ri Lalambata] (1860-1871)
  35. I-Banri Gau Paduka Sri Sultana Fatima [Matinroé-ri Bola Mapparé'na] (1871-1895)
  36. La Pawawoi Karaéng Sigéri [Matinroé-ri Bandung] (1895-1905)
  37. Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain (1931-1946) (masa jabatan pertama)
  38. Andi Pabénténg Daéng Palawa [Matinroé-ri Matuju] (1946-1950)
  39. Haji Andi Bacho La Mappanyuki Karaéng Silaja/Selayar Sri Sultan Ibrahim ibnu Sri Sultan Husain [Matinroé-ri Gowa] (1950-1960(masa jabatan kedua diangkat oleh belanda)
  40. Arung Bocco Petta Daru / Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng [MatinroE-ri Bengo] (1827-1904) (setelah wafat tidak ada mangkau di bone selama 20 thn)
  41. Ratu Bessi Kejora Saudara Kandung Dari Arung Bocco Petta Pangulu / Petta Ponggawa / Petta Paladeng MatinroE-ri Kajuara ) (Adalah keturunan Langsung Dari Almarhum Jendral M.Yusuf)"
 
arung palakka, raja bone
https://id.wikipedia.org/wiki/Kesultanan_Bone

Berdirinya Kerajaan Bone
Dalam lontara’ disebutkan, ketika keturunan dari Puatta Menre’E ri Galigo malawini darana (bangsawan dan rakyat-biasa sudah tidak bisa dibedakan sebagai akibat perkawinan) terjadi kekacauan yang luar biasa karena ketiadaan sosok pimpinan yang berasal dari bangsawan (manurung). Keadaan Bone saat itu, chaos. Norma-norma hukum tidak berlaku, adat-istiadat dipasung, kehidupan ummat tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa dan saling membunuh. Bone butuh sosok pemimpin, namun dari kalangan mereka tidak ada yang saling mengakui keunggulan satu sama lain. 
Ketika konflik tengah berlangsung, sebuah gejala alam yang mengerikan melanda wilayah Bone dan sekitarnya. Gempa bumi terjadi demikian dahsyatnya, angin puting beliung menerbangkan pohon beserta akar-akarnya, hujan lebat mengguyur alam semesta dan gemuruh guntur diiringi lidah kilatan petir yang menyambar datang silih berganti selama beberapa hari. Gejala alam seperti ini juga diceritakan dalam pararaton (Kitab Raja-raja) dan prasasti peninggalan kerajaan Majapahit.Sesaat setelah hujan reda, dari ufuk timur muncullah bianglala. Tidak berapa lama, di tengah padang nampak segumpal cahaya yang menyilaukan mata, muncul sosok manusia mengenakan pakaian serba putih (pabbaju puteh). Karena tak seorang pun yang mengenalnya, orang-orang menganggapnya sebagai To Manurung, manusia yang turun dari langit. Cerita kemunculan To Manurung ini cepat menyebar di kalangan Kalula. Dan mereka pun mengunjungi Sang Misteri. Para kalula anang (pemimpin kelompok) kemudian mengorganisir diri berembuk untuk, dan sepakat, mengangkat To Manurung menjadi raja mereka. Bersama dengan orang banyak yang berkumpul tersebut, para kalula kemudian berkata,
Kami semua datang ke sini memintamu agar engkau tidak lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar engkau kami angkat menjadi mangkau’. Kehendakmu adalah kehendak kami juga, perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kamipun akan turut mencelanya asal engkau mau tinggal.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Bagus sekali maksud tuan-tuan, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat menjadi Mangkau sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi kalau engkau benar-benar mau mengangkat mangkau’, saya bisa tunjukkan orangnya. Dialah bangsawan yang saya ikuti.”
Orang banyak berkata,
“Bagaimana mungkin kami dapat mengangkat seorang mangkau yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab,
”Kalau benar engkau mau mengangkat seorang mangkau, aya akan tunjukkan tempat matajang (terang), disana lah bangsawan itu berada”.
Orang banyak berkata,
”Kami benar-benar mau mengangkat seorang mangkau, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung bernama Puang Cilaong, mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang). Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi. Halilintar dan kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan deras disusul dengan gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah To Manurung yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan pakaian serba kuning. To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu; satu orang yang memayungi teddumpulaweng (payung berwarna kuning keemasan), satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa salenrang. To Manurung,
”Engkau datang Matowa?”
MatowaE menjawab,
”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati To Manurung yang berpakaian kuning keemasan. Berkatalah orang banyak kepada To Manurung,
”Kami semua datang ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah (lagi) engkau mallajang (menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi mangkau’. Kehendakmu kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri-kami engkau cela, kami pun (turut) mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”
Manurung menjawab,
”Apakah engkau tidak membagi hati dan tidak berbohong?”
Setelah terjadi tawar menawar, semacam kontrak sosial, antara To Manurung dengan orang banyak (kalula anang), dipindahkanlah Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya ManurungE ri Matajang. Salah satu kelebihannya yang menonjol adalah jika datang di suatu tempat dan melihat banyak orang berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE. ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi mangkau’ pertama di Bone.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri Matajang setelah diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng (menetapkan hak-hak kepemilikan orang banyak), mappasikatau (meredakan segala macam konflik horisontal) dan pangadereng (mengatur tatacara berinteraksi sesama masyarakat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat bendera kerajaan yang bernama woromporong-E berwarna merah dan putih –mirip bendera Republik Indonesia sekarang.
Setelah genap eppa pariyama (empat dekade) memimpin orang Bone, dikumpulkanlah seluruh orang Bone dan menyampaikan,
”Duduklah semua dan janganlah menolak anakku La Ummasa untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang melanjutkan perjanjian antara kita (ketika menunjuk/ngangkat aku sebagai Mangkau’-Bone”.
Hanya beberapa saat setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri Matajang dan ManurungE ri Toro menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan teddum-pulaweng (payung kuning keemasan) turut pula menghilang membuat seluruh orang Bone heran. Oleh karena itu diangkatlah anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai Mangkau’ di Bone.::Keturunan::
Manurung-E ri Matajang kawin dengan We Tenri Wale-ManurungE ri Toro. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa, We Pattanra Wanuwa, dan We’ Samateppa (lima bersaudara, dua diantaranya tidak tercatat [belum] ditemukan dalam lontara’).
Namun, berdasarkan laporan penelitian dari tim Royal Ark diperoleh informasi bahwa hasil perkawinan Manurung-E ri Matajang dengan We Tenri Wale-Manurung-E ri Toro mempunyai dua orang putera dan empat orang putri yakni:
* Bolong-Lelang, meninggal masa kanak-kanak;* La Ummasa To Mulaiye Panreng, yang selanjutnya menjadi Arumpone kedua;* We’ Tenri Ronrong, meninggal masa kanak-kanak;* We Pattanra Wanuwa, kawin dengan La Pattikkeng-Arung Palakka. Dari hasil perkawinan ini lahirlah Latenri Longorang, La Saliyu Karampeluwa Pasadowakki yang selanjutnya menggantikan pamannya menjadi Arumpone, We Tenri Pappa yang kawin dengan La Tenri Lampa-Arung Kaju, We Tenri Ronrong kawin dengan dengan La Paonro-Arung Pattiro;* We Tenri Salogan kawin dengan La Ranringmusu-Arung Otting; dan* We Arantiega kawin dengan La Patongarang-arung Tanete
Catatan::
Awal berdirinya Kerajaan Bone atas dasar: musyawarah, diangkat secara langsung oleh ketua kelompok (anang) -sepadan dengan wakil rakyat di DPR sekarang, pemimpin diangkat untuk kepentingan bersama bukan atas dasar kepentingan golongan atau kelompok, dll.http://northmelanesian.blogspot.co.id/sejarah-kerajaankesultanan-bone.html

