Kesultanan Jailolo Maluku Utara

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN/KESULTANAN JAILOLO

Kesultanan Jailolo secara utuh dari raja pertamanya “Kolano Daradjati”. Daftar sisilah raja-raja Jailolo tersebut terdiri dari tiga bagian. Lembaran besar adalah uraian daftar sisilah yang skemanya diuraikan seperti “pohon terbalik” yang seluruh tulisan nama-namanya beraksara Arab, satu lembar lagi adalah salinan ulang yang juga dalam aksara Arab namun lebih diperinci dan diperjelas dengan melingkari tiap-tiap nama yang tertera karena lembaran aslinya sudah hampir lapuk, sedangkan satu lagi lembar kecil bertuliskan huruf arab dan yang berlafadz-kan bahasa Tidore adalah Surat Keterangan yang manjelaskan tentang daftar sisilah tersebut.
Sebelum

Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah dinobatkan menjadi Sultan Jailolo masa kini, para keturunan Sultan Doa yang tersebar di mana-mana yakni di Tidore (Soa Sambelo, Mareku dan Toloa), pulau Ternate (Dufa-Dufa), pulau Moti, pulau Makian dan di pulau Ambon sesuai alur dalam daftar sisilah tersebut, mereka seakan telah menutup diri untuk memikirkan “ke-Jailolo-an” nya. Bagi mereka itu semua adalah bagian dari masa lalu. Mungkin yang mereka pikirkan adalah; Cukup kami anak-cucu tahu bahwa nenek moyang kami memang berasal dari Jailolo, itu saja. Dan mungkin juga semboyan latin; “Ibi Bene Ubi Patria – yang berarti ; Dimana hidupku senang di situlah tanah airku” yang ada dalam pikiran mereka, Wallahu wa’lam. Hanya mereka yang tahu. Apalagi setelah dinobatkannya Sdr. Abdullah “Abdul Rahman Haryanto” Syah menjadi “symbol” kesultanan Jailolo modern, membuat ke-tertutup-an mereka semakin rapat. Mengingat hampir semua dari mereka tahu bahwa keturunan Sultan Doa hijrah ke pulau Tidore dan menjadi kawula kesultanan Tidore dan diberikan sebuah kawasan untuk membangun pemukiman (Soa Sambelo – Sabua ma belo) waktu itu adalah akibat dari pergolakan politik intern antar bangsawan di istana Jailolo ketika itu, beliau menyingkir meninggalkan takhtanya dengan tujuan menghindari perang saudara dan pertumpahan darah yang lebih dahsyat lagi yang bisa mengancam kelangsungan dan kehormatan Buldan Jailolo di Limau Tagalaya – Jailolo.
Muhammad Arif Bila (dalam sisilah tersebut ditulis Sultan Gugu Alam) adalah keturunan ke-8 dari Prins Gugu Alam. Prins Gugu Alam adalah nenek moyang keturunan kedelapan ke atas dari Sultan Gugu Alam alias Muhammad Arif Bila – Ada beberapa nama yang sama dalam sisilah ini, namun pada jenjang dan periode yang berbeda waktunya. Prins Gugu Alam adalah adalah adik bungsu dari Sultan Doa dan Prins Prentah. Mereka bertiga adalah anak dari Sultan Yusuf , Sultan Jailolo yang menjadi Sultan Jailolo di tanah Jailolo (Limau Tagalaya) sekitar tahun 1500-an, data tahun yang tepat belum bisa dipastikan.
Muhamad Arif Bila memiliki 4 orang putera. Ayah dari Muhamad Arif Bila yakni Syah Yusuf (lain dengan Sultan Yusuf yang ayahnya Sultan Doa, beda periode) adalah bangsawan Jailolo yang hijrah ke pulau Makian di desa Tahane. Muhammad Arif Bila sebelum diangkat oleh Sultan Nuku dari Tidore untuk manjadi Sultan Jailolo I (pada periode kedua sejarah kronologis kesultanan Jailolo) beliau sebelumnya menjabat sebagai Sangadji Tahane. Setelah itu selama sekitar 13 tahun jabatannya meningkat menjadi Jogugu kesultanan Tidore pada saat berkuasanya Sultan Kamaluddin dari Tidore (1784-1797) yang tidak lain adalah kakak dari Nuku. Ketika Nuku baru menjadi Sultan di Tidore Muhammad Arif Bila adalah seorang panglima yang handal.
Setelah Nuku mengangkat Muhamad Arif Bila menjadi Sultan Jailolo I (sebutan menurut catatan dari sumber Belanda), tidak semua orang di pulau Halmahera (Utara) mengakui keabsahan dia sebagai Sultan Jailolo, lagi pula mereka yang mengklaim dirinya sebagai Sultan Jailolo ini (sejak tahun 1637 hingga 1918 saat dibuang ke Cianjur) mereka tidak pernah berkuasa di atas tanah Jailolo itu sendiri, melainkan hanya menjadi Sultan Jailolo di pengasingan saja seperti di Weda dan Halmahera belakang termasuk juga juga di pulau Seram.(sumber: http://ternate.wordpress.com)


http://northmelanesian.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-kerajaan-jailolo.html

Hasil gambar untuk bendera kesultanan jailolo Hasil gambar untuk bendera kesultanan jailolo Hasil gambar untuk bendera kesultanan jailolo 
Bendera - Bendera Kesultana Jailolo ada yang kuning polos, Putih polos, Merah polos 

Daftar Sultan 
1605 – 1613: Doa Penguasa 
1613 – 1656: Saiuddin Penguasa 1656 – 1684: Alam Penguasa 1684 – 17.. ….: (unknown) Penguasa 
1805 – 1808: Vacant 
1808 – 1832: Muhammad Asgar Sultan
1832: Saifuddin Jehad Muhammad Hajuddin Syah Sultan
1876 – 2002: Interregnum 
Jan 2002 – 21 Nov 2010: Abdullah Syah Sultan
Nov. 2015: Sultan Haji Muhammad Shiddiq Kaicil Shah Sultan

1784 – 1805: Muhammad Arif Bila Sultan
1875 – 1876: Danu Hasan Sultan
Istana Kesultanan Jailolo 
Jailolo Kerajaan Maluku Tertua
Asal-usul dan Senioritas Jailolo

Dalam urutan berdirinya kerajaan-kerajaan Maluku, Jailolo dipandang sebagai kerajaan

tertua. Walaupun diakui sebagai kerajaan tertua oleh kerajaan-kerajaan Maluku lainnya, tidakdapat dipastikan kapan kerajaan ini didirikan. Yang dapat dicatat hanyalah peristiwa kesejarahanbahwa pada masa awal ada seorang raja perempuannya yang kawin dengan Raja Loloda, sebuahkerajaan di bagian utara pulau Halmahera – mungkin merupakan kerajaan yang lebih tua dariJailolo. 
Menurut cerita rakyat di daerah ini, perkawinan antara Ratu Jailolo dengan Raja Loloda
merupakan perkawinan politik untuk memberikan akses kepada Jailolo menguasai seluruh
Halmahera. Politik Jailolo berhasil, sebab sebelum tahun 1250, teritorial Kerajaan Jailolo telahmeliputi hampir seluruh Halmahera, termasuk Loloda. Sumber Nagarakartagama
mengungkapkan bahwa ketika Jailolo terbentuk sebagai Kerajaan, wilayahnya belum mencakupHalmahera Utara bagian barat, karena di sana terdapat Kerajaan Loloda. Di samping itu, dibagian utara Halmahera juga terdapat Kerajaan Moro, yang pada masa belakangan menjadisasaran perluasan Kerajaan Jailolo di bawah Katarabumi pada abad ke-16.Bagian barat Kerajaan Jailolo adalah Batu Cina, yang letaknya berhadapan dengan
Kepulauan Maluku – yakni pulau-pulau Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Jailolo semula
adalah nama sebuah desa, dan kerajaan yang berdiri di desa itu kemudian diberi nama yang sama.
Menurut sumber Nagarakartagama, yang disusun oleh Mpu Prapanca, kemungkinan kolano
pertama Jailolo adalah seorang perempuan yang berkuasa secara tiran dan memerintah dengantangan besi.
Setelah Ratu Jailolo yang tiran itu wafat, Loloda terlihat mampu melepaskan diri dari
kekuasaan Jailolo. Sebab, ketika berlangsung pertemuan Moti pada abad ke-14, Raja Lolodaberikhtiar untuk menghadiri pertemuan tersebut, tetapi terhalang oleh angin ribut, yangmenyebabkannya mendarat di Dufa-dufa, Ternate.
Karena memerintah dengan tangan besi, terjadi perlawanan dan pembangkangan terhadap
Kolano Jailolo, yang diikuti dengan eksodus para pembangkang politik ke pulau-pulau kecil disekitar Halmahera: Ternate, Tidore, Moti, dan Makian. Di pulau-pulau inilah para pemberontak
Jailolo mendirikan kerajaan-kerajaan – salah satu di antaranya yang terbesar dan terkuat adalahTernate – yang, pada gilirannya, merongrong dan bahkan mengakhiri eksistensi Kerajaan Jailolo.

Tentang status Jailolo sebagai kerajaan tertua, pendapat berbeda dikemukakan oleh Prof.Lapian. Dalam salah satu publikasinya tahun 1994, dengan menelaah berbagai mitos yang
berhasil direkam Portugis sekitar tahun 1544, Prof. Lapian sampai pada kesimpulan bahwa garisRaja-raja Maluku berawal dari empat buah telur naga yang menetaskan tiga orang laki-laki danseorang perempuan. Dari tiga orang anak laki-laki itu, seorang menjadi Raja Bacan, yang lain
menjadi Raja Papua, dan seorang lagi menjadi penguasa Butung dan Banggai, sementara yangperempuan menjadi permaisuri Raja Loloda.Berdasarkan versi ini, maka hanya terdapat dua kelompok Maluku Utara, Bacan sebagai
yang tertua dan Loloda yang mewakili rakyat yang bertutur dengan bahasa Halmahera Utara.
Tidak ada penyebutan tentang Ternate, Tidore, dan Jailolo.
Nama Halmahera menurut sumber-sumber Portugis adalah Batucina de Moro, atau Batucina yang merujuk pada kerajaan tua di Halmahera Utara yang masih eksis hingga abad ke-17, dimana Portugis berhasil mengkonversi agama sebagian penduduknya ke Kristen. Namun Batucinatidak punya hubungan samasekali dengan orang-orang Cina, sebagai bangsa asing pertama yangmenemukan Maluku, dan memperoleh keuntungan besar dari perdagangan rempah-rempah.Batucina dalam pengucapan orang-orang Portugis menjadi Bat (a) Chin (a) yang dalamteks-teks lama ditulis sebagai Batchian. Menurut Lapian, adalah sebuah salah ucap dari kataBacan, kekuatan tertua di Maluku yang punya pengaruh jauh hingga Seram dan pulau-pulau di
Sulawesi Utara. Oleh karena itu menurut Lapian, kerajaan tertua di Maluku Utara adalah Bacan,yang berkedudukan di Jailolo.Sekali waktu, Kerajaan Jailolo pernah berada di bawah kekuasaan seorang asing bernamaSyarif, yang diduga datang dari Makkah. Ia adalah adik Sultan Mindanao (Mangindanao) danSultan Borneo. Tetapi, dalam sumber-sumber sejarah tidak dijelaskan kapan Syarif dari Makkah
itu berkuasa.
Ancaman dan Ekspansi Ternate terhadap Jailolo
Ancaman Ternate terhadap Jailolo dimulai pada 1284, ketika Siale – Kolano Ternateketiga – menyerang beberapa desa Kerajaan Jailolo dan mendudukinya. Pada 1304, KolanoTernate lainnya, Ngara Malamo, menyerang Jailolo dan menduduki untuk waktu yang lamabeberapa desa di Batu Cina, di bagian selatan Jailolo.Sekalipun dalam Pertemuan Moti (1322) – yang melahirkan Persekutuan Moti (Motir
Verbond) – Jailolo diakui sebagai kerajaan peringkat pertama dari tiga kerajaan lain (Ternate,Tidore, Bacan) dalam hal senioritasnya, tetapi hal ini tidak mengakhiri ambisi Ternate untukmencaplok Jailolo. Pada 1343, Kolano Ternate, Tulu Malamo, tidak lagi mengakui keputusanMotir Verbond, dan menyerang serta menduduki Jailolo. Raja Jailolo ketika itu tidak dapat
berbuat sesuatupun, walaupun tindakan Tulu Malamo menuai reaksi keras dari Kolano Tidoredan Bacan.
Sekalipun serbuan Tulu Malamo atas Jailolo telah menuai reaksi keras dari kerajaankerajaanlainnya di Maluku, pada 1359 Kolano Ternate, Gapi Malamo, kembali menyatakantantangannya terhadap Jailolo. Kali ini agresi yang dilancarkan Ternate tidak berhasil. 
Balatentara Jailolo dapat menghalau tentara Ternate keluar dari wilayahnya. Kegagalan inilah yangbarangkali menyebabkan dilangsungkannya perkawinan politik antara putera sulung KolanoTernate pengganti Gapi Malamo, yakni Kolano Gapi Baguna, dengan puteri Kolano Jailolo,Kaicil Kawalu, pada 1372. Tetapi, perkawinan politik ini tampaknya tidak berhasilmengimplementasikan ambisi politik Ternate untuk mendominasi Jailolo.Antara waktu perkawinan politik tersebut hingga berkuasanya Katarabumi di Jailolo,masih terlihat serangkaian upaya agresi Ternate terhadap Jailolo. Pada 1380, Kumala Putu,Kolano Ternate ke-17, berupaya menyerbu dan menduduki Jailolo. Demikian pula, KolanoMarhum menyerbu Jailolo pada 1465. Kolano Ternate ini relatif berhasil menanamkanpengaruhnya. Sebab, ketika terjadi perang suksesi di kalangan keturunan bangsawan Jailolo,Jamilu, salah satu bangsawan Jailolo kepercayaan Ternate, memenangkannya. Tetapi, Jamilutidak menduduki takhta Jailolo, karena diangkat oleh Marhum sebagai Raja Muda di Ambon.Pada 1524, Taruwese, Raja Muda Ternate, melanjutkan upaya pendudukan Jailolo yang gagal,karena berhasil dihalau bala tentara Jailolo. Tiga tahun kemudian (1527), Taruwese mencobamelakukan usaha yang sama dengan bantuan Portugis. Kali ini ia berhasil menduduki sebagianJailolo, tetapi tidak untuk waktu yang lama.
Persekutuan Jailolo-Spanyol
Sejak 1521, ketika sisa-sisa armada Magellan mencapai Tidore, Jailolo telah menjalinpersahabatan dengan Spanyol untuk menghadapi Ternate yang bersekutu dengan Portugis. Jailoloselalu berharap akan kunjungan orang-orang Spanyol ke kerajaannya. Pada 1 Maret 1532, SultanJailolo Zainal Abidin Syah, secara sengaja berupaya memancing perhatian Raja Spanyol CharlesV dengan layanannya yang baik kepada orang-orang Spanyol. Ia juga menawarkan kerajaannyasebagi vazal Spanyol. 
Ia menyatakan bahwa pada ekspedisi Spanyol sebelumnya, ayahnya,Sultan Jusuf, telah menawarkan hal serupa. Tetapi, tawaran ini tidak memperoleh respon. Karenaitu, sekali lagi ia mengulangi tawaran yang sama dengan harapan akan memperoleh tanggapanSpanyol di masa depan.Pada 1527, Herman Cortes ditugaskan mengirimkan sebuah armada Spanyol kekepulauan rempah-rempah guna membantu orang-orang Looysa yang sudah berada di Tidore.Armada itu bertolak dari Spanyol baru – sebutan untuk Mexico pada waktu itu – pada 31Oktober 1527, dengan beranggotakan tiga kapal di bawah pimpinan Alvares de Saanedra, sepupuCortes.Di antara ke-3 kapal itu, satu di antaranya bernama Florida, yang membawa 450 tentaraSpanyol lengkap dengan persenjataannya. Ketika Florida dan kedua kapal lainnya tiba di Tidore,orang-orang Portugis dan pasukan Kerajaan Ternate yang berkekuatan 1000 tentara, dipimpinDon Jonge Menexes dan Taruwese, sedang menyerbu Mareku – ibu kota Kerajaan Tidore yangbaru dibangun. Setelah diobrak-abrik dan dirampok, pasukan gabungan itu menyerbu bentengSpanyol di dekatnya. Ketika kapal Florida tiba, kaum penyerbu dapat dipukul mundur oleharmada Spanyol. 
Portugis lari ke Ternate dan Taruwese ke Makian Setelah memukul mundur pasukan Portugis dan Ternate, armada Spanyol berlayar keJailolo dan disambut hangat Sultan Zainal Abidin Syah. Spanyol kemudian menempatkan 27orang pasukannya di Jailolo atas permintaan Zainal Abidin. Pada tahun itu juga (1527), ZainalAbidin wafat dan digantikan puteranya, Sultan Yusuf.Orang-orang Spanyol memberikan senjata kepada rakyat Jailolo dan melatih merekamenggunakannya, sehingga rakyat kerajaan ini diharapkan mampu mempertahankan diri.Spanyol juga membenahi benteng Jailolo dan menempatkan persenjataan artileri untukmemperkuat pertahanan dan meningkatkan kemampuan bela diri terhadap berbagai gangguankeamanan. 
Penduduk lokal dilatih untuk mengatasi dan meloloskan diri bila terjadi pengepunganyang dilakukan orang-orang Portugis.
Katarabumi: Kolano Jailolo Terbesar
Pada 1529, bangsawan tinggi Katarabumi (Catabruno) diangkat sebagai MangkubumiJailolo. Dengan pengangkatan Katarabumi, Ternate mulai mengalami kesulitan dalam melakukanambisi politiknya. 
Berkat bantuan Kerajaan Tidore, Katarabumi berhasil menangkis semuaserbuan Ternate yang dibantu Portugis.Pada 1533 Sultan Jusuf wafat dan digantikan puteranya, Firuz Alauddin, sebagaipenguasa Jailolo. Karena Sultan Jailolo itu masih di bawah umur dan sering sakit-sakitan,Katarabumi ditunjuk sebagai Mangkubumi untuk menjalankan roda pemerintahan KesultananJailolo.Sementara itu, Gubernur Portugis Tristao d’Ataide menuduh orang-orang Spanyol yangada di Jailolo telah memberikan perlindungan kepada 4 hingga 5 negeri yang dahulu berada dibawah kekuasaan Portugis. 