RUNTUHNYA KERAJAAN BONE

Perlawanan Rakyat Bone terhadap Belanda pada tahun 1905 dikenal dengan nama RUMPA’NA BONE. Istilah RUMPA’NA BONE berasal dari pernyataan Raja Bone ke-31 Lapawawoi Karaeng Sigeri sendiri ketika menyaksikan secara langsung Petta Ponggawae (putranya sendiri) gugur diterjang peluru tentara Belanda. Hal ini diungkapkan dengan kalimat Bugis yang kental “ RUMPA’NI BONE” (Bobollah Bone). Maka dengan gugurnya Petta Ponggawae sebagai Panglima Kerajaan waktu itu, maka Lapawawoi Karaeng Sigeri beranggapan bahwa benteng pertahanan Kerajaan Bone telah bobol dan dikatakanlah “RUMPA’NI BONE
Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama putranya Abdul Hamid Baso Pagilingi yang populer dengan nama Petta Ponggawae menunjukkan kepahlawanannya dalam perang Bone melawan Belanda tahun 1905. Pendaratan tentara Belanda secara besar-besaran beserta peralatan perang yang sangat lengkap di pantai Timur Kerajaan Bone (ujung Pallette-BajoE-Ujung Pattiro), disambut dengan pernyataan perang oleh Raja bone tersebut. Tindakan penuh keberanian ini dilakukan setelah mendapat dukungan penuh dari anggota Hadat Tujuh serta Seluruh pimpinan Laskar Kerajaan Bone.
Salah satu putra terbaik Tana Bone dalam peristiwa heroik itu adalah Arung Ponre, La Semma Daeng Marola atau lebih dikenal dengan nama Anre Guru Semma. Dia berasal dari Watapponre, yaitu sebuah perkampungan tua yang dahulu menjadi pusat pemerintahan “kerajaan” Ponre. Pada jaman dahulu ketika Kerajaan Bone belum terbentuk, Ponre adalah sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh seorang Matowa atau Arung seperti halnya kerajaan-kerajaan kecil lain yang kemudian sama-sama melebur dalam kerajaan Bone pada masa pemerintahan Raja Bone ke-3 yaitu Lasaliyu Karampeluwa (1424–1496). Letaknya berada di puncak Bulu Ponre, sebuah gunung yang berada tepat ditengah-tengah antara Palakka, Ulaweng Bengo, Lappa Riaja, Libureng, Mare, Cina dan Barebbo, saat ini.
Selama kurang lebih lima bulan (Juli-November) Daeng Marola senantiasa mendampingi Lapawawoi Karaeng Sigeri bersama Petta Ponggawae melakukan perlawanan dengan taktik gerilya secara berpindah-pindah mulai dari Palakka, Pasempe, Gottang, Lamuru, dan Citta di daerah Soppeng hingga ke pusat pertahanan terakhir Bulu Awo (perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja), tempat gugurnya Petta PonggawaE.
Dalam hikayat Rumpa’na Bone yang terkenal itu, disebutkan bahwa ketika para pimpinan laskar kerajaan Bone seperti Daeng Matteppo’ Arung Bengo dari Bone Barat, Daeng Massere Dulung Ajangale dari Bone Utara, dan Arung Sigeri Keluarga Arungpone serta sejumlah Pakkanna Passiuno lainnya gugur dalam pertempuran melawan armada belanda yang sangat lengkap persenjataannya, laskar Bone dibawah komando Panglima Perang Petta Ponggawae terdesak mundur dan bertahan di Cellu. Pertempuran berlangsung sangat sengit. Dentuman meriam-meriam Belanda disambut dengan tombak, parang, badik dan persenjataan seadanya oleh Laskar Bone. Keberanian laskar bone menyabung nyawa membuat serdadu belanda merinding. Tidak sedikit serdadu belanda yang tewas. Dalam pertempuran ini, Daeng Marola mengukir sejarah dengan keberaniannya yang pantang mundur sejengkalpun. Konon, dia hanya memilik tiga butir peluru, namun setiap kali ditembakkan, moncong senjatanya kembali berisi seolah tak pernah kehabisan peluru untuk menewaskan si Mata Pute, Belanda.