Dengan alasan tersebut, Ataide mengerahkan tentaranya menyerangdan – setelah mengepung selama beberapa waktu – memerintahkan Jailolo menyerah. SultanJailolo yang masih di bawah umur, Firuz Alauddin, dibawa ke Benteng Gamlamo di Ternateuntuk “berobat.” Evakuasi ini merupakan konspirasi antara d’Ataide dengan Katarabumi, yangketika itu menjabat sebagai Mangkubumi Kesultanan Jailolo. 
Persekongkolan ini baru terungkapsetelah berbagai hadiah yang diberikan d’Ataide kepada Katarabumi secara berlebihan, termasukhadiah payung emas dan pakaian dalam jumlah besar, diketahui umum.Pada 1534, Katarabumi mengambil-alih Kesultanan Jailolo dan memproklamasikandirinya sebagai Kolano, setelah putera mahkota yang berobat di rumah sakit Portugis di Ternatemati diracuni orang-orang suruhan Katarabumi. Dalam proklamasinya, Katarabumi mengatakanbahwa ia akan memerintah Jailolo atas nama Raja Portugal“Raja pertama yang akanmemberikan kevazalannya dengan wibawa Kerajaan.” Selama berkuasa, Katarabumi berhasilmembebaskan seluruh wilayah Kesultanan Jailolo yang diduduki Kesultanan Ternate.Tetapi, keberhasilan Katarabumi mengusir kekuasaan Ternate dari wilayah KesultananJailolo dan penyerbuan-penyerbuan yang dilakukannya ke Kerajaan Moro telah menimbulkankecurigaan orang-orang Portugis. Mereka tidak menyangka bahwa Katarabumi bisa tampilsebagai kekuatan baru yang tangguh dan disegani di seluruh kawasan Maluku. Semua pernyataanKatarabumi yang pro-Portugis ternyata hanya kamuflase untuk menutupi serbuan-serbuannya danpolitik anti Kristen serta anti Portugis yang dilakukannya di Kerajaan Moro.
Sukses Katarabumi juga telah menimbulkan kecemburuan Ternate. Dalam berbagaipernyataan yang diberikan beberapa waktu setelah penobatannya, Katarabumi selalu berujarbahwa raja-raja Maluku ingin tetap bersahabat dengan Portugis. Pernyataan ini sangatmembingungkan Gubernur d’Ataide, karena Katarabumi terus menyerang Misi Jesuit di Moro,dan bersekutu dengan Deyalo, Sultan Ternate yang dilengserkan Portugis dari takhtanya dansedang dicari-cari. 
Dengan Deyalo, Katarabumi membuat persetujuan membantunya merebuttakhta Kesultanan Ternate. Sebagai imbalannya, daerah Moro menjadi milik Jailolo.
Katarabumi dan Konspirasi Raja-raja Maluku
Ketika Sultan Khairun berkuasa di Ternate, pada 1540 ia mulai menjalankan kebijakanbertetangga-baik dengan tujuan menjalin Ternate-Jailolo ke dalam sebuah ikatan imperiumdengan mahkota Ternate sebagai pimpinannya. Tetapi, cita-cita Khairun tidak sempat terlaksana,karena kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan di dalam Kesultanannya berkenaan denganKristenisasi yang dilakukan Misi Jesuit.Khairun yang menginginkan Kerajaan Moro menjadi vazal-nya dengan mendudukkansalah seorang puteranya sebagai raja, mencoba mengambil hati Portugis, terutama paramisionaris, dengan memberikan kemudahan yang bersifat membantu operasi misi di kerajaanMoro. 
Akibatnya, terjadi perkembangan pesat Kristenisasi di dalam komunitas-komunitas utamakerajaan tersebut – seperti di Tolo, Mamuya, Pune, Sugala (Morotia), Sakita, Mira, dan Rao(Morotai) – yang pada akhirnya merepotkan Khairun sendiri. Sampai pada 1547, hampir seluruhkerajaan Moro, praktis telah berada di bawah kekuasaan Misi Jesuit, yang mendapat dukungankuat dari tentara dan penguasa Portugis di bawah Gubernur Bernaldyn de Sousa.Untuk mengantisipasi keadaan ini, Khairun mengundang Sultan Bacan, Tidore, danKolano Katarabumi untuk membahas dan mencari solusinya. Dalam pertemuan rahasia itu, pararaja Maluku dengan suara bulat sepakat akan menyetop laju dan perkembangan misi Jesuit. 
ParaSultan itu setuju untuk mengenyahkan orang-orang Kristen dari Maluku. Segi-segi politikkesepakatan ini ditangani Sultan Khairun, dan upaya militernya diserahkan kepada Katarabumi.
Serangan atas Kerajaan Moro
Pada 1536, Katarabumi dan pasukannya yang besar menuju Moro. Kampung Sugala dipesisir utara Morotia diserang. Setelah Sugala jatuh ke tangannya, penduduk Kristen setempatdimurtadkannya. Orang-orang Sugala yang sudah murtad itu kemudian menuntut agar PastorAlvarez dan beberapa orang Portugis menyerahkan kapal yang tengah mereka buat. PastorAlvarez dapat meloloskan diri bersama bawahannya, tetapi mereka ditangkap oleh armada Jailololainnya. 
Hanya dengan tipu muslihat, Alvarez akhirnya tiba di Ternate.
Dari Sugala, Katarabumi melanjutkan operasinya dengan membersihkan kampungkampungTutumaloleo dan Lalonga dari unsur-unsur Kristen. Dari sana Katarabumi menyerbuPune kemudian mengepung Mamuya, ibukota kerajaan Moro. Setelah seminggu terkepung,Katarabumi memberi waktu 24 jam kepada Raja Moro, Tioliza – yang telah menganut Kristendan mengganti namanya menjadi Don Joao – agar menyerah. Bila tidak, pasukan Jailolo akanmembakar semua ladang dan kebun kelapa penduduk Mamuya. Katarabumi juga menuntut agarorang-orang Portugis yang selama ini mengawal Raja Moro ikut menyerah.Sebelum batas waktu berakhir, orang-orang Portugis pengawal Raja Moro telah melarikandiri ke hutan, tetapi mereka dibunuh rakyat setempat. 
Pada malam sebelum penyerahan diri, RajaMoro Tioliza membunuh sendiri istri dan anak-anaknya agar tidak tertawan atau jatuh ke tanganmusuh. Don Joao alias Tioliza bermaksud melakukan bunuh diri, tetapi sempat dicegah oleh anakbuahnya. Keesokan harinya, Tioliza menyerahkan diri kepada Katarabumi. Atas permohonankaum kerabatnya, Raja Moro itu tidak dibunuh.Dari Mamuya, pasukan Katarabumi meneruskan serangannya ke Tolo, pusat Misi Jesuitdi Kerajaan Moro. Tetapi di Tolo, Katarabumi mendapat perlawanan kuat. Kampungberpenduduk 3000 jiwa itu, dengan bantuan tentara Portugis yang ditempatkan di situ, berhasilmenahan serangan Katarabumi dan baru menyerah sebulan kemudian.Ketika Tolo diserbu, terdapat 36 orang Kristen Tolo yang berhasil meloloskan diri keTernate dan melaporkan situasinya kepada Gubernur. Pasukan Portugis dalam jumlahbesarkemudian dikerahkan menyerang Galela dan Pune. Dalam penyerbuan itu, pasukan Portugismembakar habis kedua kampung tersebut, meskipun Pune adalah pemukiman Kristen. 
Setelahitu, pasukan Portugis menduduki Tolo serta mengusir Katarabumi dan pasukannya kembali keJailolo.Sejak Katarabumi melakukan serbuannya ke kerajaan Moro, dalam hal ini Morotia,banyak orang Kristen dimurtadkan. Bahkan, di Cawa dekat Tolo, orang-orang yang sudah murtadmembakar atau menghancurkan gereja dan altarnya sendiri. Sementara Portugis di Ternate tidaktahu-menahu tentang penyerbuan Katarabumi atas Moro. Gubernur Portugis di Ternate de Freitasbaru mengetahui penyerbuan itu pada 20 Maret 1543, setelah 36 orang-orang Moro yangmeloloskan diri dari Tolo memberikan laporannya. Orang-orang Kristen Moro baru dipulihkankeimanannya setelah Fransiscus Xaverius mengunjungi daerah ini antara bulan September 1546hingga Januari 1547.Serbuan Katarabumi ke Moro, dukungannya kepada Deyalo, berikut pernyataanpernyataannyayang kontroversial tentang hubungan Portugis-Jailolo, telah menimbulkan kesanPortugis bahwa Katarabumi adalah pribadi yang sukar dipercaya dan, karena itu, harus disisihkandari percaturan politik dan militer di Maluku. Tetapi, Portugis menilai bahwa Katarabumi cukuptangguh dari segi militer. 
Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa untuk mengusirnya dari Morotia– selain pengerahan pasukan dalam jumlah besar – Portugis memerlukan waktu 3 bulan.Sebagai balasan atas aksi-aksi Katarabumi, Bernaldin de Sousa – yang diangkat sebagaiGubernur untuk kedua kalinya – berencana memberi “pelajaran” kepada Katarabumi denganmenyerbu Jailolo pada 1551. Walaupun perang ini diprakarsai Portugis sendiri, tetapi label yangdiberikan kepadanya adalah “serbuan Ternate dengan bantuan Portugis.
Serbuan Portugis ke Jailolo
Pada 1551, Portugis memutuskan menyerbu Jailolo dan meminta keikutsertaan Ternate

dalam ekspedisi militer ini. Ternate mula-mula menolaknya, tetapi akhirnya terpaksa menerimapermintaan itu. Rencana penyerbuan Portugis ke Jailolo telah diketahui terlebih dahulu melaluiagen-agen Jailolo dalam ketentaraan Ternate. Karena itu, untuk menghadapi serbuan tersebut,benteng Jailolo diperkuat dan tembok-temboknya yang rusak diperbaiki serta ketinggiannyaditambah, sehingga “seekor tikuspun tidak dapat melewatinya.” Benteng dipersenjatai dengan100 pucuk senjata laras panjang, 18 pucuk meriam serta sebuah “mortir” dan berbagai senjatalainnya buatan Jawa, berikut berbagai peralatan untuk mengatasi kepungan.

Pasukan Alifuru Jailolo dalam jumlah besar disiapkan dengan beragam senjata

tradisional, seperti tombak, kelewang, dan lembing. Reputasi mereka dalam perang hutan begitumenakutkan, dan pasukan ini sewaktu-waktu dapat menghilang tanpa diketahui jejaknya. 
Akantetapi, setelah Portugis memperketat pengepungannya selama lebih dari 3 bulan, bentengyangdipersenjatai sangat kuat itu akhirnya jatuh. Jailolo, di bawah pimpinan Katarabumi yang perkasaitu akhirnya takluk tanpa syarat. 

Katarabumi pun menyerah, walaupun Portugis tidak pernah

masuk ke dalam benteng dan meletuskan senapannya. Blokade yang lama menyebabkan
terputusnya hubungan dengan dunia luar dan kekurangan perbekalan.
Lengsernya Katarabumi
Setelah ada isyarat dari dalam benteng tentang penyerahan, Portugis memerintahkan pintu
benteng dibuka untuk memperlihatkan volume persenjataan dan posisi pertahanan benteng
selama beberapa hari. Menurut sumber-sumber Portugis,9 Katarabumi menolak menyaksikanpenyerahan Jailolo. Dengan mengenakan jubah pemberian Gubernur d’Ataide, Sultan Jailolo itu
menghilang pada suatu malam yang gelap dan masuk hutan. Ia menjalani hidup sebagaiseorangpertapa.
Tetapi, menurut suatu sumber gereja, pada saat-saat terakhir, Katarabumi ingin
mengonversi agamanya menjadi Kristen Katolik. Ketika akan dibaptis dan para pastor telah siapdi depannya, mereka meminta agar sebelum dibaptis Katarabumi harus menceraikan istri-istrinyadan menyisakan satu orang saja. Katarabumi menolak permintaan ini, sehingga pembaptisangagal dilakukan. Beberapa hari kemudian, masih dalam tahun 1551, Katarabumi wafat karenaminum racun.
Sepeninggal Katarabumi, Jailolo kehilangan dinamika dan kekuatannya sebagai sebuah
kerajaan. Ia hanya meninggalkan nama dan identitas sebagai bekas sebuah kerajaan tertua danterbesar pada masa awal kelahiran kerajaan-kerajaan Maluku. Jailolo juga telah meninggalkanidentitasnya sebagai salah satu dari empat pilar kerajaan Maluku – yakni: Jailolo, Ternate,Tidore, dan Bacan – yang dikenal sebagai Moloku Kie Raha.
Menurut para pengamat sejarah Maluku, kerjasama yang dijalin Jailolo di bawah
Katarabumi dengan kerajaan-kerajaan Maluku lainnya telah memperkuat posisi Sultan Khairundari Ternate dalam menghadapi Portugis maupun Misi Jesuit yang memboncenginya, terutama
dengan Gubernur Jordao de Freitas yang pongah.
Jailolo pasca Katarabumi
Setelah wafatnya Katarabumi dan Sultan Khairun, pada 1600 Sultan Saidi dari Ternate
menyerbu kembali Jailolo dan mendudukinya dengan bantuan Portugis. Kolano Jailolo, Saubo,pengganti Katarabumi, terpaksa melarikan diri. Setelah menggalang kembali kekuatannya, Sauboberhasil memperkecil kekalahannya. Bahkan, beberapa waktu setelah Sultan Saidi ditangkapSpanyol dan diasingkan ke Manila, Saubo berhasil merebut kembali seluruh wilayah
kekuasaannya.Pada 1611, Spanyol menyerbu dan menduduki Jailolo. Ketika itu, Ternate tengahmenggalang persekutuan dengan Belanda. Raja Jailolo pun diboyong ke Ternate dan sejak saatitu tidak pernah lagi bertakhta di kerajaannya. Setelah Spanyol meninggalkan Jailolo pada 1620,
Ternate menjadikan Jailolo sebagai kerajaan vazal-nya. Raja Jailolo terakhir, Kaicil Alam,tetapditempatkan di Ternate, bukan di ibukota kerajaannya. Ia dipandang sebagai anggota keluargaKesultanan Ternate dan dinikahkan dengan Puteri Boki Gamalama, adik Sultan SiboriAmsterdam, meskipun perkawinan ini berakhir dengan perceraian. Pada 1684 Kolano Jailoloterakhir, Kaicil Alam, wafat. Sejak saat itu Jailolo hanya menjadi sebuah distrik di bawah otoritasTernate. Kepala distrik Jailolo dipegang oleh seorang sangaji. Pada 1858, kepala distrik Jailolobergelar Fanyira.
Tuntutan Restorasi Kesultanan Jailolo
Orang pertama yang menghendaki agar Kesultanan Jailolo dihidupkan kembali adalah
Sultan Tidore, Saifuddin Iskandar Zulkarnain (1657-1689). Baik dalam percakapan maupun
surat-surat yang dikirim kepada Gubernur VOC, Padtbrugge, Saifuddin selalu meminta agar
Kesultanan Jailolo dihidupkan kembali dan Kaicil Alam – penerus takhta Kesultanan Jailolo –dipulihkan kekuasaannya sebagai Sultan Jailolo. Alasan-alasan utama yang diajukan Saifuddinadalah restorasi Kesultanan Jailolo akan mengatasi kemelut yang melanda Maluku danmemulihkan pedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat. Demikian pula, Malukusecara
tradisional tegak di atas empat landasan atau tonggak – yaitu Kerajaan Ternate, Tidore, Bacan,dan Jailolo – dan dengan dilikuidasinya Jailolo, Maluku kini sangat lemah, karena hanya tegak diatas tiga tonggak.
Gagasan Saifuddin tidak memperoleh respon VOC, karena hutang budi dan kedekatan
VOC kepada Ternate. Tetapi, di kalangan keluarga keraton Ternate sendiri, gagasan Saifuddincukup memperoleh sambutan positif. Kaicil Kalamata dan para bobato lainnya, di masapemerintahan Sibori Amsterdam, pernah mengusulkan agar Kaicil Alam didudukkan kembali keatas takhta Jailolo. Sibori, tentu saja menolak gagasan ini dengan alasan bahwa Portugislah yangmenghapus Kerajaan Jailolo, bukan Ternate.
Kasus Kesultanan Jailolo Bentukan Nuku
Ketika Nuku dinobatkan sebagai Raja atas Papua serta Seram Timur, kemudian sebagai
Sultan Tidore, gagasan Saifuddin di atas bergema kembali. Seusai dinobatkan sebagai SultanTidore, Nuku menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo dan mengangkat Sangaji Tahanesebagai Sultan Jailolo dengan gelar Muhammad Arif Billa. Alasan penghidupan kembali
Kesultanan Jailolo sama dengan yang dikemukakan sebelumnya oleh Sultan Saifuddin kepadaGubernur Padtbrugge. 

Walaupun demikian, upaya Nuku ini tidak dapat dilepaskan dari

gagasannya untuk mengimbangi hegemoni dan superioritas Ternate. Kesultanan Ternate memangdengan cerdik telah menunggangi Belanda guna mempertahankan hegemoni dan superioritasnya.
Sultan Jailolo yang diangkat Nuku, Muhammad Arif Billa, bukanlah pendatang baru
dalam struktur Kesultanan Tidore. Di awal karirnya, Billa menjabat sebagai Sangaji Tahane
(Makian), kemudian selama 13 tahun menjadi Jogugu Kesultanan Tidore, sejak berkuasanyaSultan Kamaluddin (1784-1797), kakak Nuku. Meski Billa adalah seorang Tahane atau Makian,
tetapi lantaran jabatan yang dipangku ia mendapatkan kualifikasi bangsawan setingkat kaicil.
Sudah sejak 1786 Billa memimpin suatu faksi dalam lapisan para bobato Tidore yang memihakNuku dalam pergolakan politik kesultanan tersebut.
Pada 1796, Billa ditangkap atas perintah Sultan Kamaluddin, setelah terkuak hubungan
yang dijalinnya dengan Nuku. Tetapi, karena campur tangan VOC, Billa dibebaskan. Menjelangpenyerbuan Nuku ke Tidore, Billa melarikan diri dan bergabung dengannya. Ia bahu membahudengan Nuku dalam perjuangan pembebasan Tidore, dan diangkat sebagai salah seorangpanglima Nuku yang handal.
Ketika Inggris mengembalikan Maluku kepada Belanda, yang kemudian berkuasa antara
1803-1810, Nuku untuk pertama kalinya menawarkan sebuah perundingan kepada Belanda pada1804. 

Perundingan ini ditawarkan Nuku dengan salah satu persyaratan pengakuan Belanda atas

Kesultanan Jailolo sebagai sebuah kerajaan merdeka dan berdaulat penuh.
Bagi Nuku, pengakuan atas Jailolo sebagai salah satu syarat perundingan merupakan
suatu kemestian. Menurut adat, pengangkatan Sultan Jailolo telah memperoleh persetujuan parabobato Kesultanan Tidore, para bobato Halmahera Timur – Weda, Maba dan Patani – sertamendapat dukungan bobato Halmahera Utara – Jailolo, Sau, Tobelo, Galela, dan Raja Lolodaserta Kao. Dukungan luas seperti itu cukup memberikan keabsahan bagi Billa sebagaiSultanJailolo. Tetapi, Belanda menolak tawaran dan prasyarat Nuku.
Setelah berita penolakan Belanda tersiar, pasukan Sultan Jailolo di Toniku mulai
dimobilisasi untuk menggempur Halmahera Utara. Nuku sendiri merancang rencana penyerbuan,dan Billa ditugasi memimpin serta melaksanakannya. Armada yang akan ambil bagian dalamoperasi militer ini direncanakan terdiri dari: 1 juanga Sultan Jailolo, 1 juanga putera-puteraSultan Jailolo, 8 juanga orang Tobelo dan Kao, 6 juanga dari Loloda, 1 juanga dari Tolofuo, 4juanga dari Sau, 2 juanga dari Galela, 6 juanga dari Patani, 6 juanga dari Weda, 6 juanga dari
Tidore, dan 5 juanga dari Papua.
Tujuan operasi adalah untuk memperoleh legitimasi para sangaji di Halmahera Utara bagi
Sultan Jailolo. Tetapi, Nuku tidak menyadari bahwa sejak 1635 Jailolo telah lebur dan menjadiwilayah Kesultanan Ternate, yang melakukan pembinaan sedemikian rupa sehingga sangat sulitbagi rakyat di kawasan Jailolo maupun Halmahera Utara mengubah loyalitas mereka kepadaTernate, terutama di kalangan orang Alifuru, walaupun sebagian rakyat Tobelo dan Galelaadalahpengikut setia Nuku selama belasan tahun.Dengan demikian, upaya Nuku menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo – dalam
kenyataannya hanya merupakan kerajaan vazal Tidore, karena pemerintahan Nuku beradadiatasnya – tidak sepenuhnya berhasil lantaran orang-orang Alifuru tidak mau mengakui SultanJailolo yang ditunjuk Nuku sebagai raja mereka. Orang-orang ini tetap menyatakan kesetiannyakepada Kesultanan Ternate. Hanya beberapa kampung di pantai barat Halmahera yang dapatdikuasai Jailolo. Orang Tobelo Tai – yakni Tobelo Boenge dan Tobelo Kao – pimpinanSangaji Kuwasauwa dan Sangaji Sau mengakui Sultan Jailolo, tetapi Sangaji Galela serta orangAlifuru Jailolo dan Ibu menolak legitimasinya.
Operasi Halmahera Utara yang direncanakan Nuku itu mengalami kegagalan dan tidak
pernah dilaksanakan, walaupun sebelumnya Nuku telah mengirim sejumlah tim ke wilayah
tersebut untuk mensosialisasikannya. Hasil sosialisasi yang tidak menggembirakan barangkaliyang membuat rencana penyerbuan dibatalkan.
Sementara itu, Sultan Ternate, Muhammad Yassin, mengusulkan suatu kompromi kepada
Pemerintah Belanda di Ternate sehubungan dengan prasyarat Nuku. Usulan itu adalah agar
kawasan Toniku di pantai barat Halmahera, yang masuk wilayah Kesultanan Tidore, ditetapkansebagai wilayah Sultan Jailolo dan rakyatnya, serta agar mereka diberi izin untuk memperolehsuplai bahan pangan dari wilayah Gane Dalam, yang masuk wilayah kekuasaan Ternate.
Setelah wafatnya Nuku pada 14 Nopember 1805, Dewan Kerajaan mengangkat Zainal
Abidin sebagai Sultan Tidore menggantikannya. Pada masa Zainal Abidin inilah Gubernur
Wieling meminta agar Sultan Tidore menyerahkan Sultan Jailolo kepada Belanda. Zainal Abidin,yang menemui kesulitan dalam menyerahkan Sultan Jailolo, menyatakan kepada GubernurWieling bahwa secara politis maupun militer Sultan Jailolo, Muhammad Arif Billa, tidak punyapotensi dan kemampuan untuk membahayakan pemerintah. Karena itu, menurut Zainal Abidin, iatidak perlu ditangkap. 

Argumentasi ini tidak dapat diterima Belanda, yang kemudian memandangZainal Abidin sebagai orang yang tidak bisa diajak kerjasama.

Akibatnya, Belanda menyerbu Tidore dan merampas benteng-benteng kesultanan itu pada
Nopember 1806. Zainal Abidin mengerahkan armadanya untuk menangkal serbuan tersebut,tetapi upayanya menemui kegagalan.16 Tentara Belanda juga menyerbu Soasio, ibukota Tidore,dan membumihanguskannya, termasuk istana Salero.
Para sangaji dan kimalaha yang menjadi anggota Dewan Kerajaan dipaksa
menandatangani perjanjian yang menempatkan Tidore langsung di bawah pemerintahan Belanda,selama sultan baru belum diangkat. Perjanjian ini dipaksakan Belanda lantaran naiknya ZainalAbidin ke atas takhta Tidore menggantikan Nuku tidak sepengetahuan dan seizin Belanda.
Demikian juga, Belanda melarang komunikasi antara para bobato Tidore dengan rekan-rekannyadi Halmahera Timur, serta menjanjikan amnesti kepada seluruh bangsawan Tidore yang bersedia
bekerjasama, terkecuali Sultan Jailolo.
Sebelum Belanda menyerbu Tidore, Zainal Abidin, Sultan Jailolo dan sejumlah
bangsawan Tidore telah menyingkir ke Halmahera Timur. Zainal Abidin menuju ke Patani, danSultan Jailolo membangun markasnya di Weda. Ketika Belanda menyerbu Weda dan
menghancurkan markasnya, Sultan Jailolo masuk hutan serta berkelana di pedalaman Weda. 

Pada1807, Sultan Jailolo pertama, Muhammad Arif Billa, wafat karena kecelakaan. Billa matitergelincir ke dalam sebuah jurang dan dimakamkan di dekat sebuah sungai di Weda.

Setelah Sultan Muhammad Arif Billa wafat, ia digantikan oleh puteranya, Kimalaha Sugi
– sebelumnya menjabat sebagai Ngofa Jou (putera mahkota). Sultan Jailolo ke-2 ini bergelarMuhammad Asgar. Ketika Inggris (East India Company) menduduki Ternate pada 1810,Muhammad Asgar tidak diakui sebagai Sultan Jailolo, karena "belum pernah diangkat oleh suatupenguasa yang berhak, dan tidak berhak untuk menggunakan gelar itu (yakni gelar sultan Inggris lalu menangkap dan menahan Muhammad Asgar dan menahannya di Ambonhingga 1817. Ketika Inggris menyerahkan kembali kekuasaan Maluku kepada Belanda, Asgarikut pula diserahkan sebagai tahanan. Pada tahun ini juga, Asgar mengajukan permohonankepada panitia pengambilalihan kekuasaan dari Inggris kepada Belanda agar ia dibebaskan dandiperkenankan kembali memimpin masyarakat Halmahera.
Permohonan Asgar tidak ditanggapi. Karena itu, ia menyurat kepada Laksamana A.A.
Buyskes, yang tengah berada di Ambon dalam rangka penyelesaian Perang Pattimura, dan
mengajukan sekali lagi permintaannya. Sebagai alasan bagi permohonannya, Asgar
mengemukakan bahwa di masa lampau Kerajaan Jailolo pernah eksis, sehingga amat wajar bila iamenuntut untuk menghidupkan kembali kerajaan tersebut. Kesultanan Jailolo baru ini telah lahirdan menjadi kenyataan ketika masyarakat Halmahera mengangkat ayahnya, Muhammad ArifBilla, sebagai sultan mereka. Buyskes tidak menghiraukan permohonan Asgar. Bahkan, tidaklama kemudian ia dibuang ke Jepara pada 1817. Tetapi, pada 1825, Asgar dikembalikan keMaluku kemudian diangkat oleh Pemerintah Belanda sebagai Sultan Jailolo II yangberkedudukan di Seram Pasir.Sejak Belanda menyerbu dan membumihanguskan Tidore, pada 1806 Hajuddin bersama
3000 pengikutnya dari Halmahera Timur dan Tobelo-Tai berpindah-pindah tempat karena dikejarBelanda. 

Akhirnya Hajuddin beserta pengikutnya mendirikan koloni mereka di Seram Pasir.
Dikalangan pengikutnya, Hajuddin dikenal sebagai Sultan Jailolo III yang berkuasa di SeramPasir.18Hingga 1821, jumlah pengungsi yang berada di Seram Pasir telah mencapai 7000 orang.Para pengungsi ini tidak hanya berasal dari Halmahera Timur, tetapi juga dari Halmahera Utara –Tobelo, Kao serta Galela – dan Papua yang mendukung Hajuddin, termasuk pribumi Seram Pasirdan sekitarnya, seperti penduduk Negeri Lisabata, Hative serta Seram Timur. Para pendatangbaru di Seram Pasir itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari kejaran pasukan SultanMuhammad Tahir, yang sejak 1810 berkuasa sebagai Sultan Tidore ke-21. Para pendatang inidipimpin oleh Sangaji Rubacola dan Kapita Laut Naimuddin dari Weda.

Dengan semakin bertambah jumlah pengikutnya, Hajuddin merasa perlu mendapatkan
legitimasi atas kekuasaannya dari Pemerintah Belanda. Ia menyurati Gubernur Ambon dan
meminta pengertian baiknya mengenai masyarakat Halmahera di Seram Pasir, dan agar ia
diizinkan membentuk sebuah kerajaan di Halmahera untuk mengatur pengikutnya. Upaya
Hajuddin gagal, bahkan membuatnya makin diburu. Belanda menganjurkan rakyat agar tidakberhubungan dengan Sultan Jailolo III yang telah dinyatakan sebagai penjahat, dan menjanjikanhadiah bagi siapa saja yang dapat menangkapnya hidup atau mati.
Tetapi, sebegitu jauh tak satupun rakyat Seram Pasir melakukan hal-hal yang dikehendaki
Belanda. Ini secara jelas menunjukkan betapa kuat pengaruh dan kharisma Hajuddin. Baru
setelah Peter Merkus menjabat sebagai Gubernur Ambon (1822-1828), ajakan damai SultanJailolo III, Hajuddin, memperoleh tanggapan positif.
Sementara itu, sepanjang abad ke-19, di perairan Indonesia Timur, khususnya di perairan
Maluku dan Kepulauan Ambon, aksi-aksi perompakan yang melibatkan orang Tobelo dan Galelasedang marak. Para bajak laut Halmahera Utara ini bahkan menjalin kerjasama dengan bajak lautMindanao dan Sulu dari Filipina Selatan. Di perairan Maluku, aksi-aksi perompakan juga
melibatkan sejumlah orang Halmahera Timur dan Tobelo yang bermukim di Seram Pasir. Aksiaksiini telah membuat pelayaran dan perdagangan di kawasan tersebut sangat terganggu.
Para pejabat Gubernemen di Ambon berpendapat bahwa operasi-operasi bajak laut dalam
wilayah Maluku itu didalangi Sultan Jailolo III, Hajuddin. Karena itu, menurut pendapat
Gubernur Merkus, jika Hajuddin bisa dijinakkan, perompakan yang sangat mengganggu
pelayaran dan perdagangan di perairan Maluku serta Kepulauan Ambon akan dapatditanggulangidan dihentikan.Berdasarkan pertimbangan tersebut, Merkus mulai menjalin kontak resmi yang intensdengan Hajuddin. Kontak ini pada akhirnya membawa kedua pihak ke meja perundingan untukmembahas pembentukan Kesultanan Jailolo di Seram Pasir. Dalam usulnya mengenai agendaperundingan, Hajuddin menuntut agar ia diakui sebagai penguasa Halmahera. Tetapi, tuntutan iniditolak Gubernur Merkus yang, sebaliknya, mengusulkan agar kerajaan yang akan dibentuk ituberlokasi di Seram Pasir. Hajuddin akhirnya menyetujui proposal tersebut dan menyerahkan halitu sepenuhnya kepada Gubernur Merkus. Ia juga mengajukan syarat bahwa yang akan menjadipenguasa Kesultanan Jailolo di Seram Pasir adalah kakaknya, Muhammad Asgar. Sementara iasendiri cukup menjabat sebagai Raja Muda.
Setelah berkonsultasi dengan Batavia, Merkus dapat menerima persyaratan yang diajukan
Hajuddin. Muhammad Asgar pun didatangkan ke Ambon dari Jepara untuk ikut menandatanganiperjanjian, yang dilakukan pada 25 Januari 1826. Tidak lama setelah itu, Muhammad Asgardilantik sebagai Sultan Jailolo II, yang berkuasa atas Seram Pasir – tidak termasuk daerahpedalaman. 

Dalam upacara di Benteng Victoria, Ambon, Sultan Jailolo II itu mengucapkan

sumpah setia kepada Kerajaan Belanda. Sebagai Sultan, Muhammad Asgar bergelar Paduka SeriTuwan Sulthan al-Wasatu Billahil Alim, Sulthan Muhammad Saleh Amiruddin Khalifatullah AtasMuka Bumi Daerah Alam Maluku Yang Maha Mulia, Raja Yang Memegang Parenta di atasTakhta Kerajaan Tanah Seram.19
Dalam perjanjian sebelum pelantikan Sultan Jailolo II, disebutkan bahwa seluruh
kedaulatan dalam Kerajaan Seram Pasir terletak di tangan Gubernur, yang diwakili seorang
pejabat Hindia Belanda. Wilayah Kerajaan Seram Pasir tidak termasuk daerah pedalaman, danSultan diberi hak memungut pajak dari rakyat yang berada dalam wilayah kerajaannya. SultanJailolo II juga dilengkapi dengan sejumlah bobato yang diambil dari tokoh-tokoh Halmahera
Timur dan Tobelo yang bergelar kimalaha serta sangaji.
Sebenarnya, kekuatan dan kewibawaan Sultan Jailolo II tidak hanya terletak pada
dukungan para bobato belaka, tetapi pada dukungan Gubernemen – dalam hal ini Gubernur
Ambon, Merkus. Kekuasaan Sultan Jailolo hanya dapat terjamin karena dukungan dan bantuanGubernur Merkus dalam upayanya mengatasi operasi-operasi perompakan di kawasan Maluku.Merkus bahkan menyerukan kepada bawahannya untuk memberikan dukungan serupa kepadaSultan Jailolo II. Pemerintah Belanda memberi tunjangan kepada Sultan Jailolo II sebesar f. 250setiap bulannya.

Setelah Merkus tidak lagi menjabat gubernur, mulai muncul perselisihan antara SultanJailolo II dengan Gubernemen Ambon. Pihak Gubernemen menilai bahwa sultan mulai terlibatdengan para bajak laut Tobelo. Pada 1831, Sultan Jailolo II berselisih dengan Komandan MiliterWahai, yang juga menjabat sebagai asisten residen. Komandan militer itu melaporkan kepadaGubernur Maluku bahwa Sultan Jailolo II berencana menyerang Benteng Wahai. Gubernur

akhirnya memerintahkan menangkap Sultan Jailolo II, walaupun kemudian dibebaskan karenalaporan tersebut didasarkan pada keterangan palsu.
Beberapa saat setelah insiden tersebut, Sultan Jailolo II, Muhammad Asgar, memutuskan
pindah dari Seram Pasir karena daerah ini tidak subur untuk pertanian, sehingga banyak
rakyatnya yang miskin dan beralih menjadi bajak laut. Ia kemudian mengajukan permintaan
kepada Pemeritah Belanda agar ia dan rakyatnya diizinkan kembali ke Halmahera.
Ketika berkunjung ke Ambon pada 1832, Sultan Jailolo II mengajukan kembali
permohonan pindah ke Obi, pulau yang telah dibeli VOC dari Sultan Bacan. Sementara pengikutAsgar mendesaknya agar mereka kembali ke Halmahera Timur. Dengan demikian, Asgar danrakyatnya memiliki keinginan yang berbeda tentang kepindahan itu. Tetapi, permohonan pindah
tersebut ditolak Gubernur. Sultan Jailolo II akhirnya memutuskan menempuh jalan sendiri. Iamengutus adiknya ke Bacan untuk menjajaki kemungkinan pindah, namun upaya ini tidak
membuahkan hasil.
Untuk menyelesaikan kemelut Kesultanan Jailolo, Gubernur Jenderal akhirnya mengutus
Pieter Merkus – saat itu menjabat sebagai anggota Raad van Indie – ke Ambon. Pemecahan
masalah yang diusulkan Merkus terdiri dari dua alternatif:
1. Sultan Jailolo II di Seram Pasir dipensiunkan dan diganti dengan Hajuddin sebagai Sultan
Jailolo III.
2. Kesultanan Jailolo dibubarkan dan seluruh keluarga kerajaan diasingkan.
Alternatif pertama gagal dijalankan, karena Hajuddin menolak menggantikan kakaknya.
Gubernur Ellinghuizen, yang menjadi juru runding Pemerintah Belanda, akhirnya melaksanakanalternatif kedua. 

Pada akhir 1832, Ellinghuizen mengunjungi Wahai. Dengan alasan untuk

mengadakan perundingan di atas kapal yang sengaja didatangkan ke Wahai, Gubernur
mengundang Sultan Jailolo II, Raja Muda Hajuddin, Jogugu Jamaluddin, dan Kapita Laut
Kamadian, beserta seluruh keluarga mereka – semua berjumlah 60 orang – ke atas kapal. Setelahsemuanya berada di atas kapal, mereka ditangkap dan kapal itu pun berlayar menuju Ambon.
Dari Ambon, rombongan tahanan Kesultanan Jailolo diangkut dengan dua kapal ke
Batavia, kemudian ke Cianjur, tempat mereka diasingkan. Kesultanan Jailolo di Seram Pasir pundilikuidasi, dan berakhirlah kasus Kesultanan Jailolo. Pada 1844, rombongan tahanan KesultananJailolo – kecuali Hajuddin dan Jamaluddin, putera Sultan Jailolo II – dikembalikan lagi keMaluku.
Pasca likuidasi Kesultanan Jailolo, pengikut-pengikut Sultan Jailolo asal Halmahera
Timur kembali ke daerah asal mereka, setelah sekitar setengah abad menyatakan kesetiaannyakepada Sultan Jailolo. Namun, orang Tobelo dan Galela menolak perintah Gubernur Ambonuntuk kembali ke daerah asalnya, dan tetap bermukim di Seram Pasir. Sebagian dari merekakemudian bergabung dengan para bajak laut yang beroperasi hingga ke utara Jawa Timur.
Upaya Menghidupkan Kembali Kesultanan Jailolo

a. Pemberontakan Dano Baba Hasan

Pada 1876, Dano Baba Hasan berupaya menghidupkan kembali Kesultanan Jailolo. Ia
meminta Pemerintah Belanda mengakuinya sebagai Sultan Jailolo. Baba Hasansebenarnya
adalah kerabat Kedaton Ternate yang pada 1832 diangkat sebagai Salahakan di Seram olehSultan Muhammad Zain. Pada 1876 ia berada di Halmahera Timur dan didatangi banyakpenduduk yang memintanya bersedia diangkat sebagai Sultan Jailolo, meneruskan warisankerajaan Sultan Muhammad Asgar.
Berdasarkan permintaan tersebut, Baba Hasan ke Ambon dan menuntut kepada Gubernur
Maluku agar diakui sebagai Sultan Jailolo. Gubernur menolak tuntutan ini dan Baba Hasan
kembali ke Halmahera Timur. Sekembalinya ke Halmahera Timur, ia mewajibkan rakyat
menyerahkan upeti dan membayar pajak kepadanya. Pajak diri ditetapkan sebesar f. 4,- bagi yangsudah berumah tangga, dan f. 2,- bagi yang masih lajang.
Pada 1876, atas desakan para sangaji dan bobato Weda, Waigeo, Maba dan Patani, Baba
Hasan mulai melakukan pemberontakan. Ia mengerahkan pengikut-pengikutnya dariHalmaheraUtara (Tobelo dan Galela) serta rakyat Halmahera Timur sendiri. Dengan kekuatan pasukan yangbesar, Baba Hasan menyerbu Kao dan membumihanguskannya pada 3 September 1876. setelahpembumihangusan Kao, pada 7 September, Baba Hasan beserta pasukannya memasuki Tobelo.
Residen Ternate, A.J. Langeveld, sangat terkejut mendengar laporan pemberontakantersebut.Para sultan Maluku – Ternate, Tidore dan Bacan – yang menerima laporanpemberontakan itu, bersiap-siap membantu Residen Ternate memadamkannya. Langeveld lalumengerahkan tentara Gubernemen, tetapi tertahan selama beberapa hari lantaran angin topan.
Sementara itu, Sultan Bacan mencoba menghentikan aksi pemberontakan Baba Hasan denganmengutus Kaicil Jamal untuk merundingkan perdamaian. Upaya Kaicil Jamal hampir berhasil,tetapi Baba Hasan dicegah para sangaji Maba, Patani, Gane dan Mafa untuk berdamai. Merekamendesak Baba Hasan meneruskan perlawanan dan berupaya meyakinkan bahwa bala bantuanorang Tobelo dan Galela dari Bacan akan segera tiba. Bahkan, menurut para sangaji tersebut,
bala bantuan dari Papua sedang dalam perjalanan menuju Tobelo.
Ketika pasukan Belanda, Ternate dan Tidore mulai mendarat di utara Tobelo, bala
bantuan orang Tobelo-Galela dari Bacan yang ditunggu tak kunjung tiba, demikian pula denganbala bantuan dari Papua. Posisi Baba Hasan semakin terjepit, karena pasukannya yang ada tidakmampu menahan lajunya tentara koalisi Belanda-Ternate-Tidore. Pasukan Baba Hasan, yangterdiri dari orang Halmahera Timur dan Galela, sudah mengisyaratkan tidak mampu melakukanperlawanan dan bersiap-siap menyerah. Hanya orang-orang Tobelo fanatik yang masih terusbertempur.Karena situasi yang tidak menjanjikan peluang apapun, pada penghujung Mei 1877, BabaHasan mengontak Kaicil Jamal dari tempat persembunyian. Kurirnya menyampaikan pesan
bahwa Baba Hasan dan pasukannya siap berdamai. Kaicil Jamal meneruskan pesan ini kepadaResiden Tobias, pengganti Langeveld, yang telah tiba di Tobelo. Segera Residen Ternatememerintahkan pasukan koalisi menghentikan pertempuran, dan peletakkan senjata Baba Hasanpun diumumkan.Pada 21 Juni, Baba Hasan mengakhiri pemberontakannya. Dengan diantar Kaicil Jamal,ia menyerahkan diri kepada Residen Tobias dan segera ditahan, kemudian dideportasi ke Ternate.
Beberapa bulan kemudian, ia diajukan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman pengasingan ke pulauMuntok di Sumatera. Di pulau inilah Baba Hasan menjalani hukuman dan mengakhiri hidupdidampingi keluarganya. 

Akibat pemberontakan Baba Hasan, Pemerintah Belanda – dengan keputusan Gubernur

Maluku – menempatkan masing-masing seorang posthouder di Galela dan Bicoli. Penempatanposthouder di kedua kota itu dimaksudkan untuk mengawasi aktivitas pengikut-pengikut fanatikSultan Jailolo, terutama orang Tobelo-Galela dan Halmahera Timur.
Belanda juga memberikan berbagai penghargaan kepada sejumlah pimpinan militer
Kesultanan Ternate dan Tidore atas keberhasilan menumpas pemberontakan Baba Hasan. Pejabatsipil yang dipandang sangat berperan dalam aksi penumpasan pemberontakan juga dianugerahipenghargaan. 

Raden Mas Nursewan, pegawai pada Kantor Keresidenan Ternate, memperolehanugerah medali emas dan uang gratifikasi sebanyak f. 250. Haji Arifin bin Soleman, juru tulisKantor Keresidenan, mendapat medali perak dan uang gratifikasi sebesar f. 250. Kapita HongiSaid Muhammad, komandan pasukan Ternate, memperoleh medali perak dan gratifikasi sejumlahf. 1000 untuk dirinya dan f. 500 untuk para komandan pasukannya. Kapita Perang Aman daripasukan Ternate mendapatkan hadiah pisau berburu, dan selanjutnya diangkat oleh Sultan

Ternate sebagai utusan di Tobelo. Haji Jafar, juga dari Ternate, mendapat sebuah mushaf al-Quran yang dijilid amat indah. Kapita Laut Tidore, Kaicil Muhammad Tahir, dianugerahi
senapan berburu. Kaicil Ajaran, juga dari Tidore, memperoleh sebuah arloji emas.21
b. Pemberontakan Dano Jaeyudin di Weda-Waigeo
Hampir setengah abad setelah pemberontakan Baba Hasan ditumpas, sebuah percobaan
pemberontakan yang mirip muncul di Weda pada 1914. Seorang dano dari Ambon, bernamaDano Jaeyudin, yang masih keturunan Baba Hasan, menuntut dan memproklamasikanKesultanan Jailolo serta mengangkat dirinya sebagai Yang Dipertuan Agung Kesultanan Jailolo.
Dano Jae berhasil melakukan kontak dengan rakyat Waigeo di Halmahera Timur dengan
menyatakan dirinya sebagai ahli waris Sultan Jailolo, dan karena itu berhak atas takhta Jailolo.

Berbeda dengan Baba Hasan, kemampuan Dano Jae mengorganisasi gerakannya bisa
diketahui secara dini oleh Pemerintah Belanda dan Kesultanan Tidore. Karena itu, gerakan
pemberontakannya dapat ditumpas habis sebelum meluas oleh sebuah detasemen polisi lapanganyang dikirim dari Ternate. Dano Jae sendiri ditangkap dan dipenjarakan.
Usaha-usaha Memulihkan Identitas Jailolo
Perseteruan akut antara Ternate-Tidore sejak berabad-abad telah memberi peluang kepada
VOC untuk menguasai Maluku dengan mudah. Nuku, pahlawan nasional dari Tidore, adalahtokoh yang paling intens memperjuangkan restorasi Kerajaan Jailolo. Nuku yakin bahwa anihilasiKerajaan Jailolo yang dilakukan Ternate dengan bantuan kekuasaan asing (Portugis dan VOC)sejak abad ke-16, telah melemahkan kerajaan-kerajaan Maluku. Hal ini akan melenyapkanidentitasnya dan berujung pada dikuasainya kerajaan-kerajaan Maluku oleh kekuasaan asing(Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris).
Sebab itu, menurut Nuku, perlu aksi bersama – baik politik maupuan militer – untuk
mengakhiri dan mengembalikan Maluku pada status merdeka seperti sediakala, sebelum bangsabangsaasing datang ke daerah ini. Rakyat Tidore dan daerah-daerah di seberang laut, HalmaheraTimur dan Utara, juga menyadari hal yang sama. Atas dasar persamaan persepsi itulah, Nukumenganggap rakyat di daerah-daerah yang disebut di atas telah mempercayakan kepadanya untukmengembalikan status Jailolo sebagai kerajaan dalam semangat Moloku Kie Raha.Jailolo yang telah tercabik-cabik dan tersingkir dari wadah Maluku, juga telah kehilanganidentitasnya sebagai kerajaan paling senior dalam ranking kerajaan-kerajaan Maluku. Jailolosecara de jure telah lenyap, karena Ternate telah menjadikannya sebagai wilayah seberangnya
yang tak terpisahkan. Dengan demikian, menurut Nuku, memulihkan identitas Jailolo berarti
mengembalikan Maluku ke zaman keemasannya. Nuku menginginkan agar Jailolo bersama
kerajaan-kerajaan Maluku yang lain memasuki sebuah lingkaran baru dengan terciptanya
keserasian, persamaan, dan perdamaian.
Sungguhpun cita-cita Nuku tentang Jailolo sukar diimplementasikan, tetapi pengaruhnya
cukup besar, khususnya terhadap rakyat Tidore. Pada tahun 1765, sebanyak 146 orang pendudukTomalou (Tidore) tiba di Jailolo di bawah pimpinan seorang Imam dan dua orang khatib
Merekadatang ke Jailolo dengan maksud menobatkan seseorang bernama Abu Laif – yang mengakusebagai keturunan langsung keluarga Kerajaan Jailolo – sebagai Sultan Jailolo yang baru. 
Tetapi,aksi Imam Tomalou ini gagal, karena orang-orang Alifuru Jailolo menolak memberikan kesetiaankepada Abu Laif. Akibatnya, timbul sengketa antara orang-orang Tomalou dengan orang-orang
Alifuru. Pak Imam dan kedua khatibnya tidak kembali ke Tidore, karena terlanjur ditangkap
Pemerintah Belanda, yang ikut campur tangan dalam peristiwa ini.22
Insiden ini dipandang tidak signifikan oleh rakyat, karena hanya menghentikan untuk
sementara upaya mereka untuk menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo. Lima belas tahun
setelah insiden tersebut, Imam Cobo, juga dari Tidore, bersama 35 pengikutnya mendarat diJailolo. Berita yang sampai ke telinga Imam Cobo adalah keturunan Katarabumi, sejak
penyebuan Portugis yang melengserkannya dari takhta Jailolo, tidak lagi hidup di kota tetapi
telah membaur dengan orang-orang Alifuru dan hidup di hutan-hutan. Imam Cobo dan
pengikutnya masuk ke dalam hutan Jailolo untuk mencari seseorang yang mungkin merupakanketurunan kerajaan untuk dilantik sebagai raja baru Jailolo. Tetapi, setelah sebulan menjelajahihutan Jailolo, orang yang mereka cari tidak kunjung ditemukan. Sang Imam malah ditangkapPemerintah Belanda dan diinterogasi sebelum dipulangkan ke Cobo. 23Ilustrasi di atas memperlihatkan kepedulian Nuku pada takhta Jailolo dan pengaruhnya dikalangan rakyat Tidore. Dalam surat-menyurat dengan Pemerintah Belanda, Nuku pernahmenyatakan dirinya sebagai pewaris takhta Jailolo dan ketika dinobatkan sebagai Jou Barakatioleh pengikut-pengikutnya di Seram, ia menghimbau rakyat Maluku dan Papua untukmemberikan perhatiannya kepada Jailolo.
Sebab-sebab Kegagalan Saifuddin dan Nuku Menghidupkan kembali Kerajaan Jailolo
Tuntutan untuk menghidupkan kembali kerajaan Jailolo dengan alasan menegakkanMaluku di atas 4 tonggak kerajaan, baik oleh Saifuddin maupun oleh Nuku, selalu disampaikankepada gubernur VOC yang tengah berkuasa. Mereka samasekali melupakan peranan kerajaanTernate yang menganeksasi Jailolo sebagai bagian integral kerajaan ini, dan ikatannya yangbegitu erat antara VOC dengan kerajaan Ternate.Sebenarnya, kalau segala sesuatunya bergantung kepada para gubernur VOC, maka sejaktuntutan Saifuddin kepada Gubernur Padtbrugge, tuntutan tersebut mungkin telahdipertimbangkan. Akan tetapi penolakan pemerintah VOC Belanda untuk menghidupkan kembaliKerajaan Jailolo adalah semata-mata karena faktor-faktor yang menyangkut hubungan baikVOC-Ternate sebagai partnernya yang paling dipercayainya, serta kesetiaan dan kepatuhankerajaan ini kepada VOC.Seandainya Saifuddin dan Nuku melakukan pendekatan atas dasar persaudaraan sesamakesultanan Maluku dengan penuh kebijakan yang tidak mengakibatkan kerajan Ternatekehilangan muka, maka besar kemungkinan Ternate akan melepaskan Jailolo, bahkan mungkinkerajaan ini akan memelopori pemulihan kembali kesultanan tersebut sesuai permintaan keduasultan Tidore itu.Setelah Nuku wafat pada 14 Nopember 1805, pemeliharaan pilar-pilar Maluku hanyabertopang pada Ternate, Tidore, dan Bacan. Jailolo telah mati dan Bacan dalam keadaan lemah.Jailolo memang masih sering disebut-sebut dalam upacara-upacara formal berkenaan denganstatusnya sebagai salah satu dari empat pilar yang menopang Maluku pada zaman bahari.Demikian pula, Jailolo juga secara formal masih tetap diidentifikasi sebagai salah satu unsurMoloku Kie Raha yaitu: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Tetapi, lebih dari itu tidak!
Kepulauan Rempah Rempah
Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950
Oleh : M.Adnan Amal 

http://malukukieraha.blogspot.co.id/jailolo-kerajaan-maluku-tertua.html


Komentar

Wayang Kulit Gagrak Surakarta

Wayang Kulit Gagrak Surakarta
Jendela Dunianya Ilmu Seni Wayang

Jika Anda Membuang Wayang Kulit

Menerima Buangan Wayang Kulit bekas meski tidak utuh ataupun keriting, Jika anda dalam kota magelang dan kabupaten magelang silahkan mampir kerumah saya di jalan pahlawan no 8 masuk gang lalu gang turun, Jika anda luar kota magelang silahkan kirim jasa pos atau jasa gojek ke alamat sdr Lukman A. H. jalan pahlawan no 8 kampung boton balong rt 2 rw 8 kelurahan magelang kecamatan magelang tengah kota magelang dengan disertai konfirmasi sms dari bapak/ ibu/ sdr siapa dan asal mana serta penjelasan kategori wayang kulit bebas tanpa dibatasi gagrak suatu daerah boleh gaya baru, gaya lama, gaya surakarta, gaya yogyakarta, gaya banyumasan, gaya cirebonan, gaya kedu, gaya jawatimuran, gaya madura, gaya bali, maupun wayang kulit jenis lain seperti sadat, diponegaran, dobel, dakwah, demak, santri, songsong, klitik, krucil, madya dll

Postingan Populer