Pertempuran terus berlangsung. Panglima Kerajaan Bone Petta Ponggawae terus mengobarkan semangat perlawanan sambil terus meramu taktik agar Tanah Bone dapat tetap dipertahankan. Satu demi satu lascar kerajaan bone gugur sebagai pahlawan Tana Ugi. Daeng Marola pun akhirnya terluka lalu di tandu menuju Seroja (istana) tempat Mangkau (Raja) berada. Melihat kenyataan itu, Petta ponggawae segera mengirim pesan ke Istana agar kiranya Mangkau segera meninggalkan istana dan berlindung ke Palakka. Sang Raja menerima pesan tersebut dan mempertimbangkan segala sesuatunya. Terbayang nasib negeri Bone tercinta jika harus ditinggalkannya. Ia menantap permaisuri menunggu pertimbangan. Daeng Marola pun telah tiba di Istana. Setelah beberapa saat, Sang Mangkau lalu meminta pertimbangan Daeng Marola tentang isi pesan dari Petta Ponggawae. Dengan hormat Daeng Marola menyampaikan bahwa laskar Bone sulit untuk membendung serangan Belanda. Kekuatan persenjataan sungguh sangat tidak seimbang, perlu perubahan taktik dan starategi untuk bisa terus melawan. Daeng Marola memahami dan merasakan kegalauan sang Raja. Diyakinkannyalah Sang Raja bahwa Mundur bukan berarti kalah tetapi mundur selangkah untuk maju seribu kali.
Setelah menyimak pandangan yang diberikan oleh Daeng Marola, sedikit tenanglah kembali hati sang Raja. Persiapan segera dilakukan. Para pengawal telah siaga untuk melindungi perjalanan Sang Raja beserta keluarga menuju Palakka. Pada tanggal 30 Juli 1905 tentara Belanda berhasil merebut Saoraja (Istana Raja) di Watampone dan menjadikannya sebagai basis pertahanannya.
Sepeninggal Panglima Perang Petta Ponggawae, laskar-laskar kerajaan Bone terpencar-pencar. Meski perlawanan masih terus berjalan terutama  Laskar-Laskar yang berada di wilayah selatan Kerajaan Bone di bawah komando Latemmu Page Arung Labuaja. Namun kian hari stamina laskar kerajaan Bone semakin menurun sementara serdadu Belanda terus menyisir pusat-pusat pertahannya.
Perlawanan Rakyat Bone kini dilakukan dengan cara bergerilya dan berpindah-pindah. Dari Palakka, rombongan Mangkau kemudian pindah ke Passempe. Tanggal 2 Agustus 1905 M. tentara Belanda menyerbu ke Pasempe, akan tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah meninggalkan Pasempe dan mengungsi ke Lamuru dan selanjutnya ke Citta. Dalam bulan September 1905 M. Arumpone dengan rombongannya tiba di Pitumpanuwa Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya. Daeng Marola Arung Ponre serta sejumlah laskar pemberani terus mendampingi Petta Ponggawae menyertai Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri hingga di Bulu Awo perbatasan Siwa dengan Tanah Toraja. Di Bulu Awo inilah pada tanggal 18 November 1905 M. Laskar Pemberani Kerajaan Bone di bawah komando Panglima Petta PonggawaE kembali bertemu dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen dan terjadi pertempuran habis-habisan. Pada saat itulah, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda. Pada saaat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap ; Rumpa’ni Bone, artinya benteng pertahanan Bone telah bobo. Lapawawoi Karaeng Sigeri akhirnya ditangkap dan dibawa ke Parepare, seterusnya ke Makassar lalu diasingkan ke Bandung dan terakhir dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 M. La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia di Jakarta, maka dinamakanlah MatinroE ri Jakarta. Dalam tahun 1976 M. dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh Bone. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Adapun La Semma Daeng Marola, ketika Bone benar-benar telah di kuasai oleh Belanda, La Semma Daeng Marola mangurungkan niatnya untuk pulang ke kampung halamannya, Ponre. Daeng Marola Arung Ponre memilih tetap berada di Bajoe dan menghembuskan nafas terakhirnya disana dan disebutlah ia sebagai Anre Guru Semma Suliwatang Matinroe Ribajoe.
https://paccaritaku.wordpress.com/runtuhnya-kerajaan-bone/

Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Bone

Memahami pola tingkah laku serta budaya Bugis-Makassar hanya mungkin memahami dengan baik konsep tentang Pangngaderreng dan siri’. Pangngaderreng merupakan suatu ikatan utuh sistem nilai yang memberikan kerangka acuan bagi hidup bermasyarakat orang-orang Bugis Makassar. Sedangkan Siri’ merupakan sikap hidup yang sangat mementingkan diri.

Pangngadereng dibangun ole unsur-unsur:
Ade’, yaitu sistem norma atau seperangkat adat yang menentukan dan mengatur batas-batas, bentuk-bentuk dan kaidah-kaidah. Misalnya, Ade’ yang khusus mengatur norma-norma perkawinan dan hal-hal yang berhubungan dengan etika rumah tangga disebut ade’ akkalabinengeng. Di dalamnya diatur garis keturunan mana yang dibolehkan untuk menjalin tali perkawinan dengan garis keturunan yang lain, kemudian kaidah-kaidah yang mengatur sah atau tidak sahnya perkawinan dan etika pergaulan dalam berumah tangga.
Bicara, mengatur segala hal-ikhwal yang berhubungan dengan peradilan, mengatur hak dan kewajiban warga negara dalam pelaksanaan hukum seperti penggugatan dan pembelaan di pengadilan. Namun bila dilihat materinya, mengarah pada wilayah penerapan hukum adat.
Rapang, berarti contoh, kiasan atau perumpamaan atau semacam yurisprudensi. Hal ini diberlakukan untuk situasi di mana kaidah atau undang-undang belum ditemukan untuk suatu kasus atau kejadian.
Wari, berfungsi menata, mengklasifikasi, mengatur urutan dari berbagai hubungan norma atau kaidah terutama dalam hubungannya dengan hal-ikhwal ketatanegaraan serta hukum, seperti tata cara menghadap raja. Di dalamnya juga diatur tentang pelapisan masyarakat atau stratifikasi sosial.
Sara’ merupakan unsur yang terbaru yang diserap dalam Pangngadereng. Ia mengandung pranata dan hukum dimana kata sara’ itu jelas diambil dari kata syariah. Bahwa sejak raja-raja Bugis dan Makassar pada abad ke-17 mulai masuk Islam, hukum Islam diintegrasikan ke dalam pangngadereng. Keberadaan sara’ memberi warna Islam kepada pangngadereng. Dalam hirarki kerajaan diangkatlah pegawai yang khusus mengurusi rentang sara’ ini yang disebut parewa sara’. Dialah yang bertanggung jawab dalam soal ibadah, zakat, pengurusan masjid, serta pernikahan dan warisan.
http://kota-islam.blogspot.co.id/sejarah-masuknya-islam-di-bone.html


Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